"Rania?" panggil Jusuf. Wanita separuh baya itu menoleh, menampilkan wajah yang masih memancarkan aura kecantikan meskipun usia 55 tahun telah menghampiri. Rambutnya yang tersanggul rapi, gaun lengan panjang berwarna biru donker yang membalut tubuh rampingnya memancarkan kesan kelas dan kecanggihan tanpa berlebihan. "Jusuf. Sudah lama," sahutnya dengan suara yang riang dan ramah.Langkah kaki Jusuf menggema pelan di koridor saat ia mendekati Rania. Ia menjabat tangan Rania dengan senyum hangat. "Aku dengar Adelia melahirkan kemarin malam?" tanya Rania sambil melangkah pelan di sisi Jusuf. ia mengenakan kemeja arang gelap, membalut tubuhnya yang masih tegap, ada sisa lelah di matanya, mengingat ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari luar kota. "Ya, Samuel bilang prosesnya cukup panjang. Adelia sempat kritis, namun semuanya baik-baik saja. Putra mereka pun sehat," jawab Jusuf dengan nada bangga. "Syukurlah. Aku selalu mendoakan mereka setiap hari," ujar Rania, tersenyum penu
Pintu kamar VIP terbuka pelan. Seorang suster masuk, mendorong troli inkubator bening beroda yang di dalamnya terbaring seorang bayi mungil—terbungkus selimut lembut, wajahnya tenang, napasnya perlahan.“Bu Adelia…” suara suster lembut. “Ini putra Ibu.”Adelia yang masih berbaring setengah duduk langsung menoleh. Tatapannya tajam, matanya membesar, air mata langsung mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menatap bayi itu—kulitnya merah muda, kecil sekali, dengan selang oksigen tipis di hidungnya. “Boleh… aku lihat lebih dekat?” suara Adelia nyaris berbisik, lirih karena lemah, tapi juga penuh dorongan naluri.Suster tersenyum dan mendorong inkubator hingga tepat di sisi tempat tidur Adelia.Adelia mencondongkan tubuh sedikit, sambil menahan nyeri luka operasi. Tapi ia tak peduli. Pandangannya terkunci pada bayinya yang mungil. Samuel berdiri di sisi lain ranjang, meletakkan tangannya di bahu Adelia. ikut menatap ke dalam inkubator. “Dia kuat, sama seperti kamu.”Adelia mengangguk, air mat
"Dia selamat. Bayi kita kuat, sama seperti kamu. Lahir dengan berat dua koma tujuh kilo. Napasnya sempat lemah, tapi sekarang sudah stabil. Dokter bilang dia pejuang, sama seperti ibunya.”Air mata mengalir. Ia menutup mulut dengan tangan lemah, terisak pelan. “Aku mau lihat dia…” Samuel mengangguk. “Tentu saja. Begitu kamu sedikit lebih kuat, Suster akan bawa dia ke kamar. Tapi kamu harus pulih dulu ya…”Adelia tersenyum haru. “Dia mirip siapa, Mas?”Samuel tersenyum sumringah. “Wajahnya kecil dan halus… mirip kamu. Tapi bibir dan alisnya… kayaknya dapat dari aku.”Mereka tertawa pelan, penuh rasa syukur. Tak lama pintu ruangan terbuka. Dokter masuk diikuti dua perawat yang membawa alat-alat medis.“Maaf, kami perlu memulai tindakan perawatan intensif. Kami akan bersihkan luka operasi, cek tekanan darah, dan siapkan pemindahan ke ruang rawat VIP," ucap Sang dokter Samuel berdiri, mengangguk. “Silakan, Dok. Saya tunggu di luar.”Sebelum ia melangkah keluar, ia membungkuk sedikit dan
"Aku dimana?" seru Adelia, dalam kegelapan hampa.Gelap. Sunyi. Tubuh Adelia melayang entah ke mana. Tak ada rasa, hanya lelah yang terasa menyesakkan.Lalu…“Bangun, Adel! Kamu harus hidup!”Suara tegas itu menusuk hening. Suara yang tak asing."Arabella."Adelia menoleh ke kanan ke kiri tapi tak melihat siapa-siapa. “Aku di sini…” suara itu kembali terdengar, lembut tapi mendesak.Adelia memejamkan matanya sejenak, mencoba fokus. Di antara kehampaan dan kegelapan yang membungkusnya, suara itu seperti nyala senter di tengah badai. Ia merentangkan tangannya, berjalan perlahan di ruang hampa yang tak berbentuk, tak berujung.“Arabella? Di mana kamu?” serunya pelan.Sekilas, bayangan Arabella muncul. Sosok berpakaian putih berdiri di kejauhan, rambutnya tergerai. “Kamu belum boleh menyerah, Adel,” kata suara itu. “Kamu masih harus berjuang.”Adelia memeluk tubuhnya sendiri. “Tapi aku lelah… sangat lelah…”Lantai hampa di bawahnya retak. Suhu di sekitarnya perlahan mendingin. Angin ent
“Pak Samuel, presentasi Anda tadi siang, luar biasa sekali, saya sangat antusias mendengarkan penjelasan Anda,” puji salah satu klien sambil mengangkat gelasnya.Samuel tersenyum sopan. “Terima kasih, Pak Rudy. Mudah-mudahan kolaborasi ini jadi langkah awal yang baik untuk hubungan jangka panjang antara perusahaan kita.”Suara gelas beradu dengan tawa basa-basi, bercampur dengan aroma seafood panggang. Samuel duduk di samping ayahnya, Jusuf. Restoran tepi danau bernuansa kayu di tengah kota Kalimantan,Namun baru saja Samuel hendak menyendok sup asparagus. Ponselnya bergetar tiba-tiba di atas meja. Nama yang tak dikenal muncul di layar. Sekilas, Samuel coba mengabaikan. Tapi getaran itu datang lagi dan lagi.Samuel melirik ayahnya sejenak, lalu berdiri perlahan dengan gerakan pelan. “Maaf, sepertinya ada panggilan darurat yang harus saya terima dulu.”Ia berjalan menjauh dari meja, menuju balkon kecil di dalam restoran.Samuel : Halo?Petugas Medis : Selamat malam dengan pak Samuel?S
“Mama…”Suara kecil itu terdengar lirih dari ambang pintu.Isabella, dengan mata masih setengah mengantuk, berdiri terpaku melihat ibunya tergeletak di lantai dapur. Matanya membesar saat melihat darah menggenang dan tubuh Adelia yang menggigil sambil memegangi perutnya.“Ica... sayang, tolong Mama...” suara Adelia bergetar, penuh tangis, namun tetap berusaha tenang. “Dengar Mama, ya nak… dengarkan baik-baik…”Isabella mendekat beberapa langkah, tampak kebingungan dan ketakutan. “Mama sakit...?”Adelia menggelengkan kepala, lalu memaksakan senyum meski tubuhnya sedang kesakitan. “Iya, Mama sakit… tapi kamu bisa bantu Mama, sayang. Bisa, ya?”Isabella mengangguk cepat.“Ambilkan tas Mama… di ruang tamu. Cepat, ya? Di dalamnya ada ponsel. Tolong bawain sini, Sayang…” suara Adelia bergetar.Isabella langsung berlari keluar dapur, sambil bergumam. "Tas Mama… tas Mama…” gumamnya panik, menoleh ke kanan dan kiri, lalu mulai memeriksa setiap sudut sofa.Ia menyingkirkan bantal, “Di mana sih…