"Ada tangis yang tak bersuara, mengalir di pipi seorang penguasa yang beku. Air mata itu bukan karena kehilangan, melainkan karena ketakutan akan kehilangan. Di antara detak jantung yang rapuh, sebuah hati yang mati akhirnya menemukan irama baru."
*** Kaelion berlari, menggendong Elaria yang tak sadarkan diri, menembus kerumunan pejabat yang panik. Matanya hanya tertuju pada satu tujuan: ruang tabib. "Tabib! Cepat!" Kaelion membentak, suaranya dipenuhi urgensi. Ia merebahkan Elaria di atas tempat tidur, tangannya gemetar. Seorang tabib istana datang dengan tergesa-gesa. Ia memeriksa luka di tangan Elaria, menatap warna kulitnya yang semakin memucat. Ia menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Racunnya sangat kuat, Yang Mulia," bisik tabib itu. "Saya tidak bisa menjanjikan apa pun. Kita hanya bisa menunggu..." "Tidak!" teriak Kaelion, suaranya pecah. "Kau harus menyelamatkannya! Lakukan apa pun!" Tabib itu menunduk."Ada langkah yang harus diambil dalam kesendirian, sebuah keputusan yang tak bisa terburu-buru. Namun, terkadang ada momen yang tiba-tiba datang, mematahkan semua ketakutan. Di antara ciuman dan janji, dua takdir yang berbeda mulai menuliskan kisah mereka sendiri." *** Setelah Kaelion mengantar Elaria kembali ke Estate Thorne, ia menghabiskan beberapa hari dengan penuh perenungan. Kata-kata Kaelion berputar-putar di benaknya seperti melodi yang tak pernah berhenti. Ia tahu, jika ia kembali, ia tidak bisa lagi menjadi figuran. Ia harus berani. Elaria bangun dengan sebuah keputusan. Ia tidak akan menunggu lagi. Ia akan menemui Kaelion, tetapi kali ini, ia akan menemuinya sebagai seorang wanita, bukan seorang figuran. Ia akan menuntut sebuah jawaban, sebuah jawaban yang akan mengubah hidupnya. "Aku akan kembali ke istana," Elaria berkata pada Viscount Thorne. "Saya akan menemuinya." Viscount Thorne menatapn
"Ada suara hati yang terlalu lama terkunci, kini ia meronta, ingin didengar. Ada sebuah pengakuan yang telah lama tertahan, kini ia harus keluar, tak peduli betapa takutnya. Karena ketika cinta bicara, tidak ada lagi ruang untuk bersembunyi." *** Setelah percakapan yang tegang, Kaelion dan Elaria kembali duduk di kursi masing-masing. Suasana di antara mereka terasa tebal dan berat, dipenuhi dengan ketidakpastian. Kaelion menatapnya, Elaria menunduk, menghindari tatapannya. "Apakah... Anda menginginkan teh lagi, Yang Mulia?" Elaria bertanya, suaranya sopan dan formal. Ia masih menjaga jarak. Kaelion menggelengkan kepalanya. "Tidak," ia menjawab, suaranya lembut. "Aku tidak membutuhkan teh. Aku hanya membutuhkanmu." Elaria terdiam. Hatinya berdebar kencang. Ia tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Kaelion bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela. Ia menatap ke luar, melihat pemandangan istana yang megah. "Elaria..
"Ada langkah yang tak lagi berlari, namun berdiri diam menanti. Ada hati yang tak lagi percaya, namun diam-diam mencari. Kaelion telah berhenti melarikan diri, kini ia hanya bisa menunggu, berharap Elaria mau menoleh dan melihat perubahannya." *** Setelah pertemuan di taman, Kaelion menepati janjinya. Dalam kurun waktu dua minggu, Elaria telah menerima tiga surat undangan resmi dari istana. Masing-masing dengan alasan yang berbeda: "konsultasi anggur," "laporan ladang," dan "urusan diplomasi." Elaria tahu, semua itu adalah alasan yang dibuat-buat. "Ini aneh, Ayah," Elaria membisikkan, menatap surat terakhir. "Duke Kaelion... ia tidak pernah begitu tertarik pada urusan ladang atau anggur kami." "Hati seorang pria dapat berubah, Elaria," Viscount Thorne menjawab, suaranya lembut. "Terutama setelah ia hampir kehilangan apa yang paling berharga baginya." Elaria datang ke istana. Ia bertemu dengan Kaelion di ruang kerjanya, tempat yang du
"Ada jalan yang harus dilalui dalam keheningan, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan hati. Jalan itu, yang dulu dipenuhi dengan luka, kini mulai diterangi oleh cahaya dari sebuah pengakuan. Jalan yang sunyi, namun tidak lagi sendirian." *** Sinar matahari sore memantul dari cangkir teh perak di meja. Elaria masih duduk di hadapan Kaelion, mencoba memproses setiap kata yang baru saja ia dengar. Hatinya, yang selama ini ia lindungi dengan dinding es, mulai merasakan kehangatan yang asing. "Elaria..." Kaelion berkata, suaranya lembut. "Apakah kau mau... berjalan-jalan di taman kerajaan bersamaku?" Elaria menatapnya. Ia masih bingung, dan hatinya masih takut. Permintaan itu adalah hal paling sederhana, tetapi datang dari Kaelion, itu terasa seperti sebuah janji yang megah. "Saya..." Elaria membisikkan, suaranya ragu. "Saya tidak tahu, Yang Mulia." "Tidak ada penjaga," Kaelion berkata, sua
"Ada gaun tua yang menyimpan kenangan, dan ada hati yang bersembunyi di baliknya. Undangan yang datang dari langit yang tak pernah ramah, kini menjadi jembatan antara masa lalu yang pahit dan masa depan yang penuh ketidakpastian." *** Di Estate Thorne, Elaria menatap surat undangan di tangannya. Stempel keluarga Vaelhardt yang dingin dan megah terasa seperti ironi yang kejam. Permintaan untuk minum teh di istana. Sebuah permintaan yang sederhana, namun memiliki bobot yang sangat berat. "Elaria, apakah kau yakin ingin pergi?" Viscount Thorne bertanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Duke Kaelion... ia telah menyakitimu." "Saya tahu, Ayah," jawab Elaria, suaranya datar. Ia berjalan ke kamarnya, membuka lemari, dan mengambil sebuah gaun tua yang terbuat dari kain yang halus. Gaun itu milik ibunya. Itu adalah gaun terindahnya. "Aku akan pergi," Elaria membatin, "tapi aku tidak akan membiarkan diriku hancur
"Ada hati yang menemukan jangkar setelah lama terombang-ambing. Sebuah jalan yang gelap kini diterangi oleh tekad. Kaelion, sang Duke yang kejam, kini tak lagi berlari, melainkan berjalan menuju takdir yang ia pilih sendiri." *** Kaelion bangkit dari kursinya, suaranya yang penuh dengan otoritas menggema di ruang kerjanya. "Panggil Kapten Renier! Siapkan pasukan. Aku akan kembali ke Estate Thorne. Sekarang juga." Kapten Renier, yang terkejut sekaligus lega, segera bergegas. Kaelion berdiri di sana, menatap jendela, hatinya berdebar kencang. Ini bukan lagi keputusan yang didasari oleh politik, melainkan oleh perasaan yang selama ini ia sangkal. "Bodoh," Kaelion membatin. "Kenapa baru sekarang? Kenapa aku harus menunggunya hampir mati dan menjadi dingin seperti ini, hanya untuk menyadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya?" Ia berjalan ke arah mejanya, tangannya gemetar saat menyentuh sebuah pena. Ia tahu ia tidak bisa hanya datang da