Share

Makan Siang Tak Terduga

“Memang rasa sakit harus dihadapi, bukan dihindari. Seperti yang Namira rasakan saat ini.”

Namira melongo melihat Dewangga yang mempersilakan petugas dari hotel masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa canggung, takut ada salah paham yang terjadi setelah ini. Tetapi, wajah Dewangga sama sekali tidak menyimpan perasaan yang sama dengan Namira. Dewangga justru terlihat nyaman dan biasa saja.

“Tolong disiapkan makanannya di sini ya, mba!” perintah Dewangga kepada petugas yang baru saja masuk ke dalam kamar hotelnya.

“Baik, pak,” jawab mba-mba itu.

Namira duduk di ujung ranjang. Bingung harus bersikap seperti apa. Jika ada satu kata yang salah saja dari mulutnya, ia takut menjadi berita di luar sana. Apalagi Dewangga adalah salah satu pengusaha sukses yang dikenal oleh banyak orang. Mungkin salah satunya adalah mba-mba hotel ini.

“Gue harus gimana ini? Nggak mungkin gue duduk diem di ranjang seperti ini,” batin Namira.

Namira menggigit bawah bibirnya, berpikir keras agar tidak diam saja seperti patung tidak berguna.

“Namira, ayo kita makan siang!” ajak Dewangga.

Jantung Namira kembali tidak aman setelah mendengar panggilan dari bosnya.

“Eeee tapi, Pak. Saya sudah makan,” jawab Namira hati-hati.

“Sudah selesai semuanya, Pak. Jika ada yang perlu kami bantu, silakan hubungi saja ya, Pak. Saya permisi,” ujar perempuan yang menjadi pelayan Dewangga di dalam kamarnya.

Dewangga memberi senyuman dingin sekaligus mempersilakan perempuan itu keluar dari kamarnya. Kini yang ada hanyalah Namira dan Dewangga. Namira semakin merasa tertekan.

“Apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Namira dalam hatinya.

“Namira, ayo kita makan siang!” ajak Dewangga lagi.

“Tapi, pak....”

Namira mencoba mencari alasan agar tidak makan bersama di dalam kamar hotel. Tetapi, Dewangga memaksa Namira. Bahkan, Dewangga sampai menjemput Namira di atas ranjang.

“Eeee, Pak,” ucap Namira ketakutan.

“Kamu kenapa takut seperti itu? Saya tidak akan berbuat yang seperti kamu bayangkan. Saya hanya ingin mengajak kamu makan siang bersama,” jelas Deaangga.

“Apa perlu saya gendong sampai ke ruang makan?” Dewangga mengancam dengan ancaman yang manis. Tetapi justru itu membuat Namira senam jantung.

Namira langsung berdiri dan berjalan menuju ke ruang makan kecil yang ada di dalam kamar itu. Namira berjalan mendahului bosnya. Dewangga senyum tipis, sikap dinginnya masih lebih tebal.

“Kamu pasti belum makan?” tanya Dewangga.

Namira memiliki dua pilihan, antara bersikap jujur atau berbohong demi satu kebaikan. Ternyata kali itu, ucapan yang Namira pilih adalah sebuah kejujuran.

“Iya, pak,” jawab Namira singkat.

Dewangga mempersilakan Namira untuk makan siang bersamanya. Walaupun mereka hanya berdua saja, namun, menu makanan yang ada di meja sangatlah beragam.

“Harusnya orang yang ada di hadapanku bukanlah Pak Dewangga, melainkan Aidan. Tapi, kenyataan justru sebaliknya,” batin Namira.

Namira sulit mengunyah dan menelan makanannya. Ia masih teringat dengan sang kekasih yang berdua dengan perempuan lain di dalam satu kamar hotel.

“Namira, ada apa?” tanya Aidan ketika melihat Namira hanya melihat dan memainkan makanan di piringnya.

“Eeee.. enggak, Pak,” jawab Namira gugup.

Namira langsung menyuapkan makanan yang sudah ia sendok, karena terburu-buru akhirnya ia pun tersedak.

“Minumlah,” ujar Dewangga menyodorkan gelas berisi air putih.

Namira mengambil gelas itu dan meneguknya perlahan. Batuk-batuknya pun kian menghilang. Namira sudah lebih baik dan bisa berbicara kembali.

“Makan dulu, Namira. Setelah ini silakan kamu kembali dalam pikiran kamu itu,” ucap Dewangga.

Namira mengangguk, mencoba mengerti dan menjalankan perintah dari bosnya. Tetapi, pikiran dan hatinya benar-benar tidak bisa mengistirahatkan dari rasa sakit. Namira menahan air mata yang hampir menetes saat itu juga. Ia membayangkan apa yang terjadi saat ini di kamar 211.

“Aidan, kenapa kamu tega!” ucap Namira lirih.

Dewangga mendengar ucapan Namira walaupun tidak terlalu jelas.

“Namira,” panggil Dewangga.

Namira menengok ke arah sang bos, namun, air matanya tak sanggup ia bendung lagi. Aliran air mata itu kembali terjadi, kini di depan Dewangga.

Dewangga mengelus punggung tangan Namira yang bisa ia raih. Namira terkejut, ia hampir saja menarik tangannya itu dengan kasar. Namira mencoba berpikir positif jika Dewangga hanyalah ingin memberinya ketenangan. Namira membiarkan tangan Dewangga di atas tangannya, meski ketenangan itu hanyalah sekian persen yang datang.

“Emmm, ma-maaf, Pak. Saya jadi nangis di depan Bapak. Mari kita lanjutkan makan siangnya, Pak,” ujar Namira seraya menghapus bulir air mata yang tertinggal di pipinya.

Deaangga mengangguk. Ia menuruti apa yang dikatakan oleh sekretarisnya itu. Kolaborasi suara piring dan sendok menjadi teman Namira dan Dewangga siang itu. Dewangga terlihat menikmati makanannya, sedangkan Namira merasa sedikit segan untuk melahap setiap sendok makanan.

Setelah makan siang, Namira berniat untuk kembali ke kantor. Sebab, waktu sudah menunjukkan bahwa Namira terlambat kembali ke kantor setelah makan siang.

“Namira, tolong bantu saya memilih jas yang bagus. Saya akan bertemu dengan salah satu sahabat lama saya,” pinta Dewangga.

Namira berdiri dan mendekat ke arah Dewangga.

“Baik, Pak,” jawab Namira sambil berjalan menuju ke arah Dewangga.

Di depan Namira terlihat lemari yang tidak besar tetapi menyimpan cukup banyak jas.

“Banyak sekali jas di lemari ini, Pak?” tanya Namira.

Dewangga hanya tersenyum tipis. Ia memperhatikan Namira yang sedang sibuk memilih jas untuk dikenakan bosnya itu.

“Semua ini jas baru. Beberapa hari lalu saya membeli jas ini, karena saya malas pulang ke rumah untuk sekedar mengambil jas atau pakaian,” jawab Dewangga terlambat.

Namira merasa bersalah setelah mendengar jawaban dari Dewangga. Ia merasa tidak sepantasnya Dewangga mengungkap cerita barusan. Bukankah itu sebuah privasi?

“Sepertinya ini bagus, Pak. Tidak terlalu formal namun tetap elegan,” ujar Namira sambil memberikan pakaian dan jas pilihannya kepada Dewangga.

“Wah! Bagus juga selera kamu. Baik, akan saya pakai sekarang juga,” ucap Dewangga seraya mengambil pakaian itu.

Namira mengangguk lalu membiarkan Dewangga mengambil jas yang sudah ia pilih. Setalah itu, Namira memilih untuk kembali ke sofa, ia akan menunggu Dewangga di sana.

“Lebih baik gue tunggu Pak Dewa di sini saja. Setelah itu gue baru pamit untuk kembali ke kantor,” ucap Namira.

Cuaca di luar cukup terik. Terlihat dari jendela hotel yang sedikit terbuka. Tetapi, Namira sama sekali tidak merasa panas, karena AC di kamar Dewangga membuatnya nyaman.

Sering telepon mengejutkan Namira yang ternyata tidak sengaja tertidur di kamar hotel Dewangga. Namira sangat panik. Ia bangkit dari posisinya di sofa dan segera mencari keberadaan Dewangga.

“Pak... Pak Dewa?” panggil Namira.

Beberapa kali ia memanggil Dewangga, tetapi, tidak ada jawaban sama sekali.

“Astaga! Bego banget gue, kenapa bisa ketiduran di kamar bos?” ujar Namira.

Ia menepuk keningnya, menyalahkan dirinya karena tertidur di kamar hotel bos besarnya.

Kesejukan kamar membuat Namira begitu nyaman. Pun lembut dan empuknya sofa menambah rasa kantuk Namira tadi. Akhirnya Namira pun tertidur pulas tanpa ia sadari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status