05
Hendri dan Wirya termangu, sesaat setelah mendengarkan penuturan Yuanna, tentang kejadian di pusat kota sore tadi. Kedua sahabat itu saling melirik, kemudian mereka sama-sama menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu.
Hendri berpikir cepat. Dia yakin jika ada yang tidak beres, yang sedang melingkupi Martin. Hendri akhirnya menerangkan maksudnya untuk menyelidiki tempat proyek yang sedang dikerjakan Martin. Namun, dia meminta Wirya dan Yuanna merahasiakannya.
"Kapan kamu mau ke sana?" tanya Wirya.
"Pengennya, sih, secepatnya," sahut Hendri.
"Kekejar nggak waktunya? Kamu, kan, mau ke Sydney."
Hendri tertegun sesaat. "Aku mau minta gantiin Gunther aja buat kunjungan ke sana."
"Lalu, yang nemenin kamu, siapa? Z mau ke Filipina bareng Naizar dan Izra."
"Mau nggak mau, aku maksa Bayu dan Ubaid buat ikut. Karena Gunther gantiin aku. Emyr sama Kenzie juga sibuk keliling Indonesia. Di kantor sisa Gilang, Rini dan Gwen. Enggak mungkin aku ngajak mereka ke proyek itu."
"Ajak Nirwan."
"Dia nggak ngawal Bhadra?"
"Nanti aku minta pengawal cadangan buat dampingin Bhadra. Biar Nirwan bisa ikut kamu."
"Baeknya Abang W, nih." Hendri merangkul pundak iparnya dari samping kanan.
"Aku cuma mau ngelindungin kamu. Supaya adikku nggak jadi janda."
"Patah hati aku. Kirain kamu ngirim Nirwan, karena benar-benar mencintaiku."
Wirya berdecih. "Jangan drama. Itu bagian Sipitih."
"Apa kabar Bang Yan, Bang Varo dan yang lainnya?" celetuk Yuanna.
"Mereka sehat. Sekarang Varo and the gank lagi jumpalitan gantiin tugasku yang harus jadi Ayah siaga," ungkap Wirya.
"Salut aku sama Abang dan teman-teman PBK. Kompak banget," ungkap Yuanna.
"Harus begitu, Dek. Supaya PBK tetap jalan, semuanya mesti saling bantu."
Kemunculan Martin dan Dimas menjeda pembicaraan itu. Hendri mengalihkan percakapan mengenai rencana pembentukan grup bisnis baru, yang digagas bos PG dan PC.
PG adalah singkatan dari perusahaan gabungan yang beranggotakan 50 pebisnis muda Indonesia. Sementara PC adalah perusahaan cabang dari luar PG, ataupun grup bisnis baru bentukan bos PG.
Wirya, Hendri dan Zein tergabung dalam PC. Sedangkan Martin, Bayu dan Ubaid merupakan anggota PCD, yakni PC Dua. Sebab anggota PC sudah mencapai 100 orang, akhirnya Artio Laksamana Pramudya, komisaris PG, membuat PCD untuk menampung anggota baru, yang belum ikut di PC.
Artio yang akrab dipanggil Tio, adalah putra sulung Sultan Pramudya, salah satu konglomerat Indonesia. Tio dan Alvaro, iparnya, membentuk PB, yaitu perusahaan jasa keamanan khusus sekuriti. Mereka juga membuat PBK yang khusus menangani pengawal, dan Wirya adalah direktur utamanya.
Tio yang menjadi penggerak rekan-rekannya di PG, mendorong semua anggota untuk membuat perusahaan baru. Baik khusus anggota PG, ataupun gabungan dengan para bos PC.
Alvaro, Wirya, Hendri dan Zein, telah membentuk beberapa perusahaan baru. Mereka menyerahkan pengelolaan setiap bisnis itu pada kedua puluh pengawal muda lapis tiga dan empat, yang telah dilatih berbisnis oleh para petinggi PBK.
***
Hari berganti, Minggu malam, Martin berpamitan pada Arsyad dan yang lainnya. Dia hendak kembali ke tempat proyek, dengan diantarkan Aditya yang akan mengecek anggota sekuriti di sana.
Aditya dan rekan-rekannya di PBK, dikerahkan untuk menjadi pengawas sekuriti di seluruh unit kerja di seluruh Indonesia, dan beberapa negara lainnya.
Hendri memandangi hingga mobil MPV biru itu menghilang dari pandangan. Kemudian dia berbalik untuk membantu istrinya mengangkut barang ke mobil MPV putih milik Wirya.
Sekian menit berlalu, Hendri melambaikan tangan untuk melepas kepergian Irshava yang hendak pulang ke Jakarta bersama Wirya dan Delany.
Dimas yang mengemudikan mobil itu, menekan klakson sebagai tanda berpamitan. Kemudian dia memacu kendaraan keluar pekarangan.
"Akang, isukan berangkat jam sabaraha?" tanya Zainab, sesaat setelah mereka kembali ke ruang tamu.
"Siang, Bu. Habis zuhur," jawab Hendri sembari duduk di sofa panjang berdampingan dengan adiknya.
"Jeung saha?"
"Ubaid, Bayu dan Nirwan."
"Lama teu di ditu?"
"Lihat sikon aja. Aku pengen nuntasin penyelidikan di tempat proyek."
"Jangan lama-lama misah sama istri. Apalagi kalian sedang program kehamilan."
"Ya."
Sementara itu, Aditya berulang kali mengamati cermin kecil di bagian atas. Bulu kuduknya sudah meremang sejak mobil keluar dari gerbang perumahan, di mana rumah Arsyad berada.
Aditya telah dibekali banyak doa dan beberapa botol air yang telah dibacakan doa oleh Arsyad. Namun, tetap saja pengawal lapis tiga itu khawatir jika ada penumpang tidak terlihat di kursi belakang.
"Dit, ngerasa nggak? Kayaknya kita lagi diperhatikan," tukas Martin.
"Kirain aku, doang, yang ngerasa gitu," balas Aditya.
"Aku mau ngomong, tapi nanti kamu takut."
Aditya menggeleng. "Aku sudah biasa ngerasa kayak gini. Terutama sejak ikutan olah napas."
"Apa kamu bisa melihat makhluk astral?"
"Enggak. Di tim lapis tiga, cuma Jauhari yang punya insting tajam tentang makhluk halus. Tapi dia juga cuma bisa ngelihat sekilas. Nggak bisa kayak Kang Hendri."
Martin mengangguk paham. "Bang W kayaknya makin mumpuni."
"Hu um. Dia sama Bang Zulfi memang lagi belajar olah napas level selanjutnya ke Kang Hendri. Bang Varo juga, tapi dia nggak bisa konsisten. Cuma sekali-sekali ikut latihan."
"Di Jakarta, latihannya di mana?"
"Lantai tiga mess dua. Yang sebelah kiri rumah Bang W."
"Oh, yang punyanya Cici Lien?"
"Ya."
"Aku baru tahu kalau di sana ada tiga lantai."
"Yang paling atas itu tadinya gudang dan tempat cuci jemur. Setelah gudang dipindahkan ke mess bodyguard lady, yang itu dilowongkan Bang W khusus buat tempat latihan."
"Berapa banyak mess PBK?"
"Yang di sekitar rumah Bang W, ada 4. Samping kiri, belakang, lalu rumah Bro Panglima dan Mahapatih. Mess satu, di rumah Bang Varo."
"Ada tempat lain lagi?"
"Ya. Ada di komplek sebelah kanan. 7 rumah punya Bang W, Bang Zulfi, Bang Yoga, Bang Andri, Mas Haryono, Bang Varo dan Bang Yanuar, dibuat jadi 14 rumah tipe 21. Itu khusus buat pengawal muda yang sudah menikah, tapi belum punya rumah."
"Mess lain, rumahku, rumah Yusuf, Dimas dan Syuja. Masing-masing diisi 8 orang pengawal muda angkatan yang baru-baru. Masih di kompleks yang sama dengan rumah Power Rangers tadi, hanya beda blok," lanjut Aditya.
"Untuk mess bodyguard lady dua, tiga dan empat, ngisi rumah Sanjaya, Fawwaz dan Ibrahim. Letaknya di seberang rumahku," ungkap Aditya. "Sekarang lagi diklat pengawal baru. Angkatan ini nanti ditempatkan di rumah lama punya Hisyam. Ada di blok paling ujung kompleksnya Bang W," pungkasnya.
"Hisyam kapan pulang dari London?" tanya Martin.
"Mau lebaran nanti dia pulang. Libur 3 minggu, lalu balik lagi ke sana," jelas Aditya.
"Enggak netap di Jakarta?"
"Akhir tahun ini kontraknya selesai. Baru dia pindah ke sini."
Aditya tiba-tiba terdiam saat merasakan hawa dingin di belakang. Aditya melirik Martin yang juga tengah memandanginya sembari mengerutkan dahi.
Aditya mendengkus kuat. Dia meraba saku celana hitamnya, lalu merogoh saku untuk mengambil bungkusan plastik.
Aditya membuka ikatan plastik dan mengeluarkan isinya ke telapak tangan kanan. Aditya melafazkan doa yang diajarkan Hendri, kemudian dia melemparkan bubuk bidara ke belakang kursi.
65Bulan berganti. Proyek KARZD akhirnya rampung. Pagi itu diadakan peresmian bangunan yang akan menjadi pusat bisnis sepanjang hampir 1km. Ketiga bos HWZ dan keluarga, serta para tamu undangan, memenuhi lobi utama gedung yang akan menjadi pusat kegiatan di kawasan strategis ituKeluarga Danantya, Pramudya, Baltissen dan Adhitama juga turut hadir. Selain mereka, beberapa sahabat Martin di PC dan PCD juga menghadiri acara penting bagi KARZD. Setelah Hendri dan Martin menyampaikan pidato, Mulyadi menaiki panggung untuk membacakan doa, yang diikuti hadirin dengan khusyuk. Selanjutnya, acara pengguntingan pita yang dilakukan kelima komisaris perusahaan tersebut. Zein dan Martin mengapit Wirya, Zulfi dan Hendri. Mereka bersama-sama memotong pita, kemudian mereka mempersilakan ketiga bocah untuk memencet tombol. Bayazid, Fazluna dan Rhetta, berseru ketika berbagai hiasan dari kertas mengilat, muncul dari lantai dua dengan diiringi aneka pita kecil berwarna-warni. Puluhan menit terlewati
64Jalinan waktu terus bergulir. Semua anggota rombongan penembus lorong waktu, telah kembali ke kediaman masing-masing dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Yìchèn yang menetap di kediaman Frederick Adhitama, telah membaca surat panjang dari Shin Hung. Bersama Qianfan dan yang lainnya, Yìchèn juga sudah membahas isi surat dan silsilah keluarga Chow serta Shin Fung. Dua minggu berlalu, Martin dan tim Bandung mendatangi Yìchèn di Jakarta. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan tentang isi surat itu. "Koko yakin mau berangkat ke sana?" tanya Martin sambil memandangi kembarannya lekat-lekat. "Ya, tapi tidak sekarang," jawab Yìchèn. "Lalu, kapan?" desak Martin. "Menunggu aku punya identitas sendiri." "Oh, belum selesai, ya?" Yìchèn mengangguk mengiakan. "Pengacara keluargaku tengah mengurusnya." Martin mengangkat alisnya. "Keluarga Koko?" "Ya. Aku sekarang jadi bagian dari keluarga PBK." Martin mengulaskan senyuman. "Betul juga, sih." "Koko mau diangkat anak sama Papa
63Bau angit sisa-sisa kebakaran, yang sempat memenuhi area kanan belakang kantor pengelola proyek KARZD, perlahan menghilang. Matahari pagi bergerak cepat memutari bumi. Siang menjelang dengan diiringi gerimis, yang menyebabkan tanah di sekitar gudang kecil menjadi basah. Tim tiga dan empat berjibaku membangun tenda, dengan dibantu Seno, Ridho, dan Muchlis. Maman, Jajang, dan para petugas keamanan, juga turut membantu menjadi penyedia konsumsi. Dua lampu sorot besar diarahkan ke pintu gudang yang ditutupi kain hitam. Empat lampu lainnya digunakan untuk penerangan sekitar tenda, yang dibangun memanjang dari depan gudang kecil hingga ujung gudang besar. Yuanna merapikan lipatan handuk dan pakaian ganti buat anggota rombongan yang berada di lorong waktu. Sedangkan Gantari dan Sinta menyusun bungkusan plastik bening yang berisikan kue-kue serta minuman. Arsyad jalan mondar-mandir di sisi kanan tenda. Dia benar-benar khawatir, karena kelompok Zainal dan Hendri belum juga muncul. Pada
62Seorang pria tua menyambut rombongan Yìchèn dengan penghormatan. Dia memberikan bungkusan kain pada orang terdepan, yakni Dante. Keduanya bercakap-cakap sesaat, sebelum lelaki tua membuka pintu bangunan kecil itu. Cahaya terang seketika terpancar dari dalam. Semua orang di bagian depan menyipitkan mata, kemudian mereka berbaris dua orang, sesuai arahan Wirya. Yìchèn yang berpindah ke depan bersama Freya, memberi hormat dengan sedikit membungkuk pada suami Shin Fung, dan keluarga Chow, yang membalas dengan hal yang sama. Yìchèn menegakkan badan, lalu menunggu kedua orang terdepan memulai perjalanan mereka menuju masa modern. Hendri dan Zein menggerak-gerakkan kedua tangan mereka membentuk jurus halus olah napas. Keduanya serentak menembakkan tenaga dalam ke cahaya, yang seketika meredup dan memperlihatkan kumparan kabut tebal yang tidak terlalu terang. Hendri dan Zein melangkah bersamaan. Ubaid dan Bayu mengikuti di belakang. Keempatnya bekerjasama menembakkan tenaga dalam ke s
61Langit malam dipenuhi jutaan bintang. Rembulan memamerkan bentuknya yang sempurna, hingga mampu sedikit menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi di sekitar halaman depan kediaman keluarga Shin Fung, dan menyebabkan dedaunan di pohon-pohon itu bergoyang dengan pelan. Puluhan orang memenuhi seputar halaman. Mereka menonton ritual sembahyang ala orang Tiongkok, yang dilakukan Shin Fung, keluarga Chow, Yìchèn dan Qianfan. Chyou dan kelompok berselempang kain merah, berjaga-jaga di dekat tempat pemujaan. Kelompok Wirya yang menggunakan selempang biru, bersiaga di sekitar area sebagai lapisan kedua. Pasukan Ming Tianba menjadi pelindung utama di seputar rumah besar. Mereka bergantian mengawasi jalanan, supaya bisa mendeteksi pergerakan dari luar. Sebab saat itu masih zaman penjajahan Belanda, semua warga harus berhati-hati dalam mengadakan aktivitas yang melibatkan banyak orang. Kendatipun Shin Fung dan Tan Liu Chow telah mendapatkan izin dari pejabat setempat untuk melakukan per
60Rombongan pimpinan Chyou tiba di depan rumah besar berarsitektur khas zaman dulu. Batu hitam menghiasi sisi bawah dinding, sedangkan bagian atasnya di-cat putih. Shin Fung mempersilakan semua orang memasuki ruangan. Dia penasaran, karena tidak ada seorang pun yang membuka kain penutup di wajah mereka. Selain itu, nyaris tidak ada yang berbincang. Selain Yìchèn, Qianfan, dan beberapa pengawal berselempang kain merah.Para pelayan bergegas menyuguhkan minuman dan makanan di belasan meja besar. Loko, Michael, Gibson dan Cedric mengelilingi setiap meja untuk mengecek, apakah ada racun pada hidangan. Shin Fung membatin, bila sepertinya anak buah Yìchèn memahami berbagai cara pengamanan, dan hal itu kian meningkatkan rasa keingintahuannya. "Saya belum tahu nama Tuan," ujar Shin Fung sambil memandangi pria berbaju cokelat di kursi sebelah kanannya. "Saya, Vong Qianfan," jawab lelaki yang rambutnya telah dihiasi uban. "Berasal dari mana?" "Guangzhou." "Bagaimana Tuan bisa bertemu de