LOGINArina memergoki Sandi, calon suaminya menginap di rumah sepupunya. Tak lama berselang, Bibinya datang menangis-nangis meminta agar pernikahan Arina dan Sandi yang sudah di depan mata, dibatalkan. Alasannya begitu membuat Arina terpukul. Sandi, sudah meniduri Mia, sepupunya. Sejak saat itulah, Arina tak percaya lagi pada lelaki. Hingga akhirnya, Arina mendapat julukan perawan tua. Nasib malang, tak berhenti sampai disitu. Bapak Arina yang sudah tua menjodohkannya dengan bujang lapuk dari gunung. Lelaki yang sudah berusia empat puluh tahunan itu memang memiliki wajah tampan, tetapi sangat kampungan dan terlihat pemalu. Arina menerima nasib itu dengan pasrah. Gunjingan dari para tetangga pun semakin menjadi. Namun, rupanya semua kemalangan itu tak bertahan lama. Bujang lapuk yang dianggap kampungan itu, bertubi-tubi memberikan kejutan yang membuat Arina kini selalu disanjung dan dikatakan sebagai perempuan yang sangat beruntung. Sebenarnya, apakah kejutan yang diberikan suami lugunya itu?
View MoreKARMA ITU PASTI ADA
Tak terasa sudah 20 tahun aku bercerai dari suamiku. Karena kesalahannya mendua akibat dibutakan oleh tahta, cinta dan harta. Hem, aku memilih berpisah darinya daripada harus dimadu. Hati ini tak mampu menerima ada perempuan lain yang meninggalkan bekas keringatnya di tubuh suamiku. Meskipun, sebesar gunung dan samudra aku mencintainya.
20 tahun yang lalu, saat aku ingin memberi tahu padanya kalau aku tengah mengandung buah cinta kita berdua, nyatanya kenyataan pahit harus kutelan malam itu. Sebuah senyum manis harus berganti dengan senyum pahit getir. Bahkan aku pun tak mampu lagi mengucapkan sebuah kata sebagai ibarat sangking sakitnya menahan luka pilu itu.
Flash back
"Kalau nanti Mbak Lirna tahu gimana, Mas? Masalahnya, kandunganku sudah mulai terlihat." Langkahku terhenti di depan pintu kamar saat terdengar suara Tania di dalam. Sedang apa dia di kamarku? Pikirku saat itu. Kumantapkan hati mendengar percakapan mereka. Karena ingin tahu siapa yang Tania panggil Mas."Jangan sampai ketahuan dulu. Mas belum siap memberitahu Lirna. Meski Mas sendiri yakin kalau Lirna akan menyetujui jika Mas ijin menikahimu. Mas tahu, Lirna sangat mencintai Mas," jawab pria itu. Ya Allah, itu suara suami dan adikku. Bergetar tangan dan bibir ini. Beberapa kali aku beristighfar. "Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah…."
Inikah sebuah kenyataan yang harus kuketahui? Pantas saja rasanya hati ingin sekali kembali ke rumah. Padahal aku telah berpamitan pada Mas Adrian kalau aku ingin menginap di rumah Ibu. Entahlah, hatiku terasa tidak tenang. Selain itu, aku juga ingin memberitahunya, kalau rasa pusing yang sering dirasa ternyata bawaan hamil muda. Iya, Ibu membawaku periksa ke bidan terdekat dari rumahnya dan ternyata hasilnya positif.
"Sekarang pake bajumu," ucap Mas Adrian.
"Nggak perlu pakai baju lah, Mas. Lagipula Mbak Lirna itu 'kan sedang menginap di rumah Ibunya," balas Tania. Ya Allah, ya Robby … apa ini? ….
"Hem, kalau begitu kita bisa puas menghabiskan malam bersama setelah beberapa hari aku tak sempat menyentuhmu," ucap Mas Adrian lagi. Apa maksudnya? Apa ini sudah menjadi kebiasaan mereka?
"Ternyata mereka … hikz … hikz …." Tega sekali kalian.
Pikiranku salah, ternyata bukan hanya Ibunya yang merebut Ayah dari Ibuku, ternyata dia juga merebut suamiku. Tega sekali, setelah kebaikan yang aku berikan, dia membalasnya dengan cara seperti ini, dan Mas Adrian, kenapa tega melakukannya padaku?
"Mas aku ambil minum dulu di dapur haus," ucap Tania lagi.
Krek!
Pintu terbuka. Wajah Tania terlihat sangat terkejut melihat keberadaanku yang tengah berdiri tepat di depan pintu kamar. Segera aku mengusap air mata yang sudah luruh deras dengan sendirinya. Ku-pandang sinis tubuhnya dari atas hingga bawah yang hanya berbalut handuk.
"M-M-Mbak Lirna!" ucapnya terbata dengan bibir bergetar. Aku masih diam mematung menatapnya. Kulihat, Mas Adrian tengah mengenakan pakaiannya. Setelah itu, menyusul Tania menghampiriku yang masih berdiam diri.
"Lirna," ucap Mas Adrian.
Kuangkat lima jari tangan sebagai pertanda jangan lanjutkan dulu ucapanmu, aku sungguh tidak sanggup mendengarnya. Sepertinya kedua manusia yang menjijikan ini paham maksudku sehingga keduanya pun terdiam.
Urung niatku masuk ke kamar itu, rasanya sangat menjijikan. Kaki pun dengan lunglai melangkah ke ruang keluarga lalu duduk di sofa dengan bibir yang masih terdiam dan pikiran yang entah kemana. Tak lama aku duduk, kedua manusia itu pun datang menganghampiri. Namun, kali ini Tania sudah rapi dengan pakaiannya.
"Maafkan aku, Mbak!" Tania membuka suara dengan wajah yang menunduk. Sedikitpun, tangan ini enggan untuk menyentuh wajahnya meski sekedar untuk memberi pelajaran dengan sebuah tamparan. Jijik! Aku merasa jijik dengan perempuan yang berada dihadapanku saat ini.
Perempuan yang kubela setengah mati saat Ibu enggan untuk merawatnya. Perempuan yang kubesarkan dengan Ibu penuh cinta semeninggalnya Ayahku dan Ibunya karena kecelakaan. Saat itu usiaku 16 tahun dan dia 13 tahun. Karena aku yang bersikeras saat melihatnya menangis di samping jenazah Ibunya, memohon pada ibu untuk membawanya bersama kami.
Sekuat tenaga Ibu menerima anak dari istri kedua Ayahku yang menikah secara diam-diam. Bagaimana kalau Ibu tahu kalau anaknya juga melakukan hal yang sama terhadapku? Pasti Ibu sangat terluka.
"Lirna, maafkan kami." Mas Adrian menepuk bahuku. Membuatku tersadar dari lamunan.
"Jangan sentuh aku, Mas! Aku jijik! Jangan sentuh aku!" bentakku membuat mereka terhentak. Mungkin mereka tidak menyangka dengan reaksiku.
"Suka atau tidak suka, aku mencintai Tania!" Mas Adrian mengaku membuat hati ini bertambah sakit.
"Tania juga mencintai Mas Adrian, Mbak!" Imbuh Tania.
Aku terdiam hanya menatap tajam. Berulang kali ku-usap air mata yang hendak terjun dengan bebasnya.
"Tania rela kok jadi istri kedua, Mas Adrian," ucapnya. Menjijikan … sangat menjijikan!
"Lagi pula, jelas di surat itu, aku bukanlah anak kandung Ayah. Ayah menikahi Ibuku yang sudah menjadi janda dan memiliki anak!" ucapnya dengan enteng.
"Aku mencintaimu, Lirna. Tapi aku juga sangat mencintai Tania. Ijinkan, aku menikahi, Tania."
"Aku Janji akan berlaku adil. Sekarang aku lega, karena kamu sudah tahu kebenarannya. Aku harap kamu mau menerima kenyataan ini dan menyetujui keinginanku untuk menikahi, Tania," ucapnya dengan enteng dengan wajah tanpa dosa. Sungguh aku hanya bisa beristighfar untuk menenangkan hatiku.
"Lagi pula Mas Adrian kaya dan beruang. Pasti Mas Adrian bisa berlaku adil. Mbak Lirna juga tidak akan kekurangan uang," ucap Tania meyakinkan.
Kutuang air minum ke dalam gelas dan menyiramkannya ke wajah Tania.
"Berdebah kau anak perempuan murahan!" makiku. Ingin rasanya aku menampar wajahnya, namun aku enggan untuk menyentuh tubuhnya.
"Apa-apaan ini, Mbak!" bentaknya.
"Itu memang pantas untuk kamu. Perempuan menjijikan! Ternyata kamu sama dengan Ibumu yang seorang penggoda! Dulu Ibumu merebut Ayahku dari tangan Ibuku. Dan sekarang kamu merebut Suamiku! Ternyata istilah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya itu memang benar adanya!" hinaku.
"Jaga ucapanmu, Mbak! Jangan bawa-bawa Ibuku yang telah meninggal! Ibu tidak pernah menggoda Ayah! Ayah yang datang pada Ibu!"
Cih! Pandai sekali berkilah. Mana ada orang salah yang mau mengakui kalau dia salah, terkecuali orang yang masih punya hati dan rasa malu. Pasti akan mengakui kesalahannya.
"Mas Adrian! Aku tidak mau dimadu! Pilih antara aku dan Tania!" kali ini mataku beralih pada suamiku yang lebih banyak diam. Ibarat kerupuk, renyah di dalam kaleng. Namun, akan melempem jika di luar kaleng.
"Mas! Kamu udah janji mau nikahin aku! Inget, Mas aku sedang hamil anak kamu! Kalau sampai kamu nggak mau nikahi aku, aku akan berbuat nekat dan kamu juga bisa masuk penjara!" ancam Tania dengan raut wajah yang benar-benar terlihat takut.
"Aku mohon, Lirna. Jangan buat aku memilih. Kenyataannya aku tidak mampu memilih. Aku mencintai kalian berdua. Percaya sama aku, aku bisa berbuat adil. Lagipula Tania juga mau menjadi istri keduaku," sahut Mas Adrian.
"Enteng sekali kamu mengucap kata itu, Mas! Kamu kira, aku akan bisa memenuhi permintaanmu karena aku sangat mencintaimu, begitu, Mas?" Mereka terdiam.
"Hari ini cintaku untukmu sudah hilang! Hanyut terbawa luka kebencian yang kau torehkan!" tegasku.
"Kalau begitu, aku memilih untuk menikahi, Tania," ucap Mas Adrian.
" Dan aku akan memberimu separuh dari hartaku," lanjutnya.
"Tidak perlu, Mas. Aku tidak memerlukan hartamu! Sedikitpun, haram bagiku menyentuh sesuatu yang berasal darimu. Aku memiliki ketrampilan dan kemampuan. Itu semua akan kupergunakan untuk mencapai sebuah kesuksesan!"
" Bukan untuk mencapai hasrat apalagi untuk merebut suami orang," balasku sinis sembari melirik pada Tania.
"Dan untuk kamu, Tania, aku berdoa sesuatu hal yang baik untukmu. Percayalah, segala sesuatu yang kau tanam akan mendapatkan balasan. Tidak sekarang tapi bisa dimasa yang akan datang. Kalian bersenang-senanglah dan nikmati hidup bahagia diatas penderitaanku!" ucapku seraya berlalu. Aku akan pergi ke rumah Ibu.
Seminggu setelahnya, Mas Adrian dan Tania datang ke rumah Ibu. Awalnya aku bingung mereka ingin apa. Namun, tiba-tiba Tania dengan angkuhnya mengeluarkan sebuah undangan pernikahan dan memberikannya pada Ibu. Ibu meminta penjelasan pada Tania. Dengan membusungkan dada, Tania pun menceritakan semua pada Ibu. Aku sudah berusaha menahan Tania saat melihat Ibu memegangi dadanya. Namun, Tania justru semakin bersemangat. Ibu yang memang memiliki riwayat jantung, seketika penyakitnya kumat. Aku segera menghampiri Ibu yang mendadak terjatuh.
Takut!
Itu yang kurasa.
"Kamu harus bahagia, Lirna. Kamu harus kuat dan buktikan pada suami serta Adikmu kalau kamu akan bahagia melepas mereka untuk bersama" ucap Ibu sambil menggenggam erat tanganku. Menangis aku melihat Ibu yang lemah.
"Iya, Bu. Lirna pasti akan kuat. Tania bukan Adik, Lirna, Bu," jawabku dengan derai air mata."Ashadu-Alla-Ilaha-ilalah-Waashadu-anna-m-muhamada-r-ra-su-lul-lu-lah," ucap Ibu terbata dan perlahan menutup matanya.
"Ibu!" teriakku histeris. Ya Allah, kedua orang itu hanya menatapku. Tidak ada reaksi apapun. Allah, terbuat dari apa hatinya.
Setelah Ibu meninggal, hatiku merasa sangat hancur. Kehancuran itu bertambah ketika Mas Adrian benar-benar melangsungkan pernikahan sehari setelahnya, dan setelah itu, aku pun memutuskan pergi dari kehidupan mereka, menjauh membawa anakku yang masih dalam kandungan untuk mencari kebahagiaan ….
Kenangan pahit masalalu....Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore