Aku tak habis pikir. Pak RT bisa-bisanya percaya pada aduan Mas Sandi dan Bibiku yang menyebalkan itu.“Pak RT kenapa harus nuduh suami saya?” tanyaku geram. “Karena kami menemukan ini di tempat kejadian!” Suara yang kukenal tederngar. Mas Sandi sudah berdiri sambil menenteng plastik warna hitam. “Apa itu, Mas?”tanyaku sambil menatap tentengan yang Mas Sandi bawa. “Ini bukti telak kalau Mas Reza memang pelakunya!” tutur Mas Sandi sambil membalikkan plastik keresek hitam yang dia bawa dan terjatuhlah isi di dalamnya. Lalu terjatuh sebuah sarung. Aku menatap pada sarung yang tergeletak itu. Lalu mendongak dan menatap suamiku.“Itu ‘kan sarung Mas Reza ….”Aku menautkan alis pada sarung dengan warna sudah pudar itu. “Iya, dan ini ditemukan di tempat babi itu menghilang.” Mas Sandi bicara sambil menyipitkan mata. “Gimana, Mas Reza? Apa ada penjelasan? Jujur, semalam ini warga pada meminta saya langsung menggrebek ke sini. Cuma, ya, kan malem-malem, gak enak ribut-ribut.” Pak RT menat
“Mas ngomong apa, si? Rumah siapa yang dua lantai?” tanyaku menatap lekat. “Nggak, Dek. Anu itu, kalau misal nanti Mas ada rejeki, terus beli rumahnya dua lantai. Adek mau ‘kan nempatinnya?” tanyanya lagi. “Aduh, Arin, Reza! Bibi pulang dulu, ya! Males banget dengerin halu kalian! Nanti Bibi undang pas acara syukuran rumahnya si Mia. Sembuhin dulu tuh, halunya suami kamu, Rin!” Bi Icah masih tertawa-tawa, seolah perkataan Mas Reza itu penuh kelucuan. Dia pun melenggang pergi dan membawa brosur-brosur gambar rumah yang tadi dia bawa ke sini. Aku baru hendak bicara lagi pada Mas Reza, ketika tiba-tiba Bi Icah menghentikkan langkahnya. Dia memutar tubuh, lalu berjalan mendekat dan menepuk bahu Mas Reza. “Eh, Reza. Kalau kuli bangunan di rumah bekas Pak Lurah itu sudah selesai, boleh nanti kerja bantu-bantu bangun renova rumah Si Mia. Bibi nanti bilangin Sandi, biar sisain satu jatah kuli buat kamu. Kasihan, si Arin. Senggaknya kamu bisa bantuin nyari nafkah juga. Masa iya istri kerja
“Mia? Ada apa, Mi?” tanyaku. Pandanganku lurus ke arah sepupuku yang sudah berdiri di ambang pintu. “Mau ngundang, Mbak sama Mas Reza. Malam ini bakda Isya, mau ngadain syukuran rumah.” Dia tersenyum lebar, lalu berjalan masuk ke dalam kamar dan mengedarkan pandangan. Lalu berjalan ke arah lemari kayu jati dan mengetuk-ngetuk daun pintunya. “Oh, jadi ini perabotan yang bikin heboh warga sekampung itu, Mbak? Ini kemarin aku juga habis ganti perabotan, persis banget kayak gini.” Mia tersenyum sambil menoleh ke arahku. Entah kenapa, aku merasakan jika tatapannya itu seolah bicara. Aku juga punya lemari kayak gini, bukan kamu saja. “Oh, ya?” “Huum, Mbak. Barang-barang lamaku sudah dikeluarin juga. Ya, sudah waktunya ganti. Meja riasnya juga kayak gini, dipannya juga sama. Rupanya selera kita masih sama,” kekehnya.Aku termangu. Apa maksudnya? Selera kita masih sama? Jangan bilang kalau dia juga diam-diam mau mengganti Mas Sandi dengan Mas Reza? Duh, makin takut aku kalau jati diri Ma
Sepulang dari tempat Mia, aku tak bisa tidur lelap. Ketiadaan Mas Reza membuatku merasa ada yang kurang. Berulang kali kutatap layar ponsel. Kuambil benda pipih itu, kuusap, lalu kuletakkan lagi. Aku berharap, Mas Reza menghubungi. Namun hingga waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tak ada lagi panggilan masuk ataupun pesan.[Mas, kamu nginep lagi di sana, ya?]Pesan terkirim, tapi tak ada balasan. Bahkan tampak, Mas Reza belum membacanya. Kuhela napas kasar, lalu kusimpan lagi gawai. Kumiringkan posisi tubuh dan menatap karpet tempat Mas Reza berbaring yang kini kosong. Biasanya ketika kuterjaga, aku suka diam-diam mengamati pahatan wajahnya yang kurasa sempurna. Hidung bangir, alis tebal, rambutnya yang agak ikal. Mas, kamu lagi ngapain sebenernya? Akhirnya meskipun susah payah, rupanya aku tertidur juga. Pas suara adzan terdengar, aku mengerjap. Biasanya punggung lebar Mas Reza masih terduduk di atas sajadah kulihat. Cuma sekarang gak ada. Biasanya, usai shalat malam, di
AsriNama itu muncul pada layar bersama foto profil yang membuat hati berdentum cepat. Itu ‘kan foto Mas Reza tengah memangku anak kecil dan pakaian itu, adalah pakaian yang tadi dia kenakan pas datang. “A—apakah ini alasan Mas Reza pulang telat? Dia mampir ke tempat Asri dan sibuk bermain dengan anaknya?” Seketika, rasa panas, sesak, kesal dan semuanya bercampur baur dalam hati. Perlahan tangan ini mengambil benda pipih itu, lalu mengusap tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan. Mau apa dia mencari Mas Reza?Tepat ketika kutekan tombol hijau. Panggilan itu malah terputus. Jadinya kubengong menatap layar. Padahal aku sudah siap bicara panjang lebar. Kutunggu-tunggu, tak lagi telepon itu berdering. Ingin rasanya kutelepon balik, tapi aku belum seberani itu menggunakan barang-barang Mas Reza tanpa izin dulu. Aku yang sebal. Kuambil ponsel Mas Reza itu dan kumasukkan ke dalam laci. Lalu, aku bergabung dengan Ibu menonton televisi. Meskipun, pikiran masih berlarian dan sibuk m
“Kok Adek tahu?” tanyanya heran.“Tadi pas nomor Asri nelepon, itu … muncul gambar Mas sama anak kecil di foto profilnya. A—Apa Mas … hmmm … masih ada hubungan sama dia?” tanyaku ragu. Namun, aku benar-benar ingin mendapatkan jawaban dari Mas Reza.“Iya, Dek.” Astaghfirulloh … hatiku mencelos luar biasa ketika mendengar jawaban itu dari dia. Rasanya mataku memanas dan mungkin kini sudah berkaca-kaca.“L—Lalu … Mas anggap aku ini apa, Mas?” lirihku dengan sisa-sisa tenaga. “Loh, Adek ‘kan istrinya, Mas? Kok nanyanya gitu, sih?” Mas Reza menatap wajahku lekat. Alis tebalnya saling bertaut. Wajahnya tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ish, dasar cowok! “Buat apa aku dijadikan istri, kalau Mas masih ada hubungan sama Asri.” Aku bicara sambil membuang muka. Aku membelakangi Mas Reza, memberengut dan bersedekap angkuh. “Loh, loh, loh, Dek. Kenapa Adek sangkut-sangkutin status Adek sama hubungan Mas? Asri orang tua tunggal, Dek. Kasihan kalau nggak boleh kerja di kebun Mas.”Aku bergemi
“Kalau nanti Mas ada rejeki, Adek mau dibeliin rumah kayak gimana?” tanyanya. “Gak tahu, Mas. Belum kepikiran. Yang penting nyaman saja ditinggali.” “Oke, Dek.” “Mas mau beliin Adek rumah? Adek gak mau jauh-jauh dari Ibu sama Bapak, Mas.” “Oh gak jauh, kok, Dek.” “Gak jauh? Maksudnya?” “Ahm, anu … maksudnya, nanti nyari rumahnya yang gak jauh, Dek.” Hening lagi. Kami sudah melewati rumah bekas Pak Lurah yang sudah membuat seluruh warga heboh karena, katanya sedang dipasang lift. Hanya saja, tampilan luarnya terlihat biasa saja. Masih sama dengan model rumah yang dulu. Cuma saja terlihat cat dan gentingnya baru, itu saja.“Mas rumahnya kelihatannya biasa ya padahal, Cuma memang luas saja dan dua lantai. Tapi yang pada lihat ke dalam pada heboh, katanya dalemnya mewah. Adek jadi pengen lihat!” tuturku. “Oh, ya sudah siang nanti Mas jemput. Adek mau lihat-lihat?” “Ish, malu lah, Mas.” “Gak apa-apa, Dek. Mia juga sering ke sana. Hampir tiap hari, Dek.” Deg!Hatiku berdentum. Mi
“Oh, kalau ini kami dapatkan borongan satu M lebih, Mbak. Soalnya kayak keramik saja, dirombak total pake marmer yang mahal. Terus kayu-kayu kusen juga diganti semua pakai yang paling bagus!” tuturnya menjelaskan. Aku hampir tergelak ketika melihat ekspresi wajah Mia. Persis seperti orang kehabisan napas ketika mendengar angka yang disebutkan oleh lelaki itu. Hanya saja tepukan pada pundak, membuatku menoleh. “Adek!” “Eh, Mas. Aku cariin dari tadi.” Mia dan lelaki itu menoleh karena suara kami. Aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. “Mbak Arin! Tumben ke sini?” tanya Mia. Dia tergesa meninggalkan lelaki yang tadi dan mendekat ke arah kami.“Iya, ini lagi masak banyak. Buat Mas Reza. Kamu lagi ngapain di sini, Mi?” tanyaku.“Ooo … suami kesayangan ceritanya, ampe dibekelin makan kayak anak TK. Aku lagi cari inspirasi, Mbak. Abisnya warga heboh banget katanya rumah bekas Pak Lurah direnov mewah banget.” “Ooo … mau rombak rumah kamu lagi, Mi? Bukannya baru kelar kemarin?” “Iya, M