Hanya tersenyum tipis, sebagai tanggapan ungkapan gadis itu. Bintang mulai memeriksa denyut nadi pria dipangkuan Clara dengan kerutan alis yang memperlihatkan keseriusannya dalam menangani seorang pasien.
"Kondisinya memang sangat parah, racun yang ada didalam tubuhnya telah menyerang jantung, bahkan kearah pembuluh darah."
Clara membelalakan matanya, "Apa yang kamu katakan benar? Lalu bagaimana caramu mengobatinya?"
"Mudah saja... Jika ingin proses pemulihannya berjalan lancar, jangan ganggu aku untuk melakukan tugasku."
Mengeluarkan tiga jarum titik akupuntur, Bintang mulai menancapkannya kearah kening. Dan kedua dada dari ayah Clara.
Tugasnya saat ini adalah meringankan rasa sakit yang diderita pria itu melalui detoksifikasi jarum akupunturnya. Meski tidak sepenuhnya racun itu terangkat, setidaknya langkah ini akan meringankan rasa sakit yang diderita pasien.
Setelah mencabut ketiga jarum.
Darah hitam keluar dari bekas jarum akupuntur menancap. Kini semua orang dapat melihat kenyataan, bahwa penguasa keluarga Cahyo bukanlah terkena penyakit. Melainkan terkena racun!
"Be-benar benar racun..." Clara menatap wajah Bintang seakan tidak percaya. Hanya dengan sekali lihat, pemuda didepannya benar benar sudah mengetahui bahwa ayahnya terkena racun!
Mengeluarkan darah hitam yang keluar, Bintang mulai mengeluarkan secarik kertas kecil, lalu dia dengan cepat menuliskan beberapa bahan herbal mentah yang perlu digunakan oleh Clara untuk menuntaskan sisa racun yang terdapat didalam tubuhnya.
Melihat resep yang diberikan oleh Bintang, Clara hanya mengernyitkan dahinya, "Tuan kenapa bukan obat yang dapat dibeli di rumah sakit, atau apoteker? Lalu apa resep ini akan sangat berguna bagi pemulihan ayahku?"
Bintang tersenyum tipis, dia kemudian berkata, "Itu lebih dari cukup untuk membuat ayahmu pulih dalam waktu semalam. Sekarang aku telah melakukan tugasku, jadi seharusnya kamu tahu kan bagaimana caramu membalas budi?"
Terdiam sesaat, Clara mulai mengerti arah pembicaraan ini. Hingga dia merogoh saku celananya.
"Sial bahkan aku selalu lupa untuk membawa uang cash..." Menyatukan rahangnya, sepasang bola matanya mulai bersinar. Dia segera mengeluarkan kartu identitasnya dan memberikannya kepada Bintang.
"Tuan dapat menggunakan identitasku ini untuk tinggal di sementara di hotel Cahyo... Aku pasti akan mengantarkan beberapa uang jika memang bahan herbal yang tuan berikan ini manjur..."
Melihat sekilas kartu identitas itu, Bintang menganggukan kepalanya.
Pemilik hotel? Sepertinya identitas Clara bahkan keluarganya tak biasa. Merasa sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Bintang berjalan santai sembari mencari hotel yang dikelola oleh Clara.
"Siapa dia sebenarnya? Dari penampilannya yang sederhana seharusnya dia bukan berasal dari orang kaya di kota ini..."
"Nona Clara? Bagaimana kondisi ayahmu?" seorang pria paruh baya, bertubuh gempal tiba tiba berjongkok dihadapan Clara.
"Dokter Tirta kamu akhirnya tiba... Bisakah kamu memeriksa kondisi ayahku? Tadi ada seorang pemuda yang memeriksa dan mencoba menyembuhkan ayahku." Clara dengan cepat menanyakan kondisi ayahnya.
Mengerti akan hal itu, Dokter Tirta memeriksa denyut nadinya. Seketika matanya tertuju kearah bercak darah hitam yang menempel pada jaz ayah Clara dengan jelas.
"Clara siapa orang yang membantumu?"
Clara dengan cepat menunjuk kearah punggung Bintang yang telah menjauh. Melihat kearah itu, kedua rahang dokter Tirta mulai menyatu, namun dia segera dapat mengendalikan dirinya sendiri.
"Ayahmu saat ini memang tidak merasakan rasa sakit seperti sebelumnya. Namun ini hanya bersifat sementara, Clara bawa ayahmu kerumah sakit, aku akan mengobatinya."
"Benarkah? Jadi pemuda tadi itu berani sekali membohongiku?!"
"Ya sepertinya dia ingin mencari banyak keuntungan melalui identitasmu, tapi prioritas saat ini adalah kesehatan ayahmu, dia tak mungkin juga terus berkeliaran dengan bebas di kota ini setelah menipumu kan?"
"Benar..." Clara tersenyum mengerikan.
*
Lima belas menit berjalan menyusuri jalanan kota Awan. Akhirnya Bintang telah tiba didepan hotel bintang lima yang didepan pintunya dijaga ketat oleh dua security.
Saat hendak memasuki hotel itu.
"Berhenti... Pengemis dilarang memasuki kawasan hotel ini." Salah satu security segera menahan tubuh Bintang.
Menatap sepasang mata kemarahan security yang menahannya, Bintang segera mengeluarkan kartu identitas milik Clara. Dia sudah kelaparan, bagaimana bisa dia harus terprovokasi oleh masalah sekecil itu?
"Ka-kartu milik nona... Kamu..." Dia menahan ungkapannya karena Bintang telah memotongnya.
"Aku tidak mencurinya, ataupun merampas identitas milik Clara... Aku mendapatkannya dengan usahaku sendiri, jika kalian menahanku, mungkin Clara akan memecat kalian."
Kedua security seketika menelan ludahnya, identitas milik Clara memang tak mungkin dapat dicuri ataupun terampas kecuali sengaja diberi oleh Clara itu sendiri. Sekarang selain membiarkan pemuda berpakaian sederhana itu memasuki hotel, keduanya kini terus saling pandang hingga diam mematung ditempat mereka berjaga.
Di depan resepsionist.
Sambutan tak ramah kembali di dapatkan Bintang, seorang wanita yang tengah menerima telepon dari pelanggan hotel mulai membuang muka. Jelas dia berniat mengacuhkan kehadiran Bintang yang menggunakan pakaian sederhana.
Mengerti tata krama bagaimana dia harus menunggu resepsionist itu menyelesaikan pekerjaannya. Setelah lima menit menunggu, bahkan telepon itu telah mati namun sang resepsionist tetap diam, Bintang seketika mengeluarkan identitas milik Clara.
"Aku memesan satu kamar dan kirimkan beberapa porsi makan termewah dihotel ini..."
"Kamu bercanda?"
Tidak menjawab, hanya menunjuk ke kartu identitas. Sontak sang resepsionis terpaku untuk sesaat.
Mencoba memegang kartu identitas itu untuk memastikan keasliannya. Tiba tiba dia menatap wajah Bintang dengan sepasang bola matanya yang bergetar seakan tidak percaya.
"Tu-tuan anda bisa menunggu di dalam kamar VIP nomor satu. Pelayan juga akan segera mengantarkan makanan yang anda inginkan. Harap ditunggu!"
Setelah tiba dan menunggu di dalam kamar VIP nomor satu.
Tak lama ketukan pintu terdengar, makanan mewah bertumpuk tumpuk jelas telah memasuki ruangannya yang membuat perutnya semakin liar ingin sekali mencerna semua makanan tersebut.
Sebelum sang pelayan itu pergi.
"Tuan jika boleh tahu, apa tuan memiliki hubungan dengan nona Clara?"
"Heem, tidak terlalu dekat, hanya kenal sesaat..."
Mendengar kejujuran ini, pelayan itu mulai melihat kearah kanan kiri, hingga merasa aman. Dia mulai berbisik.
"Sebelum hubungan semakin dekat, baiknya anda pergi dari sisi nona Clara..."
"Oh memang apa alasannya?"
"Dokter Tirta merupakan dokter terhebat di kota ini. Dia berambisi untuk mendapatkan nona Clara apapun resikonya. Jika hubungan anda terdengar olehnya, maka nyawa anda pasti dalam bahaya."
"Terimakasih atas peringataannya. Aku lapar, aku ingin makan dan tinggalkan aku sendiri."
Sedikit merasa kesal karena peringatannya seakan tidak berguna. Pelayan itu akhirnya meninggalkan Bintang yang tengah menikmati semua pesanan secara lahap.
Lima belas menit kemudian.
"Akhirnya, perutku telah terisi penuh... Sepertinya aku makan terlalu banyak?" berkata dalam hati, lalu mengeluarkan telepon genggam kuno pemberian gurunya. Bintang menunggu pesan dari kelima gurunya untuk menunggu misi yang harus dia kerjakan.
Namun hingga waktu berganti menjadi tengah malam.
"Apa mereka lupa?" merubah wajahnya menjadi kesal, Bintang ingin memejamkan matanya untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Tapi tiba tiba ketukan pintu kamar terdengar begitu jelas. Hingga sebuah pikiran liar muncul dikepalanya.
"Hahahaha! Sudah ku duga! guruku pasti rindu aku kan? Jadi sengaja datang tengah malam untuk menemuiku?"
Bergegas membuka pintu dengan kobaran semangat yang tinggi. Bintang mulai membuka pintu, dia memperlihatkan sepasang mata liarnya kearah depan. Hingga saat pintu terbuka, wajah kekecewaan yang begitu tinggi terlihat pada kerutan kulit wajahnya.
Anak panah berdesing menembus udara, menyambar bahu Ardhana dengan kecepatan tinggi. Ia menunduk cepat, berputar di udara, dan mendarat di atap rumah batu yang sebagian sudah runtuh. Api membakar di bawahnya, menyebar ke segala penjuru kota Kardaya.“Jangan biarkan dia lolos!” teriak seorang perwira dari bawah. “Panah! Panah berapi!”Rentetan anak panah berujung api terlepas ke langit malam. Ardhana berlari di atas atap, melompat dari satu bangunan ke bangunan lain. Setiap kali kakinya menjejak, pecahan genting berhamburan.CTIIING!Ia menebas dua anak panah di udara, lalu berputar cepat. Aura pedangnya menyalakan kilau biru di tengah kobaran merah.Dari jauh, pasukan Kardaya yang mengenakan zirah merah keperakan mulai mengepung dari empat arah. Mereka membentuk formasi busur, memanfaatkan jalan-jalan sempit sebagai perangkap.“Anggota paviliun Teratai Suci!” teriak salah satu prajurit. “Kau telah membawa neraka ke kota ini! Serahkan dirimu!”Ardhana berhenti di ujung atap, pandangann
Ledakan demi ledakan mengguncang kota Kardaya. Api menjilat langit malam, asap hitam menutup bulan. Jeritan, dentingan pedang, dan suara bangunan runtuh bergema di seluruh penjuru kota.Ardhana berdiri di tengah reruntuhan pasar utama, rambutnya tertiup angin panas, matanya menatap ke sekeliling dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan antara marah, bingung, dan kecewa.“Shinra!” teriaknya keras, suaranya mengalahkan bising ledakan. “Apa yang kalian lakukan?!”Shinra muncul dari balik kobaran api, pakaian perangnya berlumuran debu dan abu. Di tangan kanannya, pedang panjang berlumuran darah segar, dan di belakangnya, puluhan anggota Paviliun Teratai Suci terus menyerang warga dan pasukan penjaga kota.“Perintah Nimira jelas,” katanya dingin. “Hancurkan Kardaya sampai tak tersisa. Mereka semua pengkhianat yang menyembunyikan kebenaran!”Ardhana mencengkeram gagang pedangnya kuat-kuat. “Bukan begitu caranya! Aku datang untuk mencari kebenaran, bukan untuk membantai warga sipil!”Shinra
Nimira berbalik tanpa berkata apa pun lagi. Gaun putih keperakannya berayun lembut setiap kali ia melangkah, meninggalkan jejak embun yang perlahan menghilang di lantai batu. Ardhana mengikutinya, langkahnya mantap tapi wajahnya penuh tanya.Mereka berjalan menyusuri lorong panjang di balik altar, di mana dinding batu berhias relief teratai dan naga berselimut lumut lembap. Semakin jauh ke dalam, udara terasa makin berat, seperti menyimpan rahasia besar tentang organisasi yang ada dibawah tanah kota Tujuh Hantu.Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan berbentuk bulat. Di tengahnya, terdapat meja batu berukir lambang Teratai Suci, dan di atasnya terhampar peta tujuh wilayah rahasia. Lentera hijau kebiruan menggantung rendah, menyorot beberapa titik merah yang berkilau seperti darah.Nimira berhenti di depan meja, lalu menatap Ardhana.“Putra naga… Kakekmu, Sang Maha Raja, memang mati ditangan pejuang berani mati negara Teratai Suci ini.”Ardhana mengerutkan kening. “Aku tahu itu?
Dari balik kolam teratai yang berkilau samar, bayangan seorang wanita melangkah perlahan. Suara langkahnya tenang, tapi setiap langkah seolah menggetarkan air di sekelilingnya.Gaunnya berwarna putih keperakan, panjang menyentuh lantai, dan topeng perak menutupi setengah wajahnya. Rambutnya diikat tinggi dengan pita merah muda pucat satu-satunya warna lembut di tempat penuh bayangan itu.Ardhana mulai mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan tajam wanita itu. Mata yang tenang, tapi terlihat cukup berbahaya.Wanita itu berbicara, suaranya sejuk namun mengandung wibawa yang tak bisa ditolak.“Namaku Nimira, penerus kepala Paviliun Teratai Suci. Dan kau…” ia berhenti sejenak, menatap tajam ke arah plakat emas di tangan Ardhana. “Kau membawa simbol kehormatan tanpa izin langsung dariku. Itu berarti, seseorang di luar memberi kepercayaan besar padamu. Tapi di sini, sebuah kepercayaan akan berlaku tergantung kemampuan seseorang…”Nimira mengangkat tangannya, dan air di kolam be
Tujuh kota Hantu.Kota ini terlihat sunyi, dari jauh tempat Ardhana berdiri, dia melihat beberapa penjaga yang tengah berlalu lalang.Terlihat ketat, tapi mereka mengingatkan tentang pasukan yang pernah menginvasi negara Amerta."Blades... Mereka adalah anggota Blades..."Pedang tajam tersarung rapi, mengenakan cadar hitam. Pasukan Blades mungkin pernah dikalahkan oleh ayahnya. Tapi tahun demi tahun telah terlewati, mungkin kemampuan mereka akan meningkat setelah melihat kekalahan ketika menangkap ayahnya."Katanya pasukan ini terus memburu pasukan Pemberontak, tapi kenapa mereka tak dapat menemukan paviliun teratai suci?" dipenuhi banyak pertanyaan. Ardhana tanpa rasa gentar mulai melangkah.Dia menyelinap, dari balik pohon satu ke pohon lainnya.Hingga ditengah aksi senyapnya. Ardhana berjongkok di balik reruntuhan tembok, matanya memperhatikan gerak pasukan itu.Gerakan mereka rapi, berdisiplin. Setiap langkah terhitung, seperti tak membiarkan suara lain masuk kedalam pendengaran
Ardhana mengangkat dagu, senyum tipis tak lekang dari wajahnya. Suara ranting patah di bawah kaki—tanda mereka tak lagi bersembunyi. Angin dingin malam menerpa, menambah kesunyian sebelum badai.“Jadi kalian memilih perang di hutan,” katanya pelan. “Baiklah. Ayo tunjukkan alasan kalian membawa pedang malam-malam.”Salah seorang dari sepuluh itu maju; suaranya serak, seperti yang sering dipakai para eksekutor. “Kalian membuat malu Komandan Lio, bocah! Jadi perintahnya jelas, bunuh atau bawa tubuhmu kembali… hidup atau mati, bayarannya sama!”Ardhana menatap mereka. Sekilas ia membaca ketakutan terpendam pada mata mereka, tapi keserakahan yang dipupuk oleh janji upah. Membuat keberanian untuk ditugaskan oleh Lio. Wuuuuuush! Wuuuuuush!Tanpa ampun, para penyerang menyerbu serempak. Mereka ingin cepat menyelesaikan seorang pemuda sendirian, dengan satu kesalahan fatal.Namun Ardhana mundur satu langkah, lalu bergerak seperti bayangan. Tidak ada jurus ajaib, hanya teknik tangkas yang dila