Namira dan Nimas masih berada di parkiran mobil kantornya. Nimas tetap ingin Namira menceritakan tentang kisah Namira beberapa hari ini saat itu juga. Meski ia melihat sahabatnya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Terutama emosinya. “Gue nggak mau tau, pokoknya Lo harus cerita sama gue sekarang juga!” ujar Nimas. Namira diam saja, ia tidak membalas kalimat Nimas sama sekali. Namira menahan segala emosi bercampur kehancuran yang ia rasakan pagi itu. “Gue bener-bener nggak nyangka kisah cinta gue akan setragis ini,” ucap Namira. Mendengar ungkapan Namira, Nimas syok. “Makanya cerita!” teriak Nimas tidak sabar. “Hancur gue, Nim. Padahal gue tulis,” ucap Namira dengan tatapan kosong.
“Ke pantry aja, yuk!” ajak Nimas karena ingin segera mendengar cerita dari sahabatnya itu. Tangannya sudah menarik tangan Namira dan segera menuju ke tempat yang baru saja ia sebutkan. Sayangnya, Nimas terlambat beberapa detik. Dewangga tiba-tiba saja sudah berada di belakang mereka. Nimas yang menyadari lebih dulu. Namira tidak peduli dengan sekitarnya. Tatapan kosong, namun pikirannya penuh. “Eh Pak Dewangga. Selamat pagi, Pak,” sapa Nimas kepada bos besarnya itu. “Pagi,” jawab Dewangga seraya menghampiri Namira dan Nimas. Melihat Dewangga berjalan mendekati Nimas dan Namira, Nimas pun panik. Ia menepuk lengan Namira, tetapi, sahabatnya itu tidak kunjung sadar.
“Ada apa nih kok Pak Dewangga mau nyamperin gue dan Namira? Jangan-jangan beliau denger ucapan gue tadi ngajak Namira ke pantry?” batin Nimas. “Mir, Namira!” panggil Nimas sambil terus menepuk lengan Namira. Namira tidak merespon dan menunggu Nimas menarik tangannya lagi untuk lanjut berjalan. “Namira, kamu sudah baik-baik saja?” pertanyaan yang keluar dari mulut Dewangga setelah menghampiri Namira dan Nimas. Nimas menepuk pipi kiri Namira agar Namira tidak lagi melamun. “Pak Dewangga?” Namira terkejut di depannya sudah ada Dewangga. Bukannya menjawab pertanyaan dari Dewangga, Namira malah menepuk pipi kanan dan kirinya. Ia mengira dirinya sedang dalam alam mimpi. “Awww!” teriak Namira kesakitan. “Namira, kamu nggak apa-apa?” tanya Dewangga khawatir.
“Lo kenapa sih? Kok malah nampar pipi Lo sendiri!” Nimas ngomelin Namira. “Ee.. Maaf, Pak,” Namira mulai bersuara. “Kamu baik-baik aja? Sudah lebih baik dari kemarin?” tanya Dewangga kembali. Namira menghela napas lagi, mengearkan rasa yang tidak nyaman juga gugup. “I-iya, Pak. Saya baik-baik saja,” jawab Namira. “Ya sudah, syukurlah kalau begitu,” jawab Dewangga dengan penuh kelegaan. Nimas bingung mengapa Dewangga begitu khawatir dengan keadaan Namira. “Setelah ini, saya tunggu kamu di ruangan saya, ya!” perintah Dewangga sebelum meninggalkan Namira bersama Nimas. Namira memberi anggukan, tanda jika ia mengerti atas perintah dari bosnya. “Wah wah, pagi pagi udah ada yang dikasih perhatian nih sama bos,” ucap Airin yang kebetulan ada di sekitar mereka.
Melihat ada Airin, Namira panik dan langsung mengajak Nimas segera masuk ke dalam kantor. “Bahan gosip lagi, nih!” ucap Airin dengan wajahnya yang licik. “Kenapa Lo sama Airin? Musuhan? Tumben banget Lo punya musuh,” ujar Nimas sambil berjalan cepat mengejar. “Nanti gue ceritain, deh. Kalau sudah waktunya dan gue udah siap,” jawab Namira masih enggan bercerita tentang keadaan sesungguhnya. Namira bergegas menuju ke ruang kerjanya dan mempersiapkan semua berkas yang akan ia bawa ke ruangan Dewangga.
“Ada apa ya Pak Dewangga manggil gue?” Namira panik. Ia tetap berjalan ke ruangan Dewangga, meski hati dan pikirannya berkecamuk. Banyak sekali pertanyaan yang belum ia dapat jawabannya sebelum bertemu dengan Dewangga. “Permisi, Pak,” sapa Namira sambil mengetuk pintu ruangan Dewangga. “Masuk!” pinta Dewangga di dalam ruangan. “Ada apa Bapak memanggil saya ke ruangan?” tanya Namira. “Kamu sudah baik-baik saja?” kalimat pertama yang terlontar dari Dewangga saat Namira masuk. “Sudah, Pak,” jawab Namira singkat. “Luka fisiknya? Atau luka batinnya?” pertanyaan Dewangga kali ini membuat Namira semakin syok. “Luka batin saya masih...” Namira belum selesai berbicara, Airin keburu datang. Ia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu ruangan Dewangga terlebih dahulu. “Airin, lain kali kalau mau masuk ruangan saya, silakan ketik pintu lebih dulu!” gertak Dewangga. Airin merasa bersalah dan pastinya malu. Namira pun langsung pergi dari ruangan Dewangga dan membiarkan Airin lebih dulu menyelesaikan urusannya.
“Huh, untung aja gue buru-buru keluar dari ruangan Pak Dewangga. Kalau enggak, bisa jadi bahan gosip satu gedung gue!” ucap Namira yang baru saja keluar dari ruangan Dewangga. Namira merasa lega karena Airin datang. Namun, ia juga cemas karena Airin tidak bisa ditebak. Bisa saja, tadi ia mendengar pembicaraan Namira bersama Dewangga. “Ah, sudahlah! Yang penting sekarang gue bebas dari Airin dulu,” ucap Namira kembali ke ruang kerjanya. Kesibukan Namira dan Nimas membuat siang datang begitu cepat. Nimas bergegas bangun dari tempat duduknya dan mengajak Namira untuk makan siang. “Makan siang, yuk!” ajak Nimas ketika waktu makan siang sudah tiba. “Jangan di kantor, deh. Di luar aja, yuk!” ajak Namira.
“Jadi, mulai darimana Lo mau cerita sama gue?” tanya Nimas. “Hmmmm,” gumaman Namira seolah menunjukkan kalau ia sedang protes. Makan siang yang sedang ia nikmati terganggu dengan pertanyaan Nimas barusan. “Udah, nggak usah kebanyakan menghindari!” ucap Nimas ingin segera mendengar cerita dari Namira. “Okelah,” jawab Namira walaupun ada rasa kesalnya. “Gue juga bingung mau mulai dari mana. Tapi yang jelas, semua ini berawal dari kisah gue dan Aidan yang harus berakhir,” Namira memulai ceritanya. “Ada apa sama kalian? Gampang banget putus nyambung,” balas Nimas. “Aidan selingkuh sama perempuan lain di hotel,” jawab Namira santai. “Uhuk!” Nimas tersedak. Ia begitu syok dengan jawaban Namira barusan.
“What?!” “Ini beneran? Bukan Cuma cerita dari orang yang Lo denger? Atau ini cerita dari Airin?” tanya Nimas yang masih belum percaya akan keputusan Namira. “Sungguh ini cerita nyata,” jawab Namira bahasa tak disangka-sangka. “Kok bisa Aidan selingkuhan? Terus hubungan Lo sama Airin apa? Kenapa Lo jadi bahan gosip satu kantor?” pertanyaan Nimas semakin banyak dan menumpuk. Namira merasa gerah, pekerjaan siang itu tambah dari pertanyaan Nimas. “Berawal dari gue mau ngajak Aidan makan siang. Gue lihat mobil dia di jalan, gue ikutin. Dan Lo tau, dia pergi ke hotel bersama perempuan yang bahkan dia nggak kenal!” jelas Namira masih tidak habis pikir dengan tingkah mantan kekasihnya itu.
“Apa yang mereka lakuin di hotel?” kali ini pertanyaan Nimas membuat Namira tertawa. “Lo tanya sendiri sama Aidan, kenapa tanya sama gue? Gue Cuma ngelabrak dia, habis itu gue pergi. Oh iya, gue putusin Aidan sebelum gue pergi dari kamar hotel yang dia pesan,” ungkap Namira setelah menyelesaikan tawanya. “Bisa-bisanya ya, Aidan! Kalau memang udah nggak sejalan dan harus diselesaikan, jangan ada pengkhianatan!” ucap Nimas menanggapi cerita Namira. Tatapan kosong dan lamunan kembali pada Namira. Makanan yang ada di hadapannya hanya sebagai mainan tangannya. Nafsu makan sudah hilang, perasaannya kembali campur aduk.
Para pegawai Dewangga kini kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Meski telah dihadang oleh berbagai pekerjaan yang menumpuk di meja kerja masing-masing, suasana hati mereka tetap masih terbawa ceria. Hasil dari staycation tiba-tiba yang diadakan oleh Dewanti. Meski sedikit lancang karena tak minta persetujuan dari Dewangga, Dewanti ternyata berhasil membahagiakan pekerja di kantor Dewangga. Hati Dewanti semakin besar. Ia merasa dirinya akan memenangkan hati semua orang. “Seru banget ya, kemarin! Andai aja tiap bulan ada staycation, kita pasti bakal betah kerja di sini. Walaupun lembur, banyak kerjaan, sering kena marah, tapi kalau ada acara kayak kemarin sih gue betah,” celetuk Ailin dengan geng gosipnya itu. Nimas datang mendengar ocehan Ailin yang cukup kencang hingga bisa didengar meski belum sampai ke meja kerjanya.“Pagi, Nimas!” sapa Ailin iseng mendekati Nimas. Wajah Ailin tidak mencerminkan keceriaan sama sekali. Wajahnya lecek seperti pakaian yang masih kusut karena b
“Semua itu karena kesalahan Papa Dewangga. Beliau yang membuat perusahaan Dewangga hancur.” Anggara menceritakan bagaimana perjalanan kehidupan Dewangga sebelum hadirnya Namira. Dewangga sudah berjuang sejak lama. Namun, keringatnya tak ada yang melihat. Semua menilai bahwa Dewangga hanya mampu seperti sekarang. “Apa yang membuat hutang?” Namira bertanya terus dengan detail. Ia ingin tahu lebih dalam lagi tentang seseorang yang saat itu masih bertengger di hatinya. “Hutang,” jawab Anggara lalu menoleh ke arah Namira seolah memberi garis bawah. “Jadi...” “Iya, pertengkaran Dewangga dan Papanya bermula dari hutang perusahaan. Dewangga sudah susah payah membangun perusahaan itu, tetapi, Papanya justru menghancurkan sekejap dengan hutang yang menumpuk,” jelas Anggara lagi. “Kepergian dan Dewangga bukan tanpa alasan. Tapi, karena dengan hal itu Dewangga bisa damai dengan keadaan.”Selama ini diamnya Dewangga menyimpan banyak sekali luka. Dingin sikapnya melampiaskan segala kecewa yang seja
Akhir pekan ajaib bagi para pegawai kantor Dewangga. Untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan liburan bersama tanpa harus pusing dengan biaya atau pun lainnya. Mereka datang dengan outfit terbaik masing-masing. “Pasti bakalan seru banget!” celetuk Ailin dengan penampilannya yang begitu mencolok. Ailin juga geng gosipnya turun dari mobil, masuk ke villa yang sudah Dewanti sewa untuk liburan pegawai kantor calon suaminya. “Nanti fotoin gue disetiap sudut villa, ya!” pinta Ailin kepada salah satu temannya. Temannya hanya mengangguk lalu terus berjalan, karena sudah tidak sabar mengetahui isi di dalam villa. “Hai semua!” sapa Dewanti. Ia bersama Dewangga dan Anggara sudah lebih dulu sampai di villa. “Hai!” balas karyawan yang baru saja sampai di villa.Tangan Dewanti terlihat menggandeng Dewangga. Karena merasa tidak nyaman, Dewangga berusaha melepas gandengan tangan itu. Ada seseorang yang Dewangga cari, dari tatapan juga gerak tubuhnya menandakan ia sedang menanti. “Sudah datang sem
“Ada yang luka?” Namira masuk membawa setumpuk berkas. Tetapi, hal pertama yang ia tanyakan bukanlah tentang pekerjaan. Namira dan Dewangga hanya bisa saling menatap. Banyak sekali perasaan yang ingin mereka tumpahkan satu sama lain. Sayangnya, saat itu waktu dan keadaannya nya tak mendukung mereka menyuarakan isi hati masing-masing. “Ada apa, Namira?” Dewangga memulai obrolan setelah keheningan yang panjang. “Ada beberapa berkas yang harus diperiksa juga ditandangani,” jawab Namira lalu ia duduk di depan meja kerja Dewangga. Dewangga masih tidak percaya Namira masuk ke ruangannya ketika ia sedang menjadi sosok tak waras karena cinta. “Bukan itu. Tadi apa yang kamu tanya saat pertama masuk ke ruangan saya?” Dewangga ingin mendengar lagi pertanyaan dari Namira tadi. Rasanya ada secuil perhatian dari Namira untuk Dewangga.Tangan Dewangga merah. Rasa sakitnya tak ia hiraukan. Biar mengalir begitu saja. “Apa ada yang luka?” Namira mengulang sesuai permintaan Dewangga. “Sejak kapan kamu a
“Bapak sengaja mau mencelakai saya? Apa Bapak belum puas sudah melukai perasaan saya?” pertanyaan yang sungguh menggores lubuk hati. “Saya salah apa, Pak? Bapak tega sekali melakukan ini kepada saya,” sambung Namira. “Namira, tenang dulu. Saya bisa jelaskan semuanya. Kamu salah paham,” pinta Dewangga, ingin mendekat ke arah Namira tetapi Namira menolak. “Tolong tetap di situ saja,” perintah Namira untuk Dewangga yang hampir berpindah tempat ke samping Namira. “Saya tahu kejadian itu, tapi bukan berarti saya yang melakukan itu, Namira. Saya nggak mungkin tega melukai orang yang saya cintai,” jelas Dewangga yang tak mau didengar oleh Namira. “Lalu apa?” “Saya mengutus seorang menjadi mata-mata saya,” aku Dewangga semakin membuat Namira tak habis pikir.“Untuk apa?” Namira duduk, mencoba tidak membesarkan masalah yang sebenarnya menurut Namira ini adalah masalah besar. “Untuk jagain kamu,” jawab Dewangga. Suara ketukan pintu terdengar dari dalam. Namira panik. Dewangga langsung mendekat
Hubungan yang sudah diselesaikan ternyata bukan berarti berakhir. Seperti hubungan Namira dan Aidan yang kembali terjalin. Mungkin masih ada sisa rasa yang dulu mereka miliki, atau hanya sekedar ingin mengulang lembar yang tak mereka temukan pada orang lain. “Kita salah nggak sih?” tanya Namira disuatu malam ketika Namira dan Aidan sedang makan malam bersama. “Kenapa salah?” “Salah karena memulai hubungan yang pernah berakhir.” “Kalau kamu pernah dengar, hubungan lama yang dimulai lagi seperti halnya membaca novel yang sama berulang kali, menurut aku itu hanya sebuah opini. Anggapan yang belum tentu terjadi,” ungkap Aidan. “Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Yang kita bisa hanya memperbaiki hari ini untuk masa depan itu,” tambah Aidan.“Memangnya kamu setuju?” Aidan kini berbalik tanya ke Namira. “Emm.. enggak juga sih,” jawab Namira masih belum yakin akan pendapat itu. Tetapi ia juga tak yakin hubungannya akan lebih baik dari sebelumnya. “Menurutku, semua oran