“Ada masalah aku di sini …? Ini rumah anak, kita sama-sama berhak ….” Gemetar dan terputus-putus suara Mas Danang.
Ia dipegang adiknya ternyata sudah berdiri di situ, mendengar ucapan kami tadi. Melihat itu, Denok lekas menarik kursi untuk ayahnya duduk. Namun lelaki itu tetap berdiri.
Kupandangi ia dan Mbak Dina. “Aku yang punya masalah, bukan Mas Danang. Kiat bukan mahram dan aku risi kalau tinggal serumah.”
“Mbak Aya, bisa kita bahas ini nanti saja, tunggu Mas Danang sehat dulu. Ini baru ke luar rumah sakit lo.” Mbak Dina menegur.
“Biarkan!” Suara dan tubuh Mas Danang gemetar, tapi nadanya cukup keras. “Yang minta cerai dia, aku ajak kembali juga ditolak. Apa itu namanya mau bebas, bisa saja dia sudah punya lelaki lain!” Susah payah bicara tapi malah membuat tuduhan.
Sorry, Mas! Aku mau saja ribut. Cuma kalau kulawan,
“Bicara apa, mau ributin kami? Suruh ke luar dari rumah ini?” Mataku langsung beralih pada lelaki yang tampak berbeda. Ia tak lagi menatapku mengiba, tapi tatapan menantang. “Iya, ini rumah kita sepakati untuk anak-anak, ke-“ “Kamu ulang-ulang itu terus aku sudah tau, Soraya. Anak-anak juga anakku. Kamu bisa tinggal di rumah anak, begitu pun aku. Kenapa harus ribut?!” Kutelan saliva yang terasa berubah jadi duri, masuk menusuk-nusuk rongga dada. Aku kehabisan kata-kata. Denok pun terlihat tak bisa apa-apa. Yah, memang benar. Ia sama sekali tidak salah! Ini rumah anak kami, tapi bukan milik perempuan itu! Aku bangun dari tempat duduk, melangkah cepat ke kamar perempuan lakn*at tanpa malu. “Aya?” Temanku mengingatkan diri, ia mengikutiku dari belakang.
Panas. Panas banget! Aku kipas-kipas dengan buku. Bukannya AC sudah full dingin, aku kok masih kepanasan gini? “Sadaqallahul azim ….” Menyelesaikan ngajinya Jerry berbalik, melihatku yang bermandi keringat. “Kenapa, Yang?” Dia tanya setelah simpan mushaf di nakas. “Enggak tau nih, panas kok sampe gini, lihat!” Kutunjuk keringat membasahi leher. Dilihatnya suhu AC, lalu lihat lagi padaku, sejenak tatapannya heran. Diambilnya tisu. “Nih dilap. Aku ke masjid dulu, ya.” Jerry memang setia jamaah di masjid sekarang, tadi pulang habis Magrib cuma buat ngaji di rumah. “Hu um, jangan lama-lama.” Senyum bibirnya, sambil mengacak rambutku. Sikap suamiku ini sangat manis. Orangnya tenang dan manjain aku banget
Hari ketiga berlalu. Ayah sudah berangkat ke Jogja kemarin sore, nyusul Mama yang sudah dua hari lebih dulu ke sana. Hari ini akad sekaligus resepsi Kak Almira. Mama April masih lemah semenjak berturut-turut diruqyah. Aku gak tega ninggalinnya, aku juga masih terus keringatan dan muntah kalau dibacain ayat. Katanya aku yang paling kuat dipengaruhi. Iya kuakui, kemarin-kemarin bahkan aku merasa amat dekat dengan Mama April. Jerry juga batal ikut, jadi tiket kami bertiga digantikan oleh keluarga lain. Ayah orang terpenting harus hadir, Mama April kasian kalau aku juga pergi. Dia korban perjanjian gaib nenek moyang, siapa lah yang mau begitu. “Ustaz Hidayat akan tetap mendampingi pengobatan, Beb. Sambil ruqyah pengobatan Thibbun Nabawi juga tetap dilakukan.” Jerry setia mengingatkanku terus dzikir, saat ada tanda gak enak perasaan, bawaan gelisah, dan kesal akan a
Kedua belah keluarga dan mempelai sudah ada di Gedung Balai Pamungkas, dekat Stadion Kridosono, untuk melaksanakan resepsi. Almira dan suami sudah memakai pakaian Paes Ageng Jangan Menir, sangat cantik dan tampan. Almira juga berdarah Jogja dari Mas Danang, tidak masalah kompak memakai adat Jogja. Alhamdulillah, akad di rumah tadi pagi lancar tanpa halangan. Mas Danang cukup tenang menggenggam erat tangan Angger Wijatmoko saat prosesi, dalam sekali ucap langsung sah. Suara menantu terdengar sangat mantap dan tegas. Aku lega. Ini sudah hampir dua jam duduk di kursi sisi pelaminan, berdampingan dengan Mas danang sebagai orang tua perempuan. Kunikmati suasana, sesekali lirik Almira di pelaminan tengah, ia tampak selalu senyum lepas, kadang berbisik dengan sang suami, malu-malu_ah, teringat diriku dulu, ya begitu, mengenakan baju adat Jawa juga. Semoga kebahagiaan selalu ada padamu, Nak. Biarkan s
“Besok sudah pulang, Soraya?” “Iya. Anak ayam sudah nunggu emaknya, haa.” “Bapak ayam ditinggal, nih?” Apaan nih maksudnya? Aku terdiam, muka terasa panas tapi juga merasa Mahesa terlalu agresif jadi lelaki. Apa karena ia produser, biasa dekat dengan banyak wanita. Biasa merayu siapa yang ia mau. Respek padanya terasa berkurang. Pasti orang ini suka main-main. Di mana-mana lelaki itu sama. “Jangan banyak pikir negatif. Gak semua lelaki begitu.” Hah?! Ini … ia bisa nebak pikiranku? “Aku masih di sini. Bagaimana kalau kita wisata ke Borobudur, mau?” Ia terus bicara saat aku terdiam. “Tenang ada tiga orang teman nanti, kita gak s
“Tolonglah, aku pusing ini, Jum. Sudah ke mana-mana belum dapat jalan juga.”“Ya, kayak yang aku bilang tadi, Bang. Maaf. Tetap belum bisa bantu. Pemasukkan turun akhir-akhir ini, bukannya tidak mau bantu.” Pundakku ditepuk Jumri sebelum ia kembali masuk tokonya.Satu jam sudah aku di sini mungkin terasa terlalu memaksanya, sampai ia keluar lagi tadi, mengingatkan aku kalau dirinya tetap tidak bisa membantu.Aku di depan deretan ruko sembako ini, sebentar lagi semua akan tutup menjelang sore. Pasar akan berganti lapak jualan pakaian di depan toko-toko sampai malam.Kuremas kepala yang terasa akan pecah, belum juga dapat jalan keluar masalah keuanganku sampai detik ini. Hari keempat bayiku dan April dirawat. Istriku sudah membaik, harusnya sudah bisa pulang, tapi aku belum punya uang untuk bayar administrasi.
Urusan istriku ke luar rumah sakit lancar. Kami sudah di rumah. “Istirahat aja, Sayang. Mas mau masakin bayam dulu.” Kubuka jendela lebar-lebar, di luar sedang sejuk, lebih enak angin alami untuk istriku ini. Selama di rumah sakit ia keluhkan kipas angin yang berada tepat di atas kepala. Ia jadi benci kipas dan AC, katanya kepalanya seperti penuh angin, haha, ada-ada saja. Bayam, juga ikan gabus kuambil seekor dari kulkas, bahan ini kutitip Denok beli saat ke pasar Kahayan tadi pagi. Aku bersihkan sayur, sambil pikirkan bayi kami yang masih dalam perawatan. Anakku itu tetap di rumah sakit sampai bisa kuat dan ke luar dari inkubator. Tubuhnya kecil, lahir di usia kandungan 7 bulan, sungguh aku tidak tahu April hamil sebelum sakit, ia tidak bilang apa-apa. Untunglah selama sering ngamuk itu tak pengaruh, bayinya lahir dengan fisik
Dari tempat Soraya segera kulajukan roda dua menuju rumah Haji Muin, letaknya jalan Tjilik Riwut kilometer 15. Akan kucoba mohon pinjaman tidak usah pakai agunan. Semoga ada sedikit kebaikan hatinya memudahkanku. Perjuangan cari pinjaman begini sudah beberapakali kulakukan, makin ke sini semakin sulit saja. Padahal dulu mudah kulakukan. Saat jadi ketua panitia pembangunan masjid, waktu itu sukarelawan, teman-teman, relasi bisnis maupun kawan grup wirausaha langsung berlomba guyurkan uang dari rekening mereka. Pembangunan lancar, aku dipuji sukses dan dianggap berjasa sebagai bagian pendiri rumah ibadah itu. Namun, sekarang hanya sebagai kenangan, yang terkenal kini justru Danang sebaliknya, seorang yang tak bisa dipercaya. Mungkin mereka kecewa banyak pinjamanku macet, lalu tersebar reputasi buruk, hingga mereka terlupa jasaku dulu. Begitulah. Separuh perjalanan sudah kutempuh, tiba-tiba terin