Share

Bab 8

Alya tidak begitu mengetahui kejadian tersebut.

Tahun itu, sepertinya dia terjatuh ke dalam air. Dia menderita demam tinggi dan sakit parah. Ketika dia terbangun, dia tidak bisa mengingat banyak hal, termasuk bagaimana dia jatuh ke dalam air.

Beberapa teman sekelasnya berkata, dia terjatuh ketika sedang bermain.

Alya selalu merasa dirinya telah melupakan sesuatu, tetapi bagaimanapun juga dia tidak dapat mengingatnya. Setelah bertahun-tahun, akhirnya dia melupakan kejadian itu.

Ternyata, Rizki tidak bisa melupakan orang yang telah menyelamatkan nyawanya.

Seandainya Alya yang melompat dan menyelamatkan Rizki waktu itu, maka semua akan baik-baik saja.

Di mimpinya, emosinya tampak bercampur dengan Alya yang sekarang.

Hatinya sesak, seolah-olah dijatuhi sebuah batu besar. Sakit kepalanya makin parah. Kenapa waktu itu bukan dia yang melompat untuk menyelamatkan Rizki?

Jika ... jika ....

Tiba-tiba, wajah Rizki muncul di depan matanya. Mata pria itu dingin dan kejam. "Alya, aborsi anak itu."

Tepat setelah itu, Hana muncul di sisinya. Menempel pada Rizki seperti tanaman merambat.

"Alya, kamu nggak mau aborsi? Kamu bukan mau menghancurkan hubungan kami, 'kan?"

Mendengar kata "menghancurkan", mata Rizki menjadi makin dingin. Pria itu maju beberapa langkah dan mencengkeram dagu Alya. "Menurutlah, kalau nggak, jangan salahkan aku bila bersikap kasar."

Cengkeramannya sangat kuat, rasanya dagu Alya hampir hancur.

Alya bersusah payah melawan. Tiba-tiba, dia terbangun dan kembali tersadar. Sekujur tubuhnya basah dengan keringat.

Matanya melihat jalanan yang bergerak tiada henti di luar jendela.

Barusan ... adalah mimpi?

Bagaimana bisa mimpinya terasa begitu nyata ....

Alya mengembuskan napasnya.

"Alya, kamu sudah bangun." Suara yang lembut terdengar dari depan. Alya mendongak dan melihat wajah Hana yang khawatir. "Syukurlah, aku terus mengkhawatirkanmu sepanjang jalan."

Hana? Kenapa dia ada di sini?

Kemudian, Alya menyadari sesuatu dan melihat ke samping Hana.

Tentu saja, orang yang sedang menyetir adalah Rizki, sementara Hana duduk di kursi penumpang.

Ketika mendengar dia sudah bangun, Rizki meliriknya melalui kaca spion tengah.

"Sudah bangun? Di mana lagi kamu merasa sakit? Kita akan segera sampai rumah sakit dan berbicara dengan dokter."

Sebelumnya, jantung Alya berdegap kencang karena mimpinya. Setelah terbangun, dia bersusah payah untuk menenangkan jantungnya, tetapi dirinya kembali menegang ketika mendengar perkataan Rizki.

"Nggak, nggak perlu ke rumah sakit. Aku nggak apa-apa."

Mendengar ini, Rizki meliriknya lagi.

"Kenapa? Apa kamu nggak sadar kalau kamu demam?"

Hana menambahkan, "Benar, Alya. Demammu sangat tinggi, kamu harus ke rumah sakit. Aku dengar dari Rizki, semalam kamu kehujanan. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Apa yang terjadi?

Dia menatap Hana yang berada di depannya. Bibir pucat Alya bergetar, tetapi akhirnya dia tidak mengatakan apa pun.

Saat kejadian kemarin, Hana pasti ada di sana.

Apakah dia sedang menyiratkan sesuatu dengan pertanyaan ini?

Saat Alya sedang merenung, Hana tampak khawatir dan melihatnya dengan perasaan bersalah. "Bukankah kemarin ...."

Rizki menyela ucapan Hana, dia berkata dengan tenang, "Pokoknya kita ke rumah sakit dulu. Kamu beristirahatlah beberapa hari. Untuk sementara, kamu nggak perlu datang ke kantor."

Rizki memotong perkataan Hana dan membuat wanita itu menatapnya dengan kaget.

Alya menundukkan pandangannya. Di matanya yang indah, terdapat rasa dingin yang mendalam.

Tidak mengherankan, pria itu sangat menyayangi Hana. Dia melindunginya seakan wanita itu adalah hal yang paling berharga.

Setelah beberapa waktu, Alya mengangkat kepalanya. "Aku nggak mau ke rumah sakit."

Rizki mengerutkan keningnya, dia merasa hari ini Alya sangat keras kepala.

"Kamu sakit tapi kamu nggak mau ke rumah sakit, kamu mau apa?"

Alya mengerucutkan bibirnya. "Aku tahu kondisi tubuhku sendiri."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status