Rendy merasakan keheningan yang mendalam mengelilinginya saat Shu Jin memulai pengajaran lebih lanjut. Pedang-pedang spiritual yang melayang di sekelilingnya kini mulai lebih teratur, namun ia tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjangnya untuk menguasai Magis Pedang Dewa. Setiap pedang yang ia kendalikan adalah sebuah perpanjangan dari niat dan kekuatannya, namun pengendalian itu bukanlah hal yang mudah.Shu Jin mengangkat tangannya dengan perlahan, dan sebuah gelombang energi spiritual mengalir dari ujung jarinya, merasuk ke dalam pedang-pedang yang mengelilingi Rendy. “Sekarang, mari kita lanjutkan kembali dengan teknik kedua—Pedang Gabungan Bintang.”"Teknik ini adalah puncak pengendalian dalam Magis Pedang Dewa. Kamu akan mengendalikan ratusan pedang sekaligus, menggerakkannya dalam serangan terkoordinasi. Ini bukan sekadar soal jumlah pedang, tetapi soal kejelasan tujuan dan kekuatan niatmu. Gabungan Bintang berarti, setiap pedang adalah bintang yang saling berhubungan dal
Shu Jin berdiri diam, matanya tajam mengamati setiap gerakan Rendy. Selama beberapa saat, ia tak berkata apa-apa, hanya membiarkan keheningan menjadi bagian dari pelajaran. Akhirnya, dengan suara yang tenang dan penuh makna, ia berbicara, “Keinginanmu sudah ada, Rendy. Namun, kau terlalu banyak berpikir. Pedang-pedang itu harus bergerak melalui intuisi dan jiwa, bukan sekadar rencana dan strategi. Lepaskan keraguanmu, dan biarkan gerakanmu lahir dari niat sejati.”Kata-kata itu menembus hingga ke dalam hati Rendy. Ia menundukkan kepala, merenungkan kesalahan yang baru saja disadarinya. Ia terlalu terjebak dalam logika, terlalu fokus pada strategi, sehingga melupakan esensi sejati dari seni pedang ini. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan pikirannya kosong, hanya menyisakan satu tujuan yang jelas ... mengendalikan pedang-pedang itu sebagai satu kesatuan.Dalam keheningan itu, sesuatu berubah. Pedang-pedang spiritual yang melayang di sekelilingnya mulai bergerak kembali, n
Rendy merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—sebuah hubungan tak kasatmata yang mengikatnya dengan seluruh jagat raya. Mantra kuno yang diucapkan oleh Shu Jin mengalir bagaikan sungai cahaya ke dalam tubuhnya, menelusuri setiap jalur energi yang sebelumnya tersembunyi. Setiap suku kata mantra itu bergema dalam nadinya, menciptakan resonansi yang membangunkan kekuatan yang telah lama terkunci di dalam dirinya. Pedang Naga Dewa yang ia genggam mulai bergetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kesadaran. Getaran itu semakin kuat, seiring cahaya keemasan yang merembes keluar dari bilahnya, menggantikan bayangan kelam yang dulu menyelimutinya. Udara di sekitar mereka bergetar, seakan merespons perubahan yang tengah terjadi. Rendy bisa merasakan denyut kehidupan dari pedangnya, bukan lagi sekadar senjata, tetapi sebagai bagian dari dirinya—perpanjangan dari tekad dan kehendaknya. Shu Jin mengamati perubahan ini dengan sorot mata penuh kebijaksanaan. Cahaya keemasan
Langit di atas mereka tampak kelam, seolah merespons energi dahsyat yang bergema di seluruh arena. Angin berhembus kencang, membawa debu dan dedaunan yang beterbangan, seakan menari bersama pedang-pedang yang melayang di udara. Shu Jin berdiri dengan tenang di tengah pusaran energi, matanya tajam, penuh ketenangan seorang ahli yang telah memahami esensi dari setiap ayunan pedang. Dengan satu gerakan anggun, Shu Jin mengangkat tangannya. Puluhan pedang spiritual yang mengitari tubuhnya bergerak dalam harmoni sempurna, mengikuti irama yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah menyatu dengan alam. Cahaya dari pedang-pedang itu berpendar, berkilauan seperti bintang-bintang yang turun dari langit malam. "Perhatikan baik-baik, Rendy," suara Shu Jin bergema di antara desiran angin. "Setiap pedang ini bukan hanya sekadar senjata. Mereka adalah perpanjangan dari jiwa, dari niat, dari keinginan yang tidak terucapkan. Jika kau bisa menyelaraskan hatimu dengan mereka, maka seranganmu aka
Di tepi dermaga yang sepi, Alan Smith berdiri mematung, menatap laut yang tampak seperti cermin yang merefleksikan kekalahannya. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini terlihat layu. Angin dingin dari arah samudra menerpa rambut pirangnya yang acak-acakan. Kekalahan telak dari Rendy telah menghancurkan ego dan ambisinya. Dengan nada bergetar, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Sudah cukup. Aku harus pergi.” Langkah beratnya membawa dirinya kembali ke United Kingdom, dengan satu janji terpatri di hatinya kalau ia takkan pernah lagi mengganggu Rendy.Sementara itu, di sebuah ruangan sunyi yang diterangi cahaya lilin, Rendy duduk termenung. Di hadapannya tergeletak Pedang Naga Dewa, sebuah senjata yang memancarkan aura gelap dan mengerikan. Tatapannya tajam, tetapi penuh keraguan. Ia merasakan sisi kegelapan dari pedang itu semakin sulit dikendalikan. “Aku tak bisa terus seperti ini,” gumamnya. “Kekuatannya terlalu besar untukku.” Dengan tekad yang bulat, Rendy memutuskan untuk m
The Protector berjanggut putih itu melangkah maju dengan penuh wibawa, matanya yang tajam seperti kilatan petir menatap lurus ke arah Rendy dan kelompoknya. Dengan satu gerakan anggun, ia mengangkat tangannya ke udara, dan seketika energi spiritual yang luar biasa kuat membuncah dari tubuhnya. Udara mendadak berat, seolah-olah seluruh langit menekan tubuh mereka. Napas mereka tertahan, keringat dingin mengalir di pelipis."Beraninya kalian, para pengacau dari dunia bawah, menantang aturan Negeri Langit!" Suaranya menggelegar seperti badai yang mengamuk di tengah lautan, mengguncang tanah di bawah kaki mereka.Rendy menatap lurus ke arah pria itu, matanya menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ia melangkah ke depan, menghunus Pedang Kabut Darah. Begitu senjata itu keluar dari sarungnya, aura merah pekat berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran energi yang menari-nari ganas di udara."Kami tidak datang untuk melawan, tetapi jika kau memaksa, kami tidak akan mundur!" ujarnya tega
Hembusan angin dingin menusuk kulit saat Sheila mengangkat tangannya ke langit. Butiran es sebesar kepalan tangan berjatuhan dengan kecepatan tinggi, membekukan tanah dan menciptakan lapisan licin yang membuat udara sekitar bergetar. Clarissa, dengan mata membara, mengacungkan kedua tangannya ke depan. Api menyembur liar, berputar seperti naga yang mengamuk, menciptakan pusaran panas yang menghanguskan segala yang ada di jalurnya.Seruni berdiri tegak, tubuhnya berpendar dengan kilatan listrik. Petir melesat dari telapak tangannya, menari di udara sebelum menghantam tubuh The Protector dengan suara menggelegar. Selina, dengan gerakan secepat bayangan, melayangkan angin badai yang tajam, membelah pohon dan tanah dengan ketajaman mengerikan.Namun, serangan mereka hanya membuat The Protector melangkah mundur beberapa jengkal. Ia mengayunkan tangannya, menciptakan perisai energi yang menyerap kekuatan gabungan mereka seakan tak berarti. Senyum tipis tersungging di wajahnya sebelum ia mem
Negeri Langit bergetar saat Rendy Wang berlutut di atas tanah yang hancur. Nafasnya berat, darah mengalir dari pelipisnya dan sedikit di ujung bibirnya, tetapi matanya tetap menyala dengan kobaran tekad yang tak tergoyahkan. Pedang Kabut Darah dalam genggamannya berdenyut, seakan merespons kehendaknya.Ia tetap tidak akan menggunakan Pedang Naga Dewa karena khawatir pedang ini akan menelannya hidup-hidup ke dalam kegelapan dalam kondisinya yang tidak memungkinkan seperti ini.Di hadapannya, The Protector berdiri tegak, sosoknya bagai dewa perang yang tak tergoyahkan. Energi hitam pekat berdenyut di sekelilingnya, memancarkan aura kematian yang menyesakkan. Para Elemental Naga tergeletak di sekitar Rendy, tubuh mereka penuh luka dan nyaris kehilangan kesadaran."Kita... tak akan menang..." gumam Seruni, suaranya lirih, hampir seperti bisikan putus asa.Namun Rendy tak menjawab. Tangannya meraba ke dalam jubahnya, merasakan permukaan halus dari Giok Naga Merah. Batu giok itu berdenyut,
Di sisi lain, Bara Sena tampak berlutut, satu tangan mencengkeram lantai yang retak, berusaha menopang tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga. Api yang sebelumnya menyelimuti tubuhnya kini meredup, menjalar mundur ke dalam pori-pori kulitnya. Wajahnya pucat, nafasnya tersengal, dan matanya membelalak seperti baru menyaksikan hal yang tak bisa diterima oleh akal sehat.“Ba … gaimana … bisa …” desisnya, suaranya serak, lebih mirip geraman binatang yang terluka. Matanya menatap Rendy seakan menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Langkah Rendy bergema di lantai rusak balairung. Tiap hentakan sepatunya mengeluarkan bunyi seperti palu yang memaku takdir. Ia berhenti tepat beberapa langkah di depan Bara Sena, menatapnya dari balik rambut acak-acakan dan darah yang belum sempat dibersihkan.“Aku tidak bertarung hanya untuk diriku sendiri,” ucapnya pelan, namun suaranya menggema seperti lonceng peringatan. “Aku membawa harapan dari seluruh Dunia Tengah. Mereka yang tak punya kekuatan, yang s
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini t
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai t
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus
Angin pagi membelai rambut panjang Sheila Tanoto saat ia berdiri di tepi landasan bandara jet pribadi di pinggiran Dark City. Suasana masih gelap karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 pagi. Matahari buatan masih mati digantikann oleh bulan buattan yang memiliki energi gravitasi bulan seperti di Khatulistiwa. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, sementara deru mesin pesawat pribadi Rendy menggeram pelan, siap untuk lepas landas. Bau logam dan bahan bakar memenuhi udara, menambah ketegangan yang terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Wajah Sheila disinari remang lampu bandara, menunjukkan keraguan yang dalam di matanya."Aku akan segera menyusulmu ke Khatulistiwa," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Dan aku akan memerintahkan Empat Penjuru Angin untuk menemanimu ke Negeri Andalas. Setidaknya, mereka bisa menjadi pelindungmu dari pengkhianatan yang tak terduga."Rendy menoleh, siluetnya tegap dalam bayang pesawat. Mat
Udara di apartemen terasa berat, hampir pekat, seolah setiap molekul udara merapat, menahan napas mereka dalam pusaran hasrat yang menggetarkan. Di antara gemuruh jantung yang berdetak terlalu keras, tubuh Rendy dan Sheila melebur dalam tarikan naluriah—sebuah pencarian yang tak membutuhkan kata, hanya desakan naluri yang tak terbantahkan.Sheila, dengan mata berkilat dalam cahaya remang, meraih tangan Rendy. Genggamannya kecil, namun panasnya menembus kulit hingga ke nadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya melewati ruang tamu menuju kamar tidur.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, menghadap langsung ke hamparan Dark City yang bermandikan cahaya malam. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang patah yang jatuh ke bumi, menciptakan lukisan malam yang sendu sekaligus memabukkan.Langkah-langkah mereka terhenti di tepi ranjang. Sheila berbalik perlahan. Rambut hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, mengalir seperti ti
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak
Gemuruh sorak-sorai membahana di seluruh penjuru Dark City. Malam itu, langit Negeri Malam seolah terbakar oleh kembang api yang menghujam ke udara, meledak dalam semburat warna merah darah dan biru keunguan. Udara dipenuhi aroma manis dari bunga-bunga yang dihiasi sepanjang jalan, bercampur dengan bau hangat makanan yang dibakar di setiap sudut festival.Kemenangan atas Azerith — Sang Pewaris Malam yang selama ini menjadi duri dalam upaya Sheila untuk membangun negeri ini — terasa seperti beban besar yang akhirnya terangkat dari dada semua orang. Negeri Malam, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, merasakan apa itu kebebasan.Renata dan Jessy berdiri di tengah kerumunan, senyum mereka merekah di bawah cahaya lentera. Kilatan kebahagiaan di mata mereka membuat keduanya tampak lebih muda dari biasanya. Rencana untuk kembali ke Negeri Khatulistiwa pun mereka tangguhkan tanpa ragu, terpikat oleh atmosfer penuh sukacita ini.“Aku rasa... kita memang harus tinggal lebih lama,” ujar Je