Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat.
Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu.
JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitmen sang pemilik kedai untuk selalu menyajikan yang terbaik bagi para pengunjungnya.
“Bang Jun, kopinya,” sapa Arif salah satu waiter di Kedai Kopi JaRe sambil menaruh segelas kopi berwarna hitam panas di meja dimana Juni sedang duduk.
Juni tersenyum ramah. “Terima kasih Rif.”
Ini adalah kali ketiga Juni mengunjungi Kedai Kopi JeRe dan ia merasa cocok dengan racikan kopi Rendy. Juli pun demikian. Sejak pertama kali mengunjungi kedai kopi ini, tidak henti-hentinya Juli memuji kepiawaian Rendy meracik kopi. Kue dan roti nya juga enak-enak, demikian puja puji Juli kepada Zalma waktu itu ketika sang Nenek bertanya kepadanya mengenai Kedai Kopi Rendy.
Ia lalu menyeruput kopinya, kemudian kembali melihat ke layar laptop yang terbuka di hadapannya.
Juni sedang menonton sebuah chanel Youtube mengenai cara pembuatan kue red velvet. Sampai saat ini, Zalma sama sekali belum menceritakan apa yang hendak diceritakannya. Resep bakmi yang buat ia penasaran itu pun masih misterius, Juni belum berani menanyakan lagi setelah penolakan Zalma waktu itu.Tunggu saat yang tepat, Nenek sepertinya belum siap, lagipula gue juga tidak buru-buru, pikir Juni. Maka dari itu, untuk mengisi waktu luang, Juni banyak meriset menu dan resep yang mungkin dapat di jualnya nanti.
“Jun! lagi bengong apa ngapain sih?”
Juni sedikit terkejut, ia lalu mengangkat wajahnya dan melihat sumber suara itu. Ternyata berasal dari Sandra yang sudah duduk di hadapannya.
“Hei San, kirain gak jadi dateng.”
“Jadi dong, kan gue udah janji.”
“Udah pesen kopi atau roti-roti gitu?”
Sandra menggeleng. “Belum.”
“Pesen gih, tar giliran gue yang bayarin ya. Kan udah janji juga.”
Sandra tertawa, suaranya yang renyah membuat Juni merasa terkesima.
Juni segera memanggil waiter dan membiarkan Sandra memesan makanan dan minuman.
“Saya pesan juice alpukat sama roti tuna aja Mas.”
Waiter mencatat pesanan Sandra, setelah mengucapkan terima kasih, ia segera menuju ke depan untuk mempersiapkan pesanan.
“Tadi ke sini sama siapa San?”
“Gue tadi naik taksi online. Lu bawa mobil?”
Juni menggeleng.
“Gue juga tadi naik taksi online. Mobil lagi dipakai Nenek sama Juli. Mereka pergi kemana gitu, gue lupa.”
“Nenek lu yang nyetir?”
“Gak kok, ada sopir.”
Tidak lama kemudian, pesanan Sandra pun datang.
“Lagi ngerjain apa sih Jun?” tanya Sandra sambil memotong roti tuna.
“Lagi lihat-lihat cara bikin kue aja di Youtube, buat rencana di kedai kita nantinya.”
“Jadi, lu udah tahu dong nama kedai bakmi nenek lu sekarang?”
“Belum. Nenek sempat sakit waktu itu jadi belum sempat cerita.”
“Sakit apa Jun? Parah?”
“Asmanya kumat, mungkin gara-gara banyak pikiran juga. Gak parah sih tapi gue gak berani nge push nenek buat cerita dulu soalnya gara-gara ini kayaknya asma nenek jadi kambuh.”
“Mungkin cerita itu bikin nenek lu trauma Jun.”
“Mungkin juga.”
Mereka pun segera mengganti topik pembicaraan. Juni berkeinginan menjelajahi wisata kuliner di Bandung, satu hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sandra juga memiliki keinginan yang sama. Apalagi banyak sekali tempat makan enak yang baru di buka di Bandung sehingga membuat semakin beraneka ragam jenis kuliner yang menggoda untuk dicoba.
Saat Juni hendak memesan kopi kembali, tiba-tiba telepon genggam Sandra yang tergeletak di meja berbunyi.
Sandra melirik sebentar ke nomor yang sangat dikenalnya itu dengan raut wajah malas lalu mengangkatnya.
“Halo.”
“Babe, lagi dimana? Kok pesan sama telepon aku gak di bales sih?”
“Tolong jangan ganggu aku lagi. Udah cukup,” Sandra berkata dingin.
Juni yang melihat gelagat yang tidak enak dari Sandra buru-buru membenamkan diri kembali di balik laptopnya setelah memesan kopi tambahan.
“I’m so sorry babe, aku janji gak akan ngulangin lagi,” suara di ujung sana terdengar memelas.
“Sudah cukup. Kita udah selesai.”
“Please babe, aku juga baru kena musibah, mama aku kecelakaan.”
Sandra sedikit tertegun.
“Kecelakaan apa?”
“Aku gak bisa cerita di sini babe. Kamu balik ke Jakarta ya, temenin aku.”
Sejenak hati Sandra menjadi tidak tega. Ia kemudian terdiam sejenak. Sepertinya kecelakaan itu cukup parah sehingga suara si penelpon sedikit bergetar. Ia lalu menghela napas.
“Maaf, aku gak bisa nemenin kamu, di sini juga aku lagi ada urusan.”
“Urusan apa sih babe? Urusan aku kan lebih penting.”
Hati Sandra yang tadinya mulai lemah menjadi keras kembali. Ini orang memang selalu mau menang sendiri, rutuknya dalam hati.
“Sorry, aku gak bisa. Udahan dulu ya, aku lagi sama temen nih.”
“Oke, kalau kamu gak bisa ke sini, aku yang ke sana.”
“Kamu jangan macem-macem…”
Telepon tiba-tiba ditutup.
Sandra masih terlihat kesal, mukanya memerah menahan amarah.
“Siapa San?”
“Si Rama.”
“Rama Kusuma? pacar kamu kan?”
Juni memang sering mendengar rumor dari teman-teman kuliahnya kalau Rama Kusuma, anak seorang pengusaha terkenal menjalin kisah cinta dengan Sandra meski Juni tidak pernah mengkonfirmasi hal ini kepada Sandra karena ia merasa itu bukan wilayahnya untuk mencari tahu, sampai hari ini.
“Mantan,” kata Sandra meralat ucapan Juni.
Mendengar hal itu, hati Juni merasa lega sekaligus gembira tapi ia berusaha keras untuk tidak menampakkan itu di wajahnya.
“Ohh..,” hanya itu yang keluar dari mulut Juni.
“Kita jalan yuk Jun, bosen juga disini.”
Juni mengangguk. Segera ia menghabiskan kopi keduanya.
Setelah menitipkan laptopnya kepada Rendy, ia dan Sandra berjalan keluar dari Kedai Kopi JaRe. Cuaca di luar yang sedikit mendung membuat kesan romantis dan melankolis, setidaknya bagi hati Juni saat ini.
**************
Di ruang tunggu sebuah Rumah Sakit, Rama menutup telepon genggamnya dengan perasaan marah. Hatinya seakan mau meledak.
Sama teman siapa si Sandra di sana?
Ia lalu menekan sebuah nomor.
“No, gue mau ke Bandung nanti sore, lu siap-siap ya,” kata Rama setelah suara di sana mengangkat telepon.
Baru saja telepon ditutup, seorang anggota polisi keluar dari pintu kamar pasien yang terletak di ujung lorong lalu berjalan menghampirinya.
Jantung Rama berdetak kencang.
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun
“Sebenarnya waktu itu kamu lagi di The Body atau di rumah Sherly sih?” tanya Dimas, tidak sabar. Rasanya ingin sekali ia membelah kepala Amel dan melihat isinya. Ia ingin tahu apa yang terjadi saat kecelakaan waktu itu. Ia tidak sabar melihat Amel yang sepertinya agak malas bercerita, apalagi saat ini Briptu Sularso kembali datang ke rumah sakit ingin bertanya kepadanya. Dimas hanya tidak mau kecelakaan ini membawa pengaruh buruk terhadap keluarga dan bisnisnya. Maka dari itu, ia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Sabar Pak, mungkin Ibu Amel masih belum pulih ingatannya,” kata Briptu Sularso, mencoba menenangkan Dimas.Amel merengut melihat Dimas yang terus bertanya kepadanya tanpa henti. Seharusnya kan polisi yang lebih pantas menanyai aku, kenapa dia yang ngotot sih, polisinya aja biasa-biasa aja tuh, sungut Amel di dalam hati.“Iya Pak.” Dimas memilih menuruti kemauan Briptu Sularso. Ia tidak mau terlihat terlal
Selasa, sore itu.Sudah sejak semingguan badan Putri merasa tidak enak. Terkadang mual dan disertai muntah tidak terkendali membuat teman-teman di kampusnya merasa ada yang tidak beres. Putri bersikeras bahwa ia hanya masuk angin biasa dan sudah minum obat herbal namun kondisinya tidak juga membaik, malah semakin parah.Andrea, teman akrabnya di kampus menyarankan agar ia segera memeriksakan diri ke dokter tapi Putri menanggapinya dengan malas. Ia enggan meminum obat-obatan kimia hanya untuk sekedar masuk angin saja.Suatu ketika, Andrea bertanya kepadanya pertanyaan yang mengejutkan.“Lu main sama Hadi pake kondom kan?”Putri tersentak. Ia teringat saat melakukan hubungan yang terakhir, Hadi minta izin darinya untuk tidak mengenakan kondom, lebih enak sensasinya, katanya saat itu dan Putri yang sedang terbakar gelora asmara mengiyakannya. Tanpa berpikir panjang lagi.Putri dan Hadi sudah berpacaran selama enam bula
“Kamu kenapa baru cerita sekarang?”Hadi menghela napas panjang. Ia menatap Putri yang juga sedang menatapnya. Mereka berdua sedang berada di kantin rumah sakit setelah sebelumnya Hadi mengunjungi Amel di kamarnya.“Aku nunggu waktu yang tepat sebelum cerita ke kamu. Aku gak mau ini jadi beban pikiran kamu lagi.”“Tapi kamu kan lihat orang yang nabrak mama. Ini penting banget sayang, harusnya kamu cerita dari awal,” kata Putri, suaranya sedikit bergetar.“Iya,” kata Hadi sambil menengok ke kanan dan kiri. “Justru itu masalahnya.”“Maksudnya?”“Aku gak cerita karena mikirin keselamatan kamu dan…” Hadi tidak meneruskan kalimatnya, berat rasanya untuk berkata demi keselamatan anak kita juga.“Iya, aku ngerti, tapi kamu kan bisa cerita ke polisi, ini bisa jadi petunjuk buat mereka.”“Memang polisi bilang apa?”&
Juni masih merasakan sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya akibat perkelahian dengan Rama waktu itu. Luka-luka di wajahnya perlahan mulai mengering, hanya kepalanya saja yang terkadang sering merasakan pusing, kemungkinan karena sempat terbentur meja saat perkelahian itu sehingga efeknya masih terasa sampai sekarang. Yudi dan Anita yang mendengar perkelahian Juni dari Juli sempat merasa sangat khawatir dan bersikeras meminta mereka kembali ke Jakarta secepatnya untuk memeriksa Juni di rumah sakit tapi Juni menolak karena misinya belum tercapai yaitu mempelajari resep bakmi Zalma. Ia juga memberitahu ayah dan ibunya itu bahwa ia sudah dibawa ke dokter oleh Zalma dan keadaanya baik-baik saja, hanya luka ringan dan sudah diberikan obat oleh dokter. “Jun, gue mau ke kedai Rendy ya,” Juli berkata riang, wajahnya terlihat sumringah. Juni menggelengkan kepalanya sambil menatap Juli seakan baru melihat sosok makhluk astral. “Ke kedai aja dandanannya kayak mau k
Bandung, 1968Kematian Nuang Na sebulan yang lalu masih menyisakan perasaan sedih di hati Zalma. Ia sangat menyayangi neneknya itu dan neneknya pun kerap memanjakannya. Nuang Na juga adalah seorang pendengar dan pemberi nasihat yang baik. Sering kali Zalma mengadu kepadanya apabila mengalami persoalan dan Nuang Na bisa membuat ia merasa aman dan nyaman dengan segala petuahnya.Zalma memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Syam, tapi hubungan mereka tidak terlalu dekat. Selain karena perbedaan usia yang cukup jauh, lima tahun, kepribadian Zalma dan Syam pun berbeda. Zalma seorang ekstrovert sementara Syam introvert. Ayah mereka pun sering mengajak Syam ke Lembang, dimana mereka memiliki usaha peternakan sapi sehingga Zalma jarang sekali melihat Syam di rumah.“Zalma.”Suara ibunya mengagetkan Zalma. Ia buru-buru mengusap air matanya.“Iya Mah.”Mei Ling duduk di sisi tempat tidur Za