"Dan itulah alasan kau membutuhkan kami," Nirajh menimpali dengan nada kebapakan."Pelatihan dari Suku Devahari dan pengetahuan Klan Phoenix Merah." Ia menghela napas panjang. "Namun, sebelum itu semua dimulai, kita harus memastikan keselamatanmu. Seluruh kota sedang memburumu.""Bagaimana?" tanya Kiran, suaranya hampir berbisik.Sudut bibir William terangkat sedikit, membentuk senyuman yang nyaris tak terlihat."Dengan cara yang paling aman," ujarnya, "tepat di depan mata mereka."+++Lima bulan berlalu sejak insiden di Perpustakaan Nasional Zolia. Kota Zahranar perlahan kembali ke ritme normalnya, meski bayangan kewaspadaan masih menggantung di udara.Perpustakaan yang terbakar kini dalam proses rekonstruksi, dengan perancah-perancah kayu mengelilingi struktur yang gosong. Kisah tentang penyihir api misterius dan makhluk berekor sembilan perlahan memudar menjadi bisikan-bisikan di sudut gelap kota—setengah dilupakan, setengah menjadi legenda.Di jantung Zahranar, tak jauh dari hiruk
Pintu itu membawa mereka ke lorong lain yang berakhir pada tangga melingkar yang menanjak.Mereka menaikinya dalam keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara langkah mereka sendiri. Pikiran Kiran berputar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan, mencoba menyusun kembali kepingan-kepingan masa lalunya dalam cahaya kebenaran baru ini.Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah pintu kayu yang tampak usang, dengan ukiran-ukiran kuno yang hampir tak terlihat di permukaannya.William mengetuk dengan ritme yang jelas telah dihafalkan—tiga ketukan, jeda, lalu dua ketukan lagi.Pintu terbuka tanpa suara, menampakkan ruangan luas yang tersamar sebagai gudang tua. Beberapa orang duduk mengelilingi meja kayu besar, semua mata tertuju pada Kiran saat ia melangkah masuk."Penerus Sang Phoenix telah tiba," ucap William, suaranya kini mengandung penghormatan yang tak pernah Kiran dengar sebelumnya.Seorang pria tua bangkit dari kursinya. Janggut keperakannya berkilau dalam cahaya lilin
Kegelapan lorong sempit menelan Kiran dan Roneko begitu pintu rahasia tertutup di belakang mereka.Udara lembab dan pengap menyergap paru-paru, sementara derap langkah prajurit yang mengejar memudar perlahan, terhalang dinding batu tebal yang menyembunyikan keberadaan mereka.Tangan kuat yang menarik mereka masuk melepaskan cengkeramannya.Sosok tinggi itu bergerak tanpa suara, menutup pintu rahasia dengan gerakan yang menunjukkan keakraban dengan mekanisme tersembunyi.Kiran memicingkan mata dalam gelap pekat. Seberkas cahaya biru pucat muncul dari ujung tongkat yang dipegang penyelamat misterius mereka, menerangi lorong batu sempit yang meliuk jauh ke dalam perut bumi."Ikuti aku," ujar sosok itu dengan suara rendah yang membangkitkan ingatan samar."Dinding di sini meneruskan suara."Tanpa kata, Kiran dan Roneko mengikuti, menyusuri lorong berkelok yang semakin dalam.Tetesan air dari langit-langit batu menciptakan simfoni lembut yang mengiringi langkah mereka. Udara semakin dingin
Pigenor terkejut. Wanita ini mengenalnya."Siapa kau?" tanyanya lembut, sambil memeriksa luka-luka di tubuh wanita itu."Lila," bisik wanita itu, suaranya nyaris tak terdengar. "Letnan... Kekaisaran..."Ingatan Pigenor berputar cepat, mencari nama itu dalam benaknya. Lila... nama itu terasa familiar, tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Terlalu banyak wajah, terlalu banyak nama yang ia temui selama perjalanan bersama Kiran."Kau terluka parah," kata Pigenor, melihat luka bakar hitam di bahu Lila yang semakin melebar. Api hitam Ifrit, ia mengenalinya. Api yang membakar jiwa, bukan hanya daging."Aku akan membantumu."Dengan gerakan cepat, Pigenor merogoh kantung kecil di pinggangnya, mengeluarkan sebutir pil berwarna keperakan. Pil Bulan Perak, obat langka yang hanya dimiliki oleh kaum Elf Putih, mampu menyembuhkan luka paling parah dan bahkan mengembalikan seseorang dari ambang kematian."Telan ini," perintahnya, memasukkan pil itu ke mulut Lila dengan lembut.Lila menelan pi
Pigenor kembali ke penginapan kecilnya dengan hati yang lebih ringan dari berminggu-minggu sebelumnya. Ia mengemas barang-barangnya yang sedikit, menyiapkan ramuan dan jimat perlindungan yang tersisa.Besok, ia akan meninggalkan Xianyang. Besok, ia akan satu langkah lebih dekat dengan teman-temannya.Malam berikutnya tiba dengan cepat. Pigenor menunggu di balik bayangan Gerbang Selatan, jubah hitamnya menyamarkan sosoknya dalam kegelapan. Tepat saat bulan berada di puncak langit, sebuah karavan kecil muncul.Lima kereta barang dengan lambang dagang Farouk, ditarik oleh kuda-kuda kuat."Naiklah ke kereta terakhir," bisik Farouk saat melewati Pigenor. "Tetap tersembunyi sampai kita melewati perbatasan."Pigenor menyelinap ke kereta terakhir, bersembunyi di antara tumpukan kain sutra dan rempah-rempah. Perjalanan dimulai dalam keheningan, hanya suara roda kereta dan langkah kuda yang terdengar di jalanan sepi.Mereka melakukan perjalanan selama tiga hari, melewati desa-desa kecil dan hut
Angin malam berbisik di antara pepohonan, membawa aroma daun basah dan tanah lembap.Pigenor bergerak tanpa suara, setiap langkahnya seringan sentuhan kupu-kupu pada kelopak bunga. Kulitnya yang pucat berkilau samar dalam kegelapan, hampir transparan saat ia memanipulasi cahaya di sekitarnya untuk menyatu dengan bayangan hutan.Sudah tiga minggu berlalu sejak pertempuran di tembok perbatasan Qingchang dan Zolia. Tiga minggu sejak kelompok mereka tercerai-berai seperti daun-daun kering tertiup badai musim gugur.Tiga minggu sejak ia terakhir melihat Kiran, Emma, Jasper, dan Chen.Pigenor menghela napas panjang, merasakan beban kesedihan dan kekhawatiran yang semakin berat di pundaknya. Sebagai Elf Putih, ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki teman-temannya.Kemampuan untuk menyatu dengan alam, berkamuflase hingga menjadi tak terlihat bagi mata biasa, dan menyelinap melewati penghalang yang bahkan dijaga ketat oleh penyihir-penyihir kuat.Kemampuan itulah yang membuatnya berhasil ke
Chen merasakan tubuhnya terhempas melalui ruang dan waktu. Sensasi seperti ditarik dan ditekan dari segala arah, membuatnya tidak bisa bernapas. Dunia berputar dalam kecepatan yang tidak masuk akal, dan kesadarannya mulai memudar."Lila!" teriaknya, tapi suaranya tertelan oleh kekosongan di sekitarnya. Ia berusaha melawan kekuatan teleportasi, berusaha kembali ke tempat Lila berdiri menghadapi kematian, tapi sia-sia. Talisman itu telah mengunci tujuannya, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.Cahaya putih membutakan berubah menjadi berbagai warna yang berputar cepat, lalu mendadak gelap total. Chen merasakan tubuhnya jatuh, jatuh, dan terus jatuh, hingga akhirnya menghantam sesuatu yang keras dan dingin.Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya seperti gelombang, dan kegelapan segera menelannya sepenuhnya.+++Suara burung-burung berkicau perlahan menarik Chen kembali ke kesadaran. Matanya terbuka dengan berat, menyipit melawan cahaya matahari yang menembus dedaunan di atas
Eve memejamkan mata sejenak, dan ketika ia membukanya kembali, mata itu telah berubah menjadi merah menyala seperti darah segar. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dan mulai merapalkan mantra dalam bahasa kuno yang bahkan Chen tidak kenali.Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Retakan-retakan muncul, dan dari dalamnya, keluar asap merah yang panas. Asap itu berputar di sekitar Eve, semakin tebal hingga nyaris menutupi sosoknya."Apa yang dia lakukan?" tanya Chen, panik mulai menguasainya."Mantra pemanggilan tingkat tinggi," jawab Lila, wajahnya pucat pasi. "Dia memanggil Ifrit, iblis api dari dimensi lain."Tameng kristal Chen akhirnya pecah berkeping-keping saat naga api terakhir menghantamnya dengan kekuatan penuh.Chen terhempas ke belakang, punggungnya menghantam dinding kereta dengan keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, dan ia bisa merasakan darah mengalir dari hidungnya, tanda bahwa ia telah mendorong batas kemampuan sihirnya terlalu jauh.Asap merah
"Berhenti! Kereta itu membawa pelarian!"Suara teriakan itu membekukan darah dalam pembuluh Chen. Ia dan Lila bertukar pandang penuh kengerian saat kereta mereka terhenti mendadak.Kuda-kuda meringkik ketakutan, seolah merasakan bahaya yang mendekat."Siapa itu?" bisik Chen, suaranya nyaris tidak terdengar.Lila mengintip dari jendela kecil kereta, wajahnya seketika memucat. "Eve Whitehouse," jawabnya dengan suara bergetar. "Penyihir pemanggil api Kekaisaran Hersen."Chen merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Eve Whitehouse.Nama itu dikenal di seluruh perbatasan sebagai salah satu penyihir paling mematikan. Pengendali api dengan kemampuan sihir pesona tingkat empat, mampu membakar seluruh desa hanya dengan satu mantra.Bahkan mereka pernah bertarung melawan kelompoknya."Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Chen, mencengkeram jubah tabibnya hingga buku-buku jarinya memutih."Dia penyihir detektor terkuat," Lila menjawab, matanya liar mencari jalan keluar. "Mantra ilusi tida