“Yuan, aku mohon bangunlah!”
Remaja laki-laki itu samar-samar mendengar suara Fengyin, gadis yang merupakan tunangannya. Yuan bisa merasakan tubuhnya yang kaku diguncangkan, tapi dirinya tidak dapat memaksakan kesadarannya untuk pulih.
“Hanya kau yang kupunya sekarang, Yuan. Bangunlah .…” Permohonan gadis itu terdengar menyayat hati.
Namun, ada suara yang lebih keras dalam kepalanya, mengalahkan tangisan Fengyin.
[Yuan Qiancheng.]
“Siapa?”
[Amarahmu bisa kami rasakan dengan jelas. Keluargamu, rakyatmu, kerajaanmu telah musnah.]
Tiba-tiba Yuan merasakan kemarahannya makin membuncah.
[Apakah kau ingin membalas dendam?]
[Apakah kebencianmu cukup besar untuk membalas orang yang telah merenggut rumahmu?]
“Sampai mati, bahkan sekalipun aku telah mati, aku akan bangkit dari neraka dan menyeret mereka bersamaku dalam kesengsaraan abadi!”
[Bagus.]
[Bagus sekali ….]
“Aku ingin kekuatan. Aku ingin membayar kematian orang-orangku!”
[Kau akan kami bimbing. Amarahmu akan mengguncangkan dunia. Perang suci akan berkobar di bawah namamu. Kisah hidupmu akan terukir dari generasi ke generasi.]
[Mengamuklah. Biarkan emosimu meluap-luap. Bangkitkan amarahmu, sebarkan deritamu, buat dunia tunduk padamu.]
“Aku patuh pada perintahmu.”
[Bangkitlah, Yuan.]
[Bangkitlah, wahai Yang Terpilih.]
[Bangkitlah dari kematianmu, wahai Saniyala!]
Tiba-tiba Yuan membuka mata, memancing suara terkesiap dari orang-orang yang kini tengah mengelilinginya.
Mereka semua melihat mata Yuan menyala kehijauan. Ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya saat ini.
“Yuan! Syukurlah kau sudah sadar.” Fengyin sontak memeluk sang kekasih dengan isak bahagia.
Namun, di luar dugaan, Yuan malah mencekik gadis itu di leher sekuat tenaga. Tatapan matanya membara penuh amarah seakan bisa membunuh siapa pun yang berada di hadapan.
“Yuan… apa yang kau lakukan–akh!”
Wajah manis gadis itu berubah biru kekurangan oksigen akibat cekatan tangan yang begitu kuat di leher. Air mata sukacita langsung berubah menjadi air mata kesakitan.
“Ini aku Fengyin–kau… menyakitiku–Yuan.”
Mendengar rintihan kesakitan Fengyin, kesadaran Yuan tiba-tiba kembali. Remaja itu terkejut mendapati apa yang tengah ia lakukan. Segera, Yuan melepaskan cengkeramannya.
Gadis itu terjatuh ke tanah terbatuk-batuk, memenuhi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin begitu terlepas dari tangan Yuan.
“Astaga, Fengyin. Maaf, aku tidak tahu apa yang–”
Sebilah pisau hitam tajam tiba-tiba terarah kepada Yuan. Seorang pria kekar dengan kulit agak kemerahan menghunuskan pisau dengan posisi siaga.
Tubuh Yuan langsung menegang.
“Kau.” Samar-samar ia mengingat sesaat sebelum ia kehilangan kesadaran. “Siapa kau?”
Lawan bicaranya mengamati Yuan selama beberapa saat sebelum akhirnya menurunkan pisau.
“Namaku Hongli Huanran. Selamat datang di kediaman Suku Ner’iatu.”
Yuan mengernyit, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Banyak kristal berserakan di mana-mana. Dan Yuan terduduk di atas batu yang paling besar di antara semuanya.
Di sekelilingnya, ada Fengyin dan beberapa manusia dengan kulit kemerahan, seperti Hongli.
“Di mana sebenarnya tempat ini?” ucap Yuan. “Dan kenapa aku bisa ada di sini?”
“Kau nyaris mati,” tandas Hongli. “Tapi kami membangkitkanmu kembali.”
Yuan mengernyit. “Apa? Bagaimana?”
“Aku tahu kau, Yuan Qiancheng,” ucap Hongli dengan tenang. “Putra di kerajaan Qingce. Ayahmu, Yinxen Qiancheng, adalah seorang raja kejam tanpa hati nurani.”
Tiba-tiba Yuan merasakan kemarahan dalam dadanya hingga tangannya mengepal.
“Jangan mengatakan hal buruk tentang ayahku atau kupotong lidahmu!”
Hongli terkekeh pelan, tampak terhibur. “Aku hanya mengatakan kenyataan. Dan setidaknya, kau seharusnya berterima kasih karena aku sudah menyelamatkan nyawamu.”
Mereka beradu pandang. Tatapan Yuan masih tajam ke arah Hongli, tidak mengatakan apa pun.
Tiba-tiba bulu kuduk Hongli berdiri tanpa sebab. Sepintas, ada ketakutan tersirat dalam ekspresinya.
“Hongli!” Baik Yuan maupun Hongli menoleh ke arah suara itu. Tak lama, muncul seorang pria pendek berotot membuka pintu ruangan menginterupsi adegan intens mereka berdua. “Kau diminta untuk menghadap Bunda Ketua sekarang.”
Mata hijau Yuan melebar sesaat.
Ada senar.
Yuan melihat ada senar-senar aneh yang keluar dari tubuh Hongli, Fengyin, dan pria pendek di ujung pintu. Juga manusia-manusia lain yang ada di sana, membuat pandangan Yuan terganggu,
Namun, meski sudah beberapa kali dia coba menggapai tali-tali bening nyaris transparan di hadapannya, ia tetap tak bisa.
Seakan benda itu tidak nyata.
“Apa ini?” gumam Yuan, merasa asing dan aneh.
“Yuan, kau tidak apa-apa?” tanya Fengyin. Gadis itu terdengar khawatir melihat kekasihnya bertingkah aneh semenjak bangun dari pingsannya.
Namun, Yuan justru bertanya balik, “Fengyin, apakah kau melihat senar-senar ini?”
“Senar apa?”
Kening Yuan mengernyit. “Tidak ya?”
Tampaknya hanya Yuan yang bisa melihatnya.
“Aku khawatir padamu,” ucap Fengyin sembari menatap wajah Yuan. “Kau yakin kau baik-baik saja? Matamu juga berubah hijau.”
Yuan balas menatap tunangannya. Namun, anehnya, ia bisa merasakan kalau Fengyin sedang berbohong padanya. Bukan rasa khawatir yang sedang gadis itu rasakan. Setidaknya, bukan hanya perasaan itu saja.
“Kau takut,” ucap Yuan. Sebuah pernyataan yang membuat Fengyin terkejut. Tunangannya tersebut tidak pernah sepeka ini. “Kau memang khawatir, tapi bukan hanya pada kondisiku, tapi karena apa yang tadi aku lakukan padamu.”
Fengyin menunduk. Merasa bersalah. “Ma-maaf, Yuan. Aku masih kaget kau tiba-tiba mencekikku seperti tadi,” kata gadis itu. “Untuk sesaat aku mengira kau benar-benar akan membunuhku.”
Yuan mengalihkan pandangannya dan mencoba menggerakkan tubuhnya kali ini.
Akan tetapi ia tidak merasakan sakit.
Bahkan luka sayatan pedang yang seharusnya ada di punggung Yuan kini sudah tidak ada.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” gumam Yuan. “Tubuhku seperti tidak pernah terluka. Namun, emosiku seperti meluap-luap.”
Tiba-tiba ia baru menyadari sebuah batu kristal warna hijau tengah menggantung di lehernya.
“Dan apa ini?” Ia menggenggam batu tersebut sejenak, sebelum Fengyin bicara.
“Saat aku sadar, kita sudah di sini, Yuan,” terang Fengyin. “Aku sendiri kurang tahu, tapi memang benar yang dikatakan pria itu. Jika bukan karena bantuan pria tadi, kita berdua sudah mati sekarang.”
Yuan tersenyum sinis. “Tapi aku tetap ingin memotong lidahnya karena sudah berkata buruk tentang ayahku.”
“Yuan!” Fengyin terdengar tidak percaya. Tunangannya ini memang bersikap aneh.
Yuan menggeleng. “Pasti ada maksud lain kenapa mereka menolong kita,” tandasnya, membuat Fengyin terdiam sejenak.
“Mereka tadi sempat bilang kalau kau adalah seseorang yang telah lama mereka tunggu-tunggu kedatangannya.”
“Maksudnya?” Yuan mengernyit. Lalu tiba-tiba ia teringat cerita dari orang tuanya tentang suku kanibal yang katanya tinggal di bawah tanah. Sang ayah masih saja mencoba mencari keberadaan suku itu untuk membasmi mereka. “Apa … jangan-jangan–”
Yuan mengedarkan pandangannya ke langit-langit.
Mereka memang tampaknya sedang berada di bawah tanah.
“Sial!”
Yuan langsung bangkit berdiri dan menggenggam tangan Fengyin, berniat kabur dari sana.
Namun, mereka segera dikepung oleh manusia-manusia berkulit kemerahan yang ada di sana.
“Minggir!” seru Yuan.
Akan tetapi, dalam sekejap mereka mencengkeram lengan Yuan dan Fengyin, lalu membawa mereka mengikuti pria kekar yang menyebut dirinya Hongli serta pria pendek yang baru saja datang.
“Mau kalian bawa ke mana kami!?” ucap Yuan, berusaha menarik diri.
“Tenanglah, Yuan Qiancheng.” Hongli berucap. “Sebagai utusan surga, kau harus menghadap pemimpin kami.”
Yuan mengeryit.
Apa maksudnya … utusan surga?
Apa maksudnya … utusan surga?Namun, Yuan tidak sempat mempertanyakan hal tersebut.Dirinya dan Fengyin dibawa ke sebuah ruangan. Di sana tampak orang-orang berkulit merah yang jumlahnya sangat banyak, mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. Semuanya memiliki pisau hitam yang tersemat pada pinggang masing-masing sebagai senjata. Ruangannya sendiri lebih luas dibandingkan aula pesta di istana Yuan, yang kurang lebih seukuran lapangan sepak bola.Mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. Melihat Yuan dan Fengyin datang, masing-masing dari mereka memasang ekspresi campur aduk. Ada yang takut, bingung, tapi ada juga yang tampak tengah bersukacita dan bahagia.Dalam pandangan Yuan sendiri, ia tidak menilai dari wajah mereka, melainkan dari senar-senar tipis yang keluar dari tubuh mereka seperti cacing yang menari-nari di udara. “Sebenarnya senar apakah itu? Kenapa aku bisa mengetahui emosi mereka sebenarnya?” pikir Yuan.Hongli menggiring mereka berdua ke salah satu ruangan bert
Gao melesat dengan kelajuan tak normal sembari menghunuskan pisau menuju perut Yuan. Walau gerakannya sangat cepat, bocah itu bisa melihat jelas kemana tujuan pisau milik lawannya hendak mendarat. Dengan lembut dia menghindar ke kanan.Tikaman Gao meleset, Yuan langsung melesatkan pukulan ke bibir lawan menggunakan gagang pisau miliknya. Gao mundur dua langkah menerima pukulan telak. Dia melemparkan sesuatu dari mulutnya, yaitu sebilah gigi depan. Mulutnya berdarah.“Kurang ajar kau bocah sialan!” Hongli dan para Ner’iatu yang lain tertawa terbahak-bahak melihat Gao nyengir dengan gigi ompong.Amarah mengambil alih tubuh Gao. Dengan lincah dia melancarkan tusukan dengan membabi buta. Serangan demi serangan dia lancarkan dengan niat ingin membunuh. Anehnya tak satupun dari serangan miliknya mengenai lawan.Gao mulai jengah dengan permainan serang dan menghindar ini. Dia berteriak sambil melompat ke tepi arena.“Kali ini aku akan benar-benar menghabisimu!” Gao kembali berlari dalam kece
Yuan menang.Mata hijaunya nyalang menatap semua orang yang hadir di sana. Semua orang masih tak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja terjadi.Gao memenggal kepalanya sendiri?Ada apa ini?Hanya Bunda Ketua yang masih bisa duduk dengan tenang di atas kursinya tanpa menunjukkan wajah bingung.“Apa yang kau lakukan Hongli?”“Apa?” Hongli tersadar dari keterkejutannya ketika ditanya oleh Bunda Ketua.“Kau seharusnya ke arena mengesahkan anak itu sebagai pemenang pertarungan ini.”“Aku … aku masih ragu untuk mendekati anak itu…”“Jangan biarkan dia memperdaya pikiranmu. Maju ke sana dan ucapkan selamat padanya sebelum dia marah.”Hongli beranjak menuju ke tengah arena. Sayangnya Yuan sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu pergi ke ruangan tempat di mana dia pingsan sebelumnya. Mata penonton masih mengekor anak muda itu seraya merasakan aura bahaya dari tubuhnya perlahan menjauh.Di dalam ruangan yang penuh dengan batu kristal hijau, Yuan duduk di atas batu yang paling besar dari s
“Tadinya aku pikir mereka akan menyajikan tubuh Gao untuk makan malam,” umpat Yuan pada kekasihnya, “aku tidak menyangka akan ada pemakaman di tempat seperti ini.”Hongli menilik jenaka pada bocah itu, “kau masih mengira kami ini kanibal rupanya?”“Memangnya kalian bukan?”“Tentu saja bukan. Jangankan makan daging, selama hidup di dalam tanah hanya sayuran dan jamur yang bisa kami konsumsi sehari-hari. Sesekali kami muak makan itu-itu saja, karena itu terkadang ada sebagian dari kami keluar ke permukaan untuk mencari ayam atau burung yang tersesat di hutan. Tapi biasanya banyak yang tak kembali setelah pergi keluar.”“Kenapa?”“Tentu saja karena dibunuh oleh orang-orang permukaan atas perintah sang raja. Dan karena itu kami sangat benci kepada ayahmu.”“...”Proses pemakaman Gao tak lama kemudian selesai. Makamnya berada tepat di depan air terjun bawah tanah. Air terjun bak kristal menderu dari atas mengalir kian mendalam ke bawah bumi. Udara agak lembab karena cipratan dari embun beni
Dalam acara makan itu ada tanggungjawab yang secara tak langsung diserahkan Hongli kepada Yuan. Tapi anehnya, sang pangeran malah sempat tersenyum licik mendengar semua perkataan Hongli barusan. Fengyin memperhatikan belahan jiwanya dengan seksama mengartikan semua makna yang tersirat dalam gerak-gerik milik Yuan, berusaha memahami apa yang sedang dipikirkannya.“Nah, sekarang karena kau telah resmi menjadi bagian dari kami, kau harus belajar bagaimana cara hidup dengan gaya Ner’iatu.” Hongli menjelaskan dengan piring yang sudah kosong di tangan, “pertama, mengenai gaya bertarung dan bertahan hidup, aku akan mengajarimu cara bertarung seperti yang dilakukan Gao saat melawanmu tadi. Tapi pertama, kau harus punya pisau hitam dulu.”“Di mana aku bisa mendapatkan pisau itu?”Hongli menggeleng, “kau tidak akan mendapatkannya. Kau harus membuatnya.”“Aku belum pernah menempa satu besi pun dalam hidupku.”“Tenang saja, Doanghai adalah salah satu pandai besi terbaik di sini. Dia bisa mengajar
Dalam ledakan yang mengguncang seluruh ruangan, sebuah belati tanpa gagang yang belum terbentuk sempurna terlempar ke udara menancap tepat di depan kaki Yuan. Belati itu berwarna hijau terang bersinar dalam kegelapan. Warna hitam dan corak-corak hijau yang berkesinambungan menjadi hiasan tersendiri memberikan keunikan pada pisau itu.“Kau seharusnya tidak mencampurkan batu hijau dengan Kraiman.” Hongli dan Doanghai kelabakan membenahi bekas ledakan dari tungku api.“Kenapa tidak?” Tanya Yuan sembari menggamit belati itu dari lantai.“Batu hijau itu kami menyebutnya Gogonit, sangat tidak cocok untuk dijadikan peralatan. Dengan mencampurkan Gogonit dan Kraiman, pisau itu tidak sekeras pisau yang biasa kami gunakan. Tidakkah kau lihat dia juga menjadi lebih lentur dari pisauku ini?”Bocah itu mengecek kekerasan pisaunya. Memang benar sedikit lebih lembut dari pisau milik Hongli. Tapi, begitu dalam genggaman Yuan, pisau itu bergetar mengeluarkan suara dengung ringan. Dia coba tebas ke kiri
Suasana dingin yang menegangkan menyelimuti dua individu yang duduk berhadapan di ruang sempit berdinding batu. Obor di sudut ruangan berderak menari-nari dalam bayangan, menciptakan kesan tidak nyaman bagi mata. Hanya mereka berdua yang ada di sini—Bunda Ketua dan Yuan—dan ketegangan antara keduanya hampir bisa dirasakan.Bunda Ketua memeriksa pedang hijau milik Yuan dengan sentuhan yang penuh penilaian. Pisau itu bergetar seolah ingin kembali ke tangan pemiliknya.“Pisau ini benar-benar unik,” ujarnya dengan nada dingin.“Pisau itu milikku.”“Tidak, Yuan. Kau tahu tradisi kami. Setiap orang harus membuat pisau mereka sendiri, bukannya memaksa orang lain melakukannya untukmu. Apakah ini caramu menghargai kami?”“Aku tidak memaksa Doanghai untuk membuatkan pisauku.”“Kau pikir aku tidak sadar dengan apa yang kau lakukan padanya? Hanya karena aku buta, bukan berarti aku tidak bisa melihat seutuhnya.”Yuan hanya diam, tidak memberi jawaban.“Kami menyelamatkanmu dari kerajaan yang mengin
Fengyin, Hongli, dan Doanghai berlari kembali ke dalam Tanur, napas mereka terengah-engah dan ekspresi mereka menunjukkan kepanikan yang jelas. Sesampainya di dalam, mereka mendapati ruangan itu kosong melompong. Hanya ada mesin tempa yang rusak di sana.“Yuan! Apa kau di sini?” teriak Fengyin, suaranya bergetar penuh kecemasan.Hening. Tak ada jawaban sama sekali.“Dia sepertinya tidak ada di sini. Doanghai, kita berdua telah berada di sini sepanjang waktu memperbaiki mesin itu. Aku rasa aku pasti akan tahu jika dia datang menyelinap di belakangku.” “Ya, aura kehadiran anak itu sangat kuat. Mustahil dia bisa keluar masuk tempat ini tanpa kami lihat,” jawab Doanghai, napasnya masih berat dari usaha mengejar.“Kalau begitu, di mana dia sekarang?”“Fengyin? Kemana kau pergi?” seru Hongli, tampak panik, berusaha mengejar langkah cepat gadis itu yang tiba-tiba menghilang.Tenaga anak muda memang tidak bisa ditandingi oleh orang dewasa yang mencoba mengejarnya. Fengyin melesat melewati sem