Dengan langkah tegap, Rendy Wang menembus gerbang dimensi yang menganga di hadapannya. Begitu melewatinya, udara seketika berubah—lebih berat, lebih menekan, seperti beban tak kasatmata yang menindih dadanya. Langit di atasnya bukanlah biru yang dikenalnya, melainkan kelam berputar seperti tinta yang dituangkan ke dalam air. Keheningan menyelimuti tempat itu, tetapi ia bisa merasakan sesuatu... banyak pasang mata tak terlihat mengawasi setiap gerakannya.Di depannya, lanskap yang asing terbentang dalam sunyi yang menyesakkan. Tanah kering dan hitam merekah seperti kulit terbakar, menciptakan celah-celah yang seakan menganga menanti mangsa. Sungai merah darah mengalir perlahan, cahayanya berkilauan seperti batu rubi dalam gelap. Pohon-pohon kurus menjulang di tepi sungai, tetapi daunnya hangus, seolah-olah telah menyerap kegelapan dari tanah ini. Tidak ada suara burung, tidak ada desir binatang. Hanya angin yang membawa aroma besi dan sesuatu yang lebih dalam—bau kematian."Ini adalah
Pria tua itu melangkah maju, jubah lusuhnya berkibar tertiup angin malam yang dingin. Keriput di wajahnya mencerminkan kebijaksanaan, tetapi sorot matanya tajam dan penuh kewaspadaan. Suara seraknya terdengar jelas di antara keheningan yang mencekam."Rendy, pedang itu lebih dari sekadar senjata. Ia adalah kunci sekaligus penjara. Jika kau tidak mampu mengendalikannya, dunia ini—dan semua yang kau kenal—akan musnah. Mereka yang menginginkan Pedang Naga Dewa paham satu hal: untuk memilikinya, mereka harus melalui ujian sejati. Sebuah ujian yang akan menguji hati dan jiwa pemegangnya."Udara di sekitar mereka mendadak bergetar, seakan waktu sendiri menahan napas. Dari kegelapan yang pekat, muncul makhluk-makhluk bayangan. Mereka tidak seperti manusia biasa—tubuh mereka berbalut kabut hitam pekat, matanya bersinar merah membara, dan tangan mereka panjang, berayun dengan selaput energi hitam yang merayap seperti akar-akar hidup. Langkah mereka tanpa suara, tetapi tekanan yang mereka bawa
Rendy Wang berdiri tegak di tengah kehampaan yang mencekam. Angin dingin berembus, membawa bisikan yang terdengar seperti ratapan jiwa-jiwa tersesat. Cahaya bulan yang seharusnya menerangi langit tampak tersedot ke dalam pusaran gelap yang mengelilingi Penyihir Kegelapan di hadapannya. Sosok berjubah hitam itu tampak lebih mengerikan dari yang pernah ia bayangkan—matanya bagai dua bara api yang menyala dari kegelapan, jubahnya berkibar-kibar seiring dengan energi hitam yang berdenyut liar di sekelilingnya.Rendy merasakan tekanan luar biasa menghantam dadanya, seperti ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram jantungnya, mencoba meremukkannya. Namun, ia menepis rasa takut yang merayap di benaknya. Nafasnya ia tarik dalam-dalam, menggantikan keraguan dengan tekad yang mengakar kuat."Penyihir Kegelapan," suaranya menggema, tegas dan penuh keyakinan, "Aku tidak akan membiarkan kalian menguasai dunia ini. Aku akan melindunginya, dengan segala yang aku miliki."Tawa meledak dari Penyihi
Rendy menggertakkan giginya, rahangnya mengeras saat mendengar kata-kata yang berusaha menggoyahkan tekadnya. Napasnya memburu, dadanya naik turun, tetapi matanya tetap tajam, membara dengan api yang tak bisa dipadamkan. Tanpa ragu, ia mengalirkan energi naga ke dalam pedangnya. Getaran hebat menjalar dari gagang pedang ke seluruh tubuhnya, seolah bilah itu hidup dan merespons panggilan tuannya."Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini," suaranya bergema, penuh kepastian. "Pedang Naga Dewa adalah milikku, dan aku yang akan menentukan takdirnya."Kilatan cahaya emas melesat dari bilah pedangnya saat ia melompat ke udara, tubuhnya seperti meteor yang melesat menuju Penyihir Kegelapan. Angin berputar liar di sekelilingnya, menciptakan pusaran energi yang berderak di udara. Pada saat yang sama, Penyihir Kegelapan mengangkat kedua tangannya, membentuk pusaran energi gelap yang meliuk-liuk seperti ular raksasa. Dengan satu gerakan tangan, ia melemparkan bola kegelapan itu ke ara
Langit di atas Rendy Wang dipenuhi pusaran awan kelam yang bergolak, seperti luka terbuka di angkasa. Aroma logam dan abu menyelimuti udara, menusuk indra penciumannya. Tanah di bawahnya retak, mengeluarkan uap panas yang naik perlahan, menciptakan bayang-bayang menari di sekitar kakinya. Di tangannya, Pedang Naga Dewa bersinar redup, pancaran cahaya emasnya seperti lilin yang berusaha melawan gelap yang terus merayap. Rendy berdiri tegak, napasnya masih berat akibat pertempuran yang baru saja berakhir. Keringat mengalir di pelipisnya, bercampur dengan darah yang bukan hanya miliknya. Sorot matanya menelusuri kehampaan yang kini menggantung di hadapannya. Dunia ini seharusnya terasa lebih ringan setelah kehancuran Penyihir Kegelapan, tetapi justru sebaliknya—sebuah kehadiran yang lebih mengerikan muncul dari balik dimensi yang seharusnya telah musnah. Sebuah bayangan perlahan muncul, awalnya hanya kabut gelap yang melayang, lalu berubah menjadi siluet yang tinggi dan tegap. Udara di
Rendy menggenggam Pedang Naga Dewa lebih erat, merasakan panas yang membakar dari energi naga yang kini semakin bergejolak di dalamnya. Urat-urat di lengannya menegang saat kekuatan itu mengalir liar, seperti naga yang mengaum di dalam dadanya, siap melepaskan amarahnya. Mata Rendy berkilat tajam, menatap Azrael yang berdiri di seberangnya dengan senyum yang tak tergoyahkan. Angin di sekitar mereka berputar semakin kencang, membawa serta serpihan tanah dan debu yang beterbangan liar. Udara terasa berat, penuh dengan aura kejahatan yang menyelimuti arena. Rendy tahu, Azrael bukan hanya sekadar musuh biasa. Dia adalah kegelapan yang mengancam menelan dunia ini dalam kehancuran abadi. Jika ia gagal, tak akan ada lagi cahaya, tak akan ada lagi harapan. "Jika itu yang kau inginkan..." suara Rendy terdengar dingin, tegas, seolah melawan guntur yang menggelegar di kejauhan. "Aku akan menghentikanmu, Azrael. Aku akan menghalangi setiap langkahmu, meski harus menghancurkan dunia ini sendir
Ledakan energi mengguncang dimensi itu, menciptakan gelombang kejut yang merobek ruang di sekelilingnya. Dua kekuatan bertabrakan dalam pertarungan yang akan menentukan nasib dunia—cahaya yang mulai meredup melawan kegelapan yang kian menelan segalanya. Udara bergetar, seakan merasakan ketegangan yang membelit langit dan tanah.Rendy Wang berdiri tegak, tubuhnya gemetar bukan karena ketakutan, tetapi karena intensitas energi yang mengalir di sekitarnya. Pedang Naga Dewa dalam genggamannya berdenyut, memancarkan cahaya keemasan yang membakar kegelapan di sekelilingnya. Kilatan naga surgawi menari di bilah pedangnya, menyisakan jejak api yang menyala dalam kehampaan dimensi ini.Di hadapannya, Azrael, Penguasa Kegelapan, melayang di udara dengan aura mengerikan yang meresap hingga ke dalam tulang. Jubah hitamnya berkibar, seakan terbuat dari bayangan yang hidup. Mata merahnya berkilat tajam, seperti bara neraka yang siap melumat segalanya. Dari kedua tangannya, energi hitam mengalir, be
Angin dingin menyapu reruntuhan tempat pertarungan berlangsung, membawa aroma tanah basah bercampur darah yang membeku. Rendy berdiri di tengah-tengah medan itu, telapak tangannya yang gemetar menggenggam erat Pedang Naga Dewa. Mata cokelat gelapnya memandang ke arah Azrael, musuh bebuyutannya, yang tampak berdiri kokoh meski aura kegelapan di sekelilingnya mulai memudar. Tiba-tiba, suara dari dalam pedang kembali berbisik, lembut namun penuh wibawa."Jangan takut, anak muda," suara itu menggema langsung ke dalam jiwanya. "Kegelapan yang ia bawa hanyalah salah satu sisi dari energi kosmik. Pedang Naga Dewa memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan kedua kutub ini. Yang perlu kau lakukan adalah mengarahkan niatmu pada kesempurnaan—bukan hanya sekadar kekuatan."Rendy tertegun. Suara itu seperti melahirkan keberanian baru dalam dirinya. Dadanya mulai berdenyut dengan ritme yang serasa sejalan dengan detak kehidupan di sekitar. Cahaya lembut mulai muncul dari pedang, mengalirkan energi yang
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini t
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai t
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus
Angin pagi membelai rambut panjang Sheila Tanoto saat ia berdiri di tepi landasan bandara jet pribadi di pinggiran Dark City. Suasana masih gelap karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 pagi. Matahari buatan masih mati digantikann oleh bulan buattan yang memiliki energi gravitasi bulan seperti di Khatulistiwa. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, sementara deru mesin pesawat pribadi Rendy menggeram pelan, siap untuk lepas landas. Bau logam dan bahan bakar memenuhi udara, menambah ketegangan yang terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Wajah Sheila disinari remang lampu bandara, menunjukkan keraguan yang dalam di matanya."Aku akan segera menyusulmu ke Khatulistiwa," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Dan aku akan memerintahkan Empat Penjuru Angin untuk menemanimu ke Negeri Andalas. Setidaknya, mereka bisa menjadi pelindungmu dari pengkhianatan yang tak terduga."Rendy menoleh, siluetnya tegap dalam bayang pesawat. Mat
Udara di apartemen terasa berat, hampir pekat, seolah setiap molekul udara merapat, menahan napas mereka dalam pusaran hasrat yang menggetarkan. Di antara gemuruh jantung yang berdetak terlalu keras, tubuh Rendy dan Sheila melebur dalam tarikan naluriah—sebuah pencarian yang tak membutuhkan kata, hanya desakan naluri yang tak terbantahkan.Sheila, dengan mata berkilat dalam cahaya remang, meraih tangan Rendy. Genggamannya kecil, namun panasnya menembus kulit hingga ke nadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya melewati ruang tamu menuju kamar tidur.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, menghadap langsung ke hamparan Dark City yang bermandikan cahaya malam. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang patah yang jatuh ke bumi, menciptakan lukisan malam yang sendu sekaligus memabukkan.Langkah-langkah mereka terhenti di tepi ranjang. Sheila berbalik perlahan. Rambut hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, mengalir seperti ti
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je
The Killer berdiri di tengah medan, darah hitam menetes dari lengannya, menodai tanah Negeri Malam yang retak. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia merasakan tekanan—bukan dari satu musuh, tapi dari kekuatan bersatu.Jessy menggenggam erat pedang lebarnya yang bergetar karena energi spiritual. Napasnya berat, tapi matanya penuh keyakinan. Di sisi lain, Renata mengaktifkan mode serangan penuh dari Nova-Core, tubuhnya dilapisi armor spiritual tipis berkilau biru muda. Kupu-kupu logam di belakangnya mulai berubah, mengepakkan sayap berbentuk bilah tajam, siap menghujani The Killer kapan saja.Sementara itu, Rendy, walau masih berlutut dan tubuhnya gemetar, membuka matanya perlahan. Cahaya keemasan samar mulai berkedip di dalam irisnya — tanda bahwa sebagian kecil energi Naga Perang mulai bangkit kembali.The Killer menggeram rendah, suaranya seperti dua dimensi bertabrakan.“Aku... tidak akan berakhir di sini...”Dengan satu gerakan memutar, tubuhnya membelah menjadi sepuluh baya