Daun-daun kering berderak di bawah langkah kaki mereka. Napas Kiran membentuk uap tipis di udara dingin saat ia memimpin kelompoknya melalui rimbunnya pepohonan.Tiga hari telah berlalu sejak mereka berhasil lolos dari kejaran tentara Qingchang. Tiga hari penuh kewaspadaan, bersembunyi di siang hari dan bergerak hanya saat malam tiba."Berapa lama lagi kita harus berjalan seperti ini?" tanya Jasper, suaranya serak karena jarang digunakan. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak lelah dengan lingkaran hitam di bawah matanya.Kiran berhenti sejenak, mengeluarkan peta pemberian Lila dari dalam jubahnya.Peta itu sudah kusut di bagian lipatannya, namun tanda-tanda dan rute yang digambarkan masih jelas terlihat. "Menurut peta ini, kita masih perlu menyeberangi dua hutan lagi sebelum mencapai Kota Begonia.""Tujuh hari perjalanan lagi, kalau kita beruntung," tambah Pigenor, mata elfnya yang tajam menelusuri jalur di depan mereka. Rambutnya yang keperakan berkilau lembut di bawah s
Reruntuhan kuil itu berdiri menyeramkan di tengah kegelapan malam. Pilar-pilar batu yang retak menyangga atap yang sebagian telah runtuh.Dinding-dindingnya penuh ukiran kuno yang sebagian terhapus oleh waktu dan perang. Altar batu di tengah ruangan tertutup lumut tebal, dan patung-patung dewa yang sudah tidak utuh berdiri seperti penjaga sunyi."Kuil Angin Utara," kata Pigenor setelah mengamati ukiran-ukiran di dinding. Jemarinya yang panjang menelusuri simbol-simbol kuno dengan penuh penghormatan. "Dibangun oleh Suku Devahari sebelum Kekaisaran Hersen menguasai wilayah ini.""Suku Devahari?" Mata Kiran melebar. "Suku yang kita cari di Zolia?"Pigenor mengangguk. "Ya. Mereka pernah menjelajahi seluruh Benua Ayax sebelum Perang Besar. Kuil-kuil seperti ini adalah bukti kehadiran mereka.""Apakah aman untuk bermalam di sini?" tanya Emma, matanya menyapu area sekitar dengan waspada."Lebih aman daripada di luar," jawab Jasper, sudah mulai mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membua
Angin malam bertiup dingin, membawa aroma daun basah dan tanah lembab. Bulan purnama mengintip di balik awan-awan gelap, menyinari medan pertempuran yang akan segera tercipta.Kiran menatap Eve Whitehouse yang berdiri congkak di atas kapal roh megah berlambang naga perak. Jubah hitamnya berkibar ditiup angin, mata violetnya berkilat penuh kebencian. Ribuan pemanah telah mengepung mereka dari segala arah, anak panah siap dilepaskan.Kiran mengeratkan genggamannya pada Crimson Dawn—pedang yang baru ditemap. Permata merah di pangkalnya berdenyut lemah, seolah merasakan kemarahan pemiliknya."Kita tidak punya pilihan," ucap Kiran dengan suara rendah, aura keemasan mulai menyelimuti tubuhnya. "Kita bertarung."Jasper—manusia serigala dari klan Silverback—mengangguk di sampingnya. Matanya berkilat keemasan dalam kegelapan, taringnya mulai memanjang. "Sudah waktunya berhenti berlari."Tanpa peringatan lebih lanjut, Kiran melompat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan. Kakinya mendorong
Di atas tembok, pertarungan Kiran semakin sengit. Cambuk apinya bergerak dalam pola rumit seperti tarian kuno para Penguasa Api, menangkis serangan demi serangan dengan presisi sempurna.Jejak keemasan tertinggal di udara setiap kali cambuknya bergerak, menciptakan pola indah yang mematikan. Namun, melawan lima penyihir tingkat tinggi sekaligus bukanlah pertarungan yang seimbang, bahkan untuk seseorang dengan kekuatan seperti Kiran.Pengendali air—wanita bertopeng perak dengan rambut biru bergelombang—mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Rune-rune air bersinar di pergelangan tangannya."Aqua Titanius!" serunya, suaranya bergema seperti ombak menerjang karang.Gelombang raksasa terbentuk dari udara lembab, meninggi hingga sepuluh meter sebelum melesat ke arah Kiran dengan kecepatan mengerikan. Gelombang itu hampir menyapu Kiran dari tembok, dindingnya setinggi dan sekuat baja cair.Kiran berhasil menghindarinya dengan melompat tinggi, tubuhnya berguling di udara dengan keanggunan
Di atas kapal roh itu berdiri sosok yang membuat jantung Kiran seolah berhenti berdetak—Lila, teman lamanya yang memberikan peta jalur rahasia di Pasar Hantu Alphawork tiga bulan lalu. Rambut hitamnya yang panjang berkibar dalam angin malam, matanya yang berwarna merah anggur menatap tajam ke medan pertempuran."Lila?" bisik Kiran, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Tidak mungkin..."Di bawah, Emma melihat ke atas di tengah pertarungannya dan terkesiap. Tangannya yang sedang membentuk mantra air terhenti di udara."Lila! Jadi dia yang mengkhianati kita!""Aku sudah menduganya," geram Jasper, matanya menatap tajam ke arah kapal roh keenam sementara cakarnya menebas seorang prajurit Eve. Darah menodai bulu keabuannya."Dia satu-satunya yang tahu tentang jalur rahasia ini. Baunya selalu mencurigakan."++++Langit malam di atas Tembok Perbatasan kini dipenuhi dengan cahaya dari berbagai sihir yang bertabrakan. Api keemasan Kiran beradu dengan air, angin, petir, dan besi dari para
Di bawah tembok perbatasan yang menjulang, pertarungan semakin sengit. Emma mulai kewalahan, lingkaran-lingkaran rune biru di pergelangan tangannya berkedip lemah saat sihir airnya melemah seiring dengan stamina yang terkuras.Jubah birunya yang basah menempel di tubuhnya, robek di beberapa bagian akibat serangan musuh. Chen, sang tabib berbakat, terus mengirimkan gelombang energi penyembuhan keemasan dari telapak tangannya, namun ia juga mulai tampak pucat dan lelah, keringat dingin membasahi dahinya."Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi!" teriak Emma, tubuhnya berguling ke samping dengan gerakan anggun untuk menghindari serangan dari tiga pemanah sekaligus. Anak-anak panah api menancap di tanah, meninggalkan bekas terbakar yang mendesis.Pigenor, sang Elf pemanah yang biasanya tenang dan terkendali, kini terlihat khawatir. Jari-jarinya yang panjang dan elegan meraba wadah anak panahnya yang hampir kosong.Busur kayunya yang diukir dengan rune-rune kuno berkilau lemah di bawah c
Emma menatap ke sekeliling, pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Matanya tertuju pada aliran air yang berkilau di kejauhan—Sungai Cermin yang mengalir di bawah tembok perbatasan, satu-satunya bagian dari penghalang sihir yang memiliki celah."Kalian pikir bisa mengalahkanku dengan api?" Emma tertawa, suaranya lebih percaya diri dari yang ia rasakan. Dengan gerakan memutar kedua tangannya dalam lingkaran sempurna, ia menarik kelembaban dari udara dan tanah di sekitarnya, menciptakan kabut tebal yang dengan cepat menyelimuti area pertempuran."Di mana dia?" teriak salah satu pengendali api, matanya menyipit berusaha menembus kabut yang semakin tebal. Mereka menciptakan api lebih besar, namun justru membuat kabut semakin tebal karena panas yang mengubah air menjadi uap.Memanfaatkan penghalang visual yang ia ciptakan, Emma berlari sekuat tenaga menuju Sungai Cermin, kakinya yang terlatih melompati bebatuan dan reruntuhan dengan ketepatan seorang penari.Saat mencapai tepi sungai, ia
Pigenor, dengan ketenangan khas Elf, mengamati situasi dari atas pohon. Teman-temannya telah berpencar, dan kini giliran dirinya untuk menemukan jalan keluar.Namun, alih-alih menuju Zolia seperti yang lain, Pigenor memiliki rencana berbeda yang lebih berisiko namun menjanjikan."Terkadang, jalan teraman adalah kembali ke sarang musuh," gumamnya, melafalkan mantra kuno dalam bahasa Elf yang membuat tubuhnya perlahan menyatu dengan pohon.Kulitnya berubah menjadi seperti kulit kayu, dan rambutnya menyerupai dedaunan. Dalam wujud ini, ia bergerak turun dari pohon, berjalan melewati pasukan Qingchang yang bahkan tidak menyadari kehadirannya.Alih-alih menuju tembok perbatasan, Pigenor bergerak ke arah berlawanan, kembali ke dalam wilayah Qingchang.Tujuannya adalah Kota Xianyang, pusat perdagangan besar yang ramai dan penuh kesempatan untuk mengumpulkan informasi yang berharga bagi perjuangan mereka.+++Di langit, pertempuran sengit masih berlanjut. Eve Whitehouse, dengan wajah penuh am
Jasper bisa merasakan kekuatan sihir yang mengalir dari tongkat itu, berbeda dari sihir yang ia kenal, lebih liar dan terikat dengan alam."Mendekatlah, anak muda," perintah Patriark dengan suara dalam yang bergema di dalam tenda.Jasper melangkah maju, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan. Udara di dalam tenda terasa berat dengan energi, membuat kulitnya meremang."Siapa namamu?" tanya Patriark."Jasper," jawabnya. "Dari Klan Moonfire.""Klan Moonfire telah musnah bertahun-tahun lalu," kata pria tua dengan tongkat berukir—yang Jasper duga adalah dukun klan. "Dibantai oleh Klan Stormhowl dalam Perang Bulan Berdarah."Jasper menundukkan kepala, berpura-pura sedih."Tidak semua dari kami terbunuh. Beberapa berhasil melarikan diri dan hidup tersembunyi. Keluargaku adalah salah satunya." Ia mengangkat wajahnya, memperlihatkan luka-luka di tubuhnya. "Tapi mereka akhirnya menemukan kami. Aku satu-satunya yang selamat."Patriark menatapnya lama, seola
Jasper terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya yang terbaring di atas dedaunan lembap.Selama beberapa saat, ia hanya menatap kanopi pohon-pohon tinggi yang menghalangi langit, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang tercerai-berai.Sudah berapa lama ia berlari? Tiga hari? Empat? Waktu terasa kabur sejak pertempuran mematikan di tembok perbatasan Qingchang dan Zolia.Ingatan tentang serangan itu masih segar dalam benaknya: teriakan Emma, mantra-mantra Chen, dan tatapan terakhir Kiran sebelum mereka terpisah dalam kekacauan. Bayangan api dan asap masih menari di belakang kelopak matanya setiap kali ia memejamkan mata."Aku harus terus bergerak," gumamnya pada diri sendiri, memaksakan tubuhnya yang lelah untuk bangkit. Setiap otot memprotes, menjerit kesakitan setelah hari-hari berlari tanpa henti.Hutan di sekitarnya terasa berbeda dari hutan manapun yang pernah ia masuki. Pohon-pohon menjulang dengan batang segelap obsidian, dedaunan begitu rimbun hingga ha
Emma bergerak cepat namun hati-hati melalui toko yang gelap, mengambil beberapa potong roti dan keju dari dapur untuk perbekalan perjalanan. Ia berhenti sejenak di ambang pintu depan, mendengarkan suara-suara dari luar.Jalanan tampak sepi, namun ia tahu pasukan Hersen berpatroli sepanjang malam, terutama sejak kabar tentang penyusupan di ibukota menyebar.Dengan satu tarikan napas dalam, Emma membuka pintu dan melangkah keluar ke dalam malam. Udara dingin menyapu wajahnya, membawa aroma kristal dan es yang khas Kota Crystalline. Ia menarik tudung jubahnya lebih rendah, menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapapun yang mungkin berpapasan dengannya.Jalanan kota berkilau dalam cahaya bulan, kristal-kristal biru memantulkan sinar keperakan yang menciptakan pemandangan seperti di negeri dongeng.Namun bagi Emma, keindahan itu hanyalah topeng yang menyembunyikan bahaya. Setiap bayangan bisa menyembunyikan penjaga, setiap sudut bisa menjadi tempat penyergapan.Ia bergerak dari satu baya
Suara Madam Elyra memecah keheningan, lembut namun penuh keterkejutan.Emma berbalik perlahan, mendapati wanita tua itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah tidur berwarna biru tua. Wajahnya yang biasanya ramah kini dipenuhi kebingungan dan kekecewaan."Madam," kata Emma, suaranya tercekat. Botol eliksir booster terasa berat di tangannya, bukti pengkhianatannya yang tak terbantahkan."Kau... mencuri ramuanku?" tanya Madam Elyra, matanya beralih pada tas kain yang kini setengah penuh dengan botol-botol ramuan. Suaranya bergetar, bukan oleh kemarahan, melainkan oleh luka pengkhianatan.Emma menelan ludah, merasakan rasa bersalah yang menusuk hingga ke tulang. "Aku bisa menjelaskan.""Menjelaskan apa?" Madam Elyra melangkah masuk ke ruangan, matanya tidak lepas dari tas berisi ramuan curian."Bahwa kau memanfaatkan kebaikanku? Bahwa kau berpura-pura selama ini?""Bukan seperti itu," kata Emma, suaranya hampir memohon. "Aku harus pergi, Madam. Teman-temanku dalam bahaya.""Teman?" Ma
Bulan purnama mengintip dari balik awan tipis, menyinari Kota Crystalline dengan cahaya keperakan yang dingin. Bangunan-bangunan kristal biru berkilau seperti permata raksasa, menciptakan pemandangan yang hampir ajaib di tengah keheningan malam.Di dalam toko alkemis Madam Elyra, Emma duduk tegang di tepi tempat tidurnya, mendengarkan dengan seksama setiap suara di sekitarnya.Detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang bertalu-talu di dadanya. Keputusan telah dibuat. Ia harus pergi ke Zahranar, harus menemukan Kiran dan Roneko. Tidak ada pilihan lain.Emma menunggu hingga suara dengkuran halus Madam Elyra terdengar dari kamar sebelah. Wanita tua itu selalu tidur nyenyak setelah minum teh chamomile favoritnya.Dengan langkah seringan kucing, Emma bangkit dan mengambil tas kain yang telah ia siapkan di bawah tempat tidur."Sekarang atau tidak sama sekali," bisiknya pada diri sendiri.Lorong toko terasa panjang dan mengintimidasi dalam kegelapan. Lantai kayu berderit pelan di
Madam Elyra menatapnya sejenak, seolah menimbang kebenaran kata-katanya, sebelum kembali fokus pada ramuannya. "Ya, ada kemiripan. Alkimia dan sihir adalah dua cabang ilmu yang berasal dari akar yang sama. Keduanya berusaha memahami dan memanipulasi alam, hanya dengan cara yang berbeda."Percakapan mereka terhenti ketika pintu toko terbuka, lonceng kecil di atasnya berdenting nyaring. Dua tentara Hersen berseragam hitam dan merah melangkah masuk, wajah mereka keras dan angkuh."Selamat pagi, Tuan-tuan," sapa Madam Elyra dengan sopan, meskipun Emma bisa melihat ketegangan di bahunya. "Ada yang bisa saya bantu?""Kami membutuhkan ramuan penambah stamina," kata salah satu tentara, suaranya kasar dan tidak ramah. "Yang terkuat yang kau miliki.""Tentu," jawab Madam Elyra, berjalan ke rak di belakangnya. "Saya memiliki elixir stamina tingkat menengah yang baru saja saya buat kemarin."Sementara Madam Elyra melayani para tentara, Emma mundur ke sudut toko, berusaha tidak menarik perhati
Kristal-kristal biru berkilauan memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ribuan pelangi kecil yang menari di sepanjang jalan-jalan Kota Crystalline. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kristal biru menjulang dengan anggun, menciptakan pemandangan yang memukau namun juga mengintimidasi. Di balik keindahan itu, Emma merasakan bahaya yang semakin nyata setiap harinya.Sudah dua minggu berlalu sejak ia terdampar di tepi Sungai Crystalline dan diselamatkan oleh Madam Elyra. Dua minggu yang diisi dengan kewaspadaan konstan dan kepura-puraan yang melelahkan. Dua minggu tanpa kabar tentang teman-temannya, tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau telah tertangkap.Emma berdiri di ambang jendela toko alkemis milik Madam Elyra, matanya mengawasi jalanan dengan seksama. Akhir-akhir ini, aktivitas tentara dan penyihir Hersen semakin meningkat. Hari ini saja, ia telah melihat tiga kelompok penyihir pemanggil api berpatroli di sekitar pasar, jubah merah mereka berkibar seperti lidah api ya
Emma menatap hasil perbuatannya dengan mata kosong. Ini bukan pertama kalinya ia membunuh, tapi rasa berat di hatinya tidak pernah berkurang. Setiap nyawa yang ia renggut adalah beban yang harus ia tanggung, setiap tetes darah adalah noda yang tak akan pernah hilang dari tangannya."Demi misi," bisiknya pada dirinya sendiri, sebuah mantra penghiburan yang semakin kehilangan maknanya setiap kali diucapkan. "Demi harapan."Dengan tangan gemetar, Emma mendorong tubuh-tubuh tak bernyawa itu ke dalam sungai, membiarkan arus deras membawa mereka pergi.Bukti kejahatannya, bukti keberadaannya, terhapus oleh air yang sama yang telah membantunya membunuh.Namun, penggunaan sihir terakhir itu telah menguras habis sisa-sisa energi spiritualnya.Emma merasakan kegelapan mulai menyelimuti pandangannya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ia berusaha bertahan, berusaha tetap sadar, tapi kelelahan dan kehilangan darah akhirnya mengalahkannya.Saat kesadarannya mulai menghilang, Emma merasakan tubuhnya jatu
Air bergemuruh laksana seribu kuda perang menerjang medan laga.Sungai Crystalline, dengan derasnya yang tak kenal ampun, membelah Hutan Terlarang di perbatasan dua kekaisaran besar—Qingchang dan Zolia.Airnya yang jernih berkilau kebiruan bahkan di bawah cahaya bulan, seolah ribuan kristal kecil menari-nari di permukaannya. Sungai ini tidak mengenal batas politik, mengalir bebas menembus tembok sihir yang memisahkan dua kekaisaran, sebuah jalur alam yang menentang kehendak manusia.Di tepi sungai yang berbatu, tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, Emma meringkuk dengan napas tertahan.Darah mengalir dari luka di bahunya, menciptakan aliran merah tipis yang bercampur dengan air sungai yang dingin. Matanya yang biru cerah kini redup oleh kelelahan dan ketakutan, mengawasi gerakan para penyihir dan tentara Qingchang yang menyisir area perbatasan."Cari di setiap sudut!" Suara komandan pasukan Qingchang memecah keheningan malam."Mereka tidak mungkin menghilang begitu saja!"Em