Setelah membulatkan tekad untuk membalas apa yang sudah tunangannya lakukan pada dirinya dan Anna, Jessica yang sudah selama dua hari ini memikirkan cara untuk dapat kembali ke tubuhnya berniat untuk pergi ke ruangan lain di mana tubuh aslinya berada.
Ia menebak, jika jiwanya telah berpindah ke dalam tubuh Anna, maka jiwa Anna pastilah sedang berada di dalam tubuhnya juga.Jika ingin balas dendam, dia harus mendapatkan tubuh aslinya terlebih dahulu karena dengan dirinya sendirilah ia akan memiliki sumberdaya untuk bisa menghancurkan kehidupan tunangannya, yang ia tahu memiliki dukungan dari banyak orang kuat yang berada di belakangnya.Seperti cara tubuh mereka tertukar, Jessica menebak jika dia dan Anna akan bisa kembali ke tubuh mereka masing-masing jika keduanya mati sekali lagi.“Aku tinggal menusuk jantung dari tubuh asliku, lalu aku akan melakukan bunuh diri setelahnya. Dengan begitu jiwa kami akan kembali lagi ke tubuh kami sendiri, kan?” pikirnya.Cara sederhana itulah yang paling masuk akal baginya. Bagaimana cara mereka bisa sampai bertukar tubuh, begitu juga cara jika mereka ingin kembali. “Ya, sesuatu kadang akan bisa sesederhana itu.”Sayangnya, untuk dapat masuk ke ruangan di mana tubuh aslinya berada tidaklah mudah. Kedua pengawal pribadi Jessica selalu bergantian berjaga di depan pintu.Melihat bagaimana setianya mereka menjaga tubuhnya yang berada di dalam sana, Jessica sempat menyesal kenapa pada malam itu dia memberikan mereka libur. Andai tidak melakukannya, dia pasti tidak akan bernasib seperti ini.‘Ayo coba cara ini, ku harap akan berhasil padanya.’Dulu —bahkan sampai saat ini—, Jessica sebenarnya agak sedikit iri dengan wajah manis Anna yang tidak akan membuat siapapun bosan walau menatapnya dalam waktu lama.Anna memang tidak secantik dirinya —yang sering dikatakan memiliki wajah cantik yang sangat berlebihan—, tapi Anna memiliki wajah manis yang sangat menyenangkan untuk dipandang dalam waktu lama.Saat pertama kali bertemu Anna dalam audisi calon aktris Wright Entertainment dimana dirinya —selaku aktris senior juga CEO dari perusahaan tersebut— bertindak sebagai salah satu juri, Jessica sempat terpaku lama saat memandang wajah manis Anna yang sangat menyejukkan hati siapapun yang melihatnya. Karena itulah Jessica pada akhirnya menjadi satu-satunya juri yang meloloskan Anna walau akting gadis itu sangat buruk.Karena itu jugalah dalam 3 bulan belakangan ini Jessica yang merasa jika kesempatan yang diberikannya pada Anna telah disia-siakan gadis itu, selalu memarahi Anna tiap kali melihat akting buruknya dalam casting peran yang ditawarkan sebuah rumah produksi padanya.‘Dengan wajah manisnya ini, aku harusnya bisa membujuk Ronald untuk pergi meninggalkan ruangan itu hanya dengan sedikit akting,’ pikir Jessica dengan penuh percaya diri.Jessica berjalan dengan langkah terpincang menghampiri Ronald, pengawal pribadinya. Mendalami perannya sebagai remaja yang sedang mengalami kesulitan, ia berbicara pada pria bertubuh tinggi kekar itu dengan wajah memelas yang tampak sangat alami.“P-permisi, Pak… A-apa saya boleh meminta bantuan Bapak?”Ronald biasanya tidak pernah peduli pada orang yang menyapa dirinya saat sedang bertugas. Tapi untuk kali ini Ronald menoleh pada gadis manis yang tampak sangat memprihatinkan itu.“Bantuan? Apa itu?” tanya Ronald dengan mata bergetar, merasa terharu hanya dengan melihat ekspresi menyedihkan Anna. Di matanya, Anna benar-benar tampak seperti anak malang yang harus ia bantu.“Saya merasa takut berada di ruangan saya sendirian. Ingin menghubungi Ibu, tapi Ibu meninggalkan ponselnya. Bisakah Bapak membantu saya mencarikan Ibu saya? Setahu saya, ibu saya sedang berada di apotik lantai 1 dan sudah terlalu lama tidak kembali ke ruangan rawat inap saya.”Melihat wajah memelas Anna, Ronald yang berhati baja hampir saja menyanggupi permintaan itu. Untungnya dia sempat tersadar dan ingat jika sedang menjaga bosnya yang sedang terbaring koma di dalam ruangan, di balik pintu yang berada tepat di belakangnya.Tapi saat Anna berbicara kembali, Ronald pun akhirnya luluh dan pergi meninggalkan pintu ruangan itu.“Sebagai gantinya, saya akan berjaga di sini sementara Bapak membantu saya untuk mencari Ibu saya. Saya mohon, Pak…”“B-baiklah… tolong tetap di sini dan jangan pergi kemanapun. Saya akan segera kembali.”Jessica menatap Ronald dengan perasaan agak mendongkol. Dia memang senang telah berhasil menyingkirkan Ronald dari depan pintu, tapi merasa kesal juga karena Ronald dengan mudahnya jatuh dalam perangkap.‘Padahal seharusnya dia tidak boleh pergi meninggalkan tubuhku yang ada di dalam sana apapun yang terjadi. Bagaimana jika orang yang dikatakan sebagai para penyerang dalam berita itu datang ke sini? Bagaimana jika akulah penjahatnya? Ckckck… ceroboh sekali.'“Apa dia nanti ku pecat saja, ya?”Setelah Ronald berbelok ke koridor lain, Jessica pun bergegas masuk ke dalam ruangan.‘Tubuhku benar-benar sekarat,’ batin Jessica, memperhatikan tubuh aslinya yang terbalut perban dari pinggang hingga leher. ‘Jiwa Anna pasti sedang berada di dalam tubuhku, kan?’Tatapannya beralih pada peralatan penopang hidup yang berada di sisi kiri dan kanan tubuh aslinya. Ia kemudian mendekat menghampiri peralatan di sisi kanan ranjang, mempertimbangkan untuk mencabut selang oksigen dari tabungnya.‘Sepertinya dengan mencabut satu selang ini saja, napasnya akan terhenti.’Jessica menggenggam selang oksigen itu. Sambil menatap wajah dari tubuh aslinya, ia berbicara pada Anna yang ia rasa ada di dalam sana, “Ayo kita kembali ke tubuh kita masing-ma—”“Apa yang kau lakukan?!”Jessica buru-buru melepaskan selang penunjang hidup itu saat mendengar suara geraman tertahan dari seorang pria di belakangnya. Ia kemudian berbalik, dan melihat sosok pria yang sangat dibencinya berdiri tepat di depan pintu, sebelum akhirnya berjalan dengan langkah lebar menghampiri dirinya.“Apa yang ingin kau lakukan?” tanya pria itu lagi. Kali ini ia berbicara sambil menghalangi Anna dari tabung oksigen dan membuat dirinya mau tak mau harus mundur menjauh.Sebenarnya bukan karena takut maka Jessica melangkah mundur. Ia merasa jijik pada pria tampan di hadapannya itu, yang merupakan satu dari 3 orang yang paling dibencinya di dunia ini, —pria yang sudah dianggapnya sebagai musuh, yang harus dimasukkannya dalam penjara suatu hari nanti.‘Untuk apa si brengsek ini datang ke sini?’ Bagi orang lain, sudah pasti akan terlihat normal jika Elvin Wright datang mengunjungi Jessica Wright yang merupakan anak kandung dari mendiang kedua orang tua angkatnya itu. Tapi tidak bagi Jessica dan keluarga besar Wright yang tahu tentang perselisihan di antara keduanya. Di mata mereka, kedua saudara angkat itu bagai musuh yang tidak akan pernah bisa didamaikan, apapun keadaannya. Elvin ingin mengulang pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya, namun mengurungkan niatnya setelah melihat cara Anna menatapnya. Walau mata bulat Anna sangat berbeda jauh dengan mata upturned milik Jessica —yang selalu membuatnya kesal saat mendapat tatapan tajam dari adik angkatnya itu—, namun sorot mata dan cara gadis bertubuh mungil itu menatap padanya membuat Elvin merasa jika ia seperti sedang berhadapan langsung dengan Jessica, terutama saat gadis berambut hitam sepinggang itu mulai berbicara. “Menyingkir dari hadapanku!” Elvin menyingkir dengan refl
Zlarrrrr…!!!Suara dari sambaran petir —yang terdengar sangat nyaring saat menyambar dan menghancurkan seluruh dinding ruangan— menghentikan keributan di antara mereka.Jessica yang awalnya mengira jika sebuah bom telah jatuh ke rumah sakit itu, hendak melarikan diri tapi tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali hingga sempat mengira jika dirinya ikut meledak dan mati bersama dengan ledakan tadi.Ia mengira jika hanya rohnya sajalah yang tersisa dan hidup dengan melayang-layang di udara, —setelah melihat jika lantai yang dipijaknya juga ikut hancur lebur oleh sambaran petir barusan.Saat debu dari ledakan mulai menyusut, Jessica melihat puing-puing dari ruangan yang telah hancur, juga melayang-layang di udara seperti dirinya. Karena itulah dugaan jika tubuh Anna yang menampung rohnya telah hancur, juga semakin kuat.Tapi saat debu dari ledakan sudah hampir menghilang sepenuhnya, Jessica akhirnya melihat tubuh Elvin yang masih tetap utuh sedang melayang-layang di hadapannya. Tubuh
“Apa kau tidak pernah merasa kalau dirimu itu terlalu angkuh dan suka bersikap seenaknya?” Dewa memulai pembicaraan mereka lagi dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang tentu saja langsung dibantah Jessica, “Aku angkuh? Bagaimana kau bisa menyimpulkan tentang diriku dengan seenaknya saja?” “Karena aku adalah Dewa. Aku bisa tahu dan melihat apa yang sudah kau lakukan sepanjang hidupmu, dan itu membuatku muak.” “Hah? Muak? Apa itu sebuah kejahatan? Aku hanya bersikap sesuai dengan apa yang kuinginkan dan sesuai dengan keadaan yang terjadi di sekitarku. Apa kau ingin agar aku bersikap palsu seperti sedang berperan dalam sebuah film?” bantah Jessica. “Kau berani membantah Dewa? Kalau kau bisa menahan diri, kau pikir Anna Briel akan mengakhiri hidupnya?” “...” “Kau menyadarinya?” “Hah? Siapa yang menyadarinya? Bukankah kau ingin agar aku tidak membantahmu? Kalau Dewa berkata seperti itu, apa aku punya hak untuk membantah lagi?” “...” “Betul, kan?” “...Sudahlah…,” ucap
“Anna! Apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin melompat ke bawah sana? Jangan bodoh!” seru Jessica memanggil Anna yang sedang memanjat pagar balkonnya. Tidak mendapat jawaban dari remaja itu, terutama setelah melihat Anna sudah berhasil duduk di atas pagar balkon, Jessica yang saat itu sedang memiting Joseph Thiago —tunangannya— setelah berhasil memenangkan perkelahian di antara mereka, mau tidak mau melepaskan apitan tangannya dari leher Joseph dan berlari dengan tergesa untuk menarik Anna turun dari sana. Ia menebak, Anna yang tampak putus asa itu berniat untuk bunuh diri dengan melompat dari atas pagar ke sisi luar balkon. Jessica memang selalu merasa kesal pada Anna tiap kali melihat akting buruknya dalam semua kesempatan casting yang perusahaan mereka berikan. Ia juga sangat marah setelah melihat Joseph merangkul Anna di atas ranjangnya. Tapi dia juga tidak ingin Anna sampai mengakhiri hidupnya karena semua hal itu. Jessica sebenarnya sangat menyayangi Anna yang dianggapnya mem
Di sebuah gedung 20 lantai… Elvin Wright duduk di belakang meja kerjanya, membiarkan komputer menyala sementara ia termenung saat mengenang kembali akan kejadian aneh yang dialaminya di ruang perawatan Jessica Wright —adik angkatnya— yang sedang terbaring koma. Sikap dan cara berbicara remaja bernama Anna Briel yang sempat berdebat dengannya disana —sebelum akhirnya kejang-kejang dan jatuh pingsan— membuat konsentrasinya dalam bekerja menurun selama beberapa jam belakangan ini. Elvin bahkan masih duduk termenung di kantornya walau hampir seluruh karyawan di kantor itu telah pulang. “Kakek juga merasakan sesuatu yang janggal dari dirinya, kan?” pikir Elvin, mengingat Norman Wright yang biasanya tidak pernah tertarik berinteraksi apalagi berhubungan dengan orang asing —kecuali sedang bertransaksi bisnis— malah meminta untuk tetap tinggal untuk melihat kondisi Anna sementara ia kembali ke kantornya. Saat itu Norman Wright sebenarnya berada tepat di belakang Elvin ketika mereka memergo
Karena sudah menjadi kebiasaan sejak masih berada di tubuh aslinya, Jessica —yang mulai saat ini akan disebut sebagai Anna— terbangun sebelum fajar menyingsing. Saat itu masih pukul 4 pagi dan dia tidak melihat Sherly lagi di sampingnya. “Dia bangun lebih pagi dariku?” Saat ia sedang bertanya-tanya, ingatan Anna muncul begitu saja dalam benaknya —seperti biasanya—, menggambarkan rutinitas Sherly yang memang sudah terbiasa bangun di pagi hari untuk pergi bekerja sambilan dan baru akan kembali lagi pada pukul 5.30. “Dia bekerja sebagai penyapu jalan setiap pagi? Astaga, apa dia tidak akan terkena masalah karena bekerja seperti itu di bawah umur?” Ingatan berikutnya adalah ingatan mengenai kebiasaan Anna. Di pagi hari, Anna biasanya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak untuk sarapannya, sarapan ayahnya, juga sarapan Sherly. Sementara ibunya —sama seperti Sherly— sudah berangkat sejak jam 4 pagi untuk bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah tangga. “Jadi
“Astaga! Bikin kaget saja!” umpat Anna kesal, melihat Dewa yang menghukumnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. “Mau pergi ke mana sepagi ini? Bukannya kau harus pergi ke sekolah?” “Kau sendiri, apa yang kau lakukan sepagi ini di depan rumah orang? Apa kau tidak sibuk? Bukannya kau Dewa?” Anna yang merasa kesal setelah dikejutkan sang Dewa, balik bertanya dengan tatapan marah. “Kau tidak berhak mengetahui pekerjaanku.” “Kau juga tidak ber— Aaaaaahhhhh…! Kau f**k! Aaaaaaahhhh…” Anna merasakan sengatan listrik kecil di dalam tubuhnya tiap kali berniat berbicara kasar pada sang Dewa. Tahu penyebabnya, ia pun dengan sangat terpaksa menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat kasar lagi walau sebenarnya sangat ingin menghamburkan semua kalimat kasar yang ada dalam benaknya pada sosok yang sangat dibencinya itu. “Masih berani berbicara kasar padaku?” “...T-tidak.” “Cuma itu?” “Apa lagi yang harus kukatakan?!” “Belajarlah meminta maaf jika kau sudah melakukan kesalahan.” “Sal
Tidak seperti yang Silvia inginkan, Anna justru tertawa terkekeh. Ekspresi cerah dan tenangnya masih tidak berubah. “Kau menanyakan pertanyaan aneh. Sekarang aku akan bertanya padamu. Kalau aku diam dan tidak menganggapimu yang sedang berbicara padaku, apa kau tidak akan marah? Bukankah itu tidak sopan?” “Kau—” “Kalau aku salah, tolong katakan di mana kesalahanku. Ayo kita membahasnya baik-baik.” Merasa jika Anna sedang membuatnya terlihat bodoh, Silvia yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sepanjang hidupnya, secara refleks maju mendekat, berniat untuk menyerang Anna secara fisik. “Duduk semua. Kelas akan segera dimulai.” Suara berat seorang pria menghentikan niat Silvia, juga anggota gengnya yang sudah merapat mengelilingi Anna di sekitar mejanya. Pria berusia akhir 30an itu, yang merupakan guru kelas pagi mereka, kemudian menatap ke arah kerumunan di mana Silvia dan para gengnya sedang mengepung meja Anna, lalu mengernyitkan alis dan menegur mereka, “Apa yang kal