Dengan darah mengalir, Rendy tidak menyerah. "Aku tidak akan kalah!" Dia menerapkan teknik terakhirnya, Thunderclap Smash, sebuah pukulan yang menggabungkan elemen petir dengan Qi-nya. Dia menyerang langsung ke arah Guang Yu, melompat dengan kecepatan penuh.Guang Yu mengangkat pedangnya, menahan pukulan Rendy dengan teknik Mountain Breaker Stance. Ledakan energi terjadi, mengguncang tanah di bawah mereka. Asap tebal menyelimuti arena.Ketika asap menghilang, Guang Yu berdiri dengan pedangnya tertanam di tanah. "Kau lulus," katanya dengan senyuman. "Keteguhan hatimu lebih besar dari kekuatan seranganmu. Itu adalah tanda seorang kultivator sejati."Rendy terengah-engah, berdiri dengan tubuh penuh luka tapi dengan senyum puas. "Aku masih jauh dari sempurna," katanya. "Tapi aku akan terus berusaha."Guang Yu mengangguk. "Dan aku akan menantimu di puncak dunia kultivasi. Pedang ini, dan aku, siap untuk perjalananmu selanjutnya."Guang Yu mengayunkan pedangnya, menghasilkan gelombang energ
Rendy terbangun di kamarnya yang sempit sambil menggenggam liontin giok dan patung kecil Jade Dragon di tangannya, merasakan kehangatan samar yang memancar dari artefak itu. Pedang Spiritual Guang Yu tampak bercahaya dan berkilauan lembut dalam remang-remang cahaya pagi di samping tempat tidurnya. "Semua itu nyata," pikirnya, dadanya berdegup kencang. Namun, sebelum ia bisa merenungi lebih jauh, suara Vera Huang menggema, memanggilnya dengan nada tegas seperti biasa."Rendy! Jangan bermalas-malasan, cepat ambilkan air panas!"Menghela napas panjang, ia mengantongi patung Jade Dragon, lalu menyelipkan liontin giok di balik kemejanya. Dengan langkah berat, ia keluar dari kamar sempitnya, perasaan campur aduk memenuhi benaknya. Deja vu melanda dirinya saat melihat Vera Huang duduk santai di kursi panjang, mengenakan gaun sutra yang mahal, sementara Cindy, istrinya, tampak diam seperti biasanya, menunduk seolah tidak ingin memancing konflik dengan ibunya.Rendy berdiri di pintu, tubuhnya
Rendy melangkah memasuki Red Lotus, auranya tampak lebih tenang namun tegas. Katrin Chow sudah menunggunya di meja VIP yang megah, mengenakan gaun hitam elegan yang mencerminkan otoritasnya. Dia tidak bangkit dari tempat duduknya, tetapi tatapannya tajam dan dingin langsung tertuju pada Rendy."Tuan Muda," ujar Katrin, suaranya tegas namun formal, berbeda dari sebelumnya. "Kau kembali. Tapi menjadi Naga Perang tidak semudah itu. Kau harus membuktikan dirimu layak untuk memimpin Elemental Naga lagi."Rendy berdiri tegap, liontin giok yang kini menggantung di lehernya tampak bersinar samar. "Aku tahu apa yang dipertaruhkan, Katrin. Aku siap untuk diuji."Katrin tersenyum kecil, namun sorot matanya tidak melunak. Ia menjentikkan jarinya, dan ruangan di sekitar mereka mulai berubah. Musik berhenti, para tamu VIP lenyap seperti bayangan yang memudar, dan dalam sekejap, Rendy berdiri di tengah ruang kosong yang luas dengan lantai marmer putih."Ini adalah tempat pengujian Elemental Naga," k
“Wang Industries sudah tutup sejak Tuan Muda menghilang lima tahun yang lalu. Tuan Besar Zhang Wei yang menghidupkan kembali Wang Industries dan diganti namanya menjadi Dragon Sky Group.” “Aku menghilang? Bukankah aku selalu ada di Keluarga Huang?” tanya Rendy“Tidak, Tuan Muda! Tuan Muda baru setahun menjadi bagian dari Keluarga Huang ... selama empat tahun, Tuan Muda seakan hilang ditelan dunia ini.”“Kenapa aku tidak ingat kalau aku menghilang selama empat tahun serta satu tahun berada di dalam lingkup Keluarga Huang? Ingatanku yang tersimpan hanya saat terakhir bersama Master Qing Han di Puncak Gunung Cakrabuana dan mendapatkan Pedang Spiritual Guang Yu,” batin Rendy yang merasa kejadian yang dialaminya sangat aneh.Penjelasan Katrin agak tidak masuk akal dan di luar nalar Rendy. “Apa namaku Rendy Zhang?” tanyanya lagi penasaran.“Terserah Tuan Muda, tapi sekarang Tuan Muda masih Rendy Wang, sesuai marga orangtua asuh Tuan Muda sejak Tuan dan Nyonya Besar menghilang meninggalkan
"Bagus, Tuan Muda," Katrin berkata dengan napas yang sedikit memburu. "Kau mulai memahami esensi dari pertarungan ini. Tapi ingat, pertarungan sejati tidak pernah memberi kesempatan untuk berpikir ulang. Semua harus cepat."Rendy memandang Katrin, peluh mengalir di dahinya, tapi matanya menyala penuh determinasi. "Aku siap," katanya dengan suara mantap, mengangkat Pedang Guang Yu sekali lagi.Walaupun Rendy merasa aneh dengan kekuatan Katrin sebagai praktisi bela diri, ia tetap meladeni keinginan Katrin.Katrin tersenyum tipis, melangkah maju. "Kita lihat seberapa jauh kau bisa melangkah, Tuan Muda."Pertarungan itu berlanjut, setiap gerakan, serangan, dan strategi menjadi lebih intens. Suara dentingan pedang dan gemuruh energi memenuhi arena, menciptakan pemandangan epik yang membuat setiap saksi terdiam dalam kekaguman. Di balik semua itu, Rendy tahu, ini bukan sekadar latihan—ini adalah langkahnya menuju takdir sebagai Naga Perang yang sesungguhnya.Ketegangan di arena semakin memu
Lorong ruangan itu dipenuhi bayangan redup dari lentera-lentera antik yang menggantung di sepanjang dinding, menerangi percakapan antara Katrin dan Rendy dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara di sekitar mereka terasa sedikit hangat, bercampur dengan aroma kayu yang terbakar pelan dari lentera-lentera tersebut. Katrin memandang Rendy dengan alis yang sedikit terangkat, senyum tipis di wajahnya."Tuan Besar Zhang ingin bertemu dengan Tuan Muda," katanya, nada suaranya dingin namun terkontrol, seperti orang yang menyampaikan pesan penting tanpa memperlihatkan emosi.Rendy menghela napas dalam, tangannya meraba permukaan pedang spiritual Guang Yu di punggungnya, seperti mencari pegangan pada sesuatu yang nyata di tengah kekacauan pikirannya. Namun, yang pertama kali keluar dari mulutnya bukanlah jawaban untuk permintaan Tuan Besar Zhang."Apa ada karyawan bernama Jessy Liu di Dragon Sky Group?" tanyanya tiba-tiba. Suaranya terdengar ragu, namun tatapan matanya tajam, seakan menggali j
Rendy memasuki ruangan besar di lantai paling atas Dragon Sky Tower. Dinding kaca yang mengelilingi ruangan itu memamerkan pemandangan kota Khatulistiwa yang gemerlap di malam hari. Lampu-lampu neon dari gedung-gedung tinggi membentuk pola seperti sungai bercahaya yang mengalir di tengah hutan beton. Aroma kayu cendana samar-samar memenuhi ruangan, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan yang menyentuh kulitnya.Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dari kayu eboni berdiri megah, dan di belakangnya duduk Zhang Wei, pria paruh baya dengan rambut abu-abu yang disisir rapi ke belakang. Matanya yang tajam seperti elang mengawasi Rendy dengan penuh perhitungan. Wajahnya tanpa senyuman, tapi penuh dengan kharisma seorang pemimpin. Tangannya terlipat di atas meja, jarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu, menciptakan ritme pelan yang terasa seperti menghitung detik menuju ketegangan berikutnya.Rendy berdiri tegap, namun sorot matanya dingin dan penuh kehati-hatian. Setiap langka
Rendy yang keluar dari gedung Dragon Sky Tower memutuskan untuk mengunjungi Elemental Naganya saatu persatu. Orang pertama yang ingin dikunjunginya adalah Clarissa Tan karena ia penasaran dengan Klan Assassin War yang tadinya ingin diselidikinya."Seharusnya Clarissa Tan menjadi pemimpin The Shadow, tapi kenapa sekarang malahan membawahi Assassin War? Terus, siapa yang memimpin The Shadow sekarang?"Rendy melangkah menuju sebuah gedung dengan arsitektur modern di pusat kota Kartanesia, tempat Clarissa Tan dikabarkan berada. Aroma bunga melati menyambutnya saat ia masuk ke ruang lobi yang megah, dindingnya dihiasi panel-panel kaca yang memantulkan cahaya lampu gantung kristal di langit-langit. Langkah sepatunya bergema lembut di lantai marmer yang dingin, sementara tatapannya tertuju pada seorang wanita di sudut ruangan yang memancarkan aura penuh percaya diri.Clarissa Tan berdiri dengan anggun, mengenakan gaun merah berpotongan tinggi yang mengalir seperti api di tubuhnya. Rambut ika
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus
Angin pagi membelai rambut panjang Sheila Tanoto saat ia berdiri di tepi landasan bandara jet pribadi di pinggiran Dark City. Suasana masih gelap karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 pagi. Matahari buatan masih mati digantikann oleh bulan buattan yang memiliki energi gravitasi bulan seperti di Khatulistiwa. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, sementara deru mesin pesawat pribadi Rendy menggeram pelan, siap untuk lepas landas. Bau logam dan bahan bakar memenuhi udara, menambah ketegangan yang terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Wajah Sheila disinari remang lampu bandara, menunjukkan keraguan yang dalam di matanya."Aku akan segera menyusulmu ke Khatulistiwa," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Dan aku akan memerintahkan Empat Penjuru Angin untuk menemanimu ke Negeri Andalas. Setidaknya, mereka bisa menjadi pelindungmu dari pengkhianatan yang tak terduga."Rendy menoleh, siluetnya tegap dalam bayang pesawat. Mat
Udara di apartemen terasa berat, hampir pekat, seolah setiap molekul udara merapat, menahan napas mereka dalam pusaran hasrat yang menggetarkan. Di antara gemuruh jantung yang berdetak terlalu keras, tubuh Rendy dan Sheila melebur dalam tarikan naluriah—sebuah pencarian yang tak membutuhkan kata, hanya desakan naluri yang tak terbantahkan.Sheila, dengan mata berkilat dalam cahaya remang, meraih tangan Rendy. Genggamannya kecil, namun panasnya menembus kulit hingga ke nadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya melewati ruang tamu menuju kamar tidur.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, menghadap langsung ke hamparan Dark City yang bermandikan cahaya malam. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang patah yang jatuh ke bumi, menciptakan lukisan malam yang sendu sekaligus memabukkan.Langkah-langkah mereka terhenti di tepi ranjang. Sheila berbalik perlahan. Rambut hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, mengalir seperti ti
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya