“Lu jadi ikut gak?”
Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.
“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”
Amel menggeleng.
“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”
“Barusan laki lu telpon kan?”
“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”
Sherly mengangguk.
“Ya udah, gue mandi dulu deh.”
Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.
Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olahraga pernah mereka coba, dari mulai gym, yoga sampai pilates. Setelah sekian lama berpindah-pindah tempat gym, mereka berdua akhirnya berpikir untuk mendirikan tempat gym sendiri dengan fasilitas lengkap, tidak kalah dengan tempat gym kenamaan lainnya. Impian mereka akhirnya terwujud berkat kucuran dana dari suami mereka masing-masing. Sherly memiliki seorang suami berkebangsaan Belanda yang bekerja sebagai konsultan perusahaan tambang emas sementara Amel bersuamikan pewaris tunggal PT. Pangan Cakrawala.
Tempat gym yang mereka beri nama The Body itu tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan sejumlah anggota. Ketenarannya bahkan menyamai berbagai tempat gym yang sudah terlebih dahulu ada. Beberapa orang mulai mengusulkan agar The Body dibuatkan sistem franchise sehingga bisa berekspansi dengan lebih cepat. Amel dan Sherly pun menyetujuinya.
Dan memang benar, ekspansi The Body pun menjadi sangat cepat. Banyak orang seakan berlomba untuk menjadi bagian dari mitra The Body. Amel dan Sherly senang bukan kepalang. Pundi-pundi uang pun mengalir deras.
“Yuk.”
Sherly sudah berdiri dengan pakaian casual di hadapan Amel yang masih duduk di karpet. Ia segera berdiri dan mereka berdua berjalan menuju pintu ke halaman parkir dimana mobil mereka berada.
“Lu naik mobil gue aja Sher. Gak usah bawa dua mobil.”
Sherly menyetujuinya. Mereka berdua menuju ke sebuah mobil BMW berwarna hitam.
“Si Adrian masih sering minta duit sama lu?”, tanya Sherly ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Terdengar sayup suara lagu Perfect dari Ed Sheeran berkumandang.
“Masih kok,” jawab Amel acuh tak acuh. Matanya memandang ke depan, tangannya dengan sigap memegang stir mobil.
“Lu tuh di porotin sama dia, Mel. Sadar gak sih lu?”
“Ya udah gak apa-apa lah. Yang penting dia bisa memuaskan gue.” Amel terkikik setelah mengucapkan hal itu.
“Tar kalo laki lu tahu gimana? Ke gap gitu.”
“Halah, dia mah lebih sibuk sama Mama nya dibanding ke gue. Lagian kalo dia tahu kenapa? Dia mau cerai? Gak mungkin.”
“Loh kok gak mungkin sih?”
“Mamanya tipe kolot gitu Sher, gak suka ada kata cerai-cerai. Lagian gue juga udah megang kartu matinya si Dimas. Kalau dia sampai mau cerai, bisa gue sebar kemana-mana.”
“Apaan tuh?”
Amel tersenyum.
“Lu gak usah tahu dulu deh, sorry.”
Sherly cemberut.
“Lu gak capek apa hidup kayak gini?”
“Capek sih tapi mau gimana lagi, makanya gue butuh fun. Lu sendiri gimana setelah tahu laki lu selingkuh?”
“Gue pengen pisah sebenernya tapi gue masih butuh duitnya.”
“Sama dong kayak gue.”
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
“Kita emang udah ada usaha sendiri yang cukup sukses lah tapi kenapa kayaknya gak pernah cukup ya kalau soal duit,” kata Amel sambil menatap Sherly.
“Karena kita cewek matre.”
Mereka berdua kembali tertawa.
“Lu beruntung lah dapet brondong kayak si Adrian itu, gak kayak gue, susah banget dapat yang cocok.”
“Minggu depan kan ada arisan brondong lagi di rumah Dewi, kali aja lu nemu Sher.”
“Mudah-mudahan,” kata Sherly sambil tersenyum kecil.
Pertemuan Amel dengan Adrian awalnya tanpa disengaja. Waktu itu, Amel sedang mengunjungi salah satu franchise The Body di sebuah Mal di Jakarta Barat. Ia hendak memeriksa tempat gym itu setelah mendapat pengaduan mengenai kebersihan ruangan loker. Ia telah mendiskusikan masalah itu kepada pemegang franchise di sana tapi ia tetap ingin memeriksa sendiri. Buat Amel, kualitas sebuah pelayanan adalah segalanya, apalagi untuk para pelanggan The Body, pasti ia akan terus menjaganya.
Setelah memastikan ruangan loker rapih dan bersih, Amel lalu memeriksa alat-alat gym juga ruangan di sana. Beberapa kelas olahraga sedang berlangsung dibimbing oleh para personal trainer bersertifikat. Ia lalu melihat salah seorang Personal Trainer sedang mengajarkan gerakan latihan beban kepada salah seorang laki-laki muda. Amel lalu menghampiri mereka hanya untuk sekedar menyapa.
“Halo, selamat menikmati fasilitas kami ya,” sapa Amel ramah.
Laki-laki muda itu hanya tersenyum sambil mengangguk, sementara si Personal Trainer mengucap salam ramah kepada Amel.
“Selamat siang Bu Amel, saya Adrian, salah satu PT disini.”
Mereka pun berjabat tangan. Entah kenapa Amel tiba-tiba merasa gugup. Hatinya berdegup kencang.
Sejak saat itu, mereka berdua menjadi dekat. Umur Adrian yang berbeda sekitar dua puluh tahunan dengan Amel tidak menghalagi kebersamaan mereka. Apalagi Amel memang suka dengan postur dan wajah Adrian yang gagah dan menawan ditambah lagi perhatian yang ditunjukkan Adrian kepadanya membuat Amel semakin tergila-gila. Bisa dibilang antara Adrian dengan Dimas, suaminya, bagaikan langit dan bumi perbedaannya.
Suatu ketika, ketika mereka habis bermesraan di sebuah kamar hotel yang dipesan Amel, Adrian menunjukkan kepadanya sebuah bungkusan yang berisi bubuk berwarna putih. Ia berkata bahwa bubuk ini bisa membawa Amel melayang terbang tinggi, melupakan semua masalah dan merasakan kegembiraan yang luar biasa. Pada mulanya Amel tidak percaya tetapi setelah didesak Adrian untuk mencobanya, Amel merasakan sensasi yang luar biasa. Perasaan sukacita dan kenikmatan yang tiada duanya.
Tanpa Amel sadari, ia sudah berulang kali merasakan kenikmatan bubuk putih itu sehingga kalau tidak menggunakannya maka perasaannya menjadi tidak karuan. Amel mengajak Sherly untuk mencobanya dan mereka berdua menjadi semakin ketagihan. Lagi dan lagi. Tidak akan ada yang dapat membendungnya.
Mobil Amel nampak memasuki basement Hotel Bekin, sebuah hotel bintang lima yang terletak di bilangan Jakarta Selatan. Tidak lama kemudian, Amel sudah memarkirkan mobilnya. Mereka berdua segera keluar dan menuju lobby.
Lobby Hotel Bekin terlihat ramai oleh orang yang berlalu lalang. Dihiasi oleh berbagai macam lampu kristal di langit-langitnya, sebuah grand piano yang dimainkan oleh seorang pianis di tengah ruangan serta berbagai macam lukisan dan patung yang terlihat mahal membuat semua orang yang berada di lobby ini merasa nyaman. Dan itu memang tujuan Hotel ini berdiri, supaya orang merasa nyaman sehingga bisa kembali menginap terus menerus.
Amel dan Sherly berjalan menuju lift yang berada di ujung lobby. Amel lalu menekan tombol up. Tidak lama kemudian, pintu lift membuka. Mereka segera masuk dan menekan tombol angka 4.
Setelah sampai di lantai 4, mereka berdua lalu mencari nomor sebuah kamar. 405.
Pintu diketuk oleh Sherly.
Tidak lama, pintu dibuka oleh Adrian, bertelanjang dada, seulas senyum manis tergambar diwajahnya.
“Hai sayang,”, katanya sambil mengecup bibir Amel.
“Ayo masuk.”
Amel dan Sherly segera masuk ke dalam kamar. Pintu pun ditutup.
*************
Sementara itu, di lobby Hotel Bekin, seorang pria yang sedari tadi duduk di kursi lobby membaca koran nampak mengeluarkan telepon genggamnya. Ia lalu menekan sebuah nomor.
Setelah dering ketiga, telepon baru diangkat.
“Mereka sudah disini.”
“Bagus, awasi terus,” kata suara di ujung sana, datar.
“Baik Bu.”
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun
“Sebenarnya waktu itu kamu lagi di The Body atau di rumah Sherly sih?” tanya Dimas, tidak sabar. Rasanya ingin sekali ia membelah kepala Amel dan melihat isinya. Ia ingin tahu apa yang terjadi saat kecelakaan waktu itu. Ia tidak sabar melihat Amel yang sepertinya agak malas bercerita, apalagi saat ini Briptu Sularso kembali datang ke rumah sakit ingin bertanya kepadanya. Dimas hanya tidak mau kecelakaan ini membawa pengaruh buruk terhadap keluarga dan bisnisnya. Maka dari itu, ia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Sabar Pak, mungkin Ibu Amel masih belum pulih ingatannya,” kata Briptu Sularso, mencoba menenangkan Dimas.Amel merengut melihat Dimas yang terus bertanya kepadanya tanpa henti. Seharusnya kan polisi yang lebih pantas menanyai aku, kenapa dia yang ngotot sih, polisinya aja biasa-biasa aja tuh, sungut Amel di dalam hati.“Iya Pak.” Dimas memilih menuruti kemauan Briptu Sularso. Ia tidak mau terlihat terlal
Selasa, sore itu.Sudah sejak semingguan badan Putri merasa tidak enak. Terkadang mual dan disertai muntah tidak terkendali membuat teman-teman di kampusnya merasa ada yang tidak beres. Putri bersikeras bahwa ia hanya masuk angin biasa dan sudah minum obat herbal namun kondisinya tidak juga membaik, malah semakin parah.Andrea, teman akrabnya di kampus menyarankan agar ia segera memeriksakan diri ke dokter tapi Putri menanggapinya dengan malas. Ia enggan meminum obat-obatan kimia hanya untuk sekedar masuk angin saja.Suatu ketika, Andrea bertanya kepadanya pertanyaan yang mengejutkan.“Lu main sama Hadi pake kondom kan?”Putri tersentak. Ia teringat saat melakukan hubungan yang terakhir, Hadi minta izin darinya untuk tidak mengenakan kondom, lebih enak sensasinya, katanya saat itu dan Putri yang sedang terbakar gelora asmara mengiyakannya. Tanpa berpikir panjang lagi.Putri dan Hadi sudah berpacaran selama enam bula
“Kamu kenapa baru cerita sekarang?”Hadi menghela napas panjang. Ia menatap Putri yang juga sedang menatapnya. Mereka berdua sedang berada di kantin rumah sakit setelah sebelumnya Hadi mengunjungi Amel di kamarnya.“Aku nunggu waktu yang tepat sebelum cerita ke kamu. Aku gak mau ini jadi beban pikiran kamu lagi.”“Tapi kamu kan lihat orang yang nabrak mama. Ini penting banget sayang, harusnya kamu cerita dari awal,” kata Putri, suaranya sedikit bergetar.“Iya,” kata Hadi sambil menengok ke kanan dan kiri. “Justru itu masalahnya.”“Maksudnya?”“Aku gak cerita karena mikirin keselamatan kamu dan…” Hadi tidak meneruskan kalimatnya, berat rasanya untuk berkata demi keselamatan anak kita juga.“Iya, aku ngerti, tapi kamu kan bisa cerita ke polisi, ini bisa jadi petunjuk buat mereka.”“Memang polisi bilang apa?”&