Share

Bab 06

Author: Olivia Yoyet
last update Huling Na-update: 2025-01-31 18:53:42

06

Pagi itu, Martin dan Aditya telah berada di TKP. Mereka memerhatikan para pekerja yang sedang berjibaku untuk memadatkan tanah lapisan terbawah. 

Martin berbincang dengan Muchlis dan Ridho, di saung tempat pekerja beristirahat. Aditya memutari lokasi sembari memotret beberapa hal yang menurutnya penting. 

Aditya berhenti beraktivitas ketika melihat beberapa orang yang sedang mengarit di seberang. Asisten Yoga tersebut penasaran dan segera mendatangi keempat orang bertopi caping. 

Sebab bukan orang Sunda, Aditya akhirnya menyapa mereka dengan bahasa Indonesia. Dia meringis ketika pria paruh baya di hadapannya menyahut dengan bahasa Sunda yang cepat. 

"Mohon maaf, Pak. Bahasa Sunda saya terbatas. Jadi kita ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja," pinta Aditya yang dibalas anggukan pria berkaus hitam di depannya. 

"Ya, Kang. Mangga," tukas lelaki tua sambil membetulkan letak capingnya. 

"Bapak warga asli sini?" 

"Muhun." 

"Rumahnya, jauh?" 

"Enteu. Sakitar sakilo. Kanan tea." Pria itu menunjuk tempat yang dimaksud. 

"Di belakang bukit itu?" 

"Muhun, Kang." 

"Ke sini, pakai apa?"

"Motor." Lelaki tua mengarahkan tangan kanan ke lahan kosong di sisi kiri, di mana ada dua unit motor di sana.

"Bapak pernah dengar tentang ular yang kemarin? Maksud saya, yang sempat muncul dan melilit kaki pekerja." 

Pria tua itu tertegun, lalu dia berbisik, "Jangan disebut, Kang. Dia suka muncul kalau ada yang manggil." 

"Dia?" 

"Oray, tea." 

Aditya mengingat-ingat arti kata oray, kemudian dia mengangguk paham. "Sebelumnya, apa dia pernah muncul?" 

"Ya. Sekitar beberapa kali. Terutama setelah tanah di sini diperjualbelikan beberapa orang." 

"Bapak tahu? Ada yang bilang, kalau itu jelmaan penunggu sungai. Walaupun saya nggak terlalu paham tentang dunia mistis, tapi saya percaya jika ada penunggu di tempat-tempat tertentu." 

Sang bapak mengangguk mengiakan. "Muhun, Kang. Dari Bapak kecil, memang sering dengar cerita orang-orang tua di kampung, tentang penunggu tempat ini." 

"Tempat ini? Bukan sungai?" 

Pria bertopi caping menggeleng. "Dulu, ada cerita tentang pemilik pertama tanah ini. Mereka orang China. Lalu, mereka menghilang. Setelahnya, penunggu itu mulai muncul. Mungkin buat menjaga tempat ini." 

"Apa makhluk itu pernah menyerang orang lain? Selain pekerja yang kemarin." 

"Bapak pernah dengar, ada yang digigit dan dibelit sampai kakinya patah. Katanya, sih, mereka tengah mencari harta karun, karena orang China itu kaya raya. Kabarnya, dia punya ruang bawah tanah. Tapi, sampai sekarang teu aya yang pernah nemu ruangan rahasia itu." 

Sementara itu di tempat berbeda, Hendri tengah mencari informasi tentang tanah proyek, melalui internet. Dia memelototi layar laptop sembari mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut pendek. 

Pria berkemeja biru tua, benar-benar penasaran, karena informasinya tidak detail. Hendri hanya menemukan pemilik tanah terakhir, yakni Abdan Nayyara, salah satu pengusaha tua yang cukup terkenal di Jawa Barat. 

Abdan tengah mengalami krisis keuangan sejak beberapa tahun silam. Hingga pria tua itu terpaksa melepas harta benda bergerak maupun yang tidak bergerak. 

Saham Nayyara Grup, 50%-nya telah diakuisisi Baltissen Grup. Nandi, keponakan Abdan adalah asisten direktur utama Baltissen. Nandi berhasil membujuk para bos perusahaan besar itu untuk membeli saham Nayyara. Agar Abdan bisa bernapas lega, dan perusahaannya tidak gulung tikar. 

Selain saham, Abdan juga menjual hampir semua tanahnya yang berada di seputar Kota Bandung. Martin membeli salah satu tanah itu, setelah dihubungi Jimmy, rekannya sesama pengusaha muda, yang merupakan calon suami Shireen, anak bungsu Abdan. 

Selain Martin, Linggha Atthaya Pangestu, Giandra Ardianto, Fairel Atthariz Calief, dan Arman Rinaldi, juga turut membeli beberapa tanah lainnya. Mereka adalah anggota PG. 

Hal serupa juga dilakukan Nazeem Kagendra, yang merupakan teman lama Abdan. Melalui putra sulungnya, Farisyasa, Nazeem membeli beberapa bidang tanah yang dialihkan Farisyasa menjadi kompleks perumahan kuldesak. 

Demi menuntaskan bisnis barunya itu, Farisyasa menggandeng HWZ, yakni perusahaan kontraktor yang dimiliki Hendri, Wirya dan Zein. 

"Kang," panggil seorang perempuan sembari memasuki ruangan. 

"Ya, Gwen. What happen aya naon?" tanya Hendri sembari memandangi direktur keuangan yang sedang merapikan duduknya di kursi seberang meja. 

"Kata Gilang, Akang mau ngecek proyeknya Martin." 

"Hu um." 

Gwen mengeluarkan bungkusan putih dari tas dan meletakkan benda itu ke meja. "Bawa ini." 

"Naon eta?" 

"Titipan Nini." 

Hendri terdiam sesaat, lalu dia mendengkus. "Ninimu pasti bisa lihat duluan. Aku ketinggalan mulu." 

Gwen mengulum senyuman. "Beliau lebih hebat dari kita." 

"Itu dia. Susah benar mau nyamain kemampuan Nini." 

"Jangankan beliau. Kelompok kita aja belum ada yang bisa ngelewatin Pak Mulyadi." 

"Zein sedang menuju ke sana. Lagi rajin tirakat dia." 

"Akang nggak nyoba?" 

Hendri menggeleng. "Aku lagi fokus ke program kehamilan. Bagian itu, biar Zein, Bayu dan Ubaid yang maju." 

Matahari bergerak naik dengan cepat. Siang bergeser ke ufuk barat dan menciptakan semburat senja yang memukau siapa pun yang melihatnya. 

Seunit mobil MPV abu-abu berhenti di depan bangunan tiga lantai. Keempat penumpangnya keluar sambil membawa tas masing-masing. 

Tidak berselang lama mereka telah berada di salah satu kamar di lantai dua. Hendri menunggu kedua petugas mengemasi extra bed. Kemudian dia memberikan tips pada keduanya, yang segera keluar seraya tersenyum. 

Sekian menit berlalu, pintu kamar itu diketuk. Nirwan membukakan pintu, lalu dia memberi hormat pada sang senior yang membalas dengan anggukan. 

Aditya memasuki ruangan luas sambil menenteng bungkusan plastik bening. Dia menyalami ketiga sahabat Wirya tersebut, kemudian Aditya duduk di kursi samping kanan Hendri. 

Sang pengawas mengeluarkan kotak makanan ke meja. Seketika aroma harum menyergap indra penciuman, dan menjadikan keempat orang lainnya bersemangat untuk menyomot potongan martabak telur. 

"Sudah dapat info, Dit?" tanya Hendri di sela-sela mengunyah. 

"Cuma sedikit, Kang," jawab Aditya yang turut menikmati hidangan bawaannya. 

"Jelasin. Biar besok aku teruskan nyari infonya." 

"Ini tentang pemilik tanah pertama. Yaitu, keluarga keturunan Cina." 

"Namanya?" 

"Itu yang aku belum tahu. Harus nanya ke disdukcapil atau orang di kantor kecamatan." 

"Ehm, oke. Lanjut." 

"Keluarga itu punya tanah sepanjang hampir 1 kilometer. Hitunganku, dari perempatan besar itu, sampai ujung proyek." 

"Luas banget berarti." 

"Ya. Tapi, untuk lebih jelasnya lagi memang harus nanya yang lebih paham."

"Besok Ubaid yang ke kantor kecamatan. Karena aku, Bayu dan Nirwan, mau ngecek sungai di bawah bukit." 

"Nah, Kang. Ternyata legenda penunggu sungai itu salah." 

"Maksudnya?" 

"Menurut informasi yang kudapatkan tadi pagi, penunggu itu sebenarnya menjaga tanah proyek." Aditya mengambil alat perekam kecil yang selalu dikantonginya ke mana-mana. "Kalian dengar ini," lanjutnya sambil menekan tombol play. 

Selama beberapa menit berikutnya, Hendri dan rekan-rekannya mendengarkan percakapan antara Aditya dengan pria tua yang mengaku bernama Maman.

Alis Hendri bertaut, saat Maman mendongeng tentang keluarga keturunan Cina yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Selain keluarga itu, kedua asisten rumah tangganya pun turut lenyap. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 65

    65Bulan berganti. Proyek KARZD akhirnya rampung. Pagi itu diadakan peresmian bangunan yang akan menjadi pusat bisnis sepanjang hampir 1km. Ketiga bos HWZ dan keluarga, serta para tamu undangan, memenuhi lobi utama gedung yang akan menjadi pusat kegiatan di kawasan strategis ituKeluarga Danantya, Pramudya, Baltissen dan Adhitama juga turut hadir. Selain mereka, beberapa sahabat Martin di PC dan PCD juga menghadiri acara penting bagi KARZD. Setelah Hendri dan Martin menyampaikan pidato, Mulyadi menaiki panggung untuk membacakan doa, yang diikuti hadirin dengan khusyuk. Selanjutnya, acara pengguntingan pita yang dilakukan kelima komisaris perusahaan tersebut. Zein dan Martin mengapit Wirya, Zulfi dan Hendri. Mereka bersama-sama memotong pita, kemudian mereka mempersilakan ketiga bocah untuk memencet tombol. Bayazid, Fazluna dan Rhetta, berseru ketika berbagai hiasan dari kertas mengilat, muncul dari lantai dua dengan diiringi aneka pita kecil berwarna-warni. Puluhan menit terlewati

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 64

    64Jalinan waktu terus bergulir. Semua anggota rombongan penembus lorong waktu, telah kembali ke kediaman masing-masing dan menjalankan aktivitas seperti biasanya. Yìchèn yang menetap di kediaman Frederick Adhitama, telah membaca surat panjang dari Shin Hung. Bersama Qianfan dan yang lainnya, Yìchèn juga sudah membahas isi surat dan silsilah keluarga Chow serta Shin Fung. Dua minggu berlalu, Martin dan tim Bandung mendatangi Yìchèn di Jakarta. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan tentang isi surat itu. "Koko yakin mau berangkat ke sana?" tanya Martin sambil memandangi kembarannya lekat-lekat. "Ya, tapi tidak sekarang," jawab Yìchèn. "Lalu, kapan?" desak Martin. "Menunggu aku punya identitas sendiri." "Oh, belum selesai, ya?" Yìchèn mengangguk mengiakan. "Pengacara keluargaku tengah mengurusnya." Martin mengangkat alisnya. "Keluarga Koko?" "Ya. Aku sekarang jadi bagian dari keluarga PBK." Martin mengulaskan senyuman. "Betul juga, sih." "Koko mau diangkat anak sama Papa

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 63

    63Bau angit sisa-sisa kebakaran, yang sempat memenuhi area kanan belakang kantor pengelola proyek KARZD, perlahan menghilang. Matahari pagi bergerak cepat memutari bumi. Siang menjelang dengan diiringi gerimis, yang menyebabkan tanah di sekitar gudang kecil menjadi basah. Tim tiga dan empat berjibaku membangun tenda, dengan dibantu Seno, Ridho, dan Muchlis. Maman, Jajang, dan para petugas keamanan, juga turut membantu menjadi penyedia konsumsi. Dua lampu sorot besar diarahkan ke pintu gudang yang ditutupi kain hitam. Empat lampu lainnya digunakan untuk penerangan sekitar tenda, yang dibangun memanjang dari depan gudang kecil hingga ujung gudang besar. Yuanna merapikan lipatan handuk dan pakaian ganti buat anggota rombongan yang berada di lorong waktu. Sedangkan Gantari dan Sinta menyusun bungkusan plastik bening yang berisikan kue-kue serta minuman. Arsyad jalan mondar-mandir di sisi kanan tenda. Dia benar-benar khawatir, karena kelompok Zainal dan Hendri belum juga muncul. Pada

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 62

    62Seorang pria tua menyambut rombongan Yìchèn dengan penghormatan. Dia memberikan bungkusan kain pada orang terdepan, yakni Dante. Keduanya bercakap-cakap sesaat, sebelum lelaki tua membuka pintu bangunan kecil itu. Cahaya terang seketika terpancar dari dalam. Semua orang di bagian depan menyipitkan mata, kemudian mereka berbaris dua orang, sesuai arahan Wirya. Yìchèn yang berpindah ke depan bersama Freya, memberi hormat dengan sedikit membungkuk pada suami Shin Fung, dan keluarga Chow, yang membalas dengan hal yang sama. Yìchèn menegakkan badan, lalu menunggu kedua orang terdepan memulai perjalanan mereka menuju masa modern. Hendri dan Zein menggerak-gerakkan kedua tangan mereka membentuk jurus halus olah napas. Keduanya serentak menembakkan tenaga dalam ke cahaya, yang seketika meredup dan memperlihatkan kumparan kabut tebal yang tidak terlalu terang. Hendri dan Zein melangkah bersamaan. Ubaid dan Bayu mengikuti di belakang. Keempatnya bekerjasama menembakkan tenaga dalam ke s

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 61

    61Langit malam dipenuhi jutaan bintang. Rembulan memamerkan bentuknya yang sempurna, hingga mampu sedikit menerangi dunia. Angin berembus sepoi-sepoi di sekitar halaman depan kediaman keluarga Shin Fung, dan menyebabkan dedaunan di pohon-pohon itu bergoyang dengan pelan. Puluhan orang memenuhi seputar halaman. Mereka menonton ritual sembahyang ala orang Tiongkok, yang dilakukan Shin Fung, keluarga Chow, Yìchèn dan Qianfan. Chyou dan kelompok berselempang kain merah, berjaga-jaga di dekat tempat pemujaan. Kelompok Wirya yang menggunakan selempang biru, bersiaga di sekitar area sebagai lapisan kedua. Pasukan Ming Tianba menjadi pelindung utama di seputar rumah besar. Mereka bergantian mengawasi jalanan, supaya bisa mendeteksi pergerakan dari luar. Sebab saat itu masih zaman penjajahan Belanda, semua warga harus berhati-hati dalam mengadakan aktivitas yang melibatkan banyak orang. Kendatipun Shin Fung dan Tan Liu Chow telah mendapatkan izin dari pejabat setempat untuk melakukan per

  • Kekasih Di Balik Kabut   Bab 60

    60Rombongan pimpinan Chyou tiba di depan rumah besar berarsitektur khas zaman dulu. Batu hitam menghiasi sisi bawah dinding, sedangkan bagian atasnya di-cat putih. Shin Fung mempersilakan semua orang memasuki ruangan. Dia penasaran, karena tidak ada seorang pun yang membuka kain penutup di wajah mereka. Selain itu, nyaris tidak ada yang berbincang. Selain Yìchèn, Qianfan, dan beberapa pengawal berselempang kain merah.Para pelayan bergegas menyuguhkan minuman dan makanan di belasan meja besar. Loko, Michael, Gibson dan Cedric mengelilingi setiap meja untuk mengecek, apakah ada racun pada hidangan. Shin Fung membatin, bila sepertinya anak buah Yìchèn memahami berbagai cara pengamanan, dan hal itu kian meningkatkan rasa keingintahuannya. "Saya belum tahu nama Tuan," ujar Shin Fung sambil memandangi pria berbaju cokelat di kursi sebelah kanannya. "Saya, Vong Qianfan," jawab lelaki yang rambutnya telah dihiasi uban. "Berasal dari mana?" "Guangzhou." "Bagaimana Tuan bisa bertemu de

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status