Phrash!
Yuan menyaksikan bagaimana kepala sang ayah, Raja kerajaan Qingce, ditebas dan kemudian menggelinding ke kakinya.
Pria muda itu mematung, tidak menyangka bahwa pembawa pesan dari kekaisaran lain yang mereka undang untuk hadir di hari penobatannya sebagai putra mahkota justru membunuh sang Raja tepat di hadapan semua tamu undangan.
Bahkan teriak saja ia tak bisa saking terkejutnya dengan apa yang baru saja terjadi.
Tidak ada yang berkedip, apalagi setelah menebas kepala sang Raja, si pembawa pesan berbalik pada Yuan.
“Lihatlah keluar istana,” ucapnya sembari menodongkan pedang berlumur darah itu pada Yuan. “Ada hadiah yang menanti kalian!”
Kemudian, dia menusuk jantungnya sendiri tak lama kemudian.
Kini ada dua tubuh tak bernyawa tergeletak di depan podium.
Tepat ketika itu, tiba-tiba terdengar suara dentuman di luar istana.
Baru setelahnya, semua orang berlari tunggang-langgang keluar pintu istana sembari berteriak ketakutan.
Namun, sayangnya, ketika keluar, sudah ada puluhan peluru meriam menghantam tubuh mereka semua hingga hancur berkeping-keping.
“Salam dari Wuyan!” teriak seorang dari kejauhan di atas bukit luar perbatasan kerajaan Qingce. Ada lima meriam yang terisi penuh di depannya. “Nah, sekarang seharusnya ini menjadi pesta yang meriah. Pasukanku, serbu kerajaan Qingce dari segala penjuru. Bunuh semua orang yang kalian temui di sana!”
“Yuan! Yuan!” Sang ibu mengguncangkan tubuh sang putra mahkota berusia 15 tahun tersebut, menyadarkan Yuan yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya. “Kita harus pergi dari sini. Ikut Ibu.”
Yuan menoleh ke belakang dan menyaksikan ratusan manusia menyerbu area kerajaan Qingce sementara sang ibu membimbingnya pergi dari istana lewat jalur rahasia. Bahkan dari tempatnya saat ini, Yuan bisa mendengar teriakan dan tangisan melengking di udara.
Istana kerajaan Qingce hancur lebur dihujani batu meriam dari langit. Mayat yang sudah tak karuan lagi bentuknya berhamburan di bawah reruntuhan bangunan.
Yuan dan ibunya berhasil melarikan diri dari gempuran tentara Wuyan yang membantai seluruh penduduk kerajaan miliknya seperti orang gila. Kedua ibu dan anak itu saat ini tengah berlarian di bawah hujan batu meriam di atas kepala.
Yuan Qiancheng, seorang pangeran dari kerajaan Qingce, kerajaan yang telah lama mendominasi di antara semua kerajaan yang lainnya pada hari ini berusia lima belas tahun.
Ulang tahun ini menjadi momen yang sangat spesial dan ditunggu-tunggu oleh semua orang. Terutama bagi sang ayah, karena ini adalah momen di mana Yuan akan mendapatkan mandat sebagai penerus dari kepemimpinan Qingce.
Namun, sekarang semuanya sudah sirna. Ayahnya. Kerajaannya. Rakyatnya.
Yang tersisa hanyalah sang ibu dan tunangannya, Fengyin, yang saat ini tengah melarikan diri bersamanya.
“Oh tidak, Fengyin!” teriak Yuan saat tangan mereka terlepas karena tiba-tiba gadis itu terjatuh. “Ibu berhenti, Fengyin tertinggal di belakang!”
“Apa?” Sang ratu kaget melihat gadis itu berada pada jarak yang sangat jauh sedang terjatuh di tanah.
Yuan segera berlari menghampiri dirinya.
Namun, sayang, seorang pria berzirah besi hijau dengan tombak mengkilap sudah lebih dulu menggapai gadis itu.
Tanpa pikir panjang Yuan mengambil batang kayu besar dan menghantamkannya ke kepala prajurit itu dari belakang. Dia terguling kesakitan ke tanah.
“Fengyin, ayo! Kita harus segera pergi dari sini!” Yuan mengulurkan tangannya dan membantu gadis itu berdiri.
“Heh. ini putra mahkota Qingce yang manja itu?”
Yuan menoleh ke belakang dan melihat prajurit yang tadi ia pukul sudah bangkit berdiri, menyeringai ke arah Yuan. Pria tinggi besar itu melihat penampilan Yuan, yang pakaian kebesarannya sudah tidak karuan.
“Kabur meninggalkan rakyatmu? Sungguh tidak berguna,” ucap pria itu lagi sembari menyeret pedangnya mendekati Yuan, membuat remaja laki-laki itu mendorong Fengyin untuk segera lari. “Tapi kami tidak bisa mengambil risiko dan membiarkanmu hidup–”
Pria besar itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Mati kau!” teriak pria itu sebelum mengayunkan pedangnya.
“Argh!”
“Yuan!”
Yuan merasakan rasa panas dan sakit setengah mati saat pedang itu melukai punggungnya saat ia mencoba kabur, membuat remaja laki-laki itu terjatuh.
Yuan berbalik dan menatap si prajurit, berpikir bahwa ini adalah momen terakhir hidupnya dan memejamkan mata saat prajurit itu kembali mengayunkan pedangnya tepat di hadapan Yuan.
“Kepala putra mahkota Kerajaan Qingce adalah milikku!
Namun, tak ada satupun rasa sakit yang terasa.
Ia justru merasakan ada cipratan darah membasahi wajah Yuan.
Ketika ia membuka mata, sebuah tangan penuh darah berusaha menghentikan pedang itu dengan tangan kosong.
“Cepat lari dari sini!” Sang ibu, Xiayun, berteriak sambil menahan pedang prajurit Wuyan tersebut.
“Ibu! Tanganmu!”
Belum sempat berbuat apa-apa, pedang kedua yang dibawa prajurit itu sudah menusuk perut Xianyun sampai menembus ke punggungnya. Yuan gemetar tak kuasa melihat pertunjukkan horor di depan matanya.
“I-Ibu–”
“Ce ... cepat ... pergi dari sini ….”
Emosi Yuan akhirnya meledak. Dia menangis sembari berteriak frustrasi, mencoba menolong ibunya.
Akan tetapi tak banyak yang bisa dia lakukan. Dirinya yang saat ini terluka, tengah diseret Fengyin agar menjauh dari sana.
“Tidak! Lepaskan aku Fengyin! Apa kau tidak lihat ibuku sedang dibunuh di sana!”
“Kita harus pergi, Yuan!” sentak Fengyin. “Ibumu–”
Tiba-tiba sebuah bola meriam menghantam tubuh sang ratu Qingce, meledakkannya seketika, bersama si prajurit yang tadi menyerang mereka.
“Tidak! Ibu!”
Pecahan tubuh sang ibunda menyerbak di udara, tepat di depan Yuan. Remaja laki-laki itu melihat senyum terakhir sang ibu sebelum Xianyun menjemput kematian.
Kerajaannya hancur. Orang tuanya tewas di depan matanya. Dalam satu hari, Yuan kehilangan semuanya.
“Yuan! Kita harus pergi!” Fengyin berteriak, membuat Yuan menoleh pada tunangannya tersebut.
Air mata sudah banjir di wajah perempuan itu, tapi sorot matanya tetap membara. Mereka tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan ibunya.
Mereka harus bertahan!
“Ayo,” ucap Yuan sembari menggandeng tangan Fengyin.
Keduanya berusaha kabur dari sana secepat yang mereka bisa, sekalipun tubuh mereka penuh luka. Apalagi luka tebasan pedang di bahu Yuan masih saja mengucurkan darah.
Hingga pada akhirnya, Yuan dan Fengyin berhasil melarikan diri ke dalam goa di pegunungan yang berada tepat di belakang istana. Tempat itu dipenuhi oleh batu hijau yang bersinar.
Yuan terkapar di tengah goa, sementara Fengyin sudah kehilangan kesadaran di detik mereka berhasil sampai di dalam sana. Tatapan Yuan kosong menatap ke langit-langit yang penuh bercak sarang laba-laba.
“Kita mungkin bisa bersembunyi di sini selama beberapa wakt–”
Tiba-tiba ada suara langkah kaki dari dalam kegelapan goa, seketika membuat Yuan siaga. Remaja laki-laki itu bangkit duduk dengan sisa tenaga yang ada dan menatap dalam kegelapan.
“Siapa di sana!?” Napas Yuan terengah-engah berusaha mempertahankan kesadaran dirinya sebisa mungkin.
Sekelompok orang-orang berkulit merah dengan pakaian yang compang-camping tak terawat muncul di hadapan mereka berdua. Di tangan mereka ada pisau tajam yang sangat unik terbuat dari logam hitam.
“Kalian .…”
Namun, sebelum Yuan menyelesaikan kalimatnya, remaja itu kehilangan kesadarannya.
“Yuan, aku mohon bangunlah!”Remaja laki-laki itu samar-samar mendengar suara Fengyin, gadis yang merupakan tunangannya. Yuan bisa merasakan tubuhnya yang kaku diguncangkan, tapi dirinya tidak dapat memaksakan kesadarannya untuk pulih.“Hanya kau yang kupunya sekarang, Yuan. Bangunlah .…” Permohonan gadis itu terdengar menyayat hati.Namun, ada suara yang lebih keras dalam kepalanya, mengalahkan tangisan Fengyin.[Yuan Qiancheng.]“Siapa?”[Amarahmu bisa kami rasakan dengan jelas. Keluargamu, rakyatmu, kerajaanmu telah musnah.]Tiba-tiba Yuan merasakan kemarahannya makin membuncah.[Apakah kau ingin membalas dendam?][Apakah kebencianmu cukup besar untuk membalas orang yang telah merenggut rumahmu?]“Sampai mati, bahkan sekalipun aku telah mati, aku akan bangkit dari neraka dan menyeret mereka bersamaku dalam kesengsaraan abadi!”[Bagus.][Bagus sekali ….]“Aku ingin kekuatan. Aku ingin membayar kematian orang-orangku!”[Kau akan kami bimbing. Amarahmu akan mengguncangkan dunia. Peran
Apa maksudnya … utusan surga?Namun, Yuan tidak sempat mempertanyakan hal tersebut.Dirinya dan Fengyin dibawa ke sebuah ruangan. Di sana tampak orang-orang berkulit merah yang jumlahnya sangat banyak, mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. Semuanya memiliki pisau hitam yang tersemat pada pinggang masing-masing sebagai senjata. Ruangannya sendiri lebih luas dibandingkan aula pesta di istana Yuan, yang kurang lebih seukuran lapangan sepak bola.Mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. Melihat Yuan dan Fengyin datang, masing-masing dari mereka memasang ekspresi campur aduk. Ada yang takut, bingung, tapi ada juga yang tampak tengah bersukacita dan bahagia.Dalam pandangan Yuan sendiri, ia tidak menilai dari wajah mereka, melainkan dari senar-senar tipis yang keluar dari tubuh mereka seperti cacing yang menari-nari di udara. “Sebenarnya senar apakah itu? Kenapa aku bisa mengetahui emosi mereka sebenarnya?” pikir Yuan.Hongli menggiring mereka berdua ke salah satu ruangan bert
Gao melesat dengan kelajuan tak normal sembari menghunuskan pisau menuju perut Yuan. Walau gerakannya sangat cepat, bocah itu bisa melihat jelas kemana tujuan pisau milik lawannya hendak mendarat. Dengan lembut dia menghindar ke kanan.Tikaman Gao meleset, Yuan langsung melesatkan pukulan ke bibir lawan menggunakan gagang pisau miliknya. Gao mundur dua langkah menerima pukulan telak. Dia melemparkan sesuatu dari mulutnya, yaitu sebilah gigi depan. Mulutnya berdarah.“Kurang ajar kau bocah sialan!” Hongli dan para Ner’iatu yang lain tertawa terbahak-bahak melihat Gao nyengir dengan gigi ompong.Amarah mengambil alih tubuh Gao. Dengan lincah dia melancarkan tusukan dengan membabi buta. Serangan demi serangan dia lancarkan dengan niat ingin membunuh. Anehnya tak satupun dari serangan miliknya mengenai lawan.Gao mulai jengah dengan permainan serang dan menghindar ini. Dia berteriak sambil melompat ke tepi arena.“Kali ini aku akan benar-benar menghabisimu!” Gao kembali berlari dalam kece
Yuan menang.Mata hijaunya nyalang menatap semua orang yang hadir di sana. Semua orang masih tak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja terjadi.Gao memenggal kepalanya sendiri?Ada apa ini?Hanya Bunda Ketua yang masih bisa duduk dengan tenang di atas kursinya tanpa menunjukkan wajah bingung.“Apa yang kau lakukan Hongli?”“Apa?” Hongli tersadar dari keterkejutannya ketika ditanya oleh Bunda Ketua.“Kau seharusnya ke arena mengesahkan anak itu sebagai pemenang pertarungan ini.”“Aku … aku masih ragu untuk mendekati anak itu…”“Jangan biarkan dia memperdaya pikiranmu. Maju ke sana dan ucapkan selamat padanya sebelum dia marah.”Hongli beranjak menuju ke tengah arena. Sayangnya Yuan sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu pergi ke ruangan tempat di mana dia pingsan sebelumnya. Mata penonton masih mengekor anak muda itu seraya merasakan aura bahaya dari tubuhnya perlahan menjauh.Di dalam ruangan yang penuh dengan batu kristal hijau, Yuan duduk di atas batu yang paling besar dari s
“Tadinya aku pikir mereka akan menyajikan tubuh Gao untuk makan malam,” umpat Yuan pada kekasihnya, “aku tidak menyangka akan ada pemakaman di tempat seperti ini.”Hongli menilik jenaka pada bocah itu, “kau masih mengira kami ini kanibal rupanya?”“Memangnya kalian bukan?”“Tentu saja bukan. Jangankan makan daging, selama hidup di dalam tanah hanya sayuran dan jamur yang bisa kami konsumsi sehari-hari. Sesekali kami muak makan itu-itu saja, karena itu terkadang ada sebagian dari kami keluar ke permukaan untuk mencari ayam atau burung yang tersesat di hutan. Tapi biasanya banyak yang tak kembali setelah pergi keluar.”“Kenapa?”“Tentu saja karena dibunuh oleh orang-orang permukaan atas perintah sang raja. Dan karena itu kami sangat benci kepada ayahmu.”“...”Proses pemakaman Gao tak lama kemudian selesai. Makamnya berada tepat di depan air terjun bawah tanah. Air terjun bak kristal menderu dari atas mengalir kian mendalam ke bawah bumi. Udara agak lembab karena cipratan dari embun beni
Dalam acara makan itu ada tanggungjawab yang secara tak langsung diserahkan Hongli kepada Yuan. Tapi anehnya, sang pangeran malah sempat tersenyum licik mendengar semua perkataan Hongli barusan. Fengyin memperhatikan belahan jiwanya dengan seksama mengartikan semua makna yang tersirat dalam gerak-gerik milik Yuan, berusaha memahami apa yang sedang dipikirkannya.“Nah, sekarang karena kau telah resmi menjadi bagian dari kami, kau harus belajar bagaimana cara hidup dengan gaya Ner’iatu.” Hongli menjelaskan dengan piring yang sudah kosong di tangan, “pertama, mengenai gaya bertarung dan bertahan hidup, aku akan mengajarimu cara bertarung seperti yang dilakukan Gao saat melawanmu tadi. Tapi pertama, kau harus punya pisau hitam dulu.”“Di mana aku bisa mendapatkan pisau itu?”Hongli menggeleng, “kau tidak akan mendapatkannya. Kau harus membuatnya.”“Aku belum pernah menempa satu besi pun dalam hidupku.”“Tenang saja, Doanghai adalah salah satu pandai besi terbaik di sini. Dia bisa mengajar
Dalam ledakan yang mengguncang seluruh ruangan, sebuah belati tanpa gagang yang belum terbentuk sempurna terlempar ke udara menancap tepat di depan kaki Yuan. Belati itu berwarna hijau terang bersinar dalam kegelapan. Warna hitam dan corak-corak hijau yang berkesinambungan menjadi hiasan tersendiri memberikan keunikan pada pisau itu.“Kau seharusnya tidak mencampurkan batu hijau dengan Kraiman.” Hongli dan Doanghai kelabakan membenahi bekas ledakan dari tungku api.“Kenapa tidak?” Tanya Yuan sembari menggamit belati itu dari lantai.“Batu hijau itu kami menyebutnya Gogonit, sangat tidak cocok untuk dijadikan peralatan. Dengan mencampurkan Gogonit dan Kraiman, pisau itu tidak sekeras pisau yang biasa kami gunakan. Tidakkah kau lihat dia juga menjadi lebih lentur dari pisauku ini?”Bocah itu mengecek kekerasan pisaunya. Memang benar sedikit lebih lembut dari pisau milik Hongli. Tapi, begitu dalam genggaman Yuan, pisau itu bergetar mengeluarkan suara dengung ringan. Dia coba tebas ke kiri
Suasana dingin yang menegangkan menyelimuti dua individu yang duduk berhadapan di ruang sempit berdinding batu. Obor di sudut ruangan berderak menari-nari dalam bayangan, menciptakan kesan tidak nyaman bagi mata. Hanya mereka berdua yang ada di sini—Bunda Ketua dan Yuan—dan ketegangan antara keduanya hampir bisa dirasakan.Bunda Ketua memeriksa pedang hijau milik Yuan dengan sentuhan yang penuh penilaian. Pisau itu bergetar seolah ingin kembali ke tangan pemiliknya.“Pisau ini benar-benar unik,” ujarnya dengan nada dingin.“Pisau itu milikku.”“Tidak, Yuan. Kau tahu tradisi kami. Setiap orang harus membuat pisau mereka sendiri, bukannya memaksa orang lain melakukannya untukmu. Apakah ini caramu menghargai kami?”“Aku tidak memaksa Doanghai untuk membuatkan pisauku.”“Kau pikir aku tidak sadar dengan apa yang kau lakukan padanya? Hanya karena aku buta, bukan berarti aku tidak bisa melihat seutuhnya.”Yuan hanya diam, tidak memberi jawaban.“Kami menyelamatkanmu dari kerajaan yang mengin