Apa maksudnya … utusan surga?
Namun, Yuan tidak sempat mempertanyakan hal tersebut.
Dirinya dan Fengyin dibawa ke sebuah ruangan. Di sana tampak orang-orang berkulit merah yang jumlahnya sangat banyak, mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. Semuanya memiliki pisau hitam yang tersemat pada pinggang masing-masing sebagai senjata.
Ruangannya sendiri lebih luas dibandingkan aula pesta di istana Yuan, yang kurang lebih seukuran lapangan sepak bola.Mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana.
Melihat Yuan dan Fengyin datang, masing-masing dari mereka memasang ekspresi campur aduk. Ada yang takut, bingung, tapi ada juga yang tampak tengah bersukacita dan bahagia.
Dalam pandangan Yuan sendiri, ia tidak menilai dari wajah mereka, melainkan dari senar-senar tipis yang keluar dari tubuh mereka seperti cacing yang menari-nari di udara.
“Sebenarnya senar apakah itu? Kenapa aku bisa mengetahui emosi mereka sebenarnya?” pikir Yuan.
Hongli menggiring mereka berdua ke salah satu ruangan bertembok batu yang ada di sebelah kanan. Di dalam sana ada semacam singgasana yang terbuat dari batu hijau dan diduduki oleh nenek tua yang tak bisa melihat. Di tangannya ada tongkat bermahkotakan kristal hijau terang. Di lehernya tergantung beberapa tengkorak mini berjumlah empat buah.
Melihat Yuan dan Fengyin datang, nenek itu bangkit dari singgasana.
“Wahai Pangeran Qingce, persiapkan dirimu.” Wanita tua itu berkata. “Kau akan bertarung melawan salah satu jawara kami sampai mati.”
Yuan tampak terkejut. “Apa?” balasnya. “Kenapa aku harus melakukannya?”
Si wanita tua itu berkata, “Hongli percaya kalau kau adalah sosok utusan yang dikirim kepada kami untuk menjadi penyelamat.” Sepasang mata tajam itu menatap Yuan, menilai si remaja laki-laki dengan saksama. “Namun, sayang bagimu, aku masih belum percaya.”
“Anak ini meminum cairan Trongga dan selamat, Bunda Ketua,” ucap Hongli. Dirinya maju dan berdiri di depan wanita tua itu, membelakangi Yuan. “Bukankah itu membuktikan sesuatu?”
Cairan? Yuan membatin. Ia tidak ingat apa pun mengenainya. Cairan apa?
“Kalau begitu, Hongli, kau tidak perlu khawatir, bukan?” balas Bunda Ketua. “Jika memang ia adalah utusan yang asli, ia pasti bisa membuktikan pada kita.”
Hongli terdiam.
“Jika tidak,” lanjut wanita tua itu. “Maka ia harus mati.”
“Tidak!” teriak Fengyin. Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tidak rela kehilangan satu-satunya orang yang ia miliki.
“Tenang, Fengyin,” ucap Yuan. Remaja laki-laki itu menatap Bunda Ketua dengan mata hijaunya. “Apa itu berarti kalian tidak akan memakan kami jika aku menang?”
Bunda Ketua terkejut, Hongli dan pria pendek di samping saling tatap untuk sesaat menukar pertanyaan dalam pikiran. Lalu mereka tertawa. Semua manusia goa berkulit merah yang hadir di sana pecah gelak tawa mendengar kalimat humor yang terlontar dari mulut Yuan.
Hongli kemudian mengambil alih pembicaraan, “tepat sekali. Jika kau bisa menang, kami tidak akan memakan kalian. Dan bukan hanya itu, kami juga akan menerima kalian sebagai bagian dari kami jika kau berhasil bertahan hidup.”
Yuan memandang kekasihnya sebentar meminta pendapat. Untuk sesaat Fengyin menggeleng kepala tak setuju.
[Kau harus menerima duel ini, Yuan.]
‘Kau lagi. Sebenarnya siapa kau?” batin Yuan bertanya. “Kenapa suaramu bisa ada di kepalaku?’
[Ini adalah satu-satunya jalan. Terima duel ini atau kau bisa mati!]
“Yuan?” tanya Fengyin. Gadis itu menggenggam lengan Yuan. “Kau tidak apa-apa?”
Yuan mengangguk.
“Apakah kau akan benar-benar menerima duel itu? Kau–”
“Maaf Fengyin, tapi ini adalah satu-satunya jalan.” Yuan maju ke depan menghadap Bunda Ketua dan berkata, “aku terima tantangannya, dengan satu syarat.”
“Apa itu?” tanya Bunda Ketua.
“Jika aku kalah, tolong biarkan tunanganku ini hidup bersama kalian. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang, dan aku adalah satu-satunya yang dia miliki.”
Yuan memandang pilu pasangannya di belakang. Air mata Fengyin hendak terjatuh, tapi dia menutup mata sembari memalingkan wajah dari kenyataan pahit yang akan terjadi di depan matanya.
“Baiklah kalau. Adakah yang berani melawan anak ini?” Bunda Ketua berteriak pada Ner’iatu.
Hongli maju paling depan mengangkat pisaunya. “Aku bersedia menjadi lawannya.”
“Tidak.” Bunda Ketua langsung menolak. “Kita semua tahu kau yang paling percaya dengan anak ini. Dengan kau sebagai lawannya, aku tak yakin kau akan mengeluarkan seluruh kemampuanmu saat melawannya.”
Hening sejenak.
“Adakah lawan yang lain?”
“Saya siap menjadi lawan anak ini.” Tiba-tiba pria pendek yang sedari tadi bersama Hongli maju.
“Gao Li, apakah kau siap menerima konsekuensinya? Bukan hanya anak ini yang akan mati, kau juga punya peluang yang sama untuk kalah darinya.”
“Heh. Saya yakin akan menang melawan bocah ingusan seperti dia, Bunda.”
“Baiklah kalau begitu. Persiapkan arenanya!”
Semua warga Ner’iatu segera keluar dari singgasana Bunda Ketua dan membuat lingkaran di tengah ruangan yang super besar. Gao terlihat berada di ujung arena sedang melakukan beberapa persiapan seperti memeriksa ketajaman pisaunya.
Fengyin di lain sisi justru resah tak kuat hati. Dia berjalan mondar-mandir tak jelas sambil menggigit kuku jari di pinggir lapangan.
Satu-satunya anggota keluarga Qiancheng yang tersisa akan berduel hidup dan mati melawan pria dari goa yang belum pernah dia temui sebelumnya?
Fengyin tak akan siap menerima satu lagi kematian di anggota keluarganya, apalagi orang yang dia cintai.
“Yuan, kau bisa memakai pisauku untuk bertarung.” Hongli menyerahkan pisau hitam miliknya.
Yuan menerima pisau itu dengan tatapan curiga, alisnya terangkat sebelah melihat kebaikan Hongli.
Pria kekar itu kemudian menambahkan, “Gao adalah salah satu pejuang terbaik kami. Kemampuan bertarungnya bisa dibilang setara denganku. Saat menghadapinya, aku sarankan terus perhatikan bahunya.”
“....”
Yuan menangkap pemandangan ganjil dari tunangannya di seberang lapangan. Senar-senar di tubuhnya bergetar hebat dalam penglihatan Yuan.
“Jika kau mati dalam pertarungan ini, aku tidak akan pernah memaafkanmu,” kata Fengyin dalam sorot matanya mengancam.
Yuan terkekeh. Setelah persiapan selesai bagi kedua petarung, akhirnya mereka memasuki arena bersiap adu nyawa sampai akhir. Gao kegirangan bukan main diujung lapangan, dia sempat menjilat pisaunya sembari tersenyum seperti orang gila.
“Hei nak, kau tidak perlu takut. Keluarkan seluruh kemampuanmu, aku ingin melihat apakah kau benar orang yang diramalkan atau tidak.”
Alih-alih membalas provokasi dari lawan, Yuan melihat tubuh Gao dengan saksama. Senar yang keluar dari tubuhnya menjadi lebih stabil dan dinamis.
[Lihatlah lawanmu, pahami lawanmu. Kemenangan akan menjadi milikmu.]
Sesekali senar itu berubah menjadi bergelombang, diikuti perubahan gerakan kuda-kuda. Dalam penglihatan aneh itu, tidak hanya emosi yang bisa dirasakan oleh Yuan, tapi isi pikiran pria itu tergambar jelas di mata hijaunya.
“Semua bersiap! Mulai pertarungannya!”
Yuan dan Gao bergeming. Tak satu pun dari kedua petarung ini memulai gerakan lebih dulu. Keduanya sibuk mengamati gerakan masing-masing. Sementara Gao fokus pada mata hijau lawannya, Yuan memperhatikan isi pikiran si pria dengan seksama, fokus dia adalah bahu dan senar-senar yang keluar dari tubuhnya.
Ke mana pun Yuan bergerak, Gao seolah mengikuti. Yuan bergerak ke kiri, Gao bergerak ke kiri, Yuan menilingkan kepala, Gao menilingkan kepala juga.
Pria itu seperti dikendalikan tanpa sadar. Hongli dan penonton lain agak heran dengan tingkah pria itu.
Gao menggelengkan kepala yang tiba-tiba merasa pusing.
“Hei, Nak, matamu … aku kenal mata seperti itu adalah pertanda kalau kau sudah pernah melihat kematian…”
“Berikutnya adalah kematianmu yang akan aku lihat.”
“Aku suka dengan sikap percaya dirimu. Baiklah jika itu yang kau inginkan, mari bertarung sampai mati!”
Gao melesat dengan kelajuan tak normal sembari menghunuskan pisau menuju perut Yuan. Walau gerakannya sangat cepat, bocah itu bisa melihat jelas kemana tujuan pisau milik lawannya hendak mendarat. Dengan lembut dia menghindar ke kanan.Tikaman Gao meleset, Yuan langsung melesatkan pukulan ke bibir lawan menggunakan gagang pisau miliknya. Gao mundur dua langkah menerima pukulan telak. Dia melemparkan sesuatu dari mulutnya, yaitu sebilah gigi depan. Mulutnya berdarah.“Kurang ajar kau bocah sialan!” Hongli dan para Ner’iatu yang lain tertawa terbahak-bahak melihat Gao nyengir dengan gigi ompong.Amarah mengambil alih tubuh Gao. Dengan lincah dia melancarkan tusukan dengan membabi buta. Serangan demi serangan dia lancarkan dengan niat ingin membunuh. Anehnya tak satupun dari serangan miliknya mengenai lawan.Gao mulai jengah dengan permainan serang dan menghindar ini. Dia berteriak sambil melompat ke tepi arena.“Kali ini aku akan benar-benar menghabisimu!” Gao kembali berlari dalam kece
Yuan menang.Mata hijaunya nyalang menatap semua orang yang hadir di sana. Semua orang masih tak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja terjadi.Gao memenggal kepalanya sendiri?Ada apa ini?Hanya Bunda Ketua yang masih bisa duduk dengan tenang di atas kursinya tanpa menunjukkan wajah bingung.“Apa yang kau lakukan Hongli?”“Apa?” Hongli tersadar dari keterkejutannya ketika ditanya oleh Bunda Ketua.“Kau seharusnya ke arena mengesahkan anak itu sebagai pemenang pertarungan ini.”“Aku … aku masih ragu untuk mendekati anak itu…”“Jangan biarkan dia memperdaya pikiranmu. Maju ke sana dan ucapkan selamat padanya sebelum dia marah.”Hongli beranjak menuju ke tengah arena. Sayangnya Yuan sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu pergi ke ruangan tempat di mana dia pingsan sebelumnya. Mata penonton masih mengekor anak muda itu seraya merasakan aura bahaya dari tubuhnya perlahan menjauh.Di dalam ruangan yang penuh dengan batu kristal hijau, Yuan duduk di atas batu yang paling besar dari s
“Tadinya aku pikir mereka akan menyajikan tubuh Gao untuk makan malam,” umpat Yuan pada kekasihnya, “aku tidak menyangka akan ada pemakaman di tempat seperti ini.”Hongli menilik jenaka pada bocah itu, “kau masih mengira kami ini kanibal rupanya?”“Memangnya kalian bukan?”“Tentu saja bukan. Jangankan makan daging, selama hidup di dalam tanah hanya sayuran dan jamur yang bisa kami konsumsi sehari-hari. Sesekali kami muak makan itu-itu saja, karena itu terkadang ada sebagian dari kami keluar ke permukaan untuk mencari ayam atau burung yang tersesat di hutan. Tapi biasanya banyak yang tak kembali setelah pergi keluar.”“Kenapa?”“Tentu saja karena dibunuh oleh orang-orang permukaan atas perintah sang raja. Dan karena itu kami sangat benci kepada ayahmu.”“...”Proses pemakaman Gao tak lama kemudian selesai. Makamnya berada tepat di depan air terjun bawah tanah. Air terjun bak kristal menderu dari atas mengalir kian mendalam ke bawah bumi. Udara agak lembab karena cipratan dari embun beni
Dalam acara makan itu ada tanggungjawab yang secara tak langsung diserahkan Hongli kepada Yuan. Tapi anehnya, sang pangeran malah sempat tersenyum licik mendengar semua perkataan Hongli barusan. Fengyin memperhatikan belahan jiwanya dengan seksama mengartikan semua makna yang tersirat dalam gerak-gerik milik Yuan, berusaha memahami apa yang sedang dipikirkannya.“Nah, sekarang karena kau telah resmi menjadi bagian dari kami, kau harus belajar bagaimana cara hidup dengan gaya Ner’iatu.” Hongli menjelaskan dengan piring yang sudah kosong di tangan, “pertama, mengenai gaya bertarung dan bertahan hidup, aku akan mengajarimu cara bertarung seperti yang dilakukan Gao saat melawanmu tadi. Tapi pertama, kau harus punya pisau hitam dulu.”“Di mana aku bisa mendapatkan pisau itu?”Hongli menggeleng, “kau tidak akan mendapatkannya. Kau harus membuatnya.”“Aku belum pernah menempa satu besi pun dalam hidupku.”“Tenang saja, Doanghai adalah salah satu pandai besi terbaik di sini. Dia bisa mengajar
Dalam ledakan yang mengguncang seluruh ruangan, sebuah belati tanpa gagang yang belum terbentuk sempurna terlempar ke udara menancap tepat di depan kaki Yuan. Belati itu berwarna hijau terang bersinar dalam kegelapan. Warna hitam dan corak-corak hijau yang berkesinambungan menjadi hiasan tersendiri memberikan keunikan pada pisau itu.“Kau seharusnya tidak mencampurkan batu hijau dengan Kraiman.” Hongli dan Doanghai kelabakan membenahi bekas ledakan dari tungku api.“Kenapa tidak?” Tanya Yuan sembari menggamit belati itu dari lantai.“Batu hijau itu kami menyebutnya Gogonit, sangat tidak cocok untuk dijadikan peralatan. Dengan mencampurkan Gogonit dan Kraiman, pisau itu tidak sekeras pisau yang biasa kami gunakan. Tidakkah kau lihat dia juga menjadi lebih lentur dari pisauku ini?”Bocah itu mengecek kekerasan pisaunya. Memang benar sedikit lebih lembut dari pisau milik Hongli. Tapi, begitu dalam genggaman Yuan, pisau itu bergetar mengeluarkan suara dengung ringan. Dia coba tebas ke kiri
Suasana dingin yang menegangkan menyelimuti dua individu yang duduk berhadapan di ruang sempit berdinding batu. Obor di sudut ruangan berderak menari-nari dalam bayangan, menciptakan kesan tidak nyaman bagi mata. Hanya mereka berdua yang ada di sini—Bunda Ketua dan Yuan—dan ketegangan antara keduanya hampir bisa dirasakan.Bunda Ketua memeriksa pedang hijau milik Yuan dengan sentuhan yang penuh penilaian. Pisau itu bergetar seolah ingin kembali ke tangan pemiliknya.“Pisau ini benar-benar unik,” ujarnya dengan nada dingin.“Pisau itu milikku.”“Tidak, Yuan. Kau tahu tradisi kami. Setiap orang harus membuat pisau mereka sendiri, bukannya memaksa orang lain melakukannya untukmu. Apakah ini caramu menghargai kami?”“Aku tidak memaksa Doanghai untuk membuatkan pisauku.”“Kau pikir aku tidak sadar dengan apa yang kau lakukan padanya? Hanya karena aku buta, bukan berarti aku tidak bisa melihat seutuhnya.”Yuan hanya diam, tidak memberi jawaban.“Kami menyelamatkanmu dari kerajaan yang mengin
Fengyin, Hongli, dan Doanghai berlari kembali ke dalam Tanur, napas mereka terengah-engah dan ekspresi mereka menunjukkan kepanikan yang jelas. Sesampainya di dalam, mereka mendapati ruangan itu kosong melompong. Hanya ada mesin tempa yang rusak di sana.“Yuan! Apa kau di sini?” teriak Fengyin, suaranya bergetar penuh kecemasan.Hening. Tak ada jawaban sama sekali.“Dia sepertinya tidak ada di sini. Doanghai, kita berdua telah berada di sini sepanjang waktu memperbaiki mesin itu. Aku rasa aku pasti akan tahu jika dia datang menyelinap di belakangku.” “Ya, aura kehadiran anak itu sangat kuat. Mustahil dia bisa keluar masuk tempat ini tanpa kami lihat,” jawab Doanghai, napasnya masih berat dari usaha mengejar.“Kalau begitu, di mana dia sekarang?”“Fengyin? Kemana kau pergi?” seru Hongli, tampak panik, berusaha mengejar langkah cepat gadis itu yang tiba-tiba menghilang.Tenaga anak muda memang tidak bisa ditandingi oleh orang dewasa yang mencoba mengejarnya. Fengyin melesat melewati sem
“Apa yang kalian berdua lakukan di perbatasan malam-malam begini? Pestanya ada di sebelah sana,” kata salah satu prajurit dengan nada menegaskan, tatapannya tajam dan penuh kewaspadaan.Yuan dan Fengyin berdiri membeku, terjebak dalam situasi yang berbahaya. Setiap langkah yang salah bisa berarti kematian bagi mereka.“Tunggu sebentar, apakah kalian warga Wuyan?”“Iya, benar!” jawab Fengyin tanpa berpikir panjang.“Tapi, pakaian kalian? Jorok sekali. Kenapa terlihat begitu compang-camping?”“Ma-maaf, kami adalah anak yatim yang hidup di jalanan. Hanya ini pakaian yang bisa kami kenakan saat ini,” Fengyin menjelaskan dengan suara bergetar.“Bohong! Kami baru saja membebaskan kerajaan ini dari para pengkhianat. Tak mungkin gelandangan dari Wuyan bisa sampai sini. Kalian pasti warga kerajaan Qingce yang selamat dari penyerangan!”“Cepat tangkap mereka berdua!”Tanpa pilihan lain, Yuan melepaskan aura gelap yang mengancam dari tubuhnya. Kedua prajurit itu terdiam, tampak ketakutan dan tida