Rendy berdiri di tengah hiruk-pikuk Kota Buitenzorg yang tak pernah tidur. Jalanan penuh dengan pedagang kaki lima, kendaraan yang berdesakan, dan musik jalanan yang bercampur dengan suara klakson kendaraan. Namun, pikirannya terus mengulang kata-kata pria bermasker tadi: Zhang Wei dan Lin Yue.“Orangtuaku pendiri Assassin War?” gumam Rendy, setengah tidak percaya. “Aku bermarga Zhang? Lalu darimana aku mendapatkan marga Wang ini? Semua masih menjadi misteri ... aku bahkan tidak ingat sama sekali tentang orangtua angkatku yang membesarkanku, atau aku sama sekali tidak memiliki orangtua asuh?”Pikirannya masih bergejolak saat dia melangkah menuju tempat penginapan sederhana di sudut kota. Matahari telah tenggelam, dan malam perlahan menutupi kota. Namun, suasana tidak menenangkan. Kabut tipis mulai melingkupi jalanan, dan Rendy merasa dia sedang diawasi.Saat dia masuk ke lorong penginapan, seorang pemuda berseragam pelayan menghampirinya. “Tuan Wang, Anda menerima pesan,” katanya samb
Rendy berdiri di depan toko roti kecil dengan papan kayu tua yang menggantung di atas pintu bertuliskan ‘Toko Kue & Roti Lemper Ayam Pak Tua.’ Aroma menggiurkan dari kue ketan bercampur wangi rempah-rempah gurih memenuhi udara, mengingatkan Rendy pada masa lalu. Inilah tempat dia pernah ditolong oleh seorang pria tua misterius ketika hampir kehilangan nyawanya dalam pertempuran brutal dalam organisasi Assassin War.Langkahnya ragu saat ia mendorong pintu kayu itu. Bel di atas pintu berdenting lembut, dan ruangan kecil itu menyambutnya dengan kehangatan. Rak-rak kayu berisi aneka roti dan kue, sementara di sudut meja kayu panjang, seorang pria tua dengan rambut putih duduk sambil membaca buku tebal, cangkir teh mengepul di sampingnya.“Tuan?” suara Rendy memecah keheningan. Ia tidak yakin kalau Pak Tua ini mengenaalinya karena ia terdampar di masa jauh sebelum ia mengenal Jenius Alkemis ini, namun jawaban dari kakek ini cukup mengejutkan dirinya.Pria itu menoleh, wajah keriputnya dihi
Udara dingin menggigit kulit Rendy saat ia mendekati kaki Gunung Kabut Es di Negara Halimun. Pepohonan hijau rimbun perlahan berubah menjadi pemandangan yang suram dan beku. Kabut tebal menyelimuti lereng, seolah menghalangi siapa pun untuk melangkah lebih jauh.“Ini tempatnya,” gumam Rendy, mengenang ucapan Pak Tua. ‘Gunung ini tidak hanya menahan rahasia, tapi juga tantangan yang akan menentukan apakah kau pantas mengetahuinya.’Langkah Rendy berhenti di depan papan kayu tua dengan tulisan yang nyaris tak terbaca: 'Hanya mereka yang berani kehilangan segalanya yang akan menemukan kebenaran.'Dia menghela napas. “Tantangan, ya?”Di antara celah batu yang ditutupi es, Rendy menemukan sebuah lorong sempit yang menuju ke dalam gunung. Lorong itu gelap dan dingin, dindingnya terasa lembap saat ia menyentuhnya. Setiap langkah terasa menggema, membuat suasana semakin mencekam.Tiba-tiba, dari kegelapan terdengar suara gemuruh kecil, seperti sesuatu yang besar sedang bergerak. Rendy merapat
Kabut tebal menggulung sekeliling Rendy, menyelubungi medan pertarungan seperti tirai tak berujung. Di hadapannya, naga penjaga dengan sisik perak berkilauan memandang tajam. Nafasnya menghembuskan hawa dingin yang mampu membekukan udara.Rendy berdiri tegak, tangannya menggenggam pedang, tapi kini ia tahu bahwa senjata itu hanyalah alat pendukung. Pertarungan ini bukan soal kekuatan fisik saja, melainkan tekad, kemampuan, dan pengendalian energi dalam yang telah ia latih hingga ke tingkat Supreme Master.Naga itu meraung, mengguncang tanah di bawah kaki Rendy. Suaranya menggema, menciptakan riak-riak energi yang memecahkan es di sekitar. “Buktikan kau layak, pewaris naga!”Rendy memejamkan mata, menarik napas panjang untuk memusatkan tenaga dalam sempurnanya. Kabut dingin mulai berputar di sekeliling tubuhnya, tertarik oleh energi yang ia pancarkan.Tiba-tiba, tubuhnya melesat maju dengan kecepatan luar biasa, menghilang dalam sekejap dari pandangan naga penjaga. Teknik “Bayangan Pet
Angin dingin Gunung Kabut Es menyambut langkah terakhir Rendy saat ia menuruni lereng curam. Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya: kekuatan baru yang ia rasakan, rahasia orang tuanya yang mulai terkuak, dan tantangan besar yang menunggunya di Kota Buitenzorg. Namun, yang paling membakar di dalam dirinya adalah keinginan untuk menghancurkan Assassin War dan The Shadow, dua organisasi yang kini menjadi kunci masa lalunya.Setelah perjalanan panjang melalui hutan dan lembah, Rendy tiba kembali di Kota Buitenzorg, pusat keramaian Negeri Khatulistiwa selain Kartanesia. Kota itu penuh dengan gedung-gedung modern yang berdiri di antara pasar tradisional, gang-gang sempit, dan klub-klub malam yang ramai. Namun, di balik gemerlapnya, ia tahu bahaya selalu mengintai.Langkah pertama Rendy membawanya kembali ke Klub Infinity, tempat pertama ia merasakan keberadaan The Shadow. Kali ini, ia datang dengan persiapan lebih matang. Kekuatan yang ia peroleh dari Gunung Kabut Es membuatnya percaya d
“Jadi ini sisi gelap Assassin War,” gumam Rendy, matanya memandang setiap detail gerakan Bai Lian. Tubuhnya menegang, energi dalamnya mulai bergejolak.“Kau menyebut dirimu Naga Perang, tapi aku hanya melihat pria dengan ambisi setengah hati,” sindir Bai Lian sambil mengangkat tangan, memberi aba-aba kepada bayangan-bayangan itu untuk menyerang.Makhluk pertama melompat dengan cakar tajam, melesat lurus ke arah kepala Rendy. Ia menunduk, menghindari serangan itu, lalu memutar tubuhnya untuk melepaskan tendangan berputar yang menghantam tubuh bayangan itu hingga pecah menjadi kepulan asap.Namun, dua bayangan lain muncul dari sisi kiri dan kanan.Rendy bergerak cepat menggunakan Langkah Naga Sakti, tapi gerakan makhluk-makhluk itu seperti mencerminkan dirinya. Setiap langkah yang ia ambil, mereka menyesuaikan dengan kecepatan luar biasa.Saat salah satu cakar bayangan menghantam bahunya, rasa sakit itu membangkitkan sesuatu di dalam dirinya. Sebuah suara berbisik di benaknya, dingin da
Udara pagi di Khatulistiwa terasa lebih dingin dari biasanya saat Rendy meninggalkan Kota Buitenzorg. Bayangan pertarungan melawan Bai Lian dan kekuatan gelap yang ia gunakan masih menguasai pikirannya. Ia tidak bisa mengabaikan rasa haus akan jawaban yang semakin kuat sejak mendengar nama Kuil Tiga Langit.Dalam perjalanannya, ia berhenti di pinggiran sebuah desa kecil bernama Lembah Ananta. Desa ini terkenal sebagai tempat para peziarah yang menuju Kuil Tiga Langit beristirahat, namun juga menyimpan reputasi sebagai tempat ujian bagi para pencari kebenaran.Di tengah jalan setapak menuju lembah, Rendy bertemu seorang wanita tua yang duduk di bawah pohon beringin. Rambutnya yang putih seperti salju kontras dengan kulitnya yang berwarna cokelat tua. Ia memegang tongkat kayu yang diukir dengan simbol-simbol kuno.“Jadi kau akhirnya datang, Naga Perang,” katanya tanpa menoleh.Langkah Rendy terhenti. “Siapa kau, Nenek?” tanyanya, matanya menyipit curiga.“Aku adalah Pengawas Tantangan”
Langit di atas Gunung Kabut Es berubah menjadi kelabu pekat saat Rendy mencapai Kuil Tiga Langit. Suasana yang semula sunyi kini diwarnai oleh bisikan aneh, seperti suara ribuan roh yang terjebak. Di depan gerbang kuil, seorang pria berjubah hitam berdiri, tubuhnya diselimuti kabut gelap.“Rendy Wang,” suara pria itu berat, seperti datang dari dasar bumi. “Akhirnya, sang Naga Perang muncul di hadapan takdirnya.”Rendy menggenggam pedangnya erat. “Siapa kau? Dan apa hubunganmu dengan Kuil Tiga Langit?”Pria itu tertawa kecil, suara tawanya seperti geraman. “Aku adalah Bayangan dari kekuatan yang kau gunakan. Kau pikir kekuatan itu gratis? Kau salah, Rendy. Harga dari sisi gelap adalah kehilangan kendali atas jiwamu sendiri.”Bayangan itu menyerang tanpa peringatan, gerakannya cepat seperti kilat. Rendy nyaris tidak sempat mengangkat pedangnya ketika cakar gelap pria itu meluncur ke arahnya. Tubuhnya terhempas, menghantam dinding kuil dengan keras.“Aku tidak takut padamu!” Rendy bangki
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini t
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai t
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus
Angin pagi membelai rambut panjang Sheila Tanoto saat ia berdiri di tepi landasan bandara jet pribadi di pinggiran Dark City. Suasana masih gelap karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 pagi. Matahari buatan masih mati digantikann oleh bulan buattan yang memiliki energi gravitasi bulan seperti di Khatulistiwa. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, sementara deru mesin pesawat pribadi Rendy menggeram pelan, siap untuk lepas landas. Bau logam dan bahan bakar memenuhi udara, menambah ketegangan yang terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Wajah Sheila disinari remang lampu bandara, menunjukkan keraguan yang dalam di matanya."Aku akan segera menyusulmu ke Khatulistiwa," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Dan aku akan memerintahkan Empat Penjuru Angin untuk menemanimu ke Negeri Andalas. Setidaknya, mereka bisa menjadi pelindungmu dari pengkhianatan yang tak terduga."Rendy menoleh, siluetnya tegap dalam bayang pesawat. Mat
Udara di apartemen terasa berat, hampir pekat, seolah setiap molekul udara merapat, menahan napas mereka dalam pusaran hasrat yang menggetarkan. Di antara gemuruh jantung yang berdetak terlalu keras, tubuh Rendy dan Sheila melebur dalam tarikan naluriah—sebuah pencarian yang tak membutuhkan kata, hanya desakan naluri yang tak terbantahkan.Sheila, dengan mata berkilat dalam cahaya remang, meraih tangan Rendy. Genggamannya kecil, namun panasnya menembus kulit hingga ke nadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya melewati ruang tamu menuju kamar tidur.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, menghadap langsung ke hamparan Dark City yang bermandikan cahaya malam. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang patah yang jatuh ke bumi, menciptakan lukisan malam yang sendu sekaligus memabukkan.Langkah-langkah mereka terhenti di tepi ranjang. Sheila berbalik perlahan. Rambut hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, mengalir seperti ti
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya