Beberapa hari kemudian, Pak Haryo, Bu Rina, dan Niken. Datang menuntut pertanggungjawaban dari Samuel."Segeralah nikahkan mereka, sebelum perut Niken mulai membesar.” pinta pak Haryo, menuntut Jusuf.Pak Jusuf, kepala keluarga Widyantara, dan Samuel sudah menduga maksud kedatangan mereka hari ini. Meski begitu, mereka tetap menyambut Pak Haryo dan Bu Rina dengan senyum hangat dan keramahan.“Jika memang harus bertanggung jawab, tentu kami akan memenuhinya. Demi menjaga nama baik keluarga Widyantara,” jawab Pak Jusuf dengan suara tenang penuh wibawa.Pak Haryo menyilangkan tangan, senyum liciknya semakin melebar. “Kalau begitu, sebelum kita bicara soal pernikahan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai menantu keluarga kami,” ucapnya penuh penekanan.Bu Rina menimpali, “Kami tak menerima Mas Kawin yang yang biasa-biasa saja. Kami menuntut nilai yang setimpal dengan ‘keadaan’ Niken sekarang," ucapnya sambil mengibaskan rambutnya.Samuel menatap tajam ke arah Bu Rina, berusaha mer
“Ugh... kepala gue kenapa ya,” Niken terbangun sambil memijat pelipis.Pandangannya menyapu kamar hotel yang sunyi. Sejenak ia menatap langit-langit, mencoba menyusun potongan ingatan. “Eh… kok gua bisa tidur di sini?” gumamnya, kali ini dengan nada panik.Matanya segera mencari ponsel. Setelah menemukannya di meja samping ranjang, ia buru-buru membuka galeri dan chat—was-was kalau ada jejak digital memalukan yang tersebar."Kosong. Aman." gumamnya lega, meski detak jantungnya belum sepenuhnya tenang.Niken bangkit perlahan. Kepalanya masih terasa berat. Ia menoleh ke meja, dan di sana—tas serta kunci apartemennya tergeletak rapi.Ia buru-buru memeriksa isi tas. Dompet, ponsel, semua masih ada. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa… ganjil.“Ya ampun, jangan-jangan semalam gue ngoceh macem-macem waktu setengah teler…”Namun Niken menepis kegelisahannya. Tanpa curiga, ia melangkah ke kamar mandi, tak menyadari bahwa keadaan perlahan bergeser—dan malam itu tak sebersih yang ia bayang
“Jangan kebanyakan minum wine. Enggak bagus buat janin kamu, kan…” ujar Samuel dengan nada sok perhatian.Niken tertawa sambil menggoyangkan gelasnya. “Ih, seneng deh kamu mulai perhatian sama anakmu. Tapi tenang aja, mamaku juga doyan wine waktu hamil aku.”Samuel mendengus. “Pantesan anaknya suka oleng.”Niken langsung menoleh cepat. “Eh? Kamu bilang apa barusan?”“Enggak, enggak… becanda. Mungkin kamu lagi ngidam wine,” jawab Samuel, tersenyum santai seolah tak ada yang terjadi.Niken terkekeh lagi, masih merasa jadi pusat semesta. Ia menyesap wine-nya pelan-pelan sambil sesekali melirik Samuel genit.Sementara itu, Samuel mengambil gelas anggurnya dengan santai. Dalam gerakan cepat, ia menyelipkan tangan ke saku jasnya dan menuangkan beberapa tetes cairan bening ke dalam gelas—obat tidur cair tanpa rasa dan bau.“Aku sengaja pesan wine mahal,” ujar Samuel sambil memutar gelasnya pelan. “Biar malam kita terasa... spesial.”Niken, yang merasa di atas angin, tak curiga sedikit pun. I
Keesokan harinya, dikantor. Samuel menatap laptopnya dengan wajah serius. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, mengetik nama perusahaan yang tercantum di proposal—PT Sejahtera Abadi. Nama yang terdengar meyakinkan. Terlalu meyakinkan—dan justru itulah masalahnya. Tidak ada laman resmi. Tidak ada ulasan. Tidak tercatat di direktori usaha besar. Samuel mengetik lebih dalam, kali ini mengakses situs resmi Kementerian. Ia memasukkan nama perusahaan ke sistem pencarian legalitas badan usaha. Dan hasilnya, nihil. “Tidak terdaftar… Sudah kuduga.” gumamnya pelan. Ia bersandar, menatap layar dengan mata tajam. “Perusahaan sebesar, yang katanya, Go Internasional… investasi triliunan… tapi tidak ada satu pun catatan legalnya?” Tanda tanya mulai bermunculan. Alamat kantor yang tertulis mengarah ke sebuah ruko tua yang tak lagi beroperasi. Nomor telepon yang tidak pernah aktif. Bahkan NPWP perusahaan yang saat dicek—Berstatus tidak aktif sejak tiga tahun lalu. Samuel memejamkan ma
“Bisa-bisanya Selly ikut terlibat menjebak ku!"Samuel menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, napasnya berat. Matanya menatap langit-langit kamar, tapi pikirannya berkecamuk seperti badai yang tak kunjung reda.Adelia duduk perlahan di sebelah suaminya, menatap wajah yang dipenuhi rasa kecewa dan luka mendalam. Luka yang mungkin hanya bisa diredakan oleh waktu, bukan oleh pelukan atau kata-kata manis."Mungkin karena Selly membenciku," bisiknya lirih, "Jadi dia tega memfitnahmu untuk menyingkirkan aku."Kata-kata itu meluncur pelan, nyaris seperti rintihan yang ditelan keraguan. Tapi justru karena itulah, kalimat itu menghujam begitu dalam—menyisakan sesak yang berat di dada Samuel."Jangan berkata seperti itu… Kamu tidak salah,” ucap Samuel lirih. “Yang salah itu ibuku. Tolong maafkan dia… yang tak pernah benar-benar menghargai kebaikan dan pengorbananmu.”“Mama terlalu terpaku pada harta dan status sosial, sampai-sampai tak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. B
“Aku nggak lapar,” ujarnya ketus.Adelia tetap tenang, menampilkan senyum ramah. “Nggak apa-apa. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”Selly memalingkan wajah, mengusap air matanya yang mulai menggenang. Setelah beberapa saat, ia berbalik dan membiarkan pintu tetap terbuka, memberi isyarat bahwa Adelia boleh masuk.Adelia melangkah masuk sambil membawa nampan. Selly kembali duduk di atas ranjangnya. Dengan hati-hati, Adelia meletakkan nampan itu di meja kecil di samping tempat tidur.Lalu berdiri diam, sambil memperhatikan Selly yang tampak sedang tenggelam dalam pikirannya.“Ngapain kamu di sini?! Keluar!” hardik Selly. Tak suka dengan cara Adelia menatapnya penuh iba, membuatnya merasa tak nyaman.“A... Aku lihat kamu sedang sedih. Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan. Aku ini kakak iparmu,” ucap Adelia pelan, mencoba membuka diri pada Selly, sekaligus memancingnya bercerita soal ancaman dari Niken.“Berhenti sok baik padaku!” Selly membentak. “Kamu pikir aku nggak
"Jawab jujur! Kamu bilang 'hamil' anak kakakku? Omong kosong itu! Kakakku bahkan nggak pernah menyentuhmu sekalipun!" bentak Selly. Niken menaikkan alis, bibirnya melengkung ke senyum sinis. "Yup, emang bukan anak kakakmu. Terus... kenapa? Kan ibumu sendiri yang mau menikahkan aku sama kakak mu?" Selly mendengus. "Malam itu, kamu sama aku dugem bareng sampai subuh. Aku pulang duluan, sedangkan kamu... kamu malah ke hotel bareng beberapa cowok kan!" Niken tertawa keras, membuat beberapa pengunjung menoleh. Ia mencondongkan tubuh ke depan, berbisik, "Maaf ya, Sel... Malam itu aku kebablasan. Terlalu senang dugem, banyak cowok yang ikut gua ke hotel... Dan jujur aja, gua nggak tahu siapa bapak dari anak gua." Selly melotot, "Kau menjijikkan, Nik. Jijik banget gua sama Lu! Dan Lu masih punya muka buat ngaku-ngaku hamil anak kakak gua! Gak akan gua biarin Lu nikah sama kakak gua!" Niken mengangkat bahu. "Kalau soal nikah, yah itu sih rencana mama Devina. Aku cuma ikutin alur yang dia
Jam 11.45.“Ma, aku keluar dulu, ya. Mau ketemuan sama Niken.”Devina menoleh sekilas, matanya tetap terpaku pada majalah mode yang sedang dibacanya.“Iya, tapi jangan pulang larut malam sampai mabuk-mabukan. Jangan bikin masalah lagi. Mama sudah cukup pusing sama kelakuanmu akhir-akhir ini.”Selly mencibir kecil, tapi tak membantah. “Iya, Ma. Santai aja, ini cuma ngobrol sebentar di Cafe.”Adelia melihat dari balik pintu kamar Isabella. Selly keluar dengan dandanan sempurna—makeup tebal, sepatu hak tinggi, dan tas branded tergantung di lengan. Gadis muda itu tampak santai seperti biasa, seolah pagi tadi tidak meledak di meja makan.Adelia menenteng tas kecil berisi ponsel dan perekam suara, sebelum berangkat ia mengecek keadaan Isabella, bayi itu tidur dengan damai, tangan mungilnya terangkat sedikit, bibirnya sesekali bergerak seolah sedang bermimpi.Adelia menunduk, membelai rambut halus anak itu dengan lembut. “Nak… mama keluar dulu sebentar, ya…” bisiknya pelan. “Tolong jangan ba
“Pagi, Selly. Tumben kamu bangun lebih awal dari biasanya,” sapa Adelia dengan nada ramah, berusaha mencairkan suasana. “Gak usah sok akrab, gue lagi bad mood…” sahut Selly ketus, tanpa menoleh. Matanya terus terpaku pada layar ponsel yang tak henti ia gulirkan. AdeLia hanya tersenyum tipis, lalu kembali menyusun hidangan sarapan di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah adik iparnya yang tampak gelisah. Selly tiba-tiba berdecak kesal. “Si Niken kok gak bales-bales, sih!” gerutunya sambil mengetik dengan cepat di layar. Adelia mengangkat alis pelan, memperhatikan gelagat Selly yang semakin mencurigakan. Tak lama kemudian, Amelia, Samuel, Jusuf, dan Devina, muncul. Semuanya duduk berkumpul di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian, Amelia, Samuel, Jusuf, dan Devina muncul satu per satu, lalu berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Suasana tampak tenang, meski sedikit canggung. “Selly, soal modal usaha yang kamu ajukan kemArin, Papa minta kamu buat proposalnya