Share

Menjadi Murid Biksu Tua

Tidak ada jawaban dari Biksu Tua.

Lama menunggu jawaban, akhirnya Wang Songrui memberanikan diri mengangkat wajah.

Hanya ada ekspresi datar di wajah sang biksu. “Xiong Rui, menjadi muridku bukanlah hal yang mudah. Ada syarat yang tak akan sanggup kau lakukan.”

Deg!

Songrui terkejut mendengar ucapan lelaki tua itu. Namun, tekadnya tak luntur.

Dengan tegas, Songrui pun membalas, “Aku sanggup!”

Ekspresi datar sang biksu tidak menghilang sembari berkata, “Beristirahatlah. Setelah kau pulih, aku menunggumu untuk menepati perkataanmu!

******

Sepanjang mata memandang, hanya lautan rerumputan hijau menyapa.

Angin sejuk bertiup pelan. Udara yang dihirup menyegarkan saluran pernapasan.

Wang Songrui pun memantapkan langkah ke depan, mendekati biksu tua yang berdiri membelakanginya.

Biksu tua lantas membalikkan badan lalu mengibaskan lengan, beriring perisai disekitar tubuh Wang Songrui mengelilinginya.

“Hanya dengan membersihkan hati dan menjernihkan pikiran, kau akan kuterima sebagai muridku.”

Ucapan mendadak itu membuat kening Songrui berkerut. “Maksud biksu tua?”

“Kau akan mengerti saat perisainya mulai bekerja terhadapmu.”

Usai berucap demikian, biksu tua meninggalkan pemuda itu.

Tak lama, perisai itu menampilkan bayangan dirinya diolok-olok dan diperlakukan semena-mena oleh para murid.

“Mati, Kau!”

“Gurumu pasti malu memiliki murid sepertimu.”

“Dia gagal karena memilih dan mendidik sampah sepertimu.”

“Memalukan kerajaan. Aku malu mengakui bahwa kita dari tanah air yang sama.”

“Jangan beri dia makan atau minum. Biar dia mati dalam penyiksaan!”

“MATI KAU!”

Hati Songrui serasa tersayat-sayat.

Pemuda itu menarik napas. Ia akhirnya mengerti akan maksud dari perkataan biksu tua. Bila ingin menjadi muridnya, Songrui harus mengampuni dan melupakan rencana balas dendamnya.

Seiring dengan bayangan mengerikan itu, efek perisai yang menyakiti hati perlahan menghilang dan membuka celah kecil.

Hanya saja, Songrui teringat wajah sang guru dan penyebab kematiannya yang mengerikan. Bukan hanya satu atau dua sayatan, melainkan ribuan panah menghujam hati.

Tangan Songrui mengepal, marah.

Celah di dinding perisai tertutup kembali bersamaan dengan serangan balik akibat dendam di dalam hati dan pikirannya yang begitu besar.

Wang Songrui mulai terluka diserang perisai, hingga mengeluarkan darah segar dari dalam mulutnya.

“ARRGH!” jeritnya.

“Xiong Rui. Jangan memaksakan dirimu. Kalau aku terlambat sedikit saja, dengan kondisi tubuhmu perisai ini akan membunuhmu!” Perisai ditarik kembali oleh biksu tua saat melihat keadaan Songrui yang terluka.

“Kenapa? Kenapa harus menghilangkan dendamku?” Wang Songrui menatap sedih ke arah biksu tua. “Membalas kematian gurukulah yang membuatku bertahan hidup.”

Biksu tua seketika diam. Dia menyadari betapa sulitnya posisi pemuda itu. Namun, ada hal yang tidak bisa diubah, termasuk syarat menjadi muridnya.

“Simpul di hatimu begitu kuat, Xiong Rui. Tujuanmu memang tak salah, tapi dendam tidak akan pernah berakhir dan akan berlanjut seperti roda kehidupan.”

“Biksu tua, aku masih belum terima kematian guruku. Jika aku tahu malam itu akan ada yang membunuhnya, aku tidak akan beradu mulut dan meninggalkannya sendirian.”

Mata Wang Songrui memerah, air mata tak dapat terbendung lagi mengingat kilas balik bagaimana dia memarahi sang guru.

“Baktiku yang terakhir kali adalah mencari tahu siapa yang membunuh guruku dan membalaskan dendamnya!”

Biksu Tua menghela napas panjang. “Kau pemuda yang baik, Xiong Rui. Aku bisa melihat ketulusanmu … tapi bagaimana cara membalaskan dendam gurumu setelah kau menemukan pelakunya? Membunuhnya? Tanyakan pada dirimu apa itu dendam gurumu atau dendam amarah dan penyesalanmu?”

Wang Songrui terdiam. Dengan bergetar, dia berbicara, “Meski hatiku menyimpan dendam, tapi aku tahu membedakan yang baik dan benar. Setiap orang berhak mendapatkan penghargaan dan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Kejahatan ataupun kebaikan akan ada balasannya.”

“Berikan aku kesempatan kedua, Biksu tua.”

Lelaki tua itu tidak menjawab dan hanya mengangguk.

********

Di kesempatan kedua yang diberikan biksu tua, Wang Songrui kini harus menyalin semua buku dan kitab-kitab yang tersusun di sekian banyak rak kayu.

Persyaratan ini segera disetujuinya.

Seharian penuh, Songrui tak berhenti menyalin hingga hanya sesekali beristirahat untuk membasahi tenggorokkan dan meregangkan tubuh.

Bahkan, setelah berhari-hari dia di dalam sana, Songrui seolah tak mengenal waktu. Ia terus menyalin dan tak mau membiarkan rasa pegal serta kantuk membuang waktunya.

Sudah ada beberapa tumpukan kitab dan buku yang disalinnya.

Songrui bernapas lega karena sudah hampir setengah dari rak buku telah diselesaikan, namun saat menoleh ke lembaran yang baru saja selesai disalin, matanya memaku.

“Kenapa kosong?” tanya Songrui.

Namun, ia menggelengkan kepalanya cepat. Songrui merasa dirinya terlalu kelelahan hingga melewatkan satu lembaran kertas itu.

Hanya saja, setelah selesai menyalin kembali di kertas kosong itu, salinan sebelumnya menjadi kosong tak bertulisan.

“Lagi?”

Songrui mengucek matanya, memastikan.

Merasa ada yang tak beres, Wang Songrui lantas memeriksa semua salinan yang telah selesai, dan benar saja semua tumpukan kertas itu bersih tanpa goresan tinta.

Hal ini membuat Wang Songrui sedikit kesal dan menemui biksu tua.

“Biksu tua, aku….”

“Aku memintamu menyalinnya bukan hanya menuliskan kembali di atas kertas,” ucap sang biksu seolah tahu apa yang akan ditanyakan Songrui.

“Aku tidak paham maksud biksu tua.”

Biksu tua tak berucap hanya menunjuk ke arah dahi Wang Songrui lalu ke arah dadanya.

“Maksud biksu tua aku harus mengingatnya?” Songrui membulatkan mata, “se-sebanyak itu?"

Anggukan kepala sang biksu tua tak bisa dibantah.

Wang Songrui segera kembali ke dalam gudang kitab dan buku sambil tertawa bodoh.

Memikirkan ada begitu banyak tulisan yang harus masuk ke dalam memori otaknya membuat semangat sedikit memudar. Akan tetapi, mengingat tantangan ini jauh lebih mudah dibandingkan berada di medan perang, Songrui berusaha merilekskan sedikit pikirannya.

Perlahan, ia memulai kembali ‘tugasnya’.

Benar saja, setiap tulisan yang disalin tidak akan menghilang setelah dia berhasil mengingatnya.

Hal ini terus dilakukan meski sedikit lama dan sangat memeras otak.

Lama-kelamaan, Songrui mulai terbiasa dan menikmatinya.

Keheningan di sekitar membawa ketenangan bagi Songrui dalam menyalin serta menyimpan semua tulisan di dalam ingatannya.

Ia kembali tak mempedulikan waktu.

Barulah ketika tangannya menyentuh meja, ia sadar semua kertas sudah selesai ia salin.

******

“Kau sudah menyelesaikannya? Secepat itu?” Sontak biksu tua keheranan.

Dia menguji Wang Songrui dengan menanyakan beberapa kalimat panjang di kitab, dan tak menyangka semua yang diucapkan Wang Songrui sangat tepat, tak ada kekurangan kata atau tambahan kata.

“Baik! Kau memang sangat berbakat, Xiong Rui. Niatmu sangat kuat. Aku akan membantumu,” ucap biksu tua mengulurkan benda kecil di telapak tangannya.

Tanpa ragu, Songrui mengambil token kayu berbentuk pedang.

Pemuda itu senang karena bisa menjadi murid dari biksu tua. Ia merasa token ini mungkin adalah hadiah atau semacam tanda hubungan guru dan murid.

Hanya saja, senyum di wajah Songrui menghilang begitu mendengar ucapan biksu tua selanjutnya.

“Tapi, aku tidak bisa menerimamu sebagai muridku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status