17 tahun kemudian.
..."Ya! Kalahkan dia, King! Bunuh bocah itu!""Bunuh!""Bunuh!"Sorak-sorai terdengar bergemuruh. Memekakkan gendang telinga meski mungkin tidak satupun peduli. Lalu, di tengah-tengah arena pertarungan para budak, tatapan setajam elang milik pemuda berusia 17 tahun tak sekalipun goyah menghunus lawan yang jauh lebih besar darinya. Bahkan jika nyaris semua pendukung bersorak bukan untuknya, hal itu sama sekali tidak menyurutkan tekadnya."Menyerahlah, Nak!"Pria berbadan besar tersebut jelas tidak terlihat bersimpati. Sebaliknya, perkataannya justru terdengar mengejek. Toh, sekalipun pemuda itu mengangkat tangan untuk menyerah di pertandingan pertamanya, pertarungan akan tetap berlangsung. Sebagai budak di pasar gelap Kerajaan Ernes, mereka dituntut untuk bertarung di usia 17 tahun. Mereka telah dilatih sejak dini hanya untuk hari ini."Aku tidak akan terprovokasi," sahut si Pemuda. Kilat dingin di balik tatapannya menghunus lurus ke arah lawan.Meski saling melempar kata yang jelas bukan sapaan ramah, kaki keduanya melangkah perlahan mengitari arena. Bahkan enggan memutus pandangan barang sedetikpun. Saling membuang tatapan tajam seolah mereka telah menyerang."Huh! Kau berlagak akan mengalahkanku. Sombong sekali!" ejek King.Pemuda itu menyeringai dingin. "Memang sudah seharusnya seperti itu. Gelar King yang kau gunakan akan aku tumbangkan."Tersulut, pria besar itu bergegas maju lebih cepat, nyaris bersamaan ketika bell pertandingan digaungkan ke seluruh penjuru arena pasar gelap. Tangan besar dan sekeras baja miliknya dengan cepat menghantam jeruji besi dinding pembatas, tepat di mana pemuda itu berada. Detik yang sama, bunyi patahan besi seketika menggema riuh di tengah kemeriahan penonton yang tidak beradab."Yay!!! Kalahkan dia, King!"Sorakan kembali terdengar."Bunuh bocah sombong itu! Dia terlalu berani memilihmu sebagai lawan di pertandingan pertamanya."Berhasil menghindar dengan baik, pemuda gagah itu memulai ancang-ancang hendak memberi serangan balasan. Dari arah belakang dia melompat sangat tinggi lantas mendarat tepat di kedua pundak King. Otot bisepnya mengeras dan menegang tatkala tangannya dengan kilat membekap mulut lalu mencengkram rahang kokoh milik lawan, hendak memelintir, tetapi gagal!"Argh! Kau masih terlalu lemah, Bocah!" raung King.BRAKK!!Hantam keras kembali terdengar. Tangan besar King berhasil meraih tubuh si Pemuda, mencengkeramnya kuat lantas melemparnya umpama benda mati. Namun, pemuda itu mampu mendarat dengan baik. Arena yang dibiarkan becek oleh tanah dan air membuat tubuh mereka kotor tak ubahnya hewan peternakan bermandikan lumpur. Hanya saja, itu bukan penghalang."Satu-satunya cara untuk bisa keluar dari perbudakan adalah mengalahkan orang-orang sepertimu!" Pemuda itu meludah tanpa rasa takut. Membuang sisa darah di mulut lantaran pipinya sempat membentur dinding besi."Huh! Bermimpi saja!" hardik King.Sekali lagi, ayunan tangan sekeras baja itu menghantam tepat di sebelah si Pemuda, menciptakan lubang besar berasap kendati arena tengah basah. Tetapi, tidak ada yang mengira betapa lihainya pemuda itu menghindar dari serangan mematikan.Si Pemuda menyeringai seolah mengejek. "Giliranku," katanya.Mencari celah lalu mendapati kesempatan, pemuda itu berlari sangat cepat memutari arena. Memaksa lawan mengeram marah lantaran tak mampu membaca gerakannya. Sebuah kepalan tinju dari arah yang tidak disangka-sangka telah melayang begitu kuat lantas menghantam rahang milik King. Sempat oleng, tetapi sebagai petarung senior yang nyaris lepas dari perbudakan, King tidak akan ditumbangkan semudah itu.Kuda-kuda yang sempat goyah berhasil diseimbangkan kembali.Rahang mengeras, sementara bibirnya bergetar marah, King berkata, "Akan aku akhiri ini dengan cepat. Kau membuatku marah, Bocah!""Argh!" Jeritan mendadak terdengar.Pemuda itu jelas tidak berkutik ketika King balik menyerang dengan kecepatan penuh. Dalam hitungan detik tangan kokohnya berhasil meraup batang leher si Pemuda. Mencengkeramnya kuat-kuat. Mengangkat tinggi tubuh tersebut hingga melayang beberapa meter di udara.King menyeringai. "Lihat dirimu, Nak. Kau mungkin cukup cepat dan aku terkesan dengan hal itu mengingat ini pertarungan pertamamu." Seringainya makin melebar. "Tetapi sayang sekali, kau akan mati sekara—ARGH!!"Cekikan kuat itu mendadak terlepas. Tidak pernah ada yang menduga bahwa si Pemuda akan menggunakan kakinya yang telah mati rasa untuk menyerang bagian perut King. Dia lalu mundur beberapa langkah hanya untuk terbatuk keras sembari meraup oksigen lebih banyak. Terlambat sedikit saja dan dia benar-benar akan mati."SIALAN! Setelah aku membunuhmu, aku akan mendatangi keluargamu! Akan aku lenyapkan kalian semua!"BRAK!!Untuk kesekian kalinya pemuda itu berhasil menghindar. Hanya saja, sorot matanya mendadak berbeda. Ancaman yang King lontarkan jelas telah membuat darahnya memanas. Dia tidak akan pernah membiarkan ayahnya mati, terlebih di tangan pria menjijikan semacam King."Kau pikir aku akan membiarkannya?" Sorot dingin si Pemuda menusuk jauh ke arah King.Lalu, di detik yang sama jemarinya mengepal terlalu kuat hingga merobek kulit tangannya sendiri. Sepasang maniknya yang gelap mendadak bersinar kemerahan di tengah remang cahaya arena pertarungan. Kejanggalan tidak hanya berhenti di sana, tiba-tiba angin bertiup hingga penonton yang semula berisik kini terdiam. Mereka mendongak memasang raut kebingungan.Toh, bagaimana mungkin tempat pengap seperti ini diterpa tiupan angin cukup kencang? Jelas, hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya."Apa yang terjadi?""Dari mana datangnya angin ini?"Terkaan demi terkaan terdengar dari atas lantai penonton. Mereka kembali riuh tetapi kali ini berpusat pada kejanggalan yang terjadi di arena pertarungan. Mereka lantas tercengang ketika sebuah kilatan aneh bergerak terlalu cepat hingga mata telanjang sulit mengikuti—bergerak lurus ke arah King yang masih terdiam kebingungan di dalam arena.Dan ... BRAK!!Tubuh King yang besar terpental menabrak dinding pembatas arena. Berikutnya, terbanting ke arah sebaliknya seolah-olah tubuh pria itu adalah bola yang sedang memantul. Lantai penonton mendadak diam membisu, terlalu tercengang menyaksikan kejadian yang tengah berlangsung di bawah sana.Kilatan disertai pantulan itu baru berhenti ketika dinding pembatas benar-benar ambruk.Lalu, teriakan salah seorang penonton menggema usai mendapati tubuh petarung andalan mereka nyaris hancur, tergeletak tepat di pinggir arena. Kepala King pecah dengan patahan tulang menonjol keluar di beberapa bagian."Aaa!!""Apa yang terjadi?""Apakah bocah itu yang melakukannya? Tetapi, bagaimana mungkin?"Sementara di sisi lain, pada sudut tergelap di lantai penonton yang tengah riuh, seseorang menyeringai di balik tudung jubahnya.Bibirnya berbisik, "Belum saatnya kau menonjol," ujarnya, terdengar misterius.Detik yang sama, jemarinya melempar jarum berukuran kecil tepat ke arah arena. Bergerak lurus menuju leher pemuda yang sedang bersimpuh di tengah arena, sembari menatap kebingungan kedua telapak tangannya yang melepuh.Pekikan penonton sekali lagi terdengar tatkala menyaksikan pemuda itu ikut tumbang."Sepertinya ada pengganggu di pertarungan ini. Tidak mungkin bocah itu yang mengalahkan King," riuh para penonton."Jadi, katakan siapa kau?!" Yuu adalah orang pertama yang bertanya ketus setelah suasana tenang di dalam pondok. Mereka duduk berhadapan hanya dengan beralaskan tikar anyam yang bahkan sudah lapuk. Sementara Ash berdiri bersandar di ambang pintu dengan ekspresi gelap yang tidak berhenti muncul di wajahnya, menatap Jeffrey dengan aura membunuh yang bisa saja meledak hanya dengan sedikit pancingan. Beruntung, Jeffery bukan tipe kompor yang gemar mengadu. Di lain sisi, Ameera duduk berdampingan dengan Yuu. Berhadapan dengan pria yang mendadak merasa tidak dia kenali meski dia telah terkurung bersamanya selama beberapa hari di dalam goa. Ada raut penghakiman yang menuntut kejelasan di wajahnya dan Jeffrey mengerti suasana ini. Pria itu justru tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang di situasi yang kapan saja bisa berubah. "Seperti yang kalian dengar, namaku Jeffrey." Menatap si peramal, dia menambahkan, "dan pria tua ini, adalah guru sekaligus Kakekku." "Apa?!"
Yuu bangun sangat pagi, sama seperti hari-hari sebelumnya dan mendadak benci kebiasaan ini jika saja dia tidak melihat hal buruk yang merusak paginya. Ameera dengan tidurnya yang serampangan dan Ash yang terkadang mengigau tidak jelas hingga fajar. Meski begitu, kedua orang itu tidur sangat lelap. Satu-satunya alasan mengapa Yuu selalu terbangun lebih awal karena mimpi buruk yang kerap menghantuinya, dan kian diperparah sejak meninggalnya ayahnya. Ketika Yuu terkurung di kawasan budak, dia sering memimpikan tentang kebakaran besar yang dia sendiri bahkan tidak pernah melihatnya. Dan dia baru menyadari bahwa itu ternyata berkaitan dengan kehancuran klannya berdasarkan penjelasan Ameera juga ayahnya. Jauh di lubuk hatinya, dia bersikeras bahwa semua yang dia lakukan untuk bertambah kuat adalah untuk membalaskan dendam ayahnya, tetapi Yuu tidak bisa menampik sebagian kecil dalam benaknya yang mendesak mengakui keberadaan naga dan asal-usulnya sendiri. Yuu selalu ingin melari
"Apa maksudmu? Jadi, Jeffrey adalah roh leluhurmu?" Ash menoleh, sedikit terkejut mengetahui bahwa Ameera telah sadarkan diri. Gadis itu bahkan sudah bisa menggerakkan tubuhnya mendekat ke arah mereka meski raut wajahnya kadangkala meringis. "Siapa Jeffrey?" Ash balik bertanya dengan raut tidak suka. "Pria yang sudah kau serang." Ameera beralih kepada Yuu sambil melanjutkan, "apa kau yakin, Yuu? Meski mencurigakan, tetapi aku masih ragu bahwa Jeffrey adalah Roh yang telah menculikku. Selama berada di goa bersama, dia tidak menyakitiku." Meski rasanya Ash ingin mengamuk mengetahui bahwa pria yang memiliki aura sangat kuat dan begitu mirip dengan si roh penculik adalah pria yang cukup gagah, tetapi dia sadar bahwa sekarang bukan saatnya melampiaskan emosi yang tidak berguna. Dia tidak ingin memperlihatkan perasaan cemburu tidak pada situasi yang baik. Akan sangat merugikan bila musuh muncul dan dia kehabisan energi. Pada akhirnya Ash hanya mengepalkan tangan sembari membuang napa
Ameera bisa melihat suasana semakin runyam. Ash tidak berhenti melakukan serangan hingga Jeffrey terpaku di posisinya seolah pria itu tidak sanggup bangkit. Memikirkan banyak hal, Ameera mulai skeptis jika Jeffrey adalah orang yang sama dengan roh yang telah menculik dan membuatnya terkurung di goa yang gelap. Keraguan terbesit di benaknya, dan jika itu benar, maka Ash telah menyerang orang yang salah!Lagipula, jika Jeffrey adalah jelmaan roh itu, bukankah dia cukup kuat untuk melawan balik Ash? Namun yang terlihat justru sebaliknya. "Aku harus menghentikan Ash! Ini mungkin hanya salah paham!"Yuu melotot bukan main mendengar penuturan Ameera. Sontak dia menarik gadis itu agar tetap berada di balik persembunyian mereka. "Apa kau gila! Jika musuh melihatmu lagi, Ash hanya akan terganggu!" bentak Yuu. Ameera bersikeras, "Jeffery bukan makhluk itu, dia sama denganku, kami berdua juga korban penculikan!"Sikap keras kepala dan tidak ingin kalah Ameera telah membuat Yuu berang. Pemuda
"Apa yang ingin kamu lakukan?" Jeffrey tidak menoleh ketika dia mendengar pertanyaan Ameera yang setengah berbisik. Meletakkan jari telunjuk di depan bibir, Jeffrey memberi isyarat agar Ameera tetap diam. Gadis itu menurut dengan mudah. Pria itu melangkah perlahan ke arah mulut goa, mendekatkan daun telinga tepat di sisi batu besar yang menghalangi pintu keluar mereka. Pria itu seketika menyeringai. "Roh itu tidak ada," katanya. "Benarkah?" Jeffrey mengangguk kembali. Setengah senang Ameera berjalan cepat ke arah Jeffrey. "Tunggu apa lagi, bukankah kau memiliki rencana untuk keluar dari tempat ini?" "Memang," seru Jeffrey percaya diri. Ameera masih tertelan euforia ketika menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal. Mengamati Jeffrey yang tengah mengambil ancang-ancang untuk memecahkan batu besar di depannya, gadis itu mendadak mengerutkan kening. Sedikit pelan, Ameera bersuara, "Jeffrey, bukankah kekuatanmu telah disegel oleh Roh itu sehingga kau tidak bisa bergerak?" Kali ini
Sudah nyaris dua hari Ameera belum ditemukan. Selama itu pula, Yuu berusaha meyakinkan Ash agar tetap menjaga kewarasannya. Tanpa Ameera, Ash jelas bukan manusia hidup yang selama ini Yuu kenal. Bukan lagi pria hebat yang mengalahkan Drake hanya dengan sekali serang langsung mematahkan lehernya. Pada akhirnya, Ash berubah menjadi pria uring-uringan yang tampak kehilangan jiwa. "Kau benar-benar menjengkelkan!" Yuu menggertak sembari menyeret tubuh Ash yang masih saja berbaring di atas tanah. Ngomong-ngomong, mereka membuat kemah di pinggiran hutan desa dan tanpa tenda. Beruntung mereka memiliki api unggun untuk menghangatkan tubuh. Tetapi tampaknya, Ash sendiri telah membeku; hati dan jiwanya lebih tepatnya. "Aku tidak tahu di mana Ameera berada," Ash bergumam lemas. Di satu sisi, Yuu menggerakkan gigi dengan kesal. "Justru jika kau seperti ini, si Tuan Puteri tidak akan pernah ditemukan. Jadi, bangkitlah, brengsek!" Ash mengangguk tidak yakin. "Yuu," panggilnya, semen