Share

Eps 3 : Tantangan Duel

Apa maksudnya … utusan surga?

Namun, Yuan tidak sempat mempertanyakan hal tersebut.

Dirinya dan Fengyin dibawa ke sebuah ruangan. Di sana tampak orang-orang berkulit merah yang jumlahnya sangat banyak, mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. Semuanya memiliki pisau hitam yang tersemat pada pinggang masing-masing sebagai senjata. 

Ruangannya sendiri lebih luas dibandingkan aula pesta di istana Yuan, yang kurang lebih seukuran lapangan sepak bola.Mungkin ada sekitar dua ratus orang di sana. 

Melihat Yuan dan Fengyin datang, masing-masing dari mereka memasang ekspresi campur aduk. Ada yang  takut, bingung, tapi ada juga yang tampak tengah bersukacita dan bahagia.

Dalam pandangan Yuan sendiri, ia tidak menilai dari wajah mereka, melainkan dari senar-senar tipis yang keluar dari tubuh mereka seperti cacing yang menari-nari di udara. 

“Sebenarnya senar apakah itu? Kenapa aku bisa mengetahui emosi mereka sebenarnya?” pikir Yuan.

Hongli menggiring mereka berdua ke salah satu ruangan bertembok batu yang ada di sebelah kanan. Di dalam sana ada semacam singgasana yang terbuat dari batu hijau dan diduduki oleh nenek tua yang tak bisa melihat. Di tangannya ada tongkat bermahkotakan kristal hijau terang. Di lehernya tergantung beberapa tengkorak mini berjumlah empat buah.

Melihat Yuan dan Fengyin datang, nenek itu bangkit dari singgasana.

“Wahai Pangeran Qingce, persiapkan dirimu.” Wanita tua itu berkata. “Kau akan bertarung melawan salah satu jawara kami sampai mati.”

Yuan tampak terkejut. “Apa?” balasnya. “Kenapa aku harus melakukannya?”

Si wanita tua itu berkata, “Hongli percaya kalau kau adalah sosok utusan yang dikirim kepada kami untuk menjadi penyelamat.” Sepasang mata tajam itu menatap Yuan, menilai si remaja laki-laki dengan saksama. “Namun, sayang bagimu, aku masih belum percaya.”

“Anak ini meminum cairan Trongga dan selamat, Bunda Ketua,” ucap Hongli. Dirinya maju dan berdiri di depan wanita tua itu, membelakangi Yuan. “Bukankah itu membuktikan sesuatu?”

Cairan? Yuan membatin. Ia tidak ingat apa pun mengenainya. Cairan apa?

“Kalau begitu, Hongli, kau tidak perlu khawatir, bukan?” balas Bunda Ketua. “Jika memang ia adalah utusan yang asli, ia pasti bisa membuktikan pada kita.”

Hongli terdiam.

“Jika tidak,” lanjut wanita tua itu. “Maka ia harus mati.”

“Tidak!” teriak Fengyin. Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tidak rela kehilangan satu-satunya orang yang ia miliki.

“Tenang, Fengyin,” ucap Yuan. Remaja laki-laki itu menatap Bunda Ketua dengan mata hijaunya. “Apa itu berarti kalian tidak akan memakan kami jika aku menang?”

Bunda Ketua terkejut, Hongli dan pria pendek di samping saling tatap untuk sesaat menukar pertanyaan dalam pikiran. Lalu mereka tertawa. Semua manusia goa berkulit merah yang hadir di sana pecah gelak tawa mendengar kalimat humor yang terlontar dari mulut Yuan.

Hongli kemudian mengambil alih pembicaraan, “tepat sekali. Jika kau bisa menang, kami tidak akan memakan kalian. Dan bukan hanya itu, kami juga akan menerima kalian sebagai bagian dari kami jika kau berhasil bertahan hidup.”

Yuan memandang kekasihnya sebentar meminta pendapat. Untuk sesaat Fengyin menggeleng kepala tak setuju.

[Kau harus menerima duel ini, Yuan.]

‘Kau lagi. Sebenarnya siapa kau?” batin Yuan bertanya. “Kenapa suaramu bisa ada di kepalaku?’ 

[Ini adalah satu-satunya jalan. Terima duel ini atau kau bisa mati!]

“Yuan?” tanya Fengyin. Gadis itu menggenggam lengan Yuan. “Kau tidak apa-apa?”

Yuan mengangguk. 

“Apakah kau akan benar-benar menerima duel itu? Kau–”

“Maaf Fengyin, tapi ini adalah satu-satunya jalan.” Yuan maju ke depan menghadap Bunda Ketua dan berkata, “aku terima tantangannya, dengan satu syarat.”

“Apa itu?” tanya Bunda Ketua.

“Jika aku kalah, tolong biarkan tunanganku ini hidup bersama kalian. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang, dan aku adalah satu-satunya yang dia miliki.”

Yuan memandang pilu pasangannya di belakang. Air mata Fengyin hendak terjatuh, tapi dia menutup mata sembari memalingkan wajah dari kenyataan pahit yang akan terjadi di depan matanya.

“Baiklah kalau. Adakah yang berani melawan anak ini?” Bunda Ketua berteriak pada Ner’iatu.

Hongli maju paling depan mengangkat pisaunya. “Aku bersedia menjadi lawannya.”

“Tidak.” Bunda Ketua langsung menolak. “Kita semua tahu kau yang paling percaya dengan anak ini. Dengan kau sebagai lawannya, aku tak yakin kau akan mengeluarkan seluruh kemampuanmu saat melawannya.”

Hening sejenak. 

“Adakah lawan yang lain?”

“Saya siap menjadi lawan anak ini.” Tiba-tiba pria pendek yang sedari tadi bersama Hongli maju.

“Gao Li, apakah kau siap menerima konsekuensinya? Bukan hanya anak ini yang akan mati, kau juga punya peluang yang sama untuk kalah darinya.”

“Heh. Saya yakin akan menang melawan bocah ingusan seperti dia, Bunda.”

“Baiklah kalau begitu. Persiapkan arenanya!”

Semua warga Ner’iatu segera keluar dari singgasana Bunda Ketua dan membuat lingkaran di tengah ruangan yang super besar. Gao terlihat berada di ujung arena sedang melakukan beberapa persiapan seperti memeriksa ketajaman pisaunya.

Fengyin di lain sisi justru resah tak kuat hati. Dia berjalan mondar-mandir tak jelas sambil menggigit kuku jari di pinggir lapangan. 

Satu-satunya anggota keluarga Qiancheng yang tersisa akan berduel hidup dan mati melawan pria dari goa yang belum pernah dia temui sebelumnya? 

Fengyin tak akan siap menerima satu lagi kematian di anggota keluarganya, apalagi orang yang dia cintai.

“Yuan, kau bisa memakai pisauku untuk bertarung.” Hongli menyerahkan pisau hitam miliknya. 

Yuan menerima pisau itu dengan tatapan curiga, alisnya terangkat sebelah melihat kebaikan Hongli. 

Pria kekar itu kemudian menambahkan, “Gao adalah salah satu pejuang terbaik kami. Kemampuan bertarungnya bisa dibilang setara denganku. Saat menghadapinya, aku sarankan terus perhatikan bahunya.”

“....”

Yuan menangkap pemandangan ganjil dari tunangannya di seberang lapangan. Senar-senar di tubuhnya bergetar hebat dalam penglihatan Yuan.

“Jika kau mati dalam pertarungan ini, aku tidak akan pernah memaafkanmu,” kata Fengyin dalam sorot matanya mengancam.

Yuan terkekeh. Setelah persiapan selesai bagi kedua petarung, akhirnya mereka memasuki arena bersiap adu nyawa sampai akhir. Gao kegirangan bukan main diujung lapangan, dia sempat menjilat pisaunya sembari tersenyum seperti orang gila.

“Hei nak, kau tidak perlu takut. Keluarkan seluruh kemampuanmu, aku ingin melihat apakah kau benar orang yang diramalkan atau tidak.”

Alih-alih membalas provokasi dari lawan, Yuan melihat tubuh Gao dengan saksama. Senar yang keluar dari tubuhnya menjadi lebih stabil dan dinamis. 

[Lihatlah lawanmu, pahami lawanmu. Kemenangan akan menjadi milikmu.]

Sesekali senar itu berubah menjadi bergelombang, diikuti perubahan gerakan kuda-kuda. Dalam penglihatan aneh itu, tidak hanya emosi yang bisa dirasakan oleh Yuan, tapi isi pikiran pria itu tergambar jelas di mata hijaunya.

“Semua bersiap! Mulai pertarungannya!”

Yuan dan Gao bergeming. Tak satu pun dari kedua petarung ini memulai gerakan lebih dulu. Keduanya sibuk mengamati gerakan masing-masing. Sementara Gao fokus pada mata hijau lawannya, Yuan memperhatikan isi pikiran si pria dengan seksama, fokus dia adalah bahu dan senar-senar yang keluar dari tubuhnya. 

Ke mana pun Yuan bergerak, Gao seolah mengikuti. Yuan bergerak ke kiri, Gao bergerak ke kiri, Yuan menilingkan kepala, Gao menilingkan kepala juga. 

Pria itu seperti dikendalikan tanpa sadar. Hongli dan penonton lain agak heran dengan tingkah pria itu.

Gao menggelengkan kepala yang tiba-tiba merasa pusing.

“Hei, Nak, matamu … aku kenal mata seperti itu adalah pertanda kalau kau sudah pernah melihat kematian…”

“Berikutnya adalah kematianmu yang akan aku lihat.”

“Aku suka dengan sikap percaya dirimu. Baiklah jika itu yang kau inginkan, mari bertarung sampai mati!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
Mantap bah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status