Gao melesat dengan kelajuan tak normal sembari menghunuskan pisau menuju perut Yuan. Walau gerakannya sangat cepat, bocah itu bisa melihat jelas kemana tujuan pisau milik lawannya hendak mendarat. Dengan lembut dia menghindar ke kanan.
Tikaman Gao meleset, Yuan langsung melesatkan pukulan ke bibir lawan menggunakan gagang pisau miliknya. Gao mundur dua langkah menerima pukulan telak. Dia melemparkan sesuatu dari mulutnya, yaitu sebilah gigi depan. Mulutnya berdarah.
“Kurang ajar kau bocah sialan!” Hongli dan para Ner’iatu yang lain tertawa terbahak-bahak melihat Gao nyengir dengan gigi ompong.
Amarah mengambil alih tubuh Gao. Dengan lincah dia melancarkan tusukan dengan membabi buta. Serangan demi serangan dia lancarkan dengan niat ingin membunuh. Anehnya tak satupun dari serangan miliknya mengenai lawan.
Gao mulai jengah dengan permainan serang dan menghindar ini. Dia berteriak sambil melompat ke tepi arena.
“Kali ini aku akan benar-benar menghabisimu!”
Gao kembali berlari dalam kecepatan di luar nalar, hanya saja gerakannya kali ini zig-zag. Mata Yuan bergerak ke kiri dan ke kanan bergantian mengimbangi kecepatan manusia berkulit merah itu. Dalam jarak dua meter tanpa diduga, Gao melemparkan pisaunya ke wajah Yuan. Untunglah pisau itu masih bisa di tangkis.
Di momen terkejut itu, Gao mengambil kesempatan melayangkan tinju bebas sekuat tenaga ke wajah Yuan. Dia hendak membalaskan gigi depannya yang sudah hilang.
Dikira Yuan tak sigap, anak itu mampu membaca isi pikiran dari Gao dan melakukan hal yang lebih mencengangkan lagi. Yuan melempar pisau ke atas lalu berputar mengelilingi tubuh Gao, dalam sekejap Yuan sudah berdiri di belakang pria itu sembari menyambut pisau yang berputar jatuh di udara ke tangan dan menghunuskannya ke leher musuhnya.
“Menyerahlah, jangan sampai aku membunuhmu!” Teriak Yuan. Gao tak berkutik ketika ujung lancip itu hanya berjarak 2 inci dari dagingnya, satu gerakan saja bisa membuat nyawanya melayang.
“Ayo habisi dia!” Teriak Hongli di luar lapangan.
Tidak ada reaksi. Yuan tidak bergerak dari posisinya. Gao memanfaatkan momen ini untuk menyikut perut lawan dan melepaskan diri dari jerat maut itu.
“Apa yang dia lakukan?” Hongli bertanya pada Fengyin.
“Yuan belum pernah membunuh seseorang. Hatinya masih tak kuat untuk mengambil nyawa milik orang lain.”
“Jika dia tidak segera membunuh lawannya, dia yang akan mati.”
[Tidak ada jalan mundur bagimu Yuan. Bunuh lawanmu, atau kau yang akan mati.]
Sekali lagi Yuan mengguncangkan kepala menyingkirkan suara setan di dalam pikirannya. Untuk sejenak dia memandang Fengyin seakan tak mampu berbuat lebih daripada ini. Hatinya masih tak kuat jika harus merenggut nyawa orang lain.
“Kau bocah naif!” Gao berteriak penuh gemuruh, “kau bodoh, seharusnya kau membunuhku selagi ada kesempatan. Bocah pengecut sepertimu tidak akan pernah menjadi nabi kami. Kau sama seperti ayahmu, pengecut, manusia rendahan yang tidak punya keberanian, seharian hanya duduk di atas singgasana tanpa melakukan apa-apa. Dan kau heran kenapa kerajaanmu bisa dengan mudah direbut oleh orang lain? Keluargamu memang pantas mati!”
Hati Yuan terbakar.
[Bunuh dia…]
Matanya membara penuh amarah.
[Bunuh dia!]
Yuan bangkit memegang pisau dengan posisi berbeda. Bilah yang selalu dia hadapkan ke belakang sedari tadi kali ini terhunus ke depan.
[BUNUH DIA!!!]
Udara menjadi berat. Tangan Yuan gemetar memegang pisau sambil terengah-engah. Semua orang bisa dengan jelas mendengarnya bernapas.
Hongli, Fengyin, dan semua Ner’iatu merasakan bahaya dari tubuh Yuan. Muka mereka menunjukkan kegelisahan tanpa sebab saat remaja itu berjalan perlahan menuju Gao. Semua orang merinding secara serempak.
Bahkan Bunda Ketua yang buta, kini langsung berdiri dari kursi menganga merasakan anomali aneh yang terjadi di arena.
Gao yang paling merasakan tekanan dari kehadiran Yuan. Dia coba menelan air liur yang tersekat di tenggorokan dengan susah payah. Langkah mundur perlahan dia ambil. Tangannya sedikit gemetar dipenuhi peluh menyeruak di wajah.
“Perasaan apa ini? Tiba-tiba suasana menjadi berat,” Hongli melihat ke seluruh hadirin di tepi arena.
“Aku … aku belum pernah melihat Yuan semarah ini sebelumnya,” tukas Fengyin.
“Haaaa!!!” Gao berteriak mengejutkan semua orang sambil melompat mundur ke ujung lapangan menjaga jarak sejauh mungkin dari Yuan, “monster macam apa kau ini!”
“Kau takut kepadaku?” Senar-senar di tubuh Gao menari dengan liar di udara dalam pandangan Yuan.
“...” Gao coba mengontrol napasnya yang mulai di luar kendali.
Yuan berjalan perlahan penuh wibawa menuju Gao dalam intimidasi luar biasa. Senar di tubuhnya kian menggila layaknya cacing terpanggang.
“Gao … Gao sudah mati,” cetus Bunda Ketua. Hongli dan Fengyin terkejut mendengarnya, “saat ini kematian Gao sudah tak terhindarkan. Akhir dari pertarungan ini sudah jelas terlihat.” Dia kembali duduk di kursinya lemas tak berdaya.
Yuan menjatuhkan pisaunya dan berkata, “ayo serang aku. Akan kubunuh kau dengan tangan kosong.”
Gao mengambil napas dalam sembari menutup mata, jantungnya perlahan kembali ke irama detak normal. Tiga kali tarikan napas panjang, ia akhirnya membulatkan tekad untuk menyerang Yuan dengan seluruh kekuatannya. Musuhnya berdiri tanpa senjata, tapi insting milik Gao berteriak penuh bahaya.
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah percaya kalau kau adalah nabi. Akan aku buktikan dalam satu gerakan khusus yang sengaja aku simpan untuk saat-saat terakhir, terima ini!”
Gao berlari seperti iblis kerasukan dan berhasil menusuk bahu Yuan. Beberapa tetes darah akhirnya terjatuh ke lantai arena.
“Oh tidak! Yuan!” Fengyin berteriak tak kuasa melihat pertunjukan horor dari luar lapangan.
“Sekarang siapa yang akan mati?” Gao tersenyum puas.
Tapi senyuman itu berubah menjadi ketakutan ketika melihat orang yang ditusuk ternyata menyeringai lebih lebar dari dirinya. Seolah tak merasakan sakit, Yuan memegang pisau di bahunya dengan tangan kosong. Seringainya kian melebar seperti monster, tersenyum dengan ekspresi mati. Tangan Gao gemetar, ketakutan mengambil alih tubuhnya ketika menatap mata hijau Yuan.
Beberapa kali dia hendak mencabut pisaunya, tapi tak membuahkan hasil. Sekalipun berdarah-darah, cengkraman tangan Yuan terlalu kuat. Ini mengingatkan Fengyin saat adegan kematian ibunya Yuan.
[Habisi nyawanya sekarang juga!]
Yuan mendekatkan mulutnya ke telinga Gao dan berbisik, “penggal kepalamu.”
Pisau dicabut dari bahu Yuan. Seolah diambil alih, tangan Gao bergerak sendiri menyayatkan pisau hitamnya ke leher hingga memenggal kepalanya sendiri. Kepala Gao menggelinding bebas ke bawah kaki Yuan. Darah menyembur dari tubuh tanpa nyawa di tengah lapangan.
Melihat kepala musuhnya terjatuh di bawah kaki, Yuan menginjaknya sembari mengangkat tinggi tangan ke udara mendeklarasikan kemenangan.
Untuk beberapa hari ke depan cerita ini akan berhenti update untuk sementara dikarenakan akan ada perbaikan alur cerita.Begitu semuanya sudah diperbaiki, ceritanya akan kembali berlanjut.Pantengin terus ya :D
Malam hari yang gelap, memancarkan hawa dingin dari rembulan biru tertutup setengah paras oleh awan. Distrik Qingchong menjadi sunyi dan sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan sosial. Yuan dan kawan-kawan menyelinap dari satu tempat ke tempat lain dalam bayangan kegelapan. Mereka bertujuh berusaha berkamuflase sebisa mungkin agar tak ketahuan oleh siapapun, terutama oleh mereka para prajurit yang sedang berpatroli.“Kalian mencium sesuatu?” Tanya Tangfei pada yang lain.“Iya, ini bau bensin. Pastinya bukan cuma aku yang mencium ini dari tadi di sepanjang jalan.” Jelas Hongli.“Hati-hati saja jangan sampai ketahuan oleh para pasukan yang sedang berjaga,” kata Yuan.Mereka melanjutkan merayap menyusuri kegelapan di belakang bangunan distrik Qingchong. Makin lama bau bensin kian menyengat, namun hidup mereka semua perlahan bisa beradaptasi. Bau bensin ini sudah tidak mengganggu bagi hidung mereka lagi.Dalam jarak seratus meter lebih, balai kota tempat di mana anak dan istri milik Xueyi d
Pada keesokan harinya, sebuah rombongan prajurit Wuyan berjajar rapi di jalanan berbatu yang menuju ke Bing Qing. Matahari pagi memancarkan cahaya keemasan, menyinari kereta yang diangkut oleh dua kuda hitam berkilat. Kereta itu terlihat megah dengan ukiran-ukiran rumit pada kayunya dan hiasan bendera kebesaran Wuyan yang berkibar anggun di sepanjang jalan. Semua prajurit, mengenakan armor logam berwarna hijau yang mengkilap, meningkatkan kewaspadaan di atas kuda mereka, berbaris dengan disiplin menuju kerajaan dagang internasional. Ternyata, rumor mengenai Kaisar Wuyan hendak berkunjung ke Bing Qing bukanlah isapan jempol belaka. Kereta yang diangkut oleh dua kuda berwarna hitam pekat itu bergerak dengan tenang, roda kereta yang terbuat dari kayu kokoh berderak lembut di atas jalan yang ditutupi lapisan debu halus. Di dalam kereta, sosok yang sangat penting sedang berada, menambah aura misterius pada perjalanan tersebut.Yuan dan kawan-kawan sedang bersembunyi di dalam hutan jauh d
Yuan coba membaca surat yang ada di tangan pamannya. Bunyinya:“Jika kau mau anak dan istrimu selamat, temui kami di balai kota distrik Qingchong. Bawa tiga orang terbaik bersamamu. Kami akan menyambut kalian.Tertanda: Xu Yanzhi.”Semua orang sepakat siapa yang harus pergi ke tempat itu malam ini. Xueyi, Yuan dan Hongli.Ketiganya tanpa pikir panjang berlari menuju tempat yang dijanjikan dalam gelap malam. Sementara Tangfei dan yang lainnya mengawasi dari kejauhan.Begitu tiba, empat prajurit sudah menunggu di pintu masuk.. Xueyi langsung disambut oleh Xu Yanzhi.“Selamat datang, wahai samurai dan kawan-kawan. Akhirnya kau datang.”“Dimana anak dan istriku?”Pria berpakaian emas itu menggeser diri dari pintu, memperlihatkan pemandangan mengerikan di dalam ruangan Lian dan dua anaknya sedang diikat pada sebuah tiang. Mulut mereka disumpal dengan kain yang membuat mereka tak bisa berbicara.Teriakan mereka tak terdengar, tapi ekspresi mereka menunjukkan ketakutan.Xueyi mengerang pelan
Yuan bergerak dengan hati-hati, matanya meneliti setiap sudut lemari di ruangan. Dia hampir saja mengambil lencana terakhir ketika sebuah bayangan di cermin menarik perhatiannya. Sosok Guozhi, tampak jelas berdiri di tengah pesta bersama beberapa rekannya.“Guozhi!” bisik Yuan, matanya membesar. “Lihat, itu Guozhi!”Dia memberi isyarat pada Hongli, yang tengah tenggelam dalam kegembiraan pesta, dikelilingi oleh tiga wanita cantik dengan minuman di tangan. Hongli tampak tersenyum kikuk, pikirannya melayang jauh dari situasi sekitar.“Sial, pria ini terlalu mabuk untuk sadar!” pikir Yuan, cemas.Guozhi, yang sedang mengambil minuman, mengamati pria besar di sofa dengan tatapan tajam. “Rasanya aku kenal kau….”Hongli tersenyum lebar, masih setengah teler. “Ah, aku dikenal banyak orang. Menjadi selebriti sepertiku memang melelahkan, hahaha!”Guozhi tertawa ringan, “Hahaha, aku paham rasanya. Aku juga sering merasa tak nyaman dikenali di sini.”Yuan mengamati dari jauh dengan penuh kekhawa
Yuan memperhatikan pamannya berdiri di depan pintu dalam keadaan yang tak bisa ditebak. Mukanya nyaris tak berekspresi sama sekali, namun senar yang keluar dari tubuhnya menggeliat penuh kemarahan. Penuh dendam. Penuh ambisi. Dan setitik rasa sedih. Hanya Yuan dengan mata ajaibnya yang bisa melihat apa yang dirasakan oleh Xueyi.“Kau tidak apa-apa, Paman?” Yuan bertanya sambil menepuk pundaknya dari belakang.“Yeah, aku baik-baik saja,” jawab Xueyi dengan senyum terpaksa yang sulit disembunyikan.“Berapa banyak sisa uang yang kau punya sekarang?”“Tidak banyak. Mungkin hanya cukup untuk satu atau dua hari ke depan.”“Baiklah, karena kita nampaknya tak ada lagi yang bisa dilakukan di Bing Qing, ada yang mau pergi ke Wuyan?”“Apa yang akan kita lakukan di sana?” tanya Hongli,“Banyak hal. Kita bisa mengecek bagaimana perkembangan situasi di sana. Dan juga, merampas beberapa koin emas dari prajurit di sana.”Xueyi nampak setuju dengan rencana itu. Tangfei, Zhenwu, Dwei, dan Xiao juga ter