Share

Kebangkitan Pendekar Utusan Surga
Kebangkitan Pendekar Utusan Surga
Author: Enalus

Eps 1 : Pesta Pembantaian

Phrash!

Yuan menyaksikan bagaimana kepala sang ayah, Raja kerajaan Qingce, ditebas dan kemudian menggelinding ke kakinya. 

Pria muda itu mematung, tidak menyangka bahwa pembawa pesan dari kekaisaran lain yang mereka undang untuk hadir di hari penobatannya sebagai putra mahkota justru membunuh sang Raja tepat di hadapan semua tamu undangan. 

Bahkan teriak saja ia tak bisa saking terkejutnya dengan apa yang baru saja terjadi.

Tidak ada yang berkedip, apalagi setelah menebas kepala sang Raja, si pembawa pesan berbalik pada Yuan.

“Lihatlah keluar istana,” ucapnya sembari menodongkan pedang berlumur darah itu pada Yuan. “Ada hadiah yang menanti kalian!” 

Kemudian, dia menusuk jantungnya sendiri tak lama kemudian.

Kini ada dua tubuh tak bernyawa tergeletak di depan podium. 

Tepat ketika itu, tiba-tiba terdengar suara dentuman di luar istana.

Baru setelahnya, semua orang berlari tunggang-langgang keluar pintu istana sembari berteriak ketakutan. 

Namun, sayangnya, ketika keluar, sudah ada puluhan peluru meriam menghantam tubuh mereka semua hingga hancur berkeping-keping.

“Salam dari Wuyan!” teriak seorang dari kejauhan di atas bukit luar perbatasan kerajaan Qingce. Ada lima meriam yang terisi penuh di depannya. “Nah, sekarang seharusnya ini menjadi pesta yang meriah. Pasukanku, serbu kerajaan Qingce dari segala penjuru. Bunuh semua orang yang kalian temui di sana!”

“Yuan! Yuan!” Sang ibu mengguncangkan tubuh sang putra mahkota berusia 15 tahun tersebut, menyadarkan Yuan yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya. “Kita harus pergi dari sini. Ikut Ibu.”

Yuan menoleh ke belakang dan menyaksikan ratusan manusia menyerbu area kerajaan Qingce sementara sang ibu membimbingnya pergi dari istana lewat jalur rahasia. Bahkan dari tempatnya saat ini, Yuan bisa mendengar teriakan dan tangisan melengking di udara.

Istana kerajaan Qingce hancur lebur dihujani batu meriam dari langit. Mayat yang sudah tak karuan lagi bentuknya berhamburan di bawah reruntuhan bangunan. 

Yuan dan ibunya berhasil melarikan diri dari gempuran tentara Wuyan yang membantai seluruh penduduk kerajaan miliknya seperti orang gila. Kedua ibu dan anak itu saat ini tengah berlarian di bawah hujan batu meriam di atas kepala.

Yuan Qiancheng, seorang pangeran dari kerajaan Qingce, kerajaan yang telah lama mendominasi di antara semua kerajaan yang lainnya pada hari ini berusia lima belas tahun.

Ulang tahun ini menjadi momen yang sangat spesial dan ditunggu-tunggu oleh semua orang. Terutama bagi sang ayah, karena ini adalah momen di mana Yuan akan mendapatkan mandat sebagai penerus dari kepemimpinan Qingce. 

Namun, sekarang semuanya sudah sirna. Ayahnya. Kerajaannya. Rakyatnya.

Yang tersisa hanyalah sang ibu dan tunangannya, Fengyin, yang saat ini tengah melarikan diri bersamanya.

“Oh tidak, Fengyin!” teriak Yuan saat tangan mereka terlepas karena tiba-tiba gadis itu terjatuh. “Ibu berhenti, Fengyin tertinggal di belakang!”

“Apa?” Sang ratu kaget melihat gadis itu berada pada jarak yang sangat jauh sedang terjatuh di tanah.

Yuan segera berlari menghampiri dirinya. 

Namun, sayang, seorang pria berzirah besi hijau dengan tombak mengkilap sudah lebih dulu menggapai gadis itu. 

Tanpa pikir panjang Yuan mengambil batang kayu besar dan menghantamkannya ke kepala prajurit itu dari belakang. Dia terguling kesakitan ke tanah.

“Fengyin, ayo! Kita harus segera pergi dari sini!” Yuan mengulurkan tangannya dan membantu gadis itu berdiri.

“Heh. ini putra mahkota Qingce yang manja itu?”

Yuan menoleh ke belakang dan melihat prajurit yang tadi ia pukul sudah bangkit berdiri, menyeringai ke arah Yuan.  Pria tinggi besar itu melihat penampilan Yuan, yang pakaian kebesarannya sudah tidak karuan.

“Kabur meninggalkan rakyatmu? Sungguh tidak berguna,” ucap pria itu lagi sembari menyeret pedangnya mendekati Yuan, membuat remaja laki-laki itu mendorong Fengyin untuk segera lari. “Tapi kami tidak bisa mengambil risiko dan membiarkanmu hidup–”

Pria besar itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

“Mati kau!” teriak pria itu sebelum mengayunkan pedangnya.

“Argh!”

“Yuan!”

Yuan merasakan rasa panas dan sakit setengah mati saat pedang itu melukai punggungnya saat ia mencoba kabur, membuat remaja laki-laki itu terjatuh.

Yuan berbalik dan menatap si  prajurit, berpikir bahwa ini adalah momen terakhir hidupnya dan memejamkan mata saat prajurit itu kembali mengayunkan pedangnya tepat di hadapan Yuan.

“Kepala putra mahkota Kerajaan Qingce adalah milikku!

Namun, tak ada satupun rasa sakit yang terasa. 

Ia justru merasakan ada cipratan darah membasahi wajah Yuan. 

Ketika ia membuka mata, sebuah tangan penuh darah berusaha menghentikan pedang itu dengan tangan kosong.

“Cepat lari dari sini!” Sang ibu, Xiayun, berteriak sambil menahan pedang prajurit Wuyan tersebut.

“Ibu! Tanganmu!”

Belum sempat berbuat apa-apa, pedang kedua yang dibawa prajurit itu sudah menusuk perut Xianyun sampai menembus ke punggungnya. Yuan gemetar tak kuasa melihat pertunjukkan horor di depan matanya.

“I-Ibu–”

“Ce ... cepat ... pergi dari sini ….”

Emosi Yuan akhirnya meledak. Dia menangis sembari berteriak frustrasi, mencoba menolong ibunya. 

Akan tetapi tak banyak yang bisa dia lakukan. Dirinya yang saat ini terluka, tengah diseret Fengyin agar menjauh dari sana.

“Tidak! Lepaskan aku Fengyin! Apa kau tidak lihat ibuku sedang dibunuh di sana!”

“Kita harus pergi, Yuan!” sentak Fengyin. “Ibumu–”

Tiba-tiba sebuah bola meriam menghantam tubuh sang ratu Qingce, meledakkannya seketika, bersama si prajurit yang tadi menyerang mereka.

“Tidak! Ibu!”

Pecahan tubuh sang ibunda menyerbak di udara, tepat di depan Yuan. Remaja laki-laki itu melihat senyum terakhir sang ibu sebelum Xianyun menjemput kematian.

Kerajaannya hancur. Orang tuanya tewas di depan matanya. Dalam satu hari, Yuan kehilangan semuanya.

“Yuan! Kita harus pergi!” Fengyin berteriak, membuat Yuan menoleh pada tunangannya tersebut.

Air mata sudah banjir di wajah perempuan itu, tapi sorot matanya tetap membara. Mereka tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan ibunya.

Mereka harus bertahan!

“Ayo,” ucap Yuan sembari menggandeng tangan Fengyin. 

Keduanya berusaha kabur dari sana secepat yang mereka bisa, sekalipun tubuh mereka penuh luka. Apalagi luka tebasan pedang di bahu Yuan masih saja mengucurkan darah.

Hingga pada akhirnya, Yuan dan Fengyin berhasil melarikan diri ke dalam goa di pegunungan yang berada tepat di belakang istana. Tempat itu dipenuhi oleh batu hijau yang bersinar. 

Yuan terkapar di tengah goa, sementara Fengyin sudah kehilangan kesadaran di detik mereka berhasil sampai di dalam sana. Tatapan Yuan kosong menatap ke langit-langit yang penuh bercak sarang laba-laba. 

“Kita mungkin bisa bersembunyi di sini selama beberapa wakt–”

Tiba-tiba ada suara langkah kaki dari dalam kegelapan goa, seketika membuat Yuan siaga. Remaja laki-laki itu bangkit duduk dengan sisa tenaga yang ada dan menatap dalam kegelapan.

“Siapa di sana!?” Napas Yuan terengah-engah berusaha mempertahankan kesadaran dirinya sebisa mungkin.

Sekelompok orang-orang berkulit merah dengan pakaian yang compang-camping tak terawat muncul di hadapan mereka berdua. Di tangan mereka ada pisau tajam yang sangat unik terbuat dari logam hitam. 

“Kalian .…”

Namun, sebelum Yuan menyelesaikan kalimatnya, remaja itu kehilangan kesadarannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status