“Memang rasa sakit harus dihadapi, bukan dihindari. Seperti yang Namira rasakan saat ini.”
Siang ini menjadi makan siang yang tidak terlupakan untuk Namira. Bagaimana tidak, ia makan siang di kamar hotel hanya berdua dengan Dewangga. Dewangga yang terkenal dingin dan cuek itu berbuah menjadi manis dan hangat. Bahkan Dewangga juga perhatian kepada Namira, ia membantu Namira menyeka air mata juga darah yang mengalir di hidung Namira. Namun, Namira perlu was-was. Jika ada orang kantor yang mengetahui hal ini, maka Namira dan Dewangga akan menjadi topik hangat untuk mereka. Namira harus berhati-hati.
“Astaga! Aku ketiduran!” ucap Namira setelah ia bangun dari tidur singkatnya di sofa kamar hotel. Namira benar-benar merasa bersalah karena sudah mengambil waktu untuk tidur siang. Padahal jam makan siang sudah berlalu sejak tadi. Namira bergegas mencari keberadaan Dewangga. “Pak Dewa?” panggil Namira. Namira berjalan menuju ruang kecil yang ada di samping lemari tadi. “Pak, Pak Dewangga,” panggil Namira lagi. Kamar hotel Dewangga sunyi. Hanya terdengar detikan jam saja.
“Pak Dewa? Apa bapak sudah selesai berganti pakaian?” Namira memberikan pertanyaan lagi. Jawaban belum juga Namira dengar. Lalu, Namira mencari keberadaan bosnya di tempat lain. Namira mengetuk toilet, tetapi, tidak ada jawaban juga. Namira melihat ke arah tempat tidur, Dewangga juga tidak memberikan tanda-tanda di sana. “Kemana Pak Dewa, ya?” tanya Namira kebingungan. Ia kembali menuju sofa yang tadi menjadi alasnya tidur siang. Di meja kecil yang berdiri di samping sofa itu, ada sebuah surat dan kartu.
“Ada surat!” seru Namira. Ia langsung mengambil surat dan kartu yang tergeletak di sana. “Tadi kamu terlihat sangat nyenyak tidurnya. Jadi, saya tidak tega membangunkan kamu. Lanjutkan saja jika memang kamu sedang lelah dan ingin menikmati tidur siang hari ini. Saya pergi dulu. Kalau kamu sudah bangun dan ingin pergi, tolong bawa kartu ini, ya!” Namira baru saja membaca isi surat dari Dewangga. “Astaga! Bisa-bisanya aku ketiduran di kamar hotel bos!” seru Namira sambil menepuk keningnya.
“Kenapa Pak Dewangga menulis surat ini? Kenapa nggak mengirimkan pesan saja?” Namira heran. “Eh, kenapa aku malah memikirkan hal lain. Harusnya aku segera pergi dari sini!” ucap Namira. Ditemani detikan jam yang menggema di kamar hotel, Namira bersiap untuk pergi. Ia merapikan rambut, pakaian, lalu mengambil tasnya. Setelah ia merasa tidak ada yang tertinggal lagi, ia langsung membawa kartu akses masuk itu. Namira meninggalkan kamar hotel Dewangga.
“Aku harus berhati-hati, aku tidak boleh bertemu dengan seseorang yang aku kenal!” ucapnya sepanjang perjalanan menuju ke lift. Di dalam lift, Namira tiba-tiba saja memiliki pikiran aneh. “Jangan-jangan Pak Dewangga?” ucap Namira tiba-tiba ketakutan. Ia menatap tubuhnya dengan rasa takut. Satu persatu ia periksa kancing bajunya, semua masih tertutup rapat. “Tapi sepertinya saat aku bangun tidur, semua bajuku masih aman. Tidak mungkin Pak Dewangga melakukan hal yang aneh seperti itu!” ujar Namira memaksa pikirannya untuk membuang segala perasaan buruknya.
“Namira, tolong jangan berpikir yang buruk!” seru Namira seraya menepuk keningnya lagi. Bersamaan dengan suara tepukan tangan Namira di kening, lift pun terbuka. Dari alas kaki yang dikenakan, orang yang masuk ke dalam lift itu bisa dipastikan laki-laki. Namira semakin merasa gelisah. Tapi, Namira mengulangi tatapannya terhadap alas kaki yang dikenakan laki-laki itu. “Sepatu itu tidak asing bagiku!” batin Namira. “Kenapa kamu masih di sini?” tanya laki-laki yang berada di dalam lift berdua dengannya. Namira menengok ke arah laki-laki itu.
“Aidan?” Namira terkejut di hadapannya ada sang kekasih, Aidan. “Kamu masih menguntit aku sejak tadi, iya?” tanya Aidan dengan nada kasar. Aidan mendekatkan wajahnya ke wajah Namira. Namira reflek mundur ke belakang dan akhirnya membentur dinding lift. “Kenapa aku harus menguntit laki-laki curang seperti kamu? Setelah apa yang aku lihat tadi, aku sudah tau apa yang akan terjadi. Aku tidak bodoh, Aidan!” sahut Namira berani. Aidan kesal mendengar jawaban dari Namira. Ia merasa kalah dan bersalah. “Memangnya apa yang terjadi? Hah?” Aidan kembali memberikan pertanyaan dengan nada kasarnya. Bola matanya membesar, seolah Aidan sedang memberi ancaman kepada Namira.
Pintu lift terbuka, Aidan langsung menggeret Namira ke luar. Aidan masih ingin melanjutkan perdebatan mereka. “Aidan, sakit! Lepasin!” teriak Namira. Teriakan itu terdengar oleh seseorang yang barusan berjalan melewati Namira dan Aidan. “Sini kamu!” Aidan menggeret Namira dengan kasar. Wajah Namira menahan rasa sakit. “Kamu mau jelasin apa lagi? Bukannya semua sudah jelas, kamu selingkuh? Aku tidak mau melanjutkan hubungan dengan laki-laki yang sudah berkhianat!” seru Namira melepas genggaman tangan Aidan. Aidan terlihat semakin kesal dan marah.
“Siapa yang selingkuh? Aku tidak berkhianat! Jangan-jangan, kamu yang sudah berkhianat, tapi tidak ingin fakta busukmu terbongkar?” ucap Aidan dengan senyum sinis. “Aku? Aku terlalu setia untuk itu!” teriak Namira lagi. Aidan nyaris menampar Namira lagi. Namira sudah memejamkan mata, ia takut dengan rasa sakit yang terulang seperti di kamar hotel Aidan tadi. Tiga detik berlalu, tidak ada pukulan yang mendarat di pipi Namira. “Jangan pernah sakiti Namira!” bentak salah seorang laki-laki yang tiba-tiba datang dan mencegah Aidan menampar Namira.
Namira segera membuka matanya. Ia ingin tahu, siapa yang berani membela dan melindunginya. Ternyata orang itu adalah Dewangga. Dewangga dengan gagah menahan tangan Aidan, lalu, membuangnya dengan kasar. “Siapa Lo? Gue nggak ada urusan sama Lo, ya! Jangan ikut campur!” bentak Aidan kepada Dewangga. “Semua yang menjadi urusan Namira, juga menjadi urusan saya!” ancam Dewangga dengan wajahnya yang dingin dan sinis. Aidan menatap curiga kepada Namira. “Oh, jadi ini alasan kamu masih bertahan di hotel ini sampai sore,” ujar Aidan curiga.
Namira ingin memberi penjelasan kepada Aidan. Tetapi, Dewangga melarang. “Namira, ayo ikut saya! Tadi kamu sudah berjanji akan pergi ke dokter. Untuk memastikan, apakah hidung kamu baik-baik saja,” ucap Dewangga membuat Aidan terkejut. “Laki-laki yang gentle tidak main kasar dengan perempuan. Apalagi mempermainkan perasannya!” ucap Dewangga menyindir Aidan. Dewangga menarik tangan Namira dan membawa Namira pergi dari hadapan Aidan. Wajah Aidan memerah menahan kesal dan marah. Ia merasa dipermalukan di depan orang lain.
“Siapa dia? Berani-beraninya dia memperlakukanku!” ucap Aidan seraya mengepalkan kedua tangannya. Dewangga dan Namira berjalan cukup cepat. Langkah kaki Dewangga lebih lebar dari Namira, sehingga membuat Namira cukup keteteran. “Pak Dewa, terima kasih sudah membantu saya. Tetapi, seharusnya bapak tidak perlu ikut campur dengan masalah saya,” jelas Namira sembari mengejar langkah Dewangga. “Jika saya tidak datang dan melarang, apakah laki-laki itu hanya berhenti pada satu tamparan?” tanya Dewangga. Namira terdiam, ia tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Namira rasa, Dewangga hari itu dikirim menjadi penyelamat dan pelindungnya hari itu.
“Memang rasa sakit harus dihadapi, bukan dihindari. Seperti yang Namira rasakan saat ini.”Namira melongo melihat Dewangga yang mempersilakan petugas dari hotel masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa canggung, takut ada salah paham yang terjadi setelah ini. Tetapi, wajah Dewangga sama sekali tidak menyimpan perasaan yang sama dengan Namira. Dewangga justru terlihat nyaman dan biasa saja.“Tolong disiapkan makanannya di sini ya, mba!” perintah Dewangga kepada petugas yang baru saja masuk ke dalam kamar hotelnya.“Baik, pak,” jawab mba-mba itu.Namira duduk di ujung ranjang. Bingung harus bersikap seperti apa. Jika ada satu kata yang salah saja dari mulutnya, ia takut menjadi berita di luar sana. Apalagi Dewangga adalah salah satu pengusaha sukses yang dikenal oleh banyak orang. Mungkin salah satunya adalah mba-mba hotel ini.“Gue harus gimana ini? Nggak mungkin gue duduk diem di ranjang seperti ini,” batin Namira.Namira menggigit bawah bibirnya, berpikir keras agar tidak diam saja seperti
“Jika masih ada yang bisa diperbaiki, mengapa harus memaksa pergi. Bukankah masalah ada untuk diselesaikan, bukan ditinggalkan?”Aidan masih berada di kamar 211. Setelah pertikaian dengan Namira tadi, Aidan belum juga keluar dari kamar itu. Ia masih tidak terima Namira bisa menemukannya bersama wanita lain. Apalagi wanita itu juga tidak ia kenali.“Mas, bagaimana kelanjutannya ini?” tanya perempuan itu kepada Aidan.Aidan menoleh ke arahnya. Ia tak langsung memberi jawaban. Wajah Aidan terlihat masih panik dan gelisah. Sedangkan, perempuan itu tidak bisa diam lama dengan suasana yang canggung di dalam kamar.“Kelanjutan apanya?” tanya Aidan.Perempuan itu pun berjalan menghampiri Aidan. Ia melepas bolero yang ia kenakan. Sementara itu Aidan sama sekali belum tertarik untuk melihatnya. Pikiran Aidan masih terjebak dengan perdebatan hebat dengan Namira.“Mas,” panggil perempuan itu seraya mengelus pundak sebelah kiri Aidan.Tangan Aidan langsung menghindar.“Maaf gue belum mau diganggu,
Keadaan patah hati, membuat hari berganti secara perlahan. Pikiran Namira masih kacau. Hatinya pun masih berantakan. Kejadian itu tidak bisa hilang begitu saja. “Ahh, kenapa gue bisa sebodoh ini!” ucap Namira di dalam mobil.Namira enggan menceritakan hal ini kepada orangtuanya, sebab, ia tidak ingin masalahnya akan menjadi lebih panjang dan rumit. Namira dan Aidan sudah menjalin hubungan cukup lama. Mama dan Papa Namira sudah mengenal Aidan, bahkan sudah memberikan restu karena Aidan selalu bersikap baik di depan Mama dan Papa Namira. Sayangnya, semua itu tak cukup untuk mempertahankan hubungan Aidan dan Namira.Posisi Namira sangat berbeda dengan Aidan. Namira justru tidak mendapat restu dari Mama dan Papa Aidan. Entah alasan apa, yang jelas orangtua Aidan tidak menyetujui hubungan mereka berjalan lebih serius. Hal inilah yang membuat Aidan ingin menyerah saja dan meninggalkan Namira. Tapi itu tidak berlaku bagi Namira. Ia masih ingin memperjuangkan hubungannya dengan Aidan. Tidak m
Namira dan Nimas masih berada di parkiran mobil kantornya. Nimas tetap ingin Namira menceritakan tentang kisah Namira beberapa hari ini saat itu juga. Meski ia melihat sahabatnya itu sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Terutama emosinya. “Gue nggak mau tau, pokoknya Lo harus cerita sama gue sekarang juga!” ujar Nimas. Namira diam saja, ia tidak membalas kalimat Nimas sama sekali. Namira menahan segala emosi bercampur kehancuran yang ia rasakan pagi itu. “Gue bener-bener nggak nyangka kisah cinta gue akan setragis ini,” ucap Namira. Mendengar ungkapan Namira, Nimas syok. “Makanya cerita!” teriak Nimas tidak sabar. “Hancur gue, Nim. Padahal gue tulis,” ucap Namira dengan tatapan kosong.“Ke pantry aja, yuk!” ajak Nimas karena ingin segera mendengar cerita dari sahabatnya itu. Tangannya sudah menarik tangan Namira dan segera menuju ke tempat yang baru saja ia sebutkan. Sayangnya, Nimas terlambat beberapa detik. Dewangga tiba-tiba saja sudah berada di belakang mereka. Nimas ya
Aidan mulai resah setelah hubungannya dengan Namira kandas. Berakhirnya hubungan mereka pun tidak baik-baik saja. Aidan kepergok selingkuh dengan perempuan lain, bahkan perempuan itu asing bagi Aidan. Rasa bersalah mulai bermunculan di hati Aidan. Meski sebenarnya Aidan sangat gengsi untuk mengetahui rasa bersalah itu. “Ah, gue nggak boleh merasa bersalah. Yang mutusin hubungan ini bukan gue, tapi Namira,” batinnya ketika berada di depan laptop di ruang kerjanya. Fokus dalam pekerjaannya pun mulai menurun. Banyak sekali hal lain yang berdatangan dan ingin sekali menjadi prioritas di pikiran Aidan. “Kenapa, Lo? Diem aja! Makan, yuk!” ajak salah satu teman kantor Aidan. Aidan terkejut karena teman kantornya itu menepuk bahunya.“Hei, bikin kaget aja, Lo!” protes Aidan. “Lagian Lo bengong aja, sih. Ada apa?” tanyanya ingin tahu. Aidan diam dan menutup laptopnya. Ia tidak menjawab dengan spesifik. Tetapi, dari napas yang baru saja ia embuskan membuat orang lain tau jika Aidan sedang tidak
Namira Yuna, gadis yang biasa ceria dan banyak bicara sekarang sedang bungkam dan tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Sifatnya banyak disenangi oleh teman dan orang sekitarnya. Namun, beberapa hari belakangan ini, Namira justru menjadi sebaliknya. Ia menjadi gadis pendiam, suka murung, dan menjadi salah satu penggemar kata galau. Namira tak jarang menangis jika teringat akan kesedihan yang sedang menimpa dirinya. Waktu hampir 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Kebersamaan yang ia jalani bersama Aidan sangatlah berarti dan membekas dikehidupan Namira. Tetapi, sekarang ia harus terbiasa tanpa hal itu lagi. Masing-masing adalah keputusan terbaik untuk hubungan mereka berdua. Sebab, Namira sangat menjunjung tinggi kesetiaan.“Dulu gue pasti yakin kalau suatu saat gue balik lagi sama Aidan. Putus hanya masalah waktu. Tapi sekarang? Nggak mungkin gue kembali setelah dikhianati,” ujarnya di depan cermin kamar. Namira sedang bersiap untuk pergi ke kantor pagi ini. Walaupun sebena
“Hai, Kak! Maaf ya aku tiba-tiba kebelet,” ucap Laras berlari kecil kembali lagi ke ruang kerjanya. Laras sedikit heran karena Namira menatap ponselnya yang ada di meja kerja juga ponsel milik Namira sendiri. “Kak? Kak Namira?” panggil Laras karena Namira tidak memberikan respon apapun. Laras menepuk bahu Namira, meski tidak kencang Namira tetap merasakannya. Ia cukup terkejut ketika melihat Laras sudah kembali dan kini berada di belakangnya. “Eh Laras!” seru Namira. “Ada apa, Kak?” tanya Laras pelan-pelan. Ia ingin tahu apa yang sedang Namira alami, tetapi ada rasa sungkan juga. Takut jika Namira merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang Laras ajukan. “Oh enggak! Nggak papa,” jawab Namira menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya.“Astaga! Ada telepon,” ucap Laras ketika melihat layar ponselnya kembali menyala karena ada panggilan dari Aidan lagi. “Kak, boleh izin jawab teleponnya dulu?” tanya Laras. Namira dilema, antara ingin mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, namun juga
Hari ini, hari Namira sudah dibooking oleh kesibukan. Banyak sekali jadwal Dewangga yang harus selesai hari ini juga. Meeting, pertemuan dengan rekan bisnis, teman, sampai kunjungan ke kantor lain. Namira telah menyiapkan tenaga sedari malam. Ia tidak ingin pagi hari kehilangan mood dan membuat pekerjaannya semua jadi terbengkalai. Dewangga pasti akan kecewa, pun semua yang sudah ia susun rapi pasti akan berantakan juga. “Gue harus dandan yang rapi, cantik, supaya suasana hati gue jadi lebih baik,” ucap Namira ketika sedang bersiap menuju ke kantor. Senyumnya sudah menunjukkan jika semua sudah cukup. Namira terlihat senang dengan dandanannya pagi ini. Tak butuh waktu lama, Namira langsung bergegas pergi ke kantor. Sebab, hari ini dimulai dengan sangat pagi. Pastinya akan berakhir sangat malam pula.“Namira, kamu sudah siap? Sudah jalan ke kantor?” Dewangga telepon Namira dan menanyakan keberadaan Namira saat itu. Namira pun segera menjawab telepon dari bosnya. Sebab, ia tidak ingin ad