Share

Bertemu Lagi

“Jika masih ada yang bisa diperbaiki, mengapa harus memaksa pergi. Bukankah masalah ada untuk diselesaikan, bukan ditinggalkan?”

Aidan masih berada di kamar 211. Setelah pertikaian dengan Namira tadi, Aidan belum juga keluar dari kamar itu. Ia masih tidak terima Namira bisa menemukannya bersama wanita lain. Apalagi wanita itu juga tidak ia kenali.

“Mas, bagaimana kelanjutannya ini?” tanya perempuan itu kepada Aidan.

Aidan menoleh ke arahnya. Ia tak langsung memberi jawaban. Wajah Aidan terlihat masih panik dan gelisah. Sedangkan, perempuan itu tidak bisa diam lama dengan suasana yang canggung di dalam kamar.

“Kelanjutan apanya?” tanya Aidan.

Perempuan itu pun berjalan menghampiri Aidan. Ia melepas bolero yang ia kenakan. Sementara itu Aidan sama sekali belum tertarik untuk melihatnya. Pikiran Aidan masih terjebak dengan perdebatan hebat dengan Namira.

“Mas,” panggil perempuan itu seraya mengelus pundak sebelah kiri Aidan.

Tangan Aidan langsung menghindar.

“Maaf gue belum mau diganggu,” ujar Aidan tanpa melihat ke arah perempuan itu.

Perempuan yang Aidan bawa lumayan kesal dengan tingkah Aidan. Ia segera mencari cara supaya Aidan bisa menengok ke arahnya.

“Mas, sudahlah yang sudah terjadi biarlah berlalu. Sekarang, tinggal kita jalani apa yang sedang ada di depan kita,” ucap perempuan itu kepada Aidan.

Perempuan itu sudah berbaring di ranjang kamar 211. Ia bersandar dan sedikit menggoda Aidan supaya Aidan mau menghampirinya.

“Buat apa memikirkan yang sudah terjadi? Semua tidak akan berubah. Jalani saja yang ada di depan mata. Tidak pernah ada kesempatan kedua,” ujar perempuan itu kembali.

Aidan sudah mulai menoleh ke arah perempuan yang ia bawa ke kamar. Napasnya mulai teratur. Aidan menatap perempuan itu sejenak. Lalu, ia mulai melangkah ke arah ranjang.

Perempuan di ranjang itu terlihat senang melihat Aidan mulai bergerak mendekat. Ia merasa Aidan sudah mulai terpengaruh dengan semua kalimatnya. Senyumannya terlihat jelas di wajahnya. Senyuman tanda kemenangan.

Aidan berhenti setelah berjalan beberapa langkah. Ia masih berpikir dua kali untuk melakukan hal yang sebenarnya sudah ia pikirkan sebelumnya bertemu dengan Namira. Tetapi, setelah Namira datang dan memecah rencananya, Aidan menjadi ragu. Langkahnya penuh akan ketakutan dan rasa bersalah. Namun hatinya mencoba untuk melawan semua yang sedang ia rasakan.

“Gue juga boleh bahagia. Gue boleh melakukan apapun yang gue mau!” batin Aidan.

Aidan kembali mundur, ia menatap ke arah luar kamar lagi. Pikirannya sedang benar-benar kacau. Dilema hebat mulai menghampirinya.

Bagi Aidan, hubungannya dengan Namira sudah tidak bisa diselamatkan. Mereka sudah selayaknya berpisah. Tak perlu berjuang jika pada akhirnya akan menjadi sebuah kenangan. Entah kenangan yang manis suatu saat nanti, atau kenangan menyakitkan.

“Kalau memang tidak bisa diperbaiki, lebih baik pergi. Daripada menunda perpisahan yang berujung lebih menyakitkan,” ujar perempuan itu lagi kepada Aidan.

Aidan menengok ke arahnya. Ia kembali berjalan menuju ranjang. Kali ini langkahnya mulai yakin. Sepertinya Aidan sudah bisa memilih.

**

Namira menemukan selembar surat di meja yang ada di kamar hotel Dewangga. Ia mengambil surat itu lalu, membaca isi pesan yang bosnya tulis.

Namira, maaf saya pergi dulu. Tadi saya melihat kamu tidur sangat nyenyak dan nyaman. Saya tidak tega membangunkanmu. Jadi, saya biarkan kamu tidur pulas di sofa kamar saya. Kalau kamu mau keluar, silakan bawa kartu yang ada di meja bersebelahan dengan kertas ini.

Namira merasa malu sekali. Bukannya kerja yang bagus, ia malah tertidur di kamar hotel bosnya sendiri.

“Mau taruh dimana muka gue?” Namira kembali menepuk keningnya. Ia menyesal karena tadi memilih duduk di sofa ketika menunggu bosnya berganti pakaian.

“Gue balik sekarang aja, deh!”

Namira buru-buru pergi dari kamar hotel bosnya. Tak lupa ia membawa kartu akses masuk agar ia bisa keluar dengan mudah.

“Huh, ini sudah jam 3 sore. Bilang apa gue sama orang-oranh kantor baru aja balik dari makan siang,” ucap Namira lirih saat berada di lift seorang diri.

Saat sedang panik dan gelisah, tiba-tiba pintu lift terbuka. Harapan Namira pupus untuk berada di dalam lift sendirian. Namira takut ada orang yang dikenal, kemudian memergoki ia baru keluar dari hotel itu.

“Siapa nih yang masuk,” batin Namira gelisah.

Sepatu seorang laki-laki mulai terlihat di depan Namira. Namira masih enggan menoleh ke atas, ia tetap menunduk. Namira takut melihat seseorang yang ia kenal.

“Kamu belum pergi?” tanya laki-laki itu.

Jantung Namira memacu kencang. Suara itu tidaklah asing bagi Namira. Ia pun memutuskan menegakkan kepalanya dan melihat siapa orang yang ada di hadapannya.

“Aidan?” panggil Namira.

Baru saja Namira keringkan air mata yang membanjiri pipinya. Beberapa saat kemudian ia harus kembali berhadapan dengan lelaki penyebab air matanya mengalir deras.

“Kamu ngapain masih di sini? Jangan-jangan kamu.....”

“Sudah puas kamu sama perempuan itu?” tanya Namira tanpa mempedulikan pertanyaan dari Aidan sebelumnya.

“Puas apa, hah? Jangan nuduh sembarangan, ya!” sahut Aidan kesal.

Namira tersenyum sinis. Kekasih hati yang dulu menghiasi harinya, kini telah menghancurkan hatinya berkeping-keping.

“Aidan, jangan pura-pura deh. Orang lain juga bisa menilai. Kenapa laki-laki bawa perempuan ke dalam kamar hotel. Apalagi perempuan itu nggak dia kenal!” ujar Namira menahan tangis.

Bunyi lift sudah terdengar. Namira dan Aidan keluar dari lift itu, karena mereka sudah sampai di lantai dasar.

“Kamu ngapain ke lantai ini? Bukannya mobil kamu di basemen?” tanya Aidan mulai curiga.

Namira mematung satu detik. Ia mencerna pertanyaan dari Aidan.

“Iya, ya. Kenapa gue malah ke sini?” tanya Namira dalam hati.

“Oh jadi maling teriak maling ya, kamu!” ucap Aidan mengundang emosi Namira.

“Aidan!” Namira teriak sembari menahan tangis kesalnya.

“Apa? Kamu ke sini juga sama laki-laki lain, kan? Astaga, baru sadar aku ternyata di sini yang perusak hubungan itu kamu bukan aku!” ucap Aidan sambil menunjuk Namira tepat di depan keningnya.

Namira tak kuasa menahan air mata. Padahal sudah sekuat tenaga ia tahan agar tidak mengalir lagi.

“Aidan, jelas-jelas yang pengkhianat itu kamu bukan aku. Tapi kamu masih bisa balikin fakta?” balas Namira.

Namira dan Aidan terlibat perdebatan lagi. Namira menarik tangan Aidan agar mereka tidak berdebat di tengah lobby.

“Namira, lepasin!”

“Ikut aku!” sahut Namira.

Namira membawa Aidan ke tempat yang cukup sepi, tak banyak pengunjung yang berlalu lalang di sana.

“Aidan, aku ke sini hanya untuk menemui kamu. Aku nggak pergi bersama laki-laki lain, aku bukan pengkhianat seperti kamu!”

“Oh ya? Aku nggak percaya. Kalau kamu hanya menemui aku, lalu kenapa kamu masih ada di sini sampa sesore ini?” cerca Aidan.

“Niat aku tadi untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah kita. Aku nggak nyangka kejadiannya akan seperti ini,” ujar Namira.

“Kenapa sih kamu nggak mau ngaku aja? Jelas-jelas udah terbukti di kamar 211 kamu bersama perempuan lain, Aidan!” ungkap Namira lagi.

“Namira, dengar baik-baik. Hubungan kita sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kita tidak dapat restu, terus bertengkar, dan yang jelas tidak pernah menemukan solusi dari setiap masalah. Jadi, wajar kalau aku sudah menemukan pengganti kamu!” jawab Aidan.

Aidan meninggalkan Namira sendiri di sana. Ia ingin melanjutkan apa yang sudah ia rencana sebelum bertemu lagi dengan Namira di lift.

“Aidan...”

Namira masih menangis.

“Aku masih belum terima sama semua ini, Aidan,” ucap Namira di dalam gedung paling ujung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status