"Nathan, bukankah kamu pulang lebih awal?" tanya Elena pelan, masih berada dalam pelukan pria itu. Suaranya hampir tak terdengar, bersandar pada detak jantung yang berdegup terlalu cepat.Nathan menghela napas, perlahan melepaskan pelukan, lalu menatap Elena dengan lembut. "Ya. Tapi kamu meninggalkan ponselmu di mobilku," katanya, sambil menunjuk pada ponsel yang tadi tertinggal di kursi penumpang. "Dan entah kenapa aku merasa tidak tenang."Elena mengangguk kecil, lalu meraih ponselnya dengan tangan bergetar. "Terima kasih."Mereka saling menatap. Sekejap terasa begitu lama. Waktu seperti berhenti.Nathan duduk di sampingnya, masih menjaga jarak. Namun ada sesuatu di udara yang semakin berat—ketegangan, emosi yang tak tertahankan, dan perasaan yang selama ini mereka kubur."Elena..." panggil Nathan dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Kamu tahu? Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."Elena perlahan menoleh. Tatapan itu—tajam namun lembut, rindu tapi tertahan. Dalam sekejap, semua p
Langit mulai menggelap ketika jam menunjuk pukul tujuh malam. Lampu kota menyala perlahan, dan udara malam yang sejuk merambat masuk melalui celah jendela. Elena baru saja selesai menyuapi Alva, sementara Delya sibuk dengan mainan di lantai. Bel berbunyi.Elena mengernyit, tidak menyangka ada tamu pada jam seperti ini. Ia berjalan cepat ke pintu dan membukanya. Nathan berdiri di sana, rapi dan gagah dalam setelan gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna."Halo," sapa Nathan, dengan senyum khasnya yang entah bagaimana selalu berhasil membuat jantung Elena berdetak lebih cepat."Nathan?" Elena sedikit terkejut. "Ada apa? Kamu tidak bilang kalau mau datang."Nathan mengangkat sebuah kotak kecil dari balik punggungnya—serangkaian bunga lily dan mawar putih."Aku ingin mengajakmu makan malam," katanya penuh harap. "Aku sudah pesan tempatnya. Mau ikut?"Elena refleks menoleh ke arah anak-anak yang sedang bermain di dalam. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan anak-a
Elena masih terdiam. Wajahnya memerah, bukan hanya karena ciuman itu, tetapi juga dari ciuman lanjutan yang baru saja Nathan tanamkan di lehernya—panas, dalam, dan mengejutkan.“Aahh...” desahan itu lolos dari bibirnya, membuat Nathan tersenyum tipis—senyum seorang pria yang tahu bahwa ia telah menyentuh sesuatu yang tak lagi bisa disangkal.“Elena,” suara Nathan serak, hampir seperti bisikan. “Aku sudah menaruh tanda cinta di lehermu. Kau milikku, Elena.”Elena segera menoleh, matanya sedikit melebar. “Nathan...”“Kau tidak perlu menjawab sekarang,” ucap Nathan lembut. “Tapi jangan bilang kau tidak merasakannya.”Tubuh Elena mulai panas. Jantungnya berdegup begitu cepat, pikirannya kalut. Separuh dirinya ingin membalas ciuman itu, ingin menyentuh wajah Nathan, ingin membiarkan bibirnya menelusuri leher pria itu.Namun Elena hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan diri.Ia mengangkat tangan kanannya, sempat menyentuh kerah jas Nathan, lalu kembali menurunkannya. Cepat-cepat ia meno
“Elena, aku—” Suara Nathan hampir tenggelam oleh riuhnya percakapan di dalam restoran, tetapi tatapan matanya memancarkan sesuatu yang tidak bisa diabaikan oleh Elena.Elena mengernyit, bingung melihat ekspresi pria itu. “Ada apa, Tuan Nathan?”Tanpa menjawab, Nathan langsung meraih pergelangan tangan Elena dan menariknya keluar dari restoran, lembut tapi tegas. Elena sedikit terkejut dengan tindakan mendadak itu.“Nathan, apa yang kau mau? Aku masih harus—”“Hanya sebentar saja,” potong Nathan. “Aku tidak tahan melihatmu duduk bersama pria itu.”Mereka melangkah ke trotoar yang basah. Nathan membuka pintu mobilnya dan menatap Elena dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. “Masuklah, kumohon.”Elena sempat ragu sejenak, tetapi akhirnya ia masuk, membiarkan Nathan menutup pintu dan duduk di sisi pengemudi. Hening melingkupi mereka beberapa detik. Hujan menghantam kaca depan dengan irama yang tenang.“Elena,” akhirnya Nathan bersuara, masih menatap lurus ke depan. “Siapa dia?”“Siapa
Hujan masih turun ketika seorang pria dengan setelan abu-abu gelap keluar dari mobil hitamnya. Nathan melangkah masuk ke restoran tempat ia berjanji menjemput ibunya, Nyonya Sonia, yang sedang bertemu dengan seorang kenalan lama. Ia baru saja menyelesaikan rapat dewan di perusahaannya, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana—entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya selalu berputar pada satu nama: Elena Whitmore.Begitu pintu restoran terbuka, Nathan langsung menangkap sosok yang familiar duduk di dekat jendela. Bukan ibunya. Itu Selena. Bersama seorang pria, wanita itu tertawa pelan, bahu mereka hampir bersentuhan. Tangannya menggenggam cangkir, tapi matanya terpaku pada pria di hadapannya.Kening Nathan mengerut. Jantungnya berdegup kencang—bukan karena cemburu buta, melainkan karena ada sesuatu dalam dirinya yang menolak menganggap pemandangan itu biasa saja.“Selena bilang dia ada proyek pagi ini,” gumam Nathan lirih.“Nathan?”Sebuah suara lembut dan anggun memecah lamunannya. Ny
Setelah pertemuan dengan Miss Shera yang berjalan lancar meski sempat diganggu oleh ulah Damian, Elena memilih duduk sebentar di sebuah restoran kecil tak jauh dari kafe sebelumnya. Tempat itu tenang, musiknya lembut, dan aroma kopi bercampur vanila menenangkan pikirannya yang masih berkabut.Ia duduk di pojok, menatap kosong keluar jendela. Tangannya mengaduk teh melati tanpa benar-benar berniat meminumnya. Pikirannya masih kembali pada wajah memohon Damian—wajah yang dulu pernah ia cintai, namun kini hanya mengundang jijik dan amarah.“Bahkan kalau dia berlutut di depan seluruh dunia,” pikir Elena tajam, “aku tak akan pernah memaafkan bajingan itu. Semua yang sudah dia hancurkan… tak bisa dibangun kembali hanya dengan sebuah cincin dan janji manis.”Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir sesak di dadanya. Satu hal yang pasti, hidupnya jauh lebih baik tanpa Damian. Dan hari ini hanya pengingat kecil betapa jauhnya ia sudah melangkah.“Permisi… Elena Whitmore?”Sebuah suara barit