Share

Mengapa Seperti Ini

“Pak Dewangga?” ujar Namira, ia benar-benar merasa terkejut karena belum siap menerima pertanyaan dari siapapun. Ia pun Kembali menundukan kepalanya dan tidak berkata apa-apa karena tidak tahu harus berkata seperti apa.

“Ada apa dengan kamu, Namira?” tanya seorang laki-laki itu lagi. Namira berusaha menyeka air matanya, meski tak seluruh wajahnya kering, setidaknya ada bagian yang bisa ia hilangkan. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki yang mengajaknya bicara.

Namira seperti tidak percaya di hadapannya ada Dewangga, bos besarnya. “Kamu kenapa Namira? Hidung kamu berdarah!” serunya panik. Mendengar seruan dari Dewangga, Namira ikut panik. Ia tidak mengetahui hidungnya mengalirkan darah. Ternyata sudah ada beberapa tetes darah dari hidungnya yang jatuh ke lantai lift. “Astaga! Ada apa sebenarnya dengan kamu?” tanya Dewangga penuh dengan iba. “Ikut saya sekarang!” pinta Dewangga seraya menarik tangan Namira pelan.

Namira tidak bisa menolak permintaan dari bosnya itu. Ia takut permintaan kali ini adalah sebuah pekerjaan. Jika pekerjaan itu tidak ia kerjakan, maka, jabatannya akan terancam. Dewangga mengajak Namira keluar dari lift. Ia keluar ketika angka pada lift sudah sesuai dengan tujuannya. Dewangga mempercepat langkahnya. Matanya terlihat panik melihat sekretaris pribadinya terluka dan menangis seorang diri. “Namira, bagaimana jika kamu kenapa-kenapa?” tanya Dewangga sepanjang jalan menuju tempat yang belum Namira ketahui.

Setelah beberapa saat berjalan dengan kecepatan yang cukup cepat, Namira dan Dewangga berhenti di depan kamar hotel. Nomor kamarnya berbeda dengan nomor kamar Aidan. Namira sampai tidak ingin melihat nomor kamar yang tertera karena ia trauma. “Apa yang ingin Pak Dewangga lakukan, ya?” tanya Namira khawatir. Pintu kamar terbuka, Dewangga menyimpan kartu akses masuk di tempat yang telah disediakan. Dewangga mempersilakan Namira masuk dengan lembut. “Saya tidak akan berbuat yang aneh-aneh, saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jelas Dewangga ketika mengetahui Namira ragu ingin masuk ke dalam kamar.

Namira menuruti permintaan bosnya. Ia masuk ke dalam kamar dengan penuh keraguan. Tangan Namira sempat gemetar, ketakutan yang tidak bisa ia ungkapkan oleh kata-kata. “Namira, duduklah di sofa itu. Tunggu saya di sana!” perintah Dewangga halus. Namira mengangguk dan berjalan menuju ke sofa. Sampai di depan sofa, Namira tidak langsung duduk. Ia masih berdiri menunggu bosnya datang menemuinya. “Namira, duduklah lebih dulu! Saya akan segera datang!” teriak Dewangga dari arah toilet. Namira buru-buru duduk.

Tubuhnya merebahkan sedikit beban yang ia pikul beberapa menit ini. Satu dari seribu beban itu luntur. Selebihnya, semua masih menempel di dalam tubuh Namira. “Namira, sebenarnya ada apa dengan kamu? Kenapa bisa seperti ini?” tanya Dewangga ketika datang menghampiri Namira. Dewangga datang membawa tissue, air kompresan, dan air mineral. Namira tak pernah mengira Dewangga akan menjadi penolongnya disaat ia terpuruk.

“Saya bantu bersihkan darah di hidung kamu,” ucap Dewangga sebelum menyentuh bagian yang ingin ia bersihkan. Namira pasrah, menyerahkan semua lukanya pada Dewangga. Sebelumnya, Dewangga juga menyeka air mata Namira yang masih tersisa di wajah dengan tissue. Tangannya begitu lembut, tatapannya hangat, dan semua gesture tubuh Dewangga membuat Namira nyaman. Anehnya perasaan terancam tak lagi muncul pada benak Namira.

“Sudah!” seru Dewangga ketika telah selesai mengelap darah yang keluar dari hidung Namira. “Setelah ini, mari pergi ke dokter untuk memastikan kamu baik-baik saja,” ucap Dewangga meyakinkan. “Emm, tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja, kok!” jawab Namira tidak ingin menambah hal lain yang bisa merepotkan bosnya. “Jika kamu baik-baik saja, tidak akan ada darah yang mengalir dari hidung kamu,” bantah Dewangga lagi. Namira hanya bisa diam dan tidak bisa menyanggah kalimat dari Dewangga.

Dewangga meninggalkan Namira di sofa sejenak. Ia menelepon bagian restoran di hotel itu. Ia memesan beberapa makanan dan meminta untuk dibawa ke kamarnya. “Harus bagaimana nih, aku!” batin Namira panik. Namira mati kutu di sana. Bagaimana tidak, ia hanya berdua dengan bosnya di dalam kamar hotel. Jika ada salah satu orang kantor yang melihat keberadaan mereka, pasti gosip panas akan menyebar secepat kilat. “Permisi!” ketukan pintu memecahkan lamunan aneh dari Namira.

Dewangga buru-buru berjalan untuk membukakan pintu kamarnya. Salah satu petugas hotel datang, membawa beberapa makanan yang sudah Dewangga pesan. Namira merasa sedikit lega, sebab, ada orang yang tahu tentang keberadaannya. Jika terjadi sesuatu, maka, Namira bisa minta tolong kepada orang tersebut. “Tolong siapkan di ruang makan ya!” pinta Dewangga. Wanita yang mengantar makanan menuruti perintah dari Dewangga.

“Namira, ayo kita makan!” ajak Dewangga setelah semua makanan tersaji dengan rapi di meja makan kecil yang tersedia di kamar. “I-iya, Pak,” jawab Namira gugup. Namira tidak tahu harus berbuat apa di sana. “Saya permisi dulu Pak, Bu,” pamit wanita yang membawa nampan berisi banyak makanan. Namira hanya mengangguk kecil, tidak seperti Dewangga yang menjawab begitu ramah. “Namira, kemarilah. Ayo kita makan bersama!” ajak Dewangga kembali.

Namira ragu mendekat ke arah Dewangga atau diam saja di tempat. “Apa perlu saya jemput ke situ?” tanya Dewangga agar Namira tidak ragu menuju ke ruang makan. “Eee iya, pak. Saya ke situ sekarang,” jawab Namira tidak mau membuat Dewangga semakin aneh.  Dewangga dan Namira makan siang bersama di kamar hotel Dewangga. Rasa canggung dan kikuk menghampiri Namira saat itu. Namira enggan menyuapkan makanan ke mulutnya. Sampai Dewangga geregetan dan ingin menyuapkan makanan ke mulut Namira.

“Saya sementara tinggal di sini,” terang Dewangga disela waktu makan mereka. Namira melotot setelah mendengar penjelasan dari Dewangga yang sebenarnya tidak ia butuhkan. Namira memang sekretaris Dewangga, tetapi, ia tidak pernah mengusik kehidupan pribadi bosnya. “Daripada kamu penasaran kenapa saya ada di sini, lebih baik saya menjelaskan terlebih dahulu,” ujar Dewangga.

Namira mengangguk sembari menelan makanan yang sudah terlanjur ia siapkan ke mulut. “Setelah makan siang ini, saya akan bertemu dengan rekan kerja sekaligus sahabat lama saya. Namira, tolong pilihkan jas dan pakaian yang pas untuk saya, ya!” punya Dewangga kepada Namira. “Baik, Pak,” jawab Namira sembari berdiri dari kursi makannya. Makan siang mereka telah berakhir. Namira tidak pernah menyangka akan menghabiskan waktu makan siangnya bersama Dewangga di kamar hotel.

“Kemarilah, Namira!” panggil Dewangga. Namira memenuhi permintaan Dewangga. Ia menuju ke tempat Dewangga berdiri. “Kira-kira pakaian mana yang pas untuk saya?” tanya Dewangga. Namira bergegas memilihkan jas dan setelan yang pas untuk bosnya itu. Namira membelah deretan jas yang tergantung rapi di kamar hotel. Jas itu terlihat masih baru dan ada beberapa juga yang sudah terpakai. “Ini cocok untuk acara siang ini, Pak,” ucap Namira setelah menemukan jas yang cocok untuk Dewangga.

“Baiklah, saya ganti pakaian sekarang!” ujar Dewangga seraya mengambil jas yang telah Namira pilihkan. 

Namira pergi dari depan lemari itu. Ia menuju ke sofa yang ada di kamar hotel Dewangga. Sementara itu, Dewangga melepas pakaian yang ia kenakan dan mengganti dengan pakaian yang sudah Namira pilihkan. 

“Bagaimana jika sesuatu terjadi kepadaku?” batin Namira saat itu. Perasaan cemas, khawatir, dan takut campur menjadi satu. Namira hanya bisa duduk diam di atas sofa. Ia menahan segala perasaan yang tidak enak sendirian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status