Ferdy menatap keluar dari jendela kecil apartemennya yang baru, menatap kerlip lampu kota yang berpendar dalam kegelapan. Hatinya penuh dengan kemarahan dan tekad yang membara. Pengkhianatan Nadia dan keluarga besarnya telah mengusik ketenangan yang selama ini dia pertahankan. Tapi sekarang, dia siap untuk kembali ke dunianya yang sebenarnya—dunia di mana dia memiliki kekuatan dan kendali penuh.
Dengan satu tarikan napas dalam, Ferdy meraih teleponnya dan menekan nomor yang sudah lama tidak dia hubungi. Hanya butuh satu dering sebelum suara berat di ujung sana menjawab. “Bos, ini kamu?” “Ya, ini aku. Aku butuh bantuanmu, Andi. Ayo bertemu di tempat biasa.” Setelah menutup telepon, Ferdy mengambil jaket kulitnya dan keluar dari apartemennya. Tempat pertemuan mereka adalah sebuah bar tua di pinggiran kota, tempat yang tidak pernah menarik perhatian banyak orang. Di sanalah Ferdy biasanya mengatur segala urusan bisnisnya yang gelap. Ketika Ferdy masuk ke bar, dia disambut oleh tatapan beberapa pria yang sudah menunggunya. Andi, tangan kanannya, segera berdiri dan menghampirinya. “Bos, sudah lama kita tidak melihatmu. Ada masalah?” tanya Andi dengan nada serius. Ferdy mengangguk. “Ada sesuatu yang perlu kita selesaikan. Keluarga istri saya telah mengkhianati saya, dan saya butuh balas dendam.” Andi mengangkat alisnya, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. Dia tahu bahwa ketika Ferdy memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghalanginya. “Apa rencananya, Bos?” Ferdy duduk dan mengeluarkan selembar kertas dari jaketnya. “Ini adalah semua informasi tentang Adrian, pria yang telah merebut istri saya. Aku ingin kamu mencari tahu segalanya tentang dia. Bisnisnya, kelemahannya, semuanya. Kita akan menghancurkan dia dari dalam.” Andi mengambil kertas itu dan mengangguk. “Akan aku lakukan, Bos. Apa lagi yang kamu butuhkan?” “Aku butuh pengawasan ketat pada Nadia dan keluarganya. Aku ingin tahu setiap langkah yang mereka ambil. Tidak ada detail yang boleh terlewat.” Andi segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk memulai tugas itu. Ferdy merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Meskipun sakit hati masih menggerogoti, dia sekarang punya rencana dan tujuan yang jelas. *** Malam itu, Ferdy kembali ke apartemennya dengan perasaan lega. Dia menyalakan komputer dan mulai mencari lebih banyak informasi tentang Adrian. Setiap detail kecil bisa menjadi senjata dalam perang yang akan datang. Sementara itu, di rumah besar keluarga Nadia, Nadia sendiri mulai merasakan keraguan yang mendalam. Meskipun Adrian menawarkan kehidupan yang mewah, ada sesuatu yang hilang dari hubungan mereka. Adrian adalah pria yang ambisius dan dingin, sangat berbeda dari Ferdy yang penuh perhatian dan hangat. Namun, Nadia merasa terperangkap dalam keputusannya. Dia tidak bisa kembali sekarang, setelah semua yang terjadi. Keluarganya sudah memastikan bahwa dia tidak punya jalan kembali. Suatu malam, ketika Nadia sedang duduk di ruang tamu yang megah itu, ibunya, Bu Harun, menghampirinya. “Nadia, kamu harus memastikan bahwa pernikahan dengan Adrian berjalan lancar. Ini adalah kesempatan terbaikmu untuk mendapatkan kehidupan yang layak,” kata ibunya dengan nada tegas. Nadia hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya tidak setuju. Setiap hari dia merasakan kehangatan Ferdy semakin jauh darinya, digantikan oleh kebingungan dan ketidakpastian. Di tempat lain, Ferdy dan Andi terus mengumpulkan informasi tentang Adrian. Mereka menemukan bahwa Adrian memiliki beberapa kelemahan yang bisa dieksploitasi. Salah satunya adalah hutang besar yang dia miliki kepada seorang lintah darat yang berbahaya. Ferdy memutuskan untuk menggunakan informasi ini sebagai titik awal serangannya. Dengan hati-hati, Ferdy mulai merencanakan langkah-langkah untuk menghancurkan reputasi dan bisnis Adrian. Dia tahu bahwa ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi dia sudah siap untuk segala kemungkinan. Di sisi lain, dia juga memastikan bahwa Nadia dan keluarganya diawasi dengan ketat. Setiap gerakan mereka dilaporkan kepadanya, memberikan Ferdy gambaran yang jelas tentang apa yang mereka rencanakan. Pada suatu malam yang dingin, Ferdy memutuskan untuk bertemu dengan lintah darat yang memiliki hutang Adrian. Mereka bertemu di sebuah gudang tua di pinggiran kota, tempat yang penuh dengan barang-barang yang tertutup debu. “Bos Ferdy, lama tidak bertemu. Ada apa gerangan?” tanya lintah darat itu dengan senyum licik di wajahnya. “Aku butuh informasi tentang Adrian. Aku tahu dia berhutang padamu. Aku ingin memastikan bahwa hutangnya semakin besar dan tidak bisa dia bayar,” jawab Ferdy dengan tegas. Lintah darat itu tertawa kecil. “Tentu, itu bisa diatur. Tapi apa yang akan saya dapatkan sebagai gantinya?” Ferdy mendekat dan menatap mata pria itu dengan dingin. “Kamu akan mendapatkan jaminan bahwa bisnis kita tetap aman dan terlindungi. Jika kamu membantu aku, kita bisa berbagi keuntungan.” Lintah darat itu mengangguk setuju. “Baiklah, aku akan mengatur segalanya. Kita akan pastikan bahwa Adrian tidak bisa membayar hutangnya dan kehilangan segalanya.” Dengan rencana yang mulai berjalan, Ferdy merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa jalannya masih panjang, tetapi dia tidak akan berhenti sampai keadilan tercapai. Pengkhianatan Nadia dan keluarganya akan dibalas, dan Ferdy akan memastikan bahwa mereka semua merasakan rasa sakit yang sama seperti yang dia rasakan. Dalam kegelapan malam itu, Ferdy berjalan keluar dari gudang dengan kepala tegak. Dia telah kembali ke dunia lamanya, tetapi kali ini dengan tujuan yang lebih besar dan tekad yang lebih kuat. Tidak ada yang bisa menghalanginya sekarang. Balas dendam adalah satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya, dan dia akan mengejar itu sampai akhir.Matahari pagi bersinar lembut di atas desa, memberikan kehangatan yang meresap ke hati setiap penduduk. Hari itu terasa berbeda, lebih tenang, tetapi juga lebih penuh harapan. Pusat pembelajaran yang telah dibangun dengan kerja keras menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang Laras dan Rizal bersama komunitas desa. Namun, meski proyek besar itu telah selesai, perjalanan hidup mereka masih jauh dari kata usai.Hari itu, Laras dan Rizal memutuskan untuk memulai rapat kecil dengan para pengurus pusat pembelajaran. Ada banyak hal yang harus mereka bahas, dari jadwal pelatihan hingga pengelolaan perpustakaan. Mereka ingin memastikan bahwa tempat itu terus berkembang dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.“Aku berpikir untuk mengadakan pelatihan komputer,” ujar Rizal di tengah diskusi. “Kita bisa mulai dari hal-hal dasar seperti mengetik dan menggunakan internet. Ini akan membantu mereka terhubung dengan dunia luar.”Laras mengangguk setuju. “Itu ide bagus. Selain itu, kita juga bisa
Setelah lahan untuk pusat pembelajaran resmi menjadi milik komunitas, Laras dan Rizal tidak membuang waktu untuk memulai pembangunan fasilitas permanen. Sebuah rapat besar diadakan di balai desa, melibatkan penduduk, relawan, dan pemuda desa untuk berdiskusi tentang rencana dan desain pusat pembelajaran baru.“Ini adalah milik kita bersama,” kata Laras membuka rapat. “Kami ingin mendengar pendapat kalian tentang apa yang dibutuhkan agar tempat ini menjadi rumah bagi pendidikan dan perkembangan desa.”Beberapa orang mulai memberikan ide-ide mereka. Siti, seorang ibu muda yang sering mengikuti kegiatan belajar-mengajar, mengusulkan adanya ruang khusus bagi ibu-ibu untuk belajar keterampilan baru.“Kami butuh sesuatu yang bisa membantu kami menambah penghasilan,” katanya dengan semangat.“Setuju,” sahut Pak Hadi, seorang petani setempat. “Kalau bisa, ada juga pelatihan teknologi pertanian modern.”Rizal mencatat semua usulan itu. Ia menambahkan, “Kita juga bisa membangun perpustakaan kec
Setelah kembali dari desa terpencil, Laras dan Rizal memulai babak baru dalam perjuangan mereka. Program pendidikan yang mereka bangun di sana mulai menunjukkan hasil. Berbagai laporan dari tim lapangan mengabarkan bahwa anak-anak semakin semangat belajar, para pemuda mulai mengajukan ide-ide untuk memperbaiki desa, dan komunitas menjadi lebih solid.Namun, kabar baik itu tidak berarti tanpa tantangan. Saat Laras dan Rizal duduk di ruang kerja mereka di kantor kecil Rumah Kita, telepon berdering.“Laras, kita punya masalah besar,” suara Maya, salah satu relawan senior mereka, terdengar di ujung telepon.Laras langsung merasa waspada. “Apa yang terjadi, Maya?”“Lahan yang kita gunakan untuk pusat pembelajaran sementara di desa itu ternyata akan dijual oleh pemiliknya. Kalau tidak segera bertindak, kita bisa kehilangan tempat itu,” jelas Maya dengan nada cemas.Rizal, yang mendengar percakapan itu, langsung menegakkan tubuhnya. “Apa kita tahu siapa pemiliknya?” tanyanya setelah Laras me
Pagi itu, Laras dan Rizal sibuk mempersiapkan keberangkatan mereka ke salah satu wilayah terpencil yang akan menjadi lokasi program pendidikan baru dari Rumah Kita. Dengan dana hasil penggalangan festival seni yang sukses besar, mereka kini bisa merealisasikan rencana untuk membangun pusat pembelajaran di sana.“Semua barang sudah masuk ke mobil, kan?” tanya Laras sambil memeriksa daftar logistik di tangannya.“Sudah, semuanya lengkap,” jawab Rizal sambil memastikan tenda portabel dan peralatan belajar sudah diangkut.Perjalanan kali ini memiliki arti yang sangat mendalam bagi mereka. Bukan hanya sebagai upaya untuk memperluas misi mereka, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada masyarakat yang akan mereka bantu.---Setelah menempuh perjalanan enam jam yang penuh tantangan, mulai dari jalanan yang berlumpur hingga tanjakan curam, akhirnya mereka tiba di desa kecil di kaki bukit. Desa itu tampak sederhana, dengan rumah-rumah dari kayu dan atap seng yang terlihat sudah tua.“Selamat
Hari itu, Laras dan Rizal memulai pagi dengan semangat baru. Setelah resmi bertunangan, mereka merasa hubungan mereka semakin kuat. Namun, baik Laras maupun Rizal tahu bahwa cinta saja tidak cukup. Mereka memiliki tanggung jawab besar, tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada visi mereka untuk mengembangkan Rumah Kita."Jadi, apa langkah kita berikutnya?" tanya Rizal sambil menyeruput kopi paginya.Laras memandang papan tulis kecil di dinding dapur, di mana mereka sering menuliskan rencana mingguan. "Aku pikir kita harus fokus pada ekspansi program pendidikan kita. Ada banyak anak di daerah terpencil yang belum terjangkau."Rizal mengangguk setuju. "Aku setuju. Tapi untuk itu, kita butuh lebih banyak dana dan mitra yang kuat. Kita bisa menghubungi beberapa organisasi yang kita temui saat acara sosial bulan lalu."Laras tersenyum. "Kita bisa melakukannya bersama. Kita sudah pernah menghadapi tantangan besar sebelumnya, dan aku yakin kita bisa melakukannya lagi."---Sore hariny
Pagi itu, langit cerah, dan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela kamar Laras. Ia bangun dengan perasaan lega setelah malam panjang yang penuh kenangan indah. Hari sebelumnya adalah salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya, tetapi ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Laras turun ke dapur. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara. Rizal sudah ada di sana, sibuk menyiapkan sarapan sederhana."Selamat pagi," sapa Rizal dengan senyum lebar."Selamat pagi," balas Laras sambil duduk di meja. "Kamu bangun lebih pagi hari ini.""Aku hanya ingin memastikan kamu memulai harimu dengan baik," jawab Rizal.Laras tersenyum. Ada sesuatu yang berbeda pada Rizal pagi itu, seolah-olah ia menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan. Namun, Rizal hanya menyajikan sarapan dan mengobrol ringan seperti biasa.---Beberapa jam kemudian, Laras menerima panggilan dari salah satu mitra kerja Rumah Kita. Mereka mendiskusikan peluang untuk
Hari itu, Laras berdiri di depan balkon rumahnya yang menghadap taman kecil yang baru saja ditata ulang. Angin pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari bunga-bunga yang baru mekar. Ia merasa tenang, meskipun hatinya dipenuhi oleh berbagai emosi.Beberapa bulan terakhir adalah perjalanan yang luar biasa. Dari kesedihan mendalam hingga kebahagiaan yang kini perlahan ia temukan. Laras tidak menyangka bahwa hidupnya akan sampai di titik ini, titik di mana ia merasa kuat, dihargai, dan dicintai.Pagi itu, Rizal datang dengan membawa kopi hangat dan senyum khasnya. "Sudah siap untuk hari ini?" tanyanya sambil menyerahkan secangkir kopi kepada Laras.Laras tersenyum, mengangguk pelan. "Aku siap. Meskipun aku masih sedikit gugup."Rizal tertawa kecil. "Tidak perlu gugup. Kamu sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Hari ini hanya perayaan kecil untuk semua yang telah kamu capai."Hari itu adalah hari peresmian program pelatihan daring yang dikembangkan oleh tim Laras. P
Hari itu adalah hari yang sangat dinanti di Rumah Kita. Laras berdiri di depan aula besar yang sudah dihias dengan sederhana namun elegan. Hari ini adalah acara kelulusan angkatan pertama peserta pelatihan. Ia merasa bangga sekaligus haru melihat perjalanan mereka selama beberapa bulan terakhir.Para peserta, yang dulunya datang dengan berbagai cerita dan latar belakang menyedihkan, kini berdiri dengan penuh percaya diri. Mereka telah menemukan tujuan baru dalam hidup mereka, berkat program ini. Laras memandang mereka dengan senyum lebar, merasa perjuangannya selama ini tidak sia-sia.Ketika waktu menunjukkan pukul 10 pagi, Rizal mengambil alih mikrofon untuk membuka acara. Pria itu mengenakan setelan jas yang rapi, namun tetap menampilkan senyum ramahnya.“Selamat pagi semuanya,” sapa Rizal. “Hari ini adalah momen spesial bagi kita semua. Kita tidak hanya merayakan keberhasilan program pelatihan ini, tetapi juga keberanian dan kerja keras setiap peserta yang telah berjuang untuk mera
Pagi itu, Laras membuka matanya dengan perasaan lebih ringan dari sebelumnya. Udara pagi yang segar membawa aroma embun yang menenangkan. Ia menatap keluar jendela, melihat mentari yang mulai menyinari dunia perlahan. Hari itu, ia memutuskan untuk memulai sesuatu yang baru—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang ia sayangi.Setelah bersiap-siap, Laras menuju kafe lebih awal. Ia tahu bahwa pekerjaan di Rumah Kita masih banyak, terutama untuk persiapan program pelatihan tahap kedua. Semangatnya terasa lebih membara setelah suksesnya acara semalam. Ia ingin memastikan bahwa program ini terus berkembang, menyentuh lebih banyak kehidupan yang membutuhkan.Di kafe, Laras menemukan Bima sudah duduk di salah satu meja dengan laptop terbuka. Anak itu tampak fokus bekerja, matanya berbinar dengan semangat muda yang menular.“Pagi, Bima,” sapa Laras sambil menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.“Pagi, Kak Laras,” jawab Bima dengan senyum lebar. “Aku sedang mencoba m