Share

Bab 3.

Author: Al_Fazza
last update Last Updated: 2025-04-10 17:44:13

"Siapa Kalian?!" Bintang memincingkan matanya, meski tubuh ketiga pria yang mengetuk pintunya dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya. Dia sama sekali tak merasa takut ketika melihat tatapan mereka yang terlihat seakan ingin menelan tubuhnya bulat bulat.

Ketiga pria itu sama sekali tidak menjawab. Melainkan mereka mendorong tubuh Bintang hingga salah satu diantara mereka mulai menutup pintu dan segera menguncinya.

"Seseorang memberi kami perintah untuk memberi pelajaran padamu... Bintang namamu kan?"

Salah satu pria kekar itu mulai melancarkan tinjunya. Namun secara mengejutkannya, Bintang hanya menggeser sedikit kakinya kebelakang. Lalu dengan mudahnya dia menangkap dengan tangan kirinnya, lalu menampar wajahnya dengan sekali tamparan!

Plaaaaaak!

Sepasang mata kedua rekan dari pria itu terbelalak. Tubuh mereka sama besarnya, namun kenapa hanya dengan satu tamparan rekan mereka dibuat terlempar seakan kapas yang tertiup angin?

Selain sangat cepat, tamparan yang dilancarkan oleh Bintang jelas membekas pada pipi pria itu. Bahkan dua gigi harus terlepas dari mulut yang mengakibatkan pria itu terus tersungkur menahan rasa sakit.

"Berani sekali melukai teman kami?! Bintang serahkan nyawamu!"

Kedua pria itu tersadar dari rasa keterkejutan. Mereka dengan cepat menghampiri Bintang yang diikuti oleh gerakan meninju kearah wajah Bintang secara bersamaan.

Namun hal mengejutkan lebih terjadi. Rasa sakit yang telah membuat rekan mereka tersungkur juga sama dirasakan oleh mereka.

Plaaaak! Plaaaaak!

Dua tamparan keras jelas mampir kearah pipi mereka secara kuat. Sangat cepat, bahkan mereka tidak menyangka bahwa Bintang merupakan seorang yang ahli dalam bela diri.

"Ka-kamu siapa sebenarnya?!"

"Bintang... Sebelum kalian pergi, sampaikan pada Dokter Tirta. Jika bertindak di lain waktu, aku pasti akan datang dan mematahkan kedua kakinya...," suaranya terdengar begitu dingin, sorot mata serta raut wajahnya terlihat begitu datar yang membuat tubuh ketiga pria kekar itu bergetar ketakutan.

"Ta-tapi bagaimana kamu tahu bahwa kami merupakan orang suruhan dokter Tirta?!" salah satunya mencoba memberanikan diri.

"Ada hal yang tidak perlu kalian ketahui... Tiga detik tidak keluar dari ruangan ini, mungkin kedua kaki kalianlah yang akan patah."

Mendengar ancaman nyata ini, jelas ketiga pria kekar itu segera membuka pintu dan kabur dari ruangan VIP nomor satu.

"Bahkan dokter Tirta berani mengutus orang untuk memasuki tempat ini dan membahayakan nyawaku... Jika itu orang lain, mungkin akan berakibat fatal. Sayang sekali, kamu malah menyinggungku." Setidaknya telah memberi peringatan agar tidak menganggunya.

Kini Bintang memilih duduk sembari melihat telepon genggam kunonya. Hingga tak lama saat matanya akan kembali terpejam. Dobrakan pintu yang begitu keras membuat jantungnya berdetak begitu kencang. Dia tidak berpikir adanya penjahat atau utusan dokter Tirta kembali rusuh. Malah dia berpikir mungkin salah satu gurunya, yaitu Dewi Perang memang datang ingin mengunjunginya.

"Guru tercin..." Ungkapannya terhenti, harapannya hilang ketika melihat rombongan pria berjaz hitam memasuki ruangannya.

Sesaat setelah itu, Clara dengan ayahnya dengan langkah tergesa gesa memasuki ruangan.

"Tu-tuan apa anda baik baik saja?!" Clara dengan cepat memeriksa tubuh Bintang.

"Hei ada apa denganmu?"

"A-aku dan ayahku segera datang kemari setelah mendapat kabar adanya tiga orang yang memaksa masuk keruangan tuan... Tapi, dimana mereka?"

Clara mencari ke seluruh ruangan, namun dia tidak menemukannya. Hingga Bintang yang menyadari akan kekhawatiran mereka mulai menunjuk kearah enam gigi yang berada diatas lantai.

"Mereka telah pergi."

Ayah Clara terdiam sejenak, dia juga menatap kearah enam buah potongan gigi yang tergeletak diatas lantai.

"Sebenarnya siapa pemuda ini? Menghadapi tiga preman, bahkan mampu mengobatiku hanya dengan waktu satu malam, pasti dia memiliki latar belakang yang luar biasa kan?" berkata dalam hati. Cahyo Guana mulai menangkupkan tinjunya sebagai tanda hormatnya.

"Tuan jika kondisi anda baik baik saja maka aku turut merasa senang. Dan maafkan aku yang tidak memberi keamanan tingkat tinggi pada ruangan VIP. Namun jika boleh tahu, siapa nama tuan, dan dari mana tuan berasal?"

"Ah iya, panggil saja aku Bintang! Dan soal keluargaku, sepertinya kalian tidak berhak sama sekali untuk mengetahuinya."

Cahyo Guana terdiam kembali, dia tidak mempermasalahkan sosok Bintang yang ingin menyembunyikan identitasnya. Hal ini bisa diartikan, pemuda didepannya memiliki sifat rendah hati, dan memiliki tekad yang tinggi untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongannya.

"Bintang, nama yang bagus... Karena kamu telah menyembuhkanku dari racun yang telah lama menyerang tubuhku, bagaimana jika aku dan anakku menjamu Bintang untuk minum beberapa gelas Wine termahal di hotel ini?"

"Hmmmp boleh..." Merasa tak salah menerima tawaran ini, Bintang mengikuti Cahyo Guana dan Clara yang menuju kearah ruangan pribadi.

Setelah tiba.

Sesuai dengan ungkapan Cahyo Guana, wine termahal di kota awan akhirnya tersaji diatas meja.

"Minumlah dan jangan sungkan untuk menghabiskannya."

Menganggukan kepalanya, dan menakar botol wine kearah gelas kecil didepannya. Bintang dengan sekali teguk telah menghabiskannya. Namun dia tidak memperlihatkan reaksi yang diinginkan oleh Cahyo Guana.

"Dia sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi kepuasan atau kenikmatan ketika meneguk wine termahal di kota Awan... Bintang pasti memang memiliki latar belakang yang sangat mengerikan. Jika bisa menjalin hubungan baik dengannya, bisa saja masa depan  keluarga Cahyo akan mengalami masa keemasan yang tak terbayangkan..." Berkata melalui hati, Cahyo Guana menatap anaknya dengan tatapan serius.

Jelas Clara yang mengetahui niat ayahnya mulai mengerti. Umurnya juga sepadan dengan Bintang. Menjadi kekasih atau istrinya juga tidak akan rugi. Mengingat sosok Bintang pasti pemuda yang memiliki latar belakang luar biasa yang kini tengah mencari pengalaman dengan bakat terpendamnya.

Hingga pagi harinya.

Melihat Clara dan ayahnya mabuk parah, Bintang hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia yang ingin beristirahat mulai mengeluarkan dua pill berwarna putih bersih diatas meja.

"Telanlah pill diatas meja untuk meredakan efek alkohol ditubuh kalian... Aku akan kembali untuk beristirahat."

Keluar tanpa mendapatkan jawabkan apapun dan kembali kedalam kamarnya. Bintang tak menyadari, bahwa kabar tentang aksinya yang telah menyelamatkan nyawa Cahyo Wiguna telah tersebar dalam semalam.

"Bi-Bintang sialan itu sebenarnya berasal dari mana?! Bisa bisanya kalian malah babak belur ditangannya?! Dan lagi, dengan bagaimana bisa dia merebut ketenaranku menjadi dokter terhebat di kota ini? Jika dia terus berada di kota ini, bukankah rencana besarku bisa gagal ditangannya?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   253.

    Anak panah berdesing menembus udara, menyambar bahu Ardhana dengan kecepatan tinggi. Ia menunduk cepat, berputar di udara, dan mendarat di atap rumah batu yang sebagian sudah runtuh. Api membakar di bawahnya, menyebar ke segala penjuru kota Kardaya.“Jangan biarkan dia lolos!” teriak seorang perwira dari bawah. “Panah! Panah berapi!”Rentetan anak panah berujung api terlepas ke langit malam. Ardhana berlari di atas atap, melompat dari satu bangunan ke bangunan lain. Setiap kali kakinya menjejak, pecahan genting berhamburan.CTIIING!Ia menebas dua anak panah di udara, lalu berputar cepat. Aura pedangnya menyalakan kilau biru di tengah kobaran merah.Dari jauh, pasukan Kardaya yang mengenakan zirah merah keperakan mulai mengepung dari empat arah. Mereka membentuk formasi busur, memanfaatkan jalan-jalan sempit sebagai perangkap.“Anggota paviliun Teratai Suci!” teriak salah satu prajurit. “Kau telah membawa neraka ke kota ini! Serahkan dirimu!”Ardhana berhenti di ujung atap, pandangann

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   252.

    Ledakan demi ledakan mengguncang kota Kardaya. Api menjilat langit malam, asap hitam menutup bulan. Jeritan, dentingan pedang, dan suara bangunan runtuh bergema di seluruh penjuru kota.Ardhana berdiri di tengah reruntuhan pasar utama, rambutnya tertiup angin panas, matanya menatap ke sekeliling dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan antara marah, bingung, dan kecewa.“Shinra!” teriaknya keras, suaranya mengalahkan bising ledakan. “Apa yang kalian lakukan?!”Shinra muncul dari balik kobaran api, pakaian perangnya berlumuran debu dan abu. Di tangan kanannya, pedang panjang berlumuran darah segar, dan di belakangnya, puluhan anggota Paviliun Teratai Suci terus menyerang warga dan pasukan penjaga kota.“Perintah Nimira jelas,” katanya dingin. “Hancurkan Kardaya sampai tak tersisa. Mereka semua pengkhianat yang menyembunyikan kebenaran!”Ardhana mencengkeram gagang pedangnya kuat-kuat. “Bukan begitu caranya! Aku datang untuk mencari kebenaran, bukan untuk membantai warga sipil!”Shinra

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   251.

    Nimira berbalik tanpa berkata apa pun lagi. Gaun putih keperakannya berayun lembut setiap kali ia melangkah, meninggalkan jejak embun yang perlahan menghilang di lantai batu. Ardhana mengikutinya, langkahnya mantap tapi wajahnya penuh tanya.Mereka berjalan menyusuri lorong panjang di balik altar, di mana dinding batu berhias relief teratai dan naga berselimut lumut lembap. Semakin jauh ke dalam, udara terasa makin berat, seperti menyimpan rahasia besar tentang organisasi yang ada dibawah tanah kota Tujuh Hantu.Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan berbentuk bulat. Di tengahnya, terdapat meja batu berukir lambang Teratai Suci, dan di atasnya terhampar peta tujuh wilayah rahasia. Lentera hijau kebiruan menggantung rendah, menyorot beberapa titik merah yang berkilau seperti darah.Nimira berhenti di depan meja, lalu menatap Ardhana.“Putra naga… Kakekmu, Sang Maha Raja, memang mati ditangan pejuang berani mati negara Teratai Suci ini.”Ardhana mengerutkan kening. “Aku tahu itu?

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   250.

    Dari balik kolam teratai yang berkilau samar, bayangan seorang wanita melangkah perlahan. Suara langkahnya tenang, tapi setiap langkah seolah menggetarkan air di sekelilingnya.Gaunnya berwarna putih keperakan, panjang menyentuh lantai, dan topeng perak menutupi setengah wajahnya. Rambutnya diikat tinggi dengan pita merah muda pucat satu-satunya warna lembut di tempat penuh bayangan itu.Ardhana mulai mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan tajam wanita itu. Mata yang tenang, tapi terlihat cukup berbahaya.Wanita itu berbicara, suaranya sejuk namun mengandung wibawa yang tak bisa ditolak.“Namaku Nimira, penerus kepala Paviliun Teratai Suci. Dan kau…” ia berhenti sejenak, menatap tajam ke arah plakat emas di tangan Ardhana. “Kau membawa simbol kehormatan tanpa izin langsung dariku. Itu berarti, seseorang di luar memberi kepercayaan besar padamu. Tapi di sini, sebuah kepercayaan akan berlaku tergantung kemampuan seseorang…”Nimira mengangkat tangannya, dan air di kolam be

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   249.

    Tujuh kota Hantu.Kota ini terlihat sunyi, dari jauh tempat Ardhana berdiri, dia melihat beberapa penjaga yang tengah berlalu lalang.Terlihat ketat, tapi mereka mengingatkan tentang pasukan yang pernah menginvasi negara Amerta."Blades... Mereka adalah anggota Blades..."Pedang tajam tersarung rapi, mengenakan cadar hitam. Pasukan Blades mungkin pernah dikalahkan oleh ayahnya. Tapi tahun demi tahun telah terlewati, mungkin kemampuan mereka akan meningkat setelah melihat kekalahan ketika menangkap ayahnya."Katanya pasukan ini terus memburu pasukan Pemberontak, tapi kenapa mereka tak dapat menemukan paviliun teratai suci?" dipenuhi banyak pertanyaan. Ardhana tanpa rasa gentar mulai melangkah.Dia menyelinap, dari balik pohon satu ke pohon lainnya.Hingga ditengah aksi senyapnya. Ardhana berjongkok di balik reruntuhan tembok, matanya memperhatikan gerak pasukan itu.Gerakan mereka rapi, berdisiplin. Setiap langkah terhitung, seperti tak membiarkan suara lain masuk kedalam pendengaran

  • Kedatangan Kembali Sang Pewaris Raja Naga!   248. Menuju kota tujuh Hantu.

    Ardhana mengangkat dagu, senyum tipis tak lekang dari wajahnya. Suara ranting patah di bawah kaki—tanda mereka tak lagi bersembunyi. Angin dingin malam menerpa, menambah kesunyian sebelum badai.“Jadi kalian memilih perang di hutan,” katanya pelan. “Baiklah. Ayo tunjukkan alasan kalian membawa pedang malam-malam.”Salah seorang dari sepuluh itu maju; suaranya serak, seperti yang sering dipakai para eksekutor. “Kalian membuat malu Komandan Lio, bocah! Jadi perintahnya jelas, bunuh atau bawa tubuhmu kembali… hidup atau mati, bayarannya sama!”Ardhana menatap mereka. Sekilas ia membaca ketakutan terpendam pada mata mereka, tapi keserakahan yang dipupuk oleh janji upah. Membuat keberanian untuk ditugaskan oleh Lio. Wuuuuuush! Wuuuuuush!Tanpa ampun, para penyerang menyerbu serempak. Mereka ingin cepat menyelesaikan seorang pemuda sendirian, dengan satu kesalahan fatal.Namun Ardhana mundur satu langkah, lalu bergerak seperti bayangan. Tidak ada jurus ajaib, hanya teknik tangkas yang dila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status