Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.
Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.
Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri.
Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan pukul 09.30 malam. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera pulang untuk beristirahat, apalagi besok pagi ia sudah harus berada di bandara untuk terbang ke Malaysia.
Setelah menghabiskan juice jeruknya, Dimas lalu berpamitan dengan para direktur yang masih menikmati hidangan makan malam mereka.
Di dalam mobil, Dimas kembali memutar lagu berirama Jazz lembut seperti pada awal ia berangkat. Ingatannya kembali kepada peristiwa tadi siang ketika ibunya menegur dia. Dimas merasa bahwa ia sudah berusaha memberikan yang terbaik yang ia bisa untuk Perusahaan ini, juga untuk kasus di Malaysia, tapi di mata ibunya, ia tidak pernah cukup baik.
Sedari kecil, ibunya memang keras terhadap Dimas, berbeda dengan sikap ayahnya yang lebih pengertian. Tidak heran kalau Dimas sangat dekat dengan ayahnya. Bagi Dimas, ayahnya adalah segalanya.
Ketika ayahnya meninggal mendadak karena sakit jantung, Dimas merasa sangat kehilangan. Berhari-hari ia hanya bisa menangis di kamarnya. Ia seperti kehilangan harapan dalam hidupnya. Tidak ada lagi tempat untuk bercerita dan berkeluh kesah. Ia ingin memperbaiki hubungan dengan ibunya, namun sepeninggal ayahnya, ibunya semakin larut dalam pekerjaan.
Dimas ingat, seminggu sebelum kematiannya, ayahnya pernah berpesan tidak biasa kepadanya.
“Mas, kamu harus jaga Mama kamu kalau Papa udah gak ada ya.”
Dimas menatap ayahnya dengan pandangan heran. Saat itu, mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis bertemu salah satu kolega ayahnya. Dimas yang menyetir sementara ayahnya duduk di sebelahnya.
“Maksud Papa gimana?”
“Yaa, kamu harus jaga Mama juga Perusahaan kita Mas.”
“Pastilah Pa.”
“Papa sama Mama membangun Perusahaan ini dari nol besar, jadi kamu harus bisa mengembangkannya Mas.”
Dimas mengangguk.
“Mama kamu itu suka keras sama kamu karena dia sayang sama kamu. Kamu kan anak kita satu-satunya dan pewaris Perusahaan nantinya, kamu harus ingat itu.”
Dimas kembali mengangguk.
“Dan satu hal lagi, resep bakmi yang pernah Papa tunjukkin ke kamu jangan pernah kamu berikan ke siapapun juga selain anggota keluarga kita.”
“Iya Pa.”
“Itu resep rahasia keluarga. Kamu tahu kan karena kita jualan bakmi jadi bisa bikin Perusahaan sebesar ini.”
Dimas mengangguk. Siapa yang tidak kenal Bakmi Surapati. Bakmi legend buatan Cahyo Kusuma dan Jelita Maharani yang cabangnya sudah ada di hampir seluruh Indonesia. Banyak orang tergila-gila dengan tekstur lembut bakminya yang seperti lumer di mulut juga bumbu topingnya yang kaya akan rasa. Keunikan Bakmi Surapati bahkan pernah sampai diliput oleh salah satu media kuliner ternama di New York, Amerika Serikat.
“Papa memang kurang terlibat di Perusahaan karena Mama kamu yang lebih suka bisnis. Jadi Papa pikir, kamu mulai harus lebih sering bantu Mama kamu, Mas.”
“Iya Pa. Jangan khawatir.”
Seminggu kemudian, ayahnya meninggal. Apa ini yang dinamakan firasat, batin Dimas.
Tadinya, Dimas berpikir ingin mampir sebentar ke rumah ibunya yang terletak tidak jauh dari komplek perumahannya hanya sekedar melihat keadaannya tapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Sudah terlalu malam, ibunya pasti sedang istirahat, lagipula kalau memang butuh apa-apa biasanya pasti ia akan di hubungi oleh Mbak Yum, asisten rumah tangga ibunya.
Pintu gerbang bercat putih itu terbuka dengan otomatis ketika mobil Mercedes Benz silver Dimas sampai di depannya. Rumah megah dan mewah yang juga bercat putih itu terlihat sunyi. Beberapa lampu taman yang dipasang di halaman depan membuat nuansa putih rumah itu diwarnai semburat kuning keemasan.
Dimas memarkirkan mobilnya di dalam garasi yang sudah terbuka. Di dalamnya masih terdapat dua mobil lainnya yang biasa dipakai oleh Rama dan Putri, kedua anak Dimas dan Amel.
Pintu segera dibuka oleh Mbok Inah. Dimas segera masuk ke dalam rumah dan mendapati keheningan di dalamnya.
“Ibu belum pulang, Mbok?”
“Belum Pak.”
“Rama dan Putri udah di kamar?”
“Den Rama ada di kamar tapi Non Putri tadi pergi dijemput temannya Pak.”
“Temannya laki atau perempuan, Mbok?”
“Perempuan Pak.”
Dimas mengangguk. Ia kenal sebagian teman Putri, anak keduanya itu dengan cukup baik. Ia pun memiliki nomor-nomor telepon teman-temannya sehingga ia tidak terlalu khawatir. Biasanya Putri pergi hanya untuk mengerjakan tugas kuliah.
“Ya sudah Mbok, saya masuk kamar dulu ya.”
“Baik Pak.”
Dimas lalu menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.
Ketika melewati kamar Rama, ia mendengar dari balik kamar itu suara musik yang berdentum-dentum, menandakan bahwa anak laki-laki nya itu belum tidur.
“Rama,” Dimas berkata sambil mengetuk pintu kamar.
“Masuk.”
Dimas membuka pintu kamar. Rama sedang berada di atas tempat tidur sambil memegang telepon genggamnya.
“Musiknya kecilin dikit Ram, udah malam.”
Dengan enggan, Rama mengambil remote yang ada di sebelahnya dan menekan tombol volume.
“Oke, cukup. Kamu udah makan?”
“Udah Pa.”
Dimas lalu menutup kembali pintu kamar Rama yang masih terlihat sibuk dengan telepon genggamnya.
Sandra, kamu dimana sih? Masih di Bandung?
Kok pesan aku gak kamu bales2? Kamu masih marah ya? Aku kan udah minta maaf.
Aku janji, gak akan cemburuan lagi sama kamu.
Please, kamu angkat telepon aku ya atau kamu bales dong pesan aku.
I love and miss u babe.
Rama melihat lagi isi teks yang ia kirim beberapa saat lalu ke Sandra. Masih centang satu. Wajahnya terlihat murung. Sudah beberapa hari ini dia tidak bisa menghubungi Sandra.
Sebelum Sandra pergi ke Bandung beberapa hari yang lalu, mereka terlibat pertengkaran yang cukup hebat sampai-sampai Sandra memutuskan ikatan cinta mereka. Persoalannya sebenarnya sangat sedehana, Rama selalu cemburu kalau melihat Sandra dekat dengan laki-laki lain meski Sandra berkali-kali menyatakan bahwa semua laki-laki yang dekat dengannya hanya sebatas teman tidak lebih tapi Rama seperti tidak mau tahu.
Dan saat ini, Rama sangat menyesal dan bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Sandra.
Di kamarnya, Dimas baru saja hendak bersiap untuk mandi ketika tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.
Nomornya tidak dikenal.
“Halo, dengan Bapak Dimas Kusuma.”, sapa suara di seberang sana.
“Iya, saya sendiri.”
“Saya dari Kepolisian Jakarta Selatan ingin menyampaikan kalau istri anda, Amel Anggraini, mengalami kecelakaan….”
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun
“Sebenarnya waktu itu kamu lagi di The Body atau di rumah Sherly sih?” tanya Dimas, tidak sabar. Rasanya ingin sekali ia membelah kepala Amel dan melihat isinya. Ia ingin tahu apa yang terjadi saat kecelakaan waktu itu. Ia tidak sabar melihat Amel yang sepertinya agak malas bercerita, apalagi saat ini Briptu Sularso kembali datang ke rumah sakit ingin bertanya kepadanya. Dimas hanya tidak mau kecelakaan ini membawa pengaruh buruk terhadap keluarga dan bisnisnya. Maka dari itu, ia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Sabar Pak, mungkin Ibu Amel masih belum pulih ingatannya,” kata Briptu Sularso, mencoba menenangkan Dimas.Amel merengut melihat Dimas yang terus bertanya kepadanya tanpa henti. Seharusnya kan polisi yang lebih pantas menanyai aku, kenapa dia yang ngotot sih, polisinya aja biasa-biasa aja tuh, sungut Amel di dalam hati.“Iya Pak.” Dimas memilih menuruti kemauan Briptu Sularso. Ia tidak mau terlihat terlal
Selasa, sore itu.Sudah sejak semingguan badan Putri merasa tidak enak. Terkadang mual dan disertai muntah tidak terkendali membuat teman-teman di kampusnya merasa ada yang tidak beres. Putri bersikeras bahwa ia hanya masuk angin biasa dan sudah minum obat herbal namun kondisinya tidak juga membaik, malah semakin parah.Andrea, teman akrabnya di kampus menyarankan agar ia segera memeriksakan diri ke dokter tapi Putri menanggapinya dengan malas. Ia enggan meminum obat-obatan kimia hanya untuk sekedar masuk angin saja.Suatu ketika, Andrea bertanya kepadanya pertanyaan yang mengejutkan.“Lu main sama Hadi pake kondom kan?”Putri tersentak. Ia teringat saat melakukan hubungan yang terakhir, Hadi minta izin darinya untuk tidak mengenakan kondom, lebih enak sensasinya, katanya saat itu dan Putri yang sedang terbakar gelora asmara mengiyakannya. Tanpa berpikir panjang lagi.Putri dan Hadi sudah berpacaran selama enam bula
“Kamu kenapa baru cerita sekarang?”Hadi menghela napas panjang. Ia menatap Putri yang juga sedang menatapnya. Mereka berdua sedang berada di kantin rumah sakit setelah sebelumnya Hadi mengunjungi Amel di kamarnya.“Aku nunggu waktu yang tepat sebelum cerita ke kamu. Aku gak mau ini jadi beban pikiran kamu lagi.”“Tapi kamu kan lihat orang yang nabrak mama. Ini penting banget sayang, harusnya kamu cerita dari awal,” kata Putri, suaranya sedikit bergetar.“Iya,” kata Hadi sambil menengok ke kanan dan kiri. “Justru itu masalahnya.”“Maksudnya?”“Aku gak cerita karena mikirin keselamatan kamu dan…” Hadi tidak meneruskan kalimatnya, berat rasanya untuk berkata demi keselamatan anak kita juga.“Iya, aku ngerti, tapi kamu kan bisa cerita ke polisi, ini bisa jadi petunjuk buat mereka.”“Memang polisi bilang apa?”&
Juni masih merasakan sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya akibat perkelahian dengan Rama waktu itu. Luka-luka di wajahnya perlahan mulai mengering, hanya kepalanya saja yang terkadang sering merasakan pusing, kemungkinan karena sempat terbentur meja saat perkelahian itu sehingga efeknya masih terasa sampai sekarang. Yudi dan Anita yang mendengar perkelahian Juni dari Juli sempat merasa sangat khawatir dan bersikeras meminta mereka kembali ke Jakarta secepatnya untuk memeriksa Juni di rumah sakit tapi Juni menolak karena misinya belum tercapai yaitu mempelajari resep bakmi Zalma. Ia juga memberitahu ayah dan ibunya itu bahwa ia sudah dibawa ke dokter oleh Zalma dan keadaanya baik-baik saja, hanya luka ringan dan sudah diberikan obat oleh dokter. “Jun, gue mau ke kedai Rendy ya,” Juli berkata riang, wajahnya terlihat sumringah. Juni menggelengkan kepalanya sambil menatap Juli seakan baru melihat sosok makhluk astral. “Ke kedai aja dandanannya kayak mau k