Setelah acara penyambutan utusan kekaisaran Barat selesai, Dalia memutuskan untuk segera kembali. Untuk pertama kalinya dia benar-benar merasa tidak nyaman. Adipati Gara, putra mahkota kekaisaran Barat, bahkan Cahya?Tetapi belum sempat ia menuju kawasan kereta kuda, suara hangat memanggilnya. "Nona besar Ishraq."Dalia menoleh, matanya menangkap sosok Cahya yang berdiri tidak jauh di belakangnya"Apa ada yang bisa saya bantu, tuan muda Sudiro?" tanya Dalia. Cahya menggeleng pelan, senyumnya selalu terlihat lembut setiap saat. "Tidak, saya hanya ingin memastikan sesuatu.""Sesuatu?" tanya Dalia bingung. "Sebelumnya saya sempat memberikan puisi untuk Anda nilai, apakah saya boleh tahu seperti apa pendapat nona?" jawab Cahya. Mendengar hal tersebut, kening Dalia terlipat. Benar, Cahya sempat memberikannya selembar kertas terlipat yang berisi puisi. Tetapi karena sibuk mengurus Salsa yang menggila, Dalia sempat melupakannya. Kepala Dalia pun tertunduk singkat, bibirnya tersenyum f
Dalia menoleh ke kanan dengan kepala tertunduk, menghindari tatapan putra mahkota kekaisaran Barat, Rangga Tirta."Sepertinya alam semesta gemar mempertemukan kita. Kita bertemu lagi, nona." Dalia mengerutkan keningnya dalam, tidak bisakah pria itu fokus pada perannya sebagai utusan kekaisaran Barat saja? Untuk apa mengurusinya di tengah banyak mata seperti ini? "Bertemu lagi? Kamu sempat keluar kediaman?" tanya Giandra yang bingung. Dalia menggeleng cepat, menatap Giandra penuh keyakinan. "Tidak, tentu saja tidak." Kemudian menunduk dalam lagi untuk membalas Rangga. "Mohon maaf yang mulia... Saya yakin, sepertinya Anda salah mengenali orang." Kedua mata ungu itu menatap Dalia seperti siap membelenggunya, senyum rubahnya pun bertambah dalam. "Salah mengenali orang? Kalau begitu... Siapa nama Anda, nona?" tanya Rangga, membuat situasi Dalia semakin sulit. Jika pria itu berbicara lebih lama lagi padanya, maka tidak akan ada lagi ketenangan dalam hidup Dalia. Kasus racun Nadine
Berhasil kembali ke kediaman perdana menteri melalui pintu belakang, Dalia memerintahkan Hana untuk menyembunyikan mantelnya yang basah karena salju. Tepat setelah Hana menyembunyikannya, pelayan yang berjaga di luar mengumumkan kedatangan Giandra. Dalia menoleh cepat ke arah pintu, berdiri dengan senyum kaku. "Kakak?"Giandra tersenyum seperti biasa, lalu memperhatikan suasana ruangan yang terasa aneh. "Apa terjadi sesuatu?" tanya Giandra yang peka. Dalia menggeleng. "Tidak, aku sejak tadi hanya membaca buku di sini. Ada apa, kak?"Giandra kembali mengingat alasannya datang, ia kembali tersenyum. "Bersiaplah, utusan kekaisaran Barat tiba. Kali ini yang datang adalah putra mahkota kekaisaran Barat langsung," ujar Giandra. Dalia mengangguk ringan. "Ah... Seperti itu? Kalau begitu aku akan ber--""Kamu akan datang bersama Gibran, karena aku dan Ayah harus lebih dulu berada di Istana mendampingi Kaisar." Sela Giandra, kalimatnya membuat senyum Dalia perlahan menghilang. Satu kere
"Astaga... Tadi itu sangat berbahaya, nona!" Cetus Hana saat menghampiri Dalia. Dalia tidak menjawab, dia juga tidak mau ikut campur. Tetapi entah mengapa hatinya tadi terasa sangat gelisah, seolah kemunculannya memang sebuah... Takdir? Konyol sekali. Tak lama Hana menunjuk ke arah kerumunan di depan. "Lihat, kereta kuda putra mahkota itu berhenti lagi! Beberapa berkata tak lama setelah melewati Anda salah satu roda keretanya bermasalah." Dalia menaikkan alis kirinya sekilas, kereta kuda sekelas putra mahkota bermasalah di tengah kerumunan seperti ini?Tetapi itu tidak penting, Dalia kembali menatap Hana. "Apa kamu melihat pria albino beberapa minggu lalu di kerumunan itu?"Hana menggeleng. "Tidak, nona." Dalia menghela napas tipis, sepertinya dia memang bukan bagian besar di kekaisaran Barat sehingga tidak ikut mengawal putra mahkota. Jika seperti ini, maka jalannya untuk menemukan pria itu akan semakin sulit. Dia harus menunggu satu bulan lagi agar pria albino itu kembali memb
Mengantar Dalia kembali, adipati Gara bergegas menuju Istana begitu menerima sinyal kembang api panggilan dari Kaisar. Tiba di Istana, penampilan Kaisar yang duduk dengan raut wajah lelah terlihat jelas. Putra langit itu melirik dengan malas pada kehadiran adiapti Gara. "Ada apa?" tanya adipati Gara. Kaisar menjawab dengan nada bicara yang lelah. "Jenderal Ishraq baru saja mengirim pesan, dia telah menemukan orang yang tepat untuk mengawasi keluarga Wanda dan kekaisaran Barat." Adipati Gara mengangguk singkat. "Itu bagus, selama Anda dan jenderal besar Ishraq yakin dia bisa dipercaya." Melihat raut wajah adipati Gara yang tidak seperti biasanya, kaisar menaikkan alis kirinya sekilas. "Apa yang baru-baru ini terjadi? Mengapa rasanya aku melihat bunga bermekaran bahkan di dalam lubang telingamu?" tanya Kaisar. Adipati Gara tetap tenang, meskipun tertangkap basah karena perasaannya, pria itu masih datar. "Benarkah? Rasanya saya seperti biasa saja." Kaisar berdecak kesal, mereka s
Di dalam gendongan adipati Gara, Dalia melingkarkan kedua tangannya erat di leher pria itu. Setelah berbincang singkat, adipati Gara mendadak mengangkat tubuhnya dan membawanya tanpa mengatakan tempat apa yang akan mereka datangi. Pria itu membawa Dalia melompat dari atap satu ke atap lainnya dengan jurus tradisional qinggong. "Yang mulia, jika saya jatuh maka saya akan menuntut ganti rugi besar pada Wangfu adipati!" Seru Dalia sambil memejamkan kedua matanya. Adipati Gara tidak peduli, namun mata pria itu sesekali memperhatikan Dalia yang meringkuk takut di pelukannya. Senyum samar pun muncul di wajah dingin pria itu. Tak lama mereka berhenti di sebuah tebing tinggi asing, pria itu menurunkan Dalia dengan hati-hati. Dalia tertegun saat mendapati gerhana bulan yang jauh lebih terlihat jelas dan dekat dari tempat mereka berdiri. Kemudian matanya menyapu seluruh ruang terbuka tak terbatas di hadapannya, salju menyelimuti daratan dengan sempurna. Ketika melihat gerbang kekaisara