Azizah Kanyadisa, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya mengurus rumah, suami dan anak, tanpa bantuan asisten rumah tangga, tetapi sering dibantu oleh suaminya dan putri kecilnya. Darino Arlando, suami Azizah dan ayah putrinya yang bernama Arlin Kanyalando, ia memiliki pekerjaan sebagai dosen di 3 perguruan tinggi swasta ternama di kotanya. Sebagian orang melihatnya sebagai hot daddy dan suami yang selalu memprioritas istri. Mereka sudah menikah lima tahun, tidak ada berita buruk atau gosip tentang pernikahan mereka. Darino sangat mencintai Azizah, jadi sebisa mungkin Darino menjaga hati sang istri. Hingga akhirnya, seseorang mencoba untuk masuk ke kehidupan Darino, dan mencoba untuk merusak rumahtangga Darino. Carisa Hargantasya, perempuan yang hadir dan menjadi guru di sekolah Arlin. Pekerjaan itu membuat Carisa mengambil kesempatan untuk menarik perhatian Darino, dan menyusun rencana lainnya. “Mas, kamu tahu kan akibat dari kesalahan yang diperbuat?” “Aku tidak ada hubungan apapun sama Carisa.” “Jangan ngelarang aku buat bawa Arlin pergi, dan jangan datang kalau kamu masih berhubungan sama dia!” Sejak saat itu, emosi Darino tidak beraturan dan berantakan. Ditinggal oleh istri dan anak tanpa ia tahu sebabnya. Akhirnya, Darino memilih untuk bertemu dengan Carisa, sialnya Darino dijebak dan membuat rumah tangganya diambang perceraian. “Mas, aku atau dia?” Dikecewakan dua kali oleh Darino, membuat Azizah go-publik yang ternyata anak dari Karasya Harimtala dan Januar Andrisata, pemilik Production House yang selalu memproduksi banyak film, mulai dari short movie, series dan film layar lebar. Lalu bagaimana kelanjutan rumah tangga Azizah dan Darino? Apakah tujuan Carisa menghancurkan rumah tangga mereka berhasil?
view moreAzizah menyusuri lorong sekolah yang sunyi, merasakan detak jantungnya semakin kencang. Tangannya menggenggam buku tugas Arlin yang mulai berkeringat. Ketika sampai di depan kelas Arlin, ia melihat seorang wanita dengan rambut panjang kecoklatan berdiri dengan anggun, mata birunya menatap lurus ke arahnya. Wanita itu ialah Carisa Hargantasya, mantan kekasih Darino.
Carisa tersenyum tipis, "Azizah, lama tidak berjumpa." Suaranya sehalus sutra, penuh rahasia dan ketegangan. Azizah merasakan ketidaknyamanan sejenak, seolah bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
"Carisa," balas Azizah dengan tegas, meskipun hatinya berdebar. "Apa yang membawamu kemari?" tambahnya.
Carisa mengangkat alis, seakan terkejut oleh pertanyaan Azizah. "Aku bekerja disini sebagai guru dan walikelas 1A."
Azizah menatap Carisa, mencoba menyelami niat wanita itu. Ia mencoba untuk mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh Carisa, lalu tersadar ternyata putrinya berada di kelas 1A.
Suasana semakin hening saat Darino muncul di belakang mereka. "Azizah? Carisa?" Suaranya terdengar bingung, tatapan matanya mencoba mengerti apa yang terjadi dihadapannya.
Carisa berbalik, senyum kecil masih menghiasi bibirnya, "Darino, apa kabar? Sudah lama sekali."
Tatapan Darino mengeras, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Carisa, ini bukan waktu yang tepat."
Suara langkah kaki siswa-siswa yang berlarian di lorong sekolah mulai memudar, menambah suasana hening yang mencekam. Azizah berdiri tegap, tatapan matanya tidak lepas dari Carisa. Dia merasa udara di sekitarnya berubah, menjadi lebih berat dengan ketegangan yang tak terucapkan.
Darino menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ketenangan. "Carisa, jika ada sesuatu yang perlu dibicarakan, kita bisa cari waktu yang tepat," katanya, dengan nada tegas namun lembut.
Carisa menghela napas pelan, tatapannya tak lepas dari Darino. "Baiklah, Darino. Aku akan menunggu waktu yang tepat," tuturnya dengan suara lembut, dan senyum manis miliknya.
Meskipun merasa gelisah, Azizah tetap berdiri dengan teguh. Dalam hatinya, ia berjanji akan mempertahankan keluarganya dari bayangan masa lalu yang mengancam kebahagiaan mereka.
Carisa menatap Azizah yang sedang menatapnya dengan tatapan datar, lalu beralih menatap Darino yang menggenggam tangan Azizah cukup erat. Seperti mustahil untuknya merebut Darino dari Azizah.
Carisa menyunggingkan senyumnya, lalu mendekat kepada Darino untuk membisikkan sesuatu, setelahnya dia pamit undur diri.
“Kode apartementku masih sama. Datang kapan saja kalau kamu membutuhkannya.”
*
Azizah duduk di meja makan, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah mulai dingin. Wajahnya masih terlihat tegang setelah pertemuan dengan Carisa. Darino duduk di depannya, wajahnya tampak serius namun lembut.
“Azizah, dengarkan aku,” kata Darino dengan nada suara menenangkan. “Aku tahu ini mengejutkan, tapi Carisa menjadi wali kelas Arlin bukan berarti sesuatu yang buruk akan terjadi.”
Azizah menghela napas, tatapannya terfokus pada cangkir teh di tangannya. “Bagaimana mungkin aku bisa tenang, Mas? Dia mantanmu dan sekarang dia dekat dengan anak kita. Apa maksudnya?”
Darino meraih tangan Azizah, mencoba menenangkan kecemasan yang membara dalam dirinya. “Carisa tidak ada niat buruk. Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai guru. Kita harus memberikan kepercayaan kepadanya, seperti kita memberikan kepercayaan pada guru lain.”
Azizah mengangkat tatapannya, menatap mata Darino yang penuh ketulusan. “Aku percaya kamu tidak akan bermain dengan perempuan itu dibelakangku, tetapi ini Carisa, dia sudah terkenal dengan sifatnya yang selalu menggoda laki-laki lain,” tuturnya dengan menahan emosi.
Darino mengusap punggung tangan Azizah dengan lembut, “Aku paham. Kita akan hadapi ini bersama, seperti kita hadapi semua hal lain selama lima tahun ini. Yang penting sekarang adalah kebahagiaan Arlin.”
Azizah mengangguk pelan, merasa sedikit tenang dengan keyakinan dan keteguhan Darino. “Baiklah, aku akan mencoba lebih tenang. Tapi kamu harus janji, jika ada yang aneh, kamu akan segera memberitahuku,” ucapnya dengan nada lembut, menatap Darino cukup dalam.
Darino tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Aku janji. Kita akan selalu berbicara terbuka satu sama lain. Kamu tahu itu,” tuturnya dengan lembut, mengecup puncak kepala sang istri cukup lama.
Azizah memejamkan mata sejenak, membiarkan kata-kata Darino meresap. Pikirannya melayang ke hari-hari awal pernikahan mereka, ketika kepercayaan dan cinta mengatasi segala ketakutan. Perlahan ia membuka mata, tatapannya lebih tenang.
“Aku hanya tidak ingin sesuatu mengancam keluarga kita. Aku terlalu mencintai kalian berdua.”
Darino menghela napas dalam, menatap mata Azizah dengan penuh kehangatan. “Aku juga mencintai kalian. Jangan biarkan bayangan masa lalu merusak apa yang kita miliki sekarang.”
Malam semakin larut, suara jam dinding terdengar pelan di tengah keheningan. Darino mengambil cangkir teh dari tangan Azizah dan menaruhnya di meja. “Ayo, kita tidur. Besok kita punya hari yang panjang.”
Azizah mengangguk dan bangkit dari kursinya. “Baiklah. Terima kasih Mas karena selalu ada.”
Darino tersenyum, merangkul bahu Azizah dengan lembut saat mereka berjalan menuju kamar tidur. Di antara bayangan dinding rumah mereka, sepasang suami istri ini terus berusaha menjaga api cinta dan kepercayaan tetap menyala, menghadapi setiap tantangan dengan hati yang kuat dan penuh kasih sayang.
Keteguhan hati dan kekuatan cinta mereka menjadi tameng menghadapi segala rintangan, menjaga agar bayangan masa lalu tidak merusak kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama. Di setiap langkah, mereka berjanji untuk terus berbicara dan saling percaya, membawa harmoni dan kekuatan dalam keluarga mereka.
Di kamar tidur yang redup, Darino menarik selimut untuk Azizah, membiarkan kehangatan menyelimuti tubuh istrinya. “Aku tidak akan membiarkan siapapun atau apapun mengancam kebahagiaan kita,” bisiknya, mencium kening Azizah dengan lembut.
Azizah menatap mata Darino dalam-dalam, merasakan cinta yang tulus dari setiap kata-katanya. “Aku tahu, Mas. Terima kasih,” jawabnya pelan, senyumnya mulai kembali.
Dalam keheningan malam itu, Azizah dan Darino memejamkan mata dengan penuh rasa syukur dan ketenangan. Meskipun bayangan masa lalu mungkin akan selalu ada, mereka yakin bahwa cinta dan kepercayaan mereka satu sama lain akan terus bertahan dan melindungi kebahagiaan keluarga mereka, apapun yang terjadi.
Setelah 10 menit berlalu, Azizah membuka kedua matanya, ia mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap suaminya yang tidur menghadap kepadanya dengan kedua mata yang terpejam.
Telapak tangan kanan wanita itu menelusuri wajah suaminya yang tenang dan tampan. Azizah menghela nafasnya perlahan, menggelengkan kepala untuk menghapus bayang-bayang yang menghantuinya sejak pertemuannya dengan Carisa hari ini.
“Sayang, apa yang sedang kamu fikirkan, hm?”
Darino menahan tangan sang istri, ia membuka kedua matanya dan bertemu dengan kedua mata indah milik Azizah. Ditengah penerangan yang minim karena hanya lampu tidur yang menyala, tidak menghalangi Darino untuk memperhatikan kedua mata wanitanya.
“Memangnya tidak boleh melihat wajah suami sendiri?” tanya Azizah setelah berhasil mengumpulkan tenaganya.
Darino terkekeh, ia menarik sang istri untuk lebih mendekat kepadanya, mengecup singkat bibir ranum milik Azizah. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali sehingga membuat Azizah mendesis kesal.
“Sayang, jangan berbohong kepadaku,” ujar Darino dengan suaranya yang lembut, menyelipkan helai rambut wanitanya supaya tidak ada yang menghalangi pandangannya untuk memperhatikan wajah cantik Azizah.
Azizah terdiam sejenak memperhatikan Darino yang sedang menatapnya. Dirinya dan Darino sudah bersama kurang lebih 7 tahun, jadi wajar saja jika Darino mengatakan hal tersebut kepadanya.
“Mas ….”
“Hmm ….”
“Aku atau Carisa?”
Fernandra tersenyum manis menatap sosok wanita yang sudah ia tunggu satu jam yang lalu. Azizah, wanita itu datang seorang diri ke sebuah restaurant yang lokasinya dibagikan oleh Fernandra.Setibanya di restaurant, Azizah seperti seseorang yang terkena hipnotis. Hanya diam tanpa bersuara, bahkan ia lupa akan tujuannya bertemu dengan Fernandra saat ini.Fernandra menaikkan sebelah alisnya, “Azizah … kamu baik-baik saja, kan? Tidak ada halangan selama perjalanan?” tanyanya penuh khawatir.“Ya ….” Azizah tersadar, lantas berdeham lalu menegakkan tubuhnya. Fokusnya terkunci hanya kepada Fernandra yang duduk berhadapan dengannya dengan gaya santai, dan bisa dilihat dari pakaian pria itu, sangat formal. Sudah jelas, Fernandra belum kembali ke rumah.“Kamu tahu di kampus tempat suamiku mengajar itu ada masalah?” tanyanya to the point, mengingat tidak ada waktu untuk basa-basi. “Aku rasa, kamu tahu tentang itu,” imbuhnya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari pria yang sedang bersamanya s
Azizah mengirim pesan kepada Fernandra, mengatakan bahwa dirinya ingin bertemu sebelum suaminya bertemu dengan Fernandra nanti malam. Ia tidak tenang dihantui oleh rasa penasarannya tentang kecurangan di salah satu universitas tempat suaminya mengajar.Tidak butuh waktu lama, Azizah mendapatkan balasan dari Fernandra, masalalunya itu mengirimkan lokasi sebuah restaurant yang letaknya cukup jauh dari rumahnya saat ini. Lebih tepatnya, restauran terdekat dari rumah Fernandra.Wanita itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00, menggigit bibir bawahnya dan berfikir ulang. Haruskah ia pergi sekarang disaat Darino sedang menjemput Arlin? Sedangkan waktunya sangat mepet.“Tidak, bukan sekarang. Nanti aku hubungi,” monolognya dengan jari lentik yang menari pada layar ponsel yang menampilkan room chat antara dirinya dan Fernandra yang sedang online.Azizah benar-benar menunggu balasan Fernandra, karena ia memanfaatkan waktu yang ada. Fernandra bukan pria yang banyak waktu luang, jadi
Beberapa hari kemudian ….Darino menghela nafas setibanya di rumah. Ia menyandarkan kepala pada sandaran sofa dengan kedua mata yang terpejam. Hanya beberapa detik, karena merasakan sofa yang ada di sisinya bergerak.Ketika pria itu membuka kedua mata, terlihat sosok perempuan yang tersenyum manis kepadanya. Darino menegakkan tubuhnya, membalas senyuman sang istri.“Tidak bilang kalau pulang cepat?” tanya Azizah dengan wajah bingung, tetapi masih tetap mempertahankan senyumannya, karena ia tahu mood suaminya sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari ekspresi wajah sang suami yang murung, dan tidak cerah seperti biasanya.“Ada masalah sedikit tadi di kampus, jadinya semua dosen dan mahasiswanya dipulangkan,” jelas Darino, menatap Azizah dengan tangannya yang mengusap punggung tang sang istri.Azizah bergeming, mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan oleh suaminya. Berusaha untuk menerka-nerka, masalah apa yang sedang terjadi di sebuah universitas sehingga mengharuskan dosen dan maha
Azizah terdiam, menatap barang-barang yang berada di bagasi mobilnya. Ia benar-benar membawa barang-barang tersebut ke rumah orangtuanya, karena Fernandra memaksa dan mengancamnya. Tidak ada pilihan lain selain meng-iya-kan apa yang dikatakan oleh Fernandra, daripada merusak suasana atau memperburuk keadaan.“Maaf ….” gumamnya penuh penyesalan, menunduk dan mencengkram kuat kardus tersebut. Tanpa disadari olehnya, air matanya turun membasahi pipi. Seketika saat itu juga ia tersadar, lalu mengangkat kardus itu masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.“Sayang … kok ke sini?”Azizah mengulas senyumnya saat berpapasan dengan mommynya di ruang tengah, “Ada barang yang harus aku taruh di gudang, Mom.” Atensinya melirik kardus yang berada dalam dekapannya, sehingga membuat mommynya mengikuti lirikannya.Mommy menaikkan sebelah alisnya, kembali menatap Azizah yang tersenyum lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah katapun. Rasa penasarannya tinggi, membuatnya mengikuti langkah putrinya
Fernandra tersenyum lebar menyambut kedatangan Azizah, walaupun ia sangat tahu wanitanya itu datang dengan perasaan yang marah, karena melihat wajah Azizah yang memerah. Tetapi itu bukan masalah untuknya.“Mau kamu apa sih?!”Fernandra bergumam pelan, sedikit membungkukkan punggungnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Azizah yang menatap tajam kepadanya. “Kalau aku bilang, memangnya kamu akan memberikannya?” tanyanya dengan nada lembut, tersenyum penuh arti kepada Azizah.Azizah berdecak kesal, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kamu ingin bermain-main denganku?” tanyanya penuh penekanan. Tidak ada raut wajah takut disaat tidak ada orang lain disekitarnya.“No. Aku sedang berusaha,” balas Fernandra, menaikkan dagu Azizah dengan jari telunjuknya. Ia menelisik wajah Azizah, lalu tersenyum dan kembali berkata, “Mengambil kembali yang seharusnya milikku.”Azizah menepisnya, membuat Fernandra terkekeh dan menegakkan kembali punggung pria itu. Ia bedecih, “Kamu belum sembuh, Nandra.
Azizah membuka pintu rawat yang tidak ada penjaganya. Lorong kosong, membuat keningnya mengkerut dan kedua alisnya bertaut. Sudah dicurigai olehnya bahwa telah terjadi sesuatu, dan kecurigaannya bertambah saat masuk ke dalam ruang rawat VIP, tidak menemukan Carisa di brankar.“Di kamar mandi, mungkin,” ucap Darino, berusaha untuk memberikan positif viber terhadap istrinya yang sudah berfikiran negatif.“Fernandra … kamu yakin dia ada di rumahnya?” tanya Azizah, menatap suaminya yang menganggukkan kepala, lantas memberikan ponsel miliknya. Tanpa pikir panjang, ia mengotak-ngatik ponselnya dan terhenti pada roomchat Fernandra.Tanpa pikir panjang, wanita itu menekan icon ‘panggilan suara’, seketika membuat Darino melebarkan kedua mata. Pria itu telat melarang Azizah untuk tidak menghubungi Fernandra. Dan yang bisa dilakukan oleh Darino hanya terdiam, diam-diam menghela nafasnya perlahan dengan kedua kaki yang menyisir setiap sudut ruang rawat ini.“Carisa hilang,” ucap Azizah setelah pa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments