Share

Ramuan Aneh Penyiksa Tubuh

Secercah cahaya menggantikan kegelapan. 

Kelopak mata Songrui yang tadinya tertutup, bergerak ke kiri dan ke kanan. 

Perlahan sepasang matanya terbuka. Wang Songrui sadar di bawah sinar matahari yang hangat.

“Di mana ini? Apa aku sudah mati? Ada apa dengan tubuhku?”

Songrui kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. 

Bukankah dia seharusnya sudah meninggal menjadi makanan hewan liar? 

Songrui mencoba mencari jawaban lewat apa yang dilihat. Namun, pemandangan beberapa lilin yang terletak di setiap sudut ruangan, tidak dapat membantunya.

Begitu merasakan sesuatu yang membungkus lembut seluruh tubuhnya, Songrui berupaya untuk berdiri. 

Sayangnya, leher, kaki, dan badannya tak bisa digerakkan. Hanya lengan tangannya yang bisa digerakkan. Itu pun harus dengan upaya keras. 

Begitu berhasil, Songrui pun mengangkat tangan dan melihat bungkusan kain putih menutupi seluruh tangannya.

Samar-samar, saat dirinya tak sadar, ia sempat mendengarkan bunyi mangkuk dan suara seseorang yang menyuruhnya menelan cairan berbau aneh.

Tiba-tiba, ia melihat cahaya terang muncul dari arah samping bersamaan dengan siluet seseorang yang terpantul di dinding ruangan. Songrui lantas menurunkan kembali tangannya dengan cepat dan menutup mata.

Drap! Drap! Drap!

Suara langkah kaki perlahan mendekat. Songrui dapat merasakan orang tersebut berhenti di sisinya. 

Tak lama, cairan aneh yang terasa hangat lagi-lagi masuk melalui mulutnya. Tanpa bisa menolak, tenggorokkan Songrui langsung menelannya.

Setelah selesai menghabiskan begitu banyak cairan aneh, Songrui dapat mendengar langkah kaki orang asing tersebut menjauh. Cahaya terang mulai menghilang dan pintu pun tertutup. 

Lama Songrui bertahan di posisinya, hingga perlahan ia membuka matanya. 

Namun, tak disangka, seseorang yang dipikirnya telah pergi, ternyata berdiri di sudut ruangan dengan menatapnya–seolah sudah mengetahui sandiwara Songrui.

“Terima kasih Tuan sudah menyelamatkan nyawaku,” ucap Songrui mendadak untuk menghilangkan rasa canggung.

Lelaki yang ada di sudut ruangan hanya diam. Ia lalu menyalakan sebatang lilin lagi dan mendekat ke arah Wang Songrui. 

Dengan tegas, pria berpenampilan biksu itu pun berkata, “Aku hanya melakukan tugasku. Jika takdir mengharuskanku menolongmu, aku tidak akan menyesal. Siapa kamu di masa lalu, tidak akan berpengaruh pada keputusanku sekarang!” 

Songrui menatap pria tua di hadapannya bingung. “Bagaimana jika kau menolong orang yang salah? Bagaimana jika orang yang kau selamatkan ini adalah seseorang yang membunuh gurunya sendiri? Penjahat di dunia persilatan dan penjahat di dalam kerajaan?”

“Jadi … menurutmu, aku sudah salah karena ternyata menolong orang yang membunuh gurunya sendiri?” tanya sang biksu.

“Tidak! Aku sama sekali tidak membunuh guruku! Bagaimana mungkin aku membunuh orang yang membesarkanku, mendidikku, mengajariku, dan menyuapiku makanan dengan tangannya sendiri?!” Tanpa sadar, air mata Songrui tak terbendung. Ia mengeluarkan segala beban di hatinya.

“Tuan, aku tidak ingin meninggal sebelum membalas kematian guruku! Aku ingin hidup dan mencari siapa pelaku yang membunuh guruku!” ucapnya lagi.

“Aku bukan Tuanmu, jangan panggil aku Tuan. Panggil saja, biksu tua.” Sang biksu lalu membalikkan badan. Namun, ia tiba-tiba berucap, “Mengenai aku bisa menyembuhkanmu atau tidak, itu tergantung pada niat hatimu dan takdir. Bersiaplah! Besok aku akan memberimu ramuan rahasia. Berhasil atau tidak, serahkan semuanya pada takdir!”

Wang Songrui memejamkan mata. 

Ia mengenang kembali bayangan masa lalu saat bersama dengan sang guru. 

Meski dari perkataan biksu tua semuanya tergantung takdir, tapi ada kekuatan di dalam diri yang mendesak dia mendorong Songrui untuk tetap hidup dan mencari keadilan untuk sang guru.

Keesokkan harinya biksu tua masuk ke dalam ruangan dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya ada mangkuk berisi cairan.

Cairan aneh dimasukkan ke dalam mulutnya. 

Semenit ketika dia menelan habis semangkuk cairan, rasa hangat berangsur menjadi panas yang  membakar tenggorokan, hingga menjalar ke organ dalam tubuh.

“Apa yang terjadi? Cairan apa yang biksu tua berikan?” gumam Songrui bingung.

Ia merasa mendengar biksu tua tersebut berkata sesuatu, tetapi Songrui tidak dapat menangkapnya dengan jelas. 

Rasa panas yang ada di dalam tubuhnya benar-benar tak tertahankan. 

Hanya satu kalimat yang jadi fokus Songrui. Selama dia bisa bertahan di tahap ini, maka tahap kedua akan diberikan. 

Meski tidak kuat, Songrui yang mendengarnya, lantas memaksa untuk segera meminum ramuan tahap kedua.

“Apa kau gila?! Jika sampai kau tak tahan dengan reaksi ramuan tahap kedua dan sampai pingsan, maka sia-sia sudah ramuan obat yang kau minum selama enam bulan ini!”

‘Enam bulan?’ batin Songrui terkejut. Ia tahu ia sadarkan diri cukup lama, tapi sampai selama itu? 

Peringatan biksu tua itu entah mengapa jadi menguatkan tekad Songrui. Setidaknya, dia harus segera mencoba pengobatan ini dan tidak menunda lebih lama.

“Kumohon. Berikan ramuan kedua.”

“Baiklah.” Biksu tua itu menyetujui permintaan pemuda itu meski sambil menggeleng melihat tekadnya yang luar biasa.

Diberikannya ramuan cairan yang kedua, hingga perlahan, ramuan kedua tertelan di tenggorokan mantan pahlawan perang ini. Songrui memaksakan dirinya. Ia mensugesti diri bahwa ramuan ini hanyalah air panas, yang panasnya pasti akan hilang seiring waktu berjalan–meski perih.

Hanya saja, itu tak semudah yang Songrui kira.

Kini, ia merasakan seperti menelan bara api yang membakar seluruh organ tubuh. Tanpa sadar, seluruh tubuhnya bergoncang sendiri.

Pandangan mata Wang Songrui mulai kabur. 

“Jangan menutup mata!” perintah biksu tua cepat.

Mendengar itu, kelopak matanya yang terasa berat, dipaksa Songrui untuk terbuka.

Ia memaksakan diri untuk sadar dengan mengingat kembali bagaimana kematian sang guru, serta bagaimana semua orang memperlakukannya. 

Di dalam ruang yang hanya diterangi beberapa cahaya lilin, Songrui berjuang nyawa menahan reaksi dahsyat ramuan obat. 

Sejam penuh ia menahan rasa membakar di dalam tubuh. Bahkan, ia dapat melihat asap keluar dari sela-sela balutan kain berwarna putih yang membungkus dirinya.

“Arggh!” Mata Wang Songrui membulat bersamaan dengan teriakan yang keluar dari mulutnya. 

Sekarang, panas telah naik ke atas serasa ingin memecahkan kepalanya. Ia merasa perih di sekujur kulit tubuhnya.

Ketika reaksi ramuan obat sedikit menghilang setelah sejam, Songrui mulai merasa lega. Namun, ternyata pengobatan belum berakhir.

Biksu tua itu keluar dan kembali masuk sembari membawa seember air berwarna coklat bercampur dedaunan dan akar. 

“Ini tahap ketiga ramuan,” ucapnya tegas. 

Perlahan, cairan disiramkan sedikit demi sedikit hingga membasahi tubuh. 

Rasa panas yang dirasakan Songrui menjadi hangat. 

Di menit berikutnya, ia merasa sejuk. Akan tetapi, ia tak menyangka kesejukkan itu malah berubah menjadi dingin hingga terasa menusuk sampai ke tulang.

“Ini adalah proses terakhir untukmu, Wang Songrui. Setelah ini berakhir, kau akan mendapatkan hidup baru!” Sama seperti sebelumnya, biksu tua meninggalkan ruangan lagi setelah selesai mengatakannya.

Songrui tidak tahu cara pengobatan aneh seperti apa yang dia lewati. Yang jelas, ia merasa dipermainkan ramuan obat. Baru saja merasakan panas bagai terbakar, kini harus menghadapi ribuan duri es yang menusuk tulang hingga sampai ke sumsum. 

Bahkan dalam waktu singkat, alis kening dan bulu matanya telah membeku dan membentuk salju. 

Embusan napasnya pun mengeluarkan uap dingin bukannya hangat.

********

Setelah beberapa saat dalam ketidaksadaran, Songrui perlahan membuka mata perlahan. Namun, dia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.

“Tubuhmu mampu menerima efek ramuanku. Luar biasa! Aku bahkan tak yakin kau akan selamat di tahap ketiga,” ucap sang biksu tiba-tiba. 

Pria tua itu tampak kagum sambil menganggukkan kepala beberapa kali.

Hanya saja, Songrui tidak menjawab. Rasa aneh di tubuhnya terus menjalar, hingga akhirnya ia berteriak panik, “Ada apa dengan tubuhku?” 

Sebelum biksu tua itu menjawab, Wang Songrui spontan menuju ke sebuah cermin.

Ia pun mengambil lilin untuk menambah pencahayaan. 

Namun, begitu ia melihat pantulan cermin, matanya membulat besar. “Wajahku!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Artha Galery
mantap tor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status