“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
“Suaminya si per4w4n tua ganteng juga, ya? Padahal katanya dari gunung, terus sudah berumur. Bayangan saya awalnya sudah kayak kakek-kakek gitu. Eh ternyata lebih ganteng dari mantannya, ya.” “Iya saya juga kaget pas kemarin datang, kok malah kelihatan gagah gitu, kulitnya hitam manis bikin kesemsem, apalagi idungnya beuh mantep banget mancung ke depan!” “Mau seganteng apapun, tetap saja gak bisa nyaingin Sandi---anak saya. Sampe si Arina jadi per4w4n tua ‘kan gara-gara gak bisa move on dari Sandi. Apalagi masalah dompet, pasti kalah ke mana-mana. Cuma ya saya lebih suka sama Mia waktu itu, soalnya lebih modis. Gak kampungan kayak si Arina. Lagian males banget sama Bapaknya si Arina, kata suami saya utangnya bekas Ibunya si Arina dulu operasi belum dibayar-bayar juga. Dua puluh juta loh, Bu Ibu. Saya curiga kalau Bapaknya Arina sengaja suruh anaknya deketin Sandi biar utangnya lunas, heh, enak saja. Jadi saya suruh si Sandi deketin Mia saja. Buktinya mereka bener-bener bahagia. S
"Kalau habis jual beras hasil hajatannya! Jangan lupa bilang sama Ibu kamu, Rin! Bayar utangnya! Dua puluh juta loh, sudah lama!” Suara Ibunya Mas Sandi kudengar cempreng. Aku menelan saliva lalu menoleh. Namun, belum sempat aku menjawab, perhatianku teralihkan pada sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja turun dari sepeda motor butut. Kemeja sederhana dan celana panjang dia kenakannya. “Mohon maaf kalau mertua saya punya utang, Bu! Berapa utangnya tadi, Bu?” tuturnya dengan santun dan wajah tetap terlihat ramah.Bu Ambar---Ibunya Mas Sandi menoleh. Dia tampak tak berkedip beberapa detik, sampai akhirnya dia mencebik lalu bicara, “Oh jadi ini menantunya Si Imah? Kampungan gini, mana sebanding sama Sandi?” kekehnya sambil melirik ke arahku. “Iya, Bu. Saya menantunya Bu Imah. Mohon maaf, utang mertua saya berapa, ya, Bu?” Mas Reza terlihat masih saja bersikap sopan, padahal Ibunya Mas Sandi memandangnya dengan merendahkan. Apalagi suamiku hanya mengenakan sandal japit, kemeja yang wa
Tiba di rumah, aku dibuat tercengang. Bukan apa-apa, para tetangga tengah berkerumun. Di depan rumahku tampak dua mobil yang sedang terparkir dan isinya beragam furniture. Beberapa orang tengah sibuk menurunkannya dan menggotongnya ke teras rumah. Aku berjalan tergesa, heran. Siapa yang membawa barang-barang sebanyak ini ke rumahku? “Loh ini ada apa, ya?” tanyaku sambil mendekat. Beberapa tetangga menoleh padaku sambil berdecak. “Wah pasti kemarin hasil amplopnya banyak ya, Rin? Sampe-sampe bisa borong furniture mahal-mahal kayak gini?” tanya Bi Mae---tetangga samping rumah. Dia sibuk mengusap-usap ukiran lemari pakaian tiga pintu yang masih ada di atas mobil pick up. “Amplop? Borong?” Aku menggaruk kepala dan menautkan alis. Masih shock dengan beragam perabotan kayu jati yang tampak berat-berat itu."Iya 'kan habis bukain amplop, langsung borong-borong! Dapet berapa gitu, Rin?" tanya Bi Mae lagi. Namun, belum sempat kumenjawab, suara Bi Icah terdengar menyela. “Arina, Arina! Kamu
"Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan sibuk menunggu jawaban. Mas Reza menggaruk kepala. Dia menatapku lekat-lekat dengan terlihat merasa bersalah. “Maafin Mas kalau adek gak suka. Orang tua Mas kemarin denger omong-omongan tetangganya Adek. Katanya gini, pantas saja ada yang mau, dimurahin kayaknya. Maharnya masa cuma seratus ribu, terus di sini ‘kan kalau anak perawan itu biasanya dibawain perabotan, seserahan, bukan kayak gini doang.”“Terus ada lagi yang nyeletuk, namanya juga per4w4n tua, ada yang mau saja sudah syukur. Lagian kayaknya nikahnya juga cuma asal sah saja, paling habis beberapa hari juga cerai, yang penting sudah kehapus gelarnya, gak per4w4n tua lagi.” Aku mendengarkan Ma
“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!” Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.“Uang palsu?” Mas Reza menoleh pada Bi Icah dengan alis bertaut. Para tetangga sudah mulai berbisik-bisik. “Jadi orang itu yang jujur, bukan rela ngelakuin apa saja biar kelihatan wah. Kamu cuma bakal jadiin keluarga kakak saya dalam masalah saja, Reza. Kamu gak takut polisi, ngedarin uang palsu? Kirain dari gunung,orangnya lugu, eh belagu.” Bi Icah seperti punya angin segar untuk menyerang. Sudah sejak tadi dia seperti kesal, eh ada kesempatan.Mas Sandi tampaknya baru sadar kalau ada Ibu mertuanya. Dia menoleh