Share

Bab 9. Janji Hati

Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat.

Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu.

JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitmen sang pemilik kedai untuk selalu menyajikan yang terbaik bagi para pengunjungnya.

“Bang Jun, kopinya,” sapa Arif salah satu waiter di Kedai Kopi JaRe sambil menaruh segelas kopi berwarna hitam panas di meja dimana Juni sedang duduk.

Juni tersenyum ramah. “Terima kasih Rif.”

Ini adalah kali ketiga Juni mengunjungi Kedai Kopi JeRe dan ia merasa cocok dengan racikan kopi Rendy. Juli pun demikian. Sejak pertama kali mengunjungi kedai kopi ini, tidak henti-hentinya Juli memuji kepiawaian Rendy meracik kopi. Kue dan roti nya juga enak-enak, demikian puja puji Juli kepada Zalma waktu itu ketika sang Nenek bertanya kepadanya mengenai Kedai Kopi Rendy.

Ia lalu menyeruput kopinya, kemudian kembali melihat ke layar laptop yang terbuka di hadapannya.

Juni sedang menonton sebuah chanel Youtube mengenai cara pembuatan kue red velvet. Sampai saat ini, Zalma sama sekali belum menceritakan apa yang hendak diceritakannya. Resep bakmi yang buat ia penasaran itu pun masih misterius, Juni belum berani menanyakan lagi setelah penolakan Zalma waktu itu.Tunggu saat yang tepat, Nenek sepertinya belum siap, lagipula gue juga tidak buru-buru, pikir Juni. Maka dari itu, untuk mengisi waktu luang, Juni banyak meriset menu dan resep yang mungkin dapat di jualnya nanti.

“Jun! lagi bengong apa ngapain sih?”

Juni sedikit terkejut, ia lalu mengangkat wajahnya dan melihat sumber suara itu. Ternyata berasal dari Sandra yang sudah duduk di hadapannya.

“Hei San, kirain gak jadi dateng.”

“Jadi dong, kan gue udah janji.”

“Udah pesen kopi atau roti-roti gitu?”

Sandra menggeleng. “Belum.”

“Pesen gih, tar giliran gue yang bayarin ya. Kan udah janji juga.”

Sandra tertawa, suaranya yang renyah membuat Juni merasa terkesima.

Juni segera memanggil waiter dan membiarkan Sandra memesan makanan dan minuman.

“Saya pesan juice alpukat sama roti tuna aja Mas.”

Waiter mencatat pesanan Sandra, setelah mengucapkan terima kasih, ia segera menuju ke depan untuk mempersiapkan pesanan.

“Tadi ke sini sama siapa San?”

“Gue tadi naik taksi online. Lu bawa mobil?”

Juni menggeleng.

“Gue juga tadi naik taksi online. Mobil lagi dipakai Nenek sama Juli. Mereka pergi kemana gitu, gue lupa.”

“Nenek lu yang nyetir?”

“Gak kok, ada sopir.”

Tidak lama kemudian, pesanan Sandra pun datang.

“Lagi ngerjain apa sih Jun?” tanya Sandra sambil memotong roti tuna.

“Lagi lihat-lihat cara bikin kue aja di Youtube, buat rencana di kedai kita nantinya.”

“Jadi, lu udah tahu dong nama kedai bakmi nenek lu sekarang?”

“Belum. Nenek sempat sakit waktu itu jadi belum sempat cerita.”

“Sakit apa Jun? Parah?”

“Asmanya kumat, mungkin gara-gara banyak pikiran juga. Gak parah sih tapi gue gak berani nge push nenek buat cerita dulu soalnya gara-gara ini kayaknya asma nenek jadi kambuh.”

“Mungkin cerita itu bikin nenek lu trauma Jun.”

“Mungkin juga.”

Mereka pun segera mengganti topik pembicaraan. Juni berkeinginan menjelajahi wisata kuliner di Bandung, satu hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sandra juga memiliki keinginan yang sama. Apalagi banyak sekali tempat makan enak yang baru di buka di Bandung sehingga membuat semakin beraneka ragam jenis kuliner yang menggoda untuk dicoba.

Saat Juni hendak memesan kopi kembali, tiba-tiba telepon genggam Sandra yang tergeletak di meja berbunyi.

Sandra melirik sebentar ke nomor yang sangat dikenalnya itu dengan raut wajah malas lalu mengangkatnya.

“Halo.”

“Babe, lagi dimana? Kok pesan sama telepon aku gak di bales sih?”

“Tolong jangan ganggu aku lagi. Udah cukup,” Sandra berkata dingin.

Juni yang melihat gelagat yang tidak enak dari Sandra buru-buru membenamkan diri kembali di balik laptopnya setelah memesan kopi tambahan.

“I’m so sorry babe, aku janji gak akan ngulangin lagi,” suara di ujung sana terdengar memelas.

“Sudah cukup. Kita udah selesai.”

“Please babe, aku juga baru kena musibah, mama aku kecelakaan.”

Sandra sedikit tertegun.

“Kecelakaan apa?”

“Aku gak bisa cerita di sini babe. Kamu balik ke Jakarta ya, temenin aku.”

Sejenak hati Sandra menjadi tidak tega. Ia kemudian terdiam sejenak. Sepertinya kecelakaan itu cukup parah sehingga suara si penelpon sedikit bergetar. Ia lalu menghela napas.

“Maaf, aku gak bisa nemenin kamu, di sini juga aku lagi ada urusan.”

“Urusan apa sih babe? Urusan aku kan lebih penting.”

Hati Sandra yang tadinya mulai lemah menjadi keras kembali. Ini orang memang selalu mau menang sendiri, rutuknya dalam hati.

“Sorry, aku gak bisa. Udahan dulu ya, aku lagi sama temen nih.”

“Oke, kalau kamu gak bisa ke sini, aku yang ke sana.”

“Kamu jangan macem-macem…”

Telepon tiba-tiba ditutup.

Sandra masih terlihat kesal, mukanya memerah menahan amarah.

“Siapa San?”

“Si Rama.”

“Rama Kusuma? pacar kamu kan?”

Juni memang sering mendengar rumor dari teman-teman kuliahnya kalau Rama Kusuma, anak seorang pengusaha terkenal menjalin kisah cinta dengan Sandra meski Juni tidak pernah mengkonfirmasi hal ini kepada Sandra karena ia merasa itu bukan wilayahnya untuk mencari tahu, sampai hari ini.

“Mantan,” kata Sandra meralat ucapan Juni.

Mendengar hal itu, hati Juni merasa lega sekaligus gembira tapi ia berusaha keras untuk tidak menampakkan itu di wajahnya.

“Ohh..,” hanya itu yang keluar dari mulut Juni.

“Kita jalan yuk Jun, bosen juga disini.”

Juni mengangguk. Segera ia menghabiskan kopi keduanya.

Setelah menitipkan laptopnya kepada Rendy, ia dan Sandra berjalan keluar dari Kedai Kopi JaRe. Cuaca di luar yang sedikit mendung membuat kesan romantis dan melankolis, setidaknya bagi hati Juni saat ini.

**************

Di ruang tunggu sebuah Rumah Sakit, Rama menutup telepon genggamnya dengan perasaan marah. Hatinya seakan mau meledak.

Sama teman siapa si Sandra di sana?

Ia lalu menekan sebuah nomor.

“No, gue mau ke Bandung nanti sore, lu siap-siap ya,” kata Rama setelah suara di sana mengangkat telepon.

Baru saja telepon ditutup, seorang anggota polisi keluar dari pintu kamar pasien yang terletak di ujung lorong lalu berjalan menghampirinya.

Jantung Rama berdetak kencang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status