Share

Bab 7. The Body

“Lu jadi ikut gak?”

Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.

“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”

Amel menggeleng.

“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”

“Barusan laki lu telpon kan?”

“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”

Sherly mengangguk.

“Ya udah, gue mandi dulu deh.”

Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.

Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olahraga pernah mereka coba, dari mulai gym, yoga sampai pilates. Setelah sekian lama berpindah-pindah tempat gym, mereka berdua akhirnya berpikir untuk mendirikan tempat gym sendiri dengan fasilitas lengkap, tidak kalah dengan tempat gym kenamaan lainnya. Impian mereka akhirnya terwujud berkat kucuran dana dari suami mereka masing-masing. Sherly memiliki seorang suami berkebangsaan Belanda yang bekerja sebagai konsultan perusahaan tambang emas sementara Amel bersuamikan pewaris tunggal PT. Pangan Cakrawala.

Tempat gym yang mereka beri nama The Body itu tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan sejumlah anggota. Ketenarannya bahkan menyamai berbagai tempat gym yang sudah terlebih dahulu ada. Beberapa orang mulai mengusulkan agar The Body dibuatkan sistem franchise sehingga bisa berekspansi dengan lebih cepat. Amel dan Sherly pun menyetujuinya.

Dan memang benar, ekspansi The Body pun menjadi sangat cepat. Banyak orang seakan berlomba untuk menjadi bagian dari mitra The Body. Amel dan Sherly senang bukan kepalang. Pundi-pundi uang pun mengalir deras.

“Yuk.”

Sherly sudah berdiri dengan pakaian casual di hadapan Amel yang masih duduk di karpet. Ia segera berdiri dan mereka berdua berjalan menuju pintu ke halaman parkir dimana mobil mereka berada.

“Lu naik mobil gue aja Sher. Gak usah bawa dua mobil.”

Sherly menyetujuinya. Mereka berdua menuju ke sebuah mobil BMW berwarna hitam.

“Si Adrian masih sering minta duit sama lu?”, tanya Sherly ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Terdengar sayup suara lagu Perfect dari Ed Sheeran berkumandang.

“Masih kok,” jawab Amel acuh tak acuh. Matanya memandang ke depan, tangannya dengan sigap memegang stir mobil.

“Lu tuh di porotin sama dia, Mel. Sadar gak sih lu?”

“Ya udah gak apa-apa lah. Yang penting dia bisa memuaskan gue.” Amel terkikik setelah mengucapkan hal itu.

“Tar kalo laki lu tahu gimana? Ke gap gitu.”

“Halah, dia mah lebih sibuk sama Mama nya dibanding ke gue. Lagian kalo dia tahu kenapa? Dia mau cerai? Gak mungkin.”

“Loh kok gak mungkin sih?”

“Mamanya tipe kolot gitu Sher, gak suka ada kata cerai-cerai. Lagian gue juga udah megang kartu matinya si Dimas. Kalau dia sampai mau cerai, bisa gue sebar kemana-mana.”

“Apaan tuh?”

Amel tersenyum.

“Lu gak usah tahu dulu deh, sorry.”

Sherly cemberut.

“Lu gak capek apa hidup kayak gini?”

“Capek sih tapi mau gimana lagi, makanya gue butuh fun. Lu sendiri gimana setelah tahu laki lu selingkuh?”

“Gue pengen pisah sebenernya tapi gue masih butuh duitnya.”

“Sama dong kayak gue.”

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

“Kita emang udah ada usaha sendiri yang cukup sukses lah tapi kenapa kayaknya gak pernah cukup ya kalau soal duit,” kata Amel sambil menatap Sherly.

“Karena kita cewek matre.”

Mereka berdua kembali tertawa.

“Lu beruntung lah dapet brondong kayak si Adrian itu, gak kayak gue, susah banget dapat yang cocok.”

“Minggu depan kan ada arisan brondong lagi di rumah Dewi, kali aja lu nemu Sher.”

“Mudah-mudahan,” kata Sherly sambil tersenyum kecil.

Pertemuan Amel dengan Adrian awalnya tanpa disengaja. Waktu itu, Amel sedang mengunjungi salah satu franchise The Body di sebuah Mal di Jakarta Barat. Ia hendak memeriksa tempat gym itu setelah mendapat pengaduan mengenai kebersihan ruangan loker. Ia telah mendiskusikan masalah itu kepada pemegang franchise di sana tapi ia tetap ingin memeriksa sendiri. Buat Amel, kualitas sebuah pelayanan adalah segalanya, apalagi untuk para pelanggan The Body, pasti ia akan terus menjaganya.

Setelah memastikan ruangan loker rapih dan bersih, Amel lalu memeriksa alat-alat gym juga ruangan di sana. Beberapa kelas olahraga sedang berlangsung dibimbing oleh para personal trainer bersertifikat. Ia lalu melihat salah seorang Personal Trainer sedang mengajarkan gerakan latihan beban kepada salah seorang laki-laki muda. Amel lalu menghampiri mereka hanya untuk sekedar menyapa.

“Halo, selamat menikmati fasilitas kami ya,” sapa Amel ramah.

Laki-laki muda itu hanya tersenyum sambil mengangguk, sementara si Personal Trainer mengucap salam ramah kepada Amel.

“Selamat siang Bu Amel, saya Adrian, salah satu PT disini.”

Mereka pun berjabat tangan. Entah kenapa Amel tiba-tiba merasa gugup. Hatinya berdegup kencang.

Sejak saat itu, mereka berdua menjadi dekat. Umur Adrian yang berbeda sekitar dua puluh tahunan dengan Amel tidak menghalagi kebersamaan mereka. Apalagi Amel memang suka dengan postur dan wajah Adrian yang gagah dan menawan ditambah lagi perhatian yang ditunjukkan Adrian kepadanya membuat Amel semakin tergila-gila. Bisa dibilang antara Adrian dengan Dimas, suaminya, bagaikan langit dan bumi perbedaannya.

Suatu ketika, ketika mereka habis bermesraan di sebuah kamar hotel yang dipesan Amel, Adrian menunjukkan kepadanya sebuah bungkusan yang berisi bubuk berwarna putih. Ia berkata bahwa bubuk ini bisa membawa Amel melayang terbang tinggi, melupakan semua masalah dan merasakan kegembiraan yang luar biasa. Pada mulanya Amel tidak percaya tetapi setelah didesak Adrian untuk mencobanya, Amel merasakan sensasi yang luar biasa. Perasaan sukacita dan kenikmatan yang tiada duanya.

Tanpa Amel sadari, ia sudah berulang kali merasakan kenikmatan bubuk putih itu sehingga kalau tidak menggunakannya maka perasaannya menjadi tidak karuan. Amel mengajak Sherly untuk mencobanya dan mereka berdua menjadi semakin ketagihan. Lagi dan lagi. Tidak akan ada yang dapat membendungnya.

Mobil Amel nampak memasuki basement Hotel Bekin, sebuah hotel bintang lima yang terletak di bilangan Jakarta Selatan. Tidak lama kemudian, Amel sudah memarkirkan mobilnya. Mereka berdua segera keluar dan menuju lobby.

Lobby Hotel Bekin terlihat ramai oleh orang yang berlalu lalang. Dihiasi oleh berbagai macam lampu kristal di langit-langitnya, sebuah grand piano yang dimainkan oleh seorang pianis di tengah ruangan serta berbagai macam lukisan dan patung yang terlihat mahal membuat semua orang yang berada di lobby ini merasa nyaman. Dan itu memang tujuan Hotel ini berdiri, supaya orang merasa nyaman sehingga bisa kembali menginap terus menerus.

Amel dan Sherly berjalan menuju lift yang berada di ujung lobby. Amel lalu menekan tombol up. Tidak lama kemudian, pintu lift membuka. Mereka segera masuk dan menekan tombol angka 4.

Setelah sampai di lantai 4, mereka berdua lalu mencari nomor sebuah kamar. 405.

Pintu diketuk oleh Sherly.

Tidak lama, pintu dibuka oleh Adrian, bertelanjang dada, seulas senyum manis tergambar diwajahnya.

“Hai sayang,”, katanya sambil mengecup bibir Amel.

“Ayo masuk.”

Amel dan Sherly segera masuk ke dalam kamar. Pintu pun ditutup.

*************

Sementara itu, di lobby Hotel Bekin, seorang pria yang sedari tadi duduk di kursi lobby membaca koran nampak mengeluarkan telepon genggamnya. Ia lalu menekan sebuah nomor.

Setelah dering ketiga, telepon baru diangkat.

“Mereka sudah disini.”

“Bagus, awasi terus,” kata suara di ujung sana, datar.

“Baik Bu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status