Mendengar kalimat itu, Wang Songrui tersenyum.
Dia tidak sepolos yang mereka kira.
Sudah pasti ini adalah jebakan dari ketiga murid itu. Meski belum pasti akan mengalahkan mereka, tapi tak akan dia biarkan dirinya dijadikan mainan seenak hati.
“Serang!”
Ketiga murid mulai menyerang Wang Songrui secara bersamaan.
Meski beberapa kali Songrui mampu menghindar dan membalas serangan mereka, tapi dengan kemampuan tenaga dalam ketiga murid itu, Songrui mulai kewalahan.
BUK! BUK! BUK!
Songrui berakhir dihajar habis-habisan.
Namun, ia tak mau membiarkan dirinya terluka tanpa membalas melukai salah satu dari mereka. Sayangnya, Songrui tidak bisa.
“Menyerahlah. Jurus yang diajarkan guru sampahmu tak mampu mengalahkan kami.”
“Hahahaha….!"
“Dia pasti malu memiliki murid sepertimu!”
Ketiga menertawai dan memaki Songrui.
Namun, ia tak bisa menerima ketika gurunya pun dihina dengan kejam oleh mereka.
Songrui yang sedari tadi menahan emosi, seketika meledak. Ia pun berdiri, menyapukan telapak tangannya di bibir yang mengeluarkan darah.
Meski meridiannya telah rusak, tapi sedikit tenaga dalam masih tersisa di dalam tubuhnya.
Sebagai seorang jenderal perang, kemampuan berperang dan aura membunuh terpancar tidaklah hilang semua.
Perlahan, tawa ketiga murid itu menghilang. Ketiganya bahkan saling menatap ragu.
Begitu energi yang tersisa di dalam tubuhnya dikumpulkan, Songrui mulai membentuk bulatan cahaya di telapak tangan.
Dengan ekspresi geram, ia bergerak cepat ke depan dan memukul salah satu murid tepat ke bagian dada.
BUK!
Murid yang mendapat pukulan terpental ke belakang dan tergeletak ke tanah dalam keadaan tak bernapas lagi.
Kedua murid yang melihat adegan itu terdiam sejenak, hingga akhirnya memeriksa kembali keadaan temannya.
“Sampah! Berani sekali kau dengan kami!” ucap salah satu murid yang tampak lebih tua.
“Hahahaha … katailah aku sesuka kalian. Tapi, siapa pun yang menghina guruku, akan aku buat dia merasakan ilmu yang diajarinya!”
Selesai berucap demikian, Songrui tersungkur ke tanah. Ia bahkan menyemburkan gumpalan darah dari mulut. Wajahnya menjadi pucat seakan energi kehidupannya telah habis.
Melihat keadaan Songrui tersebut, kedua murid–yang tadinya takut–menggunakan kesempatan ini membalas kematian temannya.
Mereka lantas menghajar Songrui, menendang, dan memukulnya, hingga babak belur.
Ketika napas Songrui mulai hilang, murid yang bertubuh tinggi segera menghalangi temannya.
Dengan tangan mengepal, ia berkata, “Jangan membunuhnya! Kita harus membawa dia ke hadapan guru untuk mempertanggung jawabkan kematian adik seperguruan.”
Murid satunya pun mengangguk.
Songrui segera diseret mereka seperti karung pasir.
BUK!
Hanya saja, tiba-tiba keduanya dipukul dari belakang, hingga tak sadarkan diri. Tubuh Songrui pun diambil oleh sosok misterius tersebut.****
Wang Songrui tersadar kembali.
Ia sempat berpikir dirinya akan tergeletak di jalanan atau mungkin dikurung di perguruan tadi. Namun, ia syok begitu melihat sosok biksu tua yang duduk bermeditasi.
‘Tunggu … bagaimana ini bisa terjadi?’ batin Songrui berpikir.
Cukup lama pemuda itu diam sambil memerhatikan biksu tua. Apakah selama ini jalan keluar telah ada di depan mata, tapi dia tak menyadarinya?
“Biksu tua?” Songrui akhirnya memberanikan diri untuk memanggilnya. Namun, panggilan Songrui tak dijawab.
Hal ini lantas membuat pemuda itu beranjak dari tempat tidur meski menahan rasa sakit di dada.
Hanya saja, biksu tua benar-benar tak merespon panggilan berulang kali dari Wang Songrui, hingga ia memilih duduk di depan biksu tua dan memperhatikan begitu lama.
Songrui mencoba menyentuh pakaian sang biksu. Namun sebelum ujung jemari menyentuh pakaian, suatu energi mendorong tubuhnya hingga terenyak ke belakang.
Bruk!
Wang Songrui terkejut. Dilihatnya tulisan bercahaya emas mengelilingi tubuh sang biksu, seperti sebuah mantra yang melindungi diri.
“Hebat!” gumam Wang Songrui menatap kagum. Dia memperhatikan tulisan yang mengelilingi sang biksu, tapi sayang semua kalimat yang tertulis tidak bisa dipahami.
Lama-kelamaan, tulisan bercahaya emas memudar.
Biksu tua juga perlahan membuka matanya.
Songrui tidak membuang kesempatan. Dengan cepat, ia berseru, “Biksu tua, tolong terima aku menjadi muridmu!”
Tidak ada jawaban dari Biksu Tua.Lama menunggu jawaban, akhirnya Wang Songrui memberanikan diri mengangkat wajah.Hanya ada ekspresi datar di wajah sang biksu. “Xiong Rui, menjadi muridku bukanlah hal yang mudah. Ada syarat yang tak akan sanggup kau lakukan.”Deg!Songrui terkejut mendengar ucapan lelaki tua itu. Namun, tekadnya tak luntur.Dengan tegas, Songrui pun membalas, “Aku sanggup!”Ekspresi datar sang biksu tidak menghilang sembari berkata, “Beristirahatlah. Setelah kau pulih, aku menunggumu untuk menepati perkataanmu!******Sepanjang mata memandang, hanya lautan rerumputan hijau menyapa.Angin sejuk bertiup pelan. Udara yang dihirup menyegarkan saluran pernapasan.Wang Songrui pun memantapkan langkah ke depan, mendekati biksu tua yang berdiri membelakanginya.Biksu tua lantas membalikkan badan lalu mengibaskan lengan, beriring perisai disekitar tubuh Wang Songrui mengelilinginya.“Hanya dengan membersihkan hati dan menjernihkan pikiran, kau akan kuterima sebagai muridku.”
Mata Wang Songrui terbuka lebar. Ia tampak begitu panik. “Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?” Biksu tua itu menggeleng. “Bukan,” ucapnya tegas, “menjadikanmu muridku, hanya akan menghalangi tujuanmu. Jadi, aku akan merekomendasikanmu di salah satu perguruan, kau akan diterima di sana.” Wang Songrui terdiam. Cukup lama ia berpikir, bahkan tidurnya pun tak nyenyak. Namun, akhirnya Songrui tetap berangkat ke perguruan yang dimaksudkan biksu tua. Dalam perjalanan, rasa semangat kembali timbul meski Songrui harus melewati hutan, sungai, hingga berhari-hari. Namun setelah sampai di sana, bayangan perguruan yang selama ini dipikirnya adalah perguruan berkualitas ternyata hanyalah angan-angan. “Apa benar ini tempatnya?” Mata Songrui memperhatikan bangunan tembok yang sudah tua dan retak di dinding. Apalagi, saat hendak mengetuk pintu gerbang, ternyata pintu tak terkunci. Begitu masuk ke dalam, bahkan tak ada satu pun yang menyambut kedatangannya. WUSS!Kepulan asap di bagian belak
“Jadi … jangan berani mengganggunya saat sedang tidur. Yang jadi masalah adalah, dia suka tidur di tempat yang tidak akan bisa kamu duga.”Belum sempat Wang Songrui bertanya, jawaban dari Haoyoun telah membuatnya kecewa. Setelah dia melewati masa kritis dan berkesempatan hidup lagi, tidak pernah Songrui merasa frustasi seperti ini.Ada apa dengan biksu tua sampai membuatnya masuk ke perguruan luar biasa aneh ini?Rasanya, ia ingin marah. Namun, mengingat kebaikan biksu tua, rasanya tak mungkin pria itu hanya mempermainkannya. Perlahan, Songrui menarik napas. Alih-alih marah, dia justru bertanya dengan tenang, “Lalu, bagaimana ketiga guru mengajari kalian?”Untungnya, Kakak keduanya ini tampak masih antusias menjelaskannya. Dia bahkan menatap Songrui dengan tatapan berbinar. “Jangan khawatir, beberapa hari lagi semua guru akan berkumpul di aula untuk memberikan pelatihan. Kebetulan karena ada ketambahan satu murid, mereka pasti akan senang.”Brak!Percakapan mereka terhenti ketika m
Kedua pasang mata tertegun melihat dua titik putih dan satu titik putih yang ada di atas ketiga dadu masing-masing. “Hebat!” Haoyun menggeleng takjub lalu melirik ke arah sang guru yang masih terpaku sambil menahan tawa dan berucap, “Guru … kau? Kau kalah!” Ekspresi sang guru saat ini menyiratkan bahwa sangat mustahil dia dikalahkan oleh seorang bocah yang baru beranjak dewasa. “Bagaimana kau bisa menebaknya?” tanya sang guru memandang serius. Songrui menundukkan wajahnya, merendahkan diri. “Terima kasih karena guru sudah bermurah hati mengizinkanku menebaknya terlebih dahulu. Jika tidak, maka kemenangan ini tentu akan menjadi milik guru,” jawabnya dengan senyum kecil di sudut bibir. "Hahahaha...." Sang guru memaksakan tawa mendengar ucapan Songrui. Pria itu bahkan melambaikan tangan ke depan seolah mengabaikan kekalahannya. “Tidak masalah. Sebagai seorang guru, tentu saja aku tidak boleh mempersulit calon muridku. Benar bukan, Haoyun?” tanyanya melemparkan pandangan ke arah Haoy
Songru segera mempelajari sedikit demi sedikit setiap gerakkan dan ayunan pedang yang tertulis di buku. Untuk mempelajari tanpa menyalurkan energi ke dalam pedang, memang sangat mudah. Hanya saja, kekuatan yang ada tak akan terlalu berpengaruh pada musuh yang memiliki basis energi dalam tubuh. Sudah sebulan ini, Songrui tak henti mempelajari gerakan yang tertulis di buku, hingga akhirnya berhasil menguasai dan memahami setiap jurus yang ada. Namun, hal itu justru mendorong keinginan untuk mencoba menyalurkan energi lewat pedang. “Aku bisa! Kali ini harus mencobanya!” tekadnya WUSH! “Akh!” Songrui segera terbatuk mengeluarkan darah. Lututnya tertekuk ke tanah dengan pedang di tangan menopang tubuh agar tidak terjatuh. Bukan berhasil, ia justru hampir mencelakai dirinya karena mencoba memaksakan diri. Meridiannya masih belum mengelola energi. “Adik Xiongrui!” Teriakan Haoyun--sang kakak seperguruan--membuat Songrui segera membersihkan noda darah di bibirnya. “Kau baik-baik
"Kalian ingin mengikuti turnamen pendekar?” Wajah kedua guru tampak ragu memandang ketiga murid yang ada di depan mereka. “Ini tidak ada hubungannya dengan kedua Kakak seperguruan. Hanya aku sendiri yang menginginkan mengikuti turnamen ini.” “Adik Xiongrui, kami—” “Tidak apa-apa, Kakak pertama, Kakak Haoyun. Ini kemauanku sendiri, kalian jangan memaksakan diri untuk mengikutiku,” sela Songrui tersenyum kecil. “Kalau memang kau sudah memutuskan, maka pergilah. Gurumu juga tak tahu berada di mana, dan pastinya dia tidak akan melarangmu!” jelas guru pemabuk dengan santai sambil meneguk arak yang baru saja dibeli. Seperti perkataan Haoyun di awal Songrui tiba di perguruan, ketiga guru memang tidak akan melarang setiap murid dalam keputusan apa pun. Tanpa beban, Xiongrui pun berpamitan dengan kedua guru dan kedua kakak perguruannya setelah selesai berkemas. Namun, baru saja langkah kaki melewati pintu gerbang, Haoyun memanggilnya. “Kakak pertama, Kak Haoyun, kalian tidak perlu m
Begitu menjauh dari desa, Songrui mendapati dirinya digendong oleh seseorang. Ketika menengok, wajah seseorang yang dikenali membuat Songrui tak nyaman. “Guru, turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri,” ucap Songrui dengan suara melemah yang akhirnya mendapat penolakan dan bentakkan dari guru misterius. “Berbicara saja kau hampir tak mampu, masih bilang mau berjalan sendiri!?” “Guru, a-aku, ma-maafkan aku.” “Siapa yang kau panggil guru!? Aku bukan gurumu! Diamlah jika tidak ingin kulempar dari sini!” Songrui tak berani lagi berucap mendengar ucapan guru misterius. Diliriknya lagi ke samping kiri dan kanan sebelum kesadarannya benar-benar menghilang. Guru pemabuk dan guru judi juga melakukan hal yang sama terhadap kakak pertama dan Haoyun. ****** Ketika tersadar, Songrui mendapati dirinya telah berada di dalam kamarnya. Dia termenung saat baru beranjak dari tempat tidur. “Aneh?” Alis keningnya mengernyit beriring kedua tangan meraba beberapa bagian tubuhnya sendiri. Semua
“Xiongrui!” Keberadaan Songrui diketahui sang guru entah bagaimana caranya. Mau bersembunyi pun, sudah terlambat.Songrui lantas keluar dari balik batu besar. Ia melangkah ragu sambil memasang wajah canggung. Air terjun terlihat kembali mengalir. Dan perlahan, angin sejuk membiaskan air, hingga mengenai kulit wajah Songrui. Sang guru pun mulai terbang--mendekati Songrui setelah menyelesaikan ritualnya “Guru, bolehkah aku bertanya?” Alih-alih meminta maaf karena telah membuntuti sang guru, Songrui justru bertanya. Ia lebih tertarik mencari tahu tentang identitas asli dan jurus rahasia yang digunakannya. "Jurus yang digunakan tadi, apakah itu ‘seratus pedang bayangan?’“ tanyanya lagi, “Di dunia ini, setahuku, hanya satu orang yang bisa menggunakannya. Apakah guru adalah pendekar legenda itu?” Mata Songrui masih berbinar, menatap sang guru penuh harap. Semoga, jawaban yang akan dia dengarkan, sesuai dengan dugaannya. Sang guru menarik napas panjang seolah pasrah harus menjawab