Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3
Bakkk… Bakkk…! Anna melayangkan tinju ke perut dan rusuk Silvia secara berturut-turut, membuat gadis itu langsung meringis menahan sakit yang tidak pernah dirasakannya sepanjang hidup, lalu jatuh tersungkur bersamaan dengan suara rintihan pilunya. Tidak sampai di situ, Anna langsung bergerak ke sisi kirinya, menyerang anggota geng lain yang masih tertegun atas apa yang baru saja ia lakukan. Bukan hanya pada satu orang, Anna terus melakukan serangan dengan sangat cepat pada semua siswi perundung itu sampai mereka terkapar dan tak sanggup berdiri akibat rasa sakit di rusuk dan perut mereka yang menjadi incaran tinjunya. Setelah menyelesaikan rencananya dengan sangat sempurna, Anna berdiri sambil menatap kedua kepalan tangannya bergantian. ‘Wah… tenaga anak ini sangat kuat. Bahkan tenagaku yang rajin berolahraga saja kalah darinya. Apa ini karena pekerjaan sambilannya? Atau karena bakat yang ia dapatkan dari ayahnya?’ Anna menurunkan kedua tangannya, menatap delapan siswi yang sedang
Anna mengerjapkan kedua matanya berulang kali saat akhirnya tersadar setelah mendapatkan setruman maut dari sang Dewa. Melihat langit-langit ruangan tempatnya berada, ingatan ‘Anna’ di mana tempat keberadaannya saat ini tiba-tiba muncul dalam benak Anna. Itu adalah ingatan ‘Anna’ —yang sudah berulang kali berada di ruangan ini setelah mendapat rundungan dari Silvia dan anggota gengnya— yang langsung mengirimkan sinyal ke otak Anna, memberitahu jika dirinya sekarang sedang berada di ruang UKS. “Siapa yang membawaku ke sini?” Anna bergumam sebelum akhirnya menoleh dan melompat duduk di atas ranjang UKS setelah menemukan pria berpakaian serba hitam, yang dikenalinya sebagai sang penguntit, yang sudah menguntit dirinya dan Sherly sepanjang perjalanan berangkat ke sekolah, sedang duduk tepat di samping ranjangnya. Rasa terkejutnya berubah menjadi kemarahan setelah menyadari jika pria itu terlihat seakan dalam keadaan hidup tanpa nyawa, seperti sedang berada dalam ruang waktu yang terhent
Andai bukan jiwa Jessica yang berada dalam tubuhnya, Anna mungkin akan langsung terpesona dan salah tingkah saat bertatap muka dengan Elvin seperti ini. Tapi tidak dengan dirinya yang sangat membenci pria itu. “Kau bisa mengenaliku?” tanya Elvin heran sambil menatap masker dan topi di kedua tangannya. ‘Apa penyamaranku tidak terlalu baik?’ Anna tidak menanggapinya. Ia beranjak dari tempat tidur, hendak pergi keluar ruangan untuk mencari Sherly setelah ingat jika dia telah meminta William membawa Sherly juga ke UKS namun tidak menemukannya di sana. “Mau mencari adikmu?” Pertanyaan itu membuat Anna menghentikan langkah kakinya dan berpaling kembali pada Elvin. “Kau mengenal adikku?” “Aku sudah dua kali bertemu dan berbicara dengannya. Dia tidak cerita padamu saat kau masih berada di rumah sakit?” Anna menelengkan kepala, mengingat apa yang pernah Sherly katakan saat ia masih berada di rumah sakit. ‘Ah…, benar juga. Aku lupa.’ “Teman sekelasnya sudah mengantarkan adikmu pulang dan
‘Masa kecil, ya…?’ Anna menghela napas panjang, mengarahkan tatapan ke luar jendela bus yang akan membawanya pergi ke tempat kerja sambilannya, sebuah gudang persinggahan barang yang berada dekat pelabuhan. Apa yang Elvin katakan tadi membuatnya terkenang akan masa kecil yang mereka jalani bersama, masa-masa indah saat keduanya masih sangat akrab dan selalu main bersama. Sayangnya masa-masa indah itu berakhir dengan hubungan saling membenci di antara mereka setelah Elvin tahu alasan keluarga Wright mengadopsinya dan diperparah dengan sebuah insiden yang menyebabkan tewasnya kedua orang tua Jessica dalam kecelakaan. Mengingat kembali bagaimana cara Elvin menatapnya, Anna mulai merasa agak meragukan tentang perasaan seperti apa yang selama ini Elvin pendam padanya. ‘Apa kami memang saling membenci? Atau cuma aku saja yang benci padanya karena kejadian itu?’ Sebelum menaiki bus, Anna menyempatkan diri memperhatikan Elvin, melihat sorot matanya yang tampak sedih setelah mengucapkan k
“Sudah cukup mengintimidasiku, ok? Kau sudah melakukannya selama satu tahun ini dan aku sudah cukup bersabar. Andai kau mencoba melakukannya lagi, aku tidak akan sungkan meninju wajahmu,” ancam Anna. Loisa kehilangan kata-kata. Bahkan setelah Anna dan Florence pergi dari ruangan itu, ia masih diam membeku di tempatnya. “Aku benar-benar akan memukulnya kalau dia mencoba mencari masalah denganku lagi. Aku tidak peduli kalau kau mau menyetrum ku sampai pingsan lagi,” ucap Anna pada sang Dewa, yang langsung dilihatnya begitu membuka pintu ruang ganti. “Kalau begitu kapan kau bisa menyelesaikan misi dariku?” sang Dewa bertanya sambil berjalan mengikuti Anna. “Bukankah kau pernah mengatakan kalau aku tidak perlu buru-buru menyelesaikannya?” “Untuk impian ‘Anna’. Bukan untuk perbaikan sikapmu. Kau harus segera melakukannya.” “Tsk… terserah. Aku mau bekerja.” Dewa menghentikan langkah dan menggeleng pelan menyesali sikap Anna. “Ingat, aku masih akan mengawasimu,” ucapnya kemudian. Anna
Melihat kemarahan menggebu Loisa yang terpancar jelas di wajahnya, Bernard Lowe —sang mandor— buru-buru mengangkat salah satu tangan yang kemudian direntangkannya di antara Anna dan Loisa, mencegah wanita itu mendekati Anna. Anna sebenarnya tidak mengharapkan Bernard mencegah Loisa menyerangnya. Ia justru baru saja berpikiran untuk memanfaatkan kemarahan Loisa agar dapat memukulnya dengan dalih membela diri. ‘Tsk… sayang sekali,’ umpat Anna dalam hati sembari mengendurkan kepalan tangannya yang sudah siap digunakan untuk meninju wajah Loisa. Ia berpikir, jika apa yang Dewa katakan tadi benar, maka kekerasan adalah salah satu cara untuk bisa menunjukkan tajinya —padahal bukan itu juga yang Dewa inginkan darinya. “Kau tidak ingat kalau ayahku sudah berbaik hati menerimamu bekerja di sini?! Kenapa kau membalas perbuatan baik ayahku dengan memfitnahku seperti itu?!” Umpat Loisa kesal karena usahanya untuk menyerang Anna telah dicegah Bernard. Padahal baru beberapa menit lalu ia masih m
Andai dirinya —sebagai Jessica— ada di ruangan itu, Anna pasti akan memarahi siapa pun yang berani membuat keributan hingga mengganggu aktor dan aktris baru yang sedang melakukan audisi. Anna cukup terkejut saat melihat tidak ada seorangpun yang memarahinya selain hanya memberikan tatapan tidak suka sebelum kembali pada aktivitas masing-masing. Bisa dikatakan bahwa ini adalah penghinaan terbesar yang pernah diterimanya bahkan jauh melebihi apa yang telah diterimanya dari Silvia dan Loisa. ‘Mereka mengabaikanku sampai seperti ini? Apa ‘Anna’ memang tidak pernah dianggap ada sama sekali oleh mereka ini?’ Anna memalingkan wajahnya lagi saat wanita yang tadi diajaknya berbicara meraih pergelangan tangannya dan memintanya untuk duduk kembali, dan ia pun mengambil kursinya dan duduk di sana sambil masih memperhatikan wajah orang-orang yang sudah kembali fokus pada pekerjaan mereka tanpa peduli pada apa yang dilakukannya setelah mengagetkan mereka. Tidak seperti saat berada dalam ruang li
Thomas Wong, salah satu juri yang biasanya selalu tegas dalam memberikan penilaian, menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menghela napas panjang setelah melihat apa yang baru saja Anna tampilkan dalam audisinya. Ia yang selalu menyuarakan ketidaksetujuannya pada Jessica dan selalu menyarankan jika mereka sebaiknya memutus kontrak percobaan ‘Anna’, merasa serba salah setelah melihat apa yang baru saja Anna tampilkan. Thomas merasa sangat menyesal kenapa tidak memaksa Jessica memutus kontrak Anna pada audisi terakhir yang Jessica hadiri. Kini, setelah Jessica terbaring koma, ia malah merasa pemutusan kontrak itu mustahil dilakukannya. Tidak mungkin kan dia berbuat semaunya saat Jessica tidak ada? Itulah yang membuat Thomas tampak frustrasi. “Aku tidak tahu kenapa Jessica sampai meloloskanmu masuk ke agensi kami,” ucap Thomas sebagai pembuka. Sebenarnya ia hanya ingin menyuarakan apa yang selama ini menjadi beban pikirannya tentang kenapa Jessica masih mempertahankan ‘Anna’. Pria beru