"Lepaskan aku! Jangan menyentuhku!" teriak Adelia sekuat tenaga.Dengan gerakan cepat Adelia mencoba memberontak, tangannya terkepal saat ia hendak mengayunkan ke arah Satrio.Namun Satrio sudah siap, dia mencengkram pergelangan tangan Adelia dengan cekatan, senyum sinisnya semakin lebar. "Jangan membuang tenaga mu dengan sia-sia," ucapnya dengan nada mengejek.Dengan cepat Satrio mengikat kedua pergelangan tangan Adelia dengan tali yang sudah ia siapkan di sakunya. Adelia berontak, berusaha melepaskan diri, namun ikatan itu terlalu kuat—membatasi setiap geraknya. Napasnya memburu saat ia menatap Satrio, matanya menyala oleh campuran amarah dan ketidakberdayaan.Satrio menatapnya balik, dingin dan tak tergoyahkan. “Sekarang... aku yang pegang kendali.”Nafas Adelia memburu, tubuhnya menegang saat Satrio mengangkat dagunya paksa, memaksanya menatap matanya.“Kau pikir bisa mempermainkan ku seperti itu? Menggoda lalu kabur seperti gadis polos?” gumamnya, suaranya rendah.Sebelum Adeli
Ceklek...Suara pintu di kunci terdengar nyaring. Satrio berbalik, dan sorot matanya berubah—lebih liar, lebih rakus."Tidak akan ada yang ganggu, dan akupun tidak bisa lari..." gumamnya pelan.Adelia berdiri membelakangi jendela, tubuhnya tampak tenang, tapi tangannya sedikit gemetar.Satrio melangkah mendekat, jemarinya.mulai membuka kancing kemejanya satu per satu."Sekarang waktunya."Adelia mundur setapak. “Jangan buru-buru.”“Apa lagi?” alis Satrio terangkat tinggi.Adelia menelan ludah. Ia tahu harus mengulur waktu sedikit lagi. “Sebelum melakukannya... Aku butuh kepastian. Aku mau kamu nikahi aku setelah pulang dari sini?”Satrio terdiam sebentar, lalu tertawa kecil, menyeringai. "Ah... ini soal itu lagi?" ia duduk di ujung ranjang, menatap Adelia dari bawah keatas dengan tajam.“Kamu takut hamil ya? Tenang saja aku selalu siapkan alat pengaman, tak perlu khawatir soal itu.” jawabnya santai.“Bu–bukan cuma itu! Aku nggak mau semua yang ku korbankan malam ini akan sia-sia. Aku
Daniar dan Satrio tiba di villa keluarga Widyantara di tengah malam yang sunyi dan gelap. "Masuklah," kata Satrio sambil membuka pintu dengan gerakan lembut, tatapannya membara oleh gairah, tak bisa disembunyikan. Adelia tersenyum canggung. Ia melangkah masuk, menelusuri interior villa yang masih tampak sama seperti kunjungan terakhirnya, namun kini terasa sunyi, dan penuh dengan ketegangan. Hanya ada mereka berdua yang memenuhi ruang kosong itu, dengan keheningan yang hanya bisa dipecahkan oleh suara langkah kaki mereka."Aku haus," ucapnya pelan, Daniar melangkah menuju dapur. "Aku mau buat teh dulu? Badanku kedinginan."Satrio terkekeh pendek. “Sebentar lagi juga aku hangatkan.”Adelia mengerutkan kening, menatap kakak iparnya dengan jijik. Di dapur, ia sengaja memperlambat gerak, berpura-pura mencari cangkir, padahal matanya waspada—menghitung waktu, menyiapkan langkah berikutnya.Langkah Satrio terdengar berat saat ia mendekat ke dapur. Bayangannya memanjang di lantai, menjulu
"Aku lebih baik mati daripada tidur lagi denganmu," desis Adelia. Matanya menatap tajam, seolah hendak menusuk wajah pria di depannya. Satrio menyeringai, lalu tertawa meledeknya. Lalu melepaskan cengkeramannya dari rambut Adelia.Adelia segera mundur menjauh. Dadanya naik turun tak karuan. Namun tatapannya tetap tajam, tak sudi menunjukkan kelemahan di hadapan pria itu."Aku hanya memperjuangkan apa yang seharusnya jadi milikku sejak awal," ucapnya sambil terkekeh. "Kau sangat menjijikkan! Aku merasa berdosa karena pernah membelamu di depan Samuel!" pekik Adelia.Satrio menyeringai lagi, kepalanya miring sedikit. "Salahmu sendiri, begitu mudahnya terperdaya sama pesonaku, kau ini terlalu polos menilai seseorang, Adel," ujarnya penuh ejekan.Adelia ingin kabur. Ia ingin menjerit. Tapi… Tiba-tiba ia terdiam, hening. Seolah ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Sorot matanya meredup, lalu kembali menyala."Kenapa kau tiba-tiba diam, hah? Kehabisan kata-kata? Masih mau melawan aku? At
"Jangan bercanda, Satrio. Mama dan Papa hanya ingin yang terbaik. Apa susahnya menikah? Semua pria di umurmu sudah berkeluarga dan punya anak.""Ya, semua pria… kecuali mereka yang tidak ingin hidupnya diatur sampai ke urusan tempat tidur."Jusuf mengerutkan kening, merasa Satrio sudah mulai keterlaluan. "Satrio, jaga bicaramu. Kita sedang makan," tegur Jusuf tegas.Satrio menarik nafas pelan, masih dengan nada dingin. "Aku hanya bicara jujur, Pa. Lebih baik tidak menikah daripada menikahi wanita yang kelak berselingkuh dengan keluarga suaminya." Satrio menyeringai ke arah Adelia.merapihkan serbet di pangkuannya, menepuk lembut pundak Isabella yang duduk manis di pangkuannya, seolah tak mendengar provokasi dari Satrio. Sorot matanya tetap teduh.Dengan senyum samar, Adelia menatap piring makanannya, lalu bicara pelan namun sangat jelas terdengar."Biasanya yang paling sibuk bicara soal perselingkuhan... justru yang paling berpengalaman dalam hal itu. Mungkin karena terlalu sering ber
"Mama nggak usah terlalu banyak berharap sama Samuel," suara Satrio terdengar jelas, dingin, dan tajam.Di balik pintu yang sedikit terbuka, Adelia berdiri kaku. Jantungnya berdegup, seakan ingin meloncat keluar dari dadanya. "Mama cuma nggak rela... lihat sekarang, dia malah sibuk cari kerja sendiri. Semua gara-gara perempuan miskin itu!" suara Devina meninggi, penuh kebencian."Mama harusnya sabar! Jangan bertindak gegabah," lanjut Satrio dengan nada menyindir. "Lihat akibatnya, Mama malah masuk rumah sakit gara-gara ribut sama Samuel. Padahal sedikit lagi mereka akan bercerai!"Devina menghela nafas sejenak, "Kamu benar. Mama terlalu terburu-buru... padahal kamu sudah berhasil memperdaya si Adel."Satrio tertawa pelan, tawanya terdengar memuakkan. "Harusnya Mama lihat ekspresi muka dia saat tahu aku bilang sudah menodainya, dia benar-benar hancur.""Tapi kamu nggak benar-benar menyentuhnya, kan?!" tanya Devina cemas.Satrio mendengus. "Yahh... Aku juga jijik nyentuh perempuan misk