Semua tamu merasakan aura membunuh ini, sangat kental. Bahkan Dewi Perang sepintas menatap muridnya dengan seksama. 'Muridku yang bodoh, inilah cara dunia bekerja... Dan kamu harus membuktikan siapa dirimu sendiri.' sembari berkata dalam hati. Mendengar ungkapan Bintang, Dewi hanya mengangguk. "Benar kata tuan muda Darwin, terserah kau sajalah... Acara akan dimulai sebentar lagi, semoga kamu tidak berlutut didepanku untuk memohon karena Jendral Naga akan membunuhmu!" Tak membalasnya, tiba tiba suara pria tua, diikuti oleh beberapa pengawal keluarga Sananta memasuki ruangan! "Hormat pada kepala keluarga Sananta!" semua menyambut secara kompak. Pria tua itu menganggukan kepalanya, dia berjalan santai kearah kursi paling depan. Namun setelahnya, dia menatap kearah kursi kehormatan dengan raut wajah yang tidak senang! "Dia siapa? Berani sekali duduk di kursi kehormatan Jendral Naga yang ku siapkan sendiri?!" "Hahahaha! Benarkan! Kepala keluarga Sananta saja tidak mengenalmu! Masih
Aga yang ternyata juga di undang oleh keluarga kuno Sananta melemparkan surat undangannya. Sontak penjaga bertubuh kekar itu menatap Bintang dengan tatapan sinis. "Ku anggap sekarang kamu memiliki undangan... Tapi jika berbuat onar didalam ruangan, kamu akan ku keluarkan secara paksa!" Bintang tak menanggapi omongan sang penjaga. Namun dia menatap Aga dengan santai. "Kau juga diundang ternyata?" "Hahaha! Kakakku super hebat juga diundang, mana mungkin aku tidak?" Dia berpikir, mungkin Bintang menghilangkan undangannya. Memasuki ruangan, dan sedikit heran dengan penampilan kakaknya yang aneh. Aga mulai membiasakan dirinya. Namun, saat Bintang akan duduk di kursi sebelah Aga. Tiba tiba seorang pemuda menahan tubuhnya. "Apa yang kamu lakukan? Seorang pengemis bagaimana bisa memasuki ruangan pertemuan ini?!" Semua pandangan tertuju kearah Bintang. Hingga semua orang mulai mencemooh Bintang yang tidak tahu aturan. "Setiap tamu memiliki satu kursi diruangan ini... Kamu bagaimana bis
"Darwin? Siapa dia? Dan apa kamu tahu dimana rumah Dewi Perang berada?""Aku bisa saja mengantarmu kerumah Dewi Perang, tapi apa kau berani membatalkan perjodohannya dengan Darwin?"Bintang terdiam sejenak, "apakah Darwin berasal dari keluarga kuno?"Dewi Judi menganggukan kepalanya, keluarga kuno didalam ibu kota terlalu mengerikan untuk disinggung. Bahkan sekelas wanita lima naga, mereka juga harus berpikir jika bermasalah dengan tiga keluarga kuno."Aku hanya bisa mengingatkan, ayahmu dulu adalah Raja Naga. Penguasa negara ini, namun setelah jatuhnya ayahmu dari gelarnya. Tiga keluarga kuno lah yang mengatur negara ini. Jadi baiknya kamu tidak menyinggung mereka. Apalagi, kamu adalah anak dari Raja Naga."Wajah Bintang tak bereaksi apapun, namun sebagai Dewi Judi. Dia dapat menilai sebuah reaksi mengerikan pada sosok Bintang, bola matanya seakan menunjukan ingin membunuh. "Aku kembali ke kediaman langit juga bukan sekedar untuk menjadi seorang pewaris... Tapi membalaskan kematian
Mengobati lukanya dengan memberi Pill kesembuhan dewa, Bintang menatap wajah Jaka yang tiba tiba tersenyum puas. Karena dia tahu, apa yang diharapkan dari arti sebuah kedamaian telah ada ditangan Bintang. "Ka-kamu berhasil... Je-jendral Naga terimakasih..." akibat kondisi yang kurang stabil, Jaka harus tak sadarkan diri. "Bawa Jendral Jaka untuk beristirahat." Menatap para Jendral lainnya, dan terakhir tatapan matanya tertuju kearah Danta yang kedua bola matanya memerah menahan kekesalan yang begitu besar. Tiba tiba Bintang berjongkok, dia mengatakan, "aku tidak membunuhmu, karena ada alasannya... Lain kali, jika kamu melakukan tindakan bodoh lagi, aku tak segan untuk menebas lehermu..." Danta menyatukan rahangnya, dia yang menahan rasa sakit mulai berdiri, lalu menatap kearah Bintang dengan niat membunuh. "Aku akan mundur dari jabatan Jendral... Bintang, ku harap kau tidak menyesalinya?!" berlari keluar dari camp pertemuan. Melihat kepergian Danta. Bintang mulai mengatakan, bah
Jendral Kematian menyatukan kedua rahangnya secara kuat. Yang pasti, ketiga orang di sisi Bintang adalah orang orang yang dia sayangi. Jika Bintang membunuhnya, mungkin dia juga membunuh Bintang. Tapi apa manfaat yang dia dapatkan? "He-hentikan! Apa maumu?!" Jendral Kematian tak bisa berbuat banyak. Bintang meraih satu kertas di depannya, dan mengambil beberapa kuas tinta yang memang tersedia di depan mejanya. "Tulis surat perdamaian perbatasan selama tiga puluh tahun..." "I-ini..." Jendral Kematian tak langsung menyetujui kemauan Bintang. Bagaimanapun, keinginan merebut wilayah perbatasan Negara Amerta, itu perintah dari Kaisar Negara Jiwa! Menyetujui perdamaian, bisa dianggap dia telah melanggar perintah! "Ka-kakak jangan mau... Baiknya dia bunuh kami, dan kakak balaskan saja kematian kami!" Jendral ke dua mencoba memberontak. "Jendral Kematian... Yang ku tahu, kamu bukan seseorang yang kejam seperti yang dirumorkan... Kehilangan sahabat, yang kini menjadi saudara angkat...
"Le-lenganku..." Jendral ke dua reflek terkejut. Gerakan cepat itu tak membuatnya sigap untuk menyelamatkan satu lengannya. Menatap kearah Bintang dengan penuh kekesalan, dia kemudian segera berlutut, karena dia tahu. Serangan yang dia atur dengan baik ini malah hancur dalam satu waktu hanya karena sebuah jebakan! "A-AKU kalah..." Jendral ke tiga tak bisa berpikir jernih. Yang pasti, Bintang telah menatap Nira yang pandangan matanya memutih, yang pasti dia juga tahu dia akan di penggal ditempat ini hidup hidup. "Nira... Untungnya kamu berani membuka siapa dirimu hari ini... Mungkin, jika kau tidak melakukan ini... Kedamaian perbatasan Negara Amerta takan pernah terjadi... Hari ini, aku tidak akan membunuh kalian." Bintang tersenyum tipis. Dia melemparkan penawar kepada Jaka. Setelah beberapa saat Jaka pulih, pria paruh baya itu turun dari atas Benteng dan tak hentinya menatap Arya dengan kekaguman yang tinggi. "Jendral Naga... Kau yang terhebat..." "Ini baru pertengahan peperan