Aku pikir aku hanya pembaca biasa, duduk diam menikmati kisah cinta yang penuh derita. Hingga suatu malam, aku terbangun di dunia sebuah cerita. Bukan sebagai tokoh utama, bukan pula villainess haus kuasa, aku hanyalah figuran, tokoh pinggiran yang nyaris tak punya suara. Di dunia itu, aku bertemu dengannya, sang lelaki kedua yang tak pernah merasakan arti cinta dan selalu terluka. Dunia seolah mengabaikannya, takdir pun tega mencampakkannya, bahkan penulis aslipun tak pernah memberinya akhir bahagia. Tapi aku ingin menulis kisah yang berbeda. Aku akan memberinya cinta, yang tak tertulis dalam naskah cerita. Karena kini aku tahu, kisah ini bukan tentang mereka, sang pemeran utama. Ini tentang dia... dan aku, si figuran tanpa suara, yang bertekad mengubah takdirnya.
View More“Jika seseorang terhapus dari kisah, apakah kenangan tentangnya juga ikut lenyap? Jika namanya dihapus dari buku takdir, lalu mengapa aku masih mengingatnya?”
*** Langit Luthadel tak berbintang malam ini. Angin yang biasanya membawa nyanyian malam, kini datang menggugurkan daun-daun tua. Ia menyapu menara Nightborne dengan lirih, seperti ratapan jiwa-jiwa tak sempat selesai bercerita. Di balik jendela tinggi menara, seorang pria berdiri dalam diam. Kaelion Vaelhardt, sang Duke of Nightborne, berdiri dengan tubuh tegap. Namun matanya… kosong. Di hadapannya, terbuka sebuah naskah kuno. Benda itu bukan buku biasa, melainkan naskah yang menuliskan seluruh alur kehidupannya sebagai karakter di dunia ini. Semua tokoh memilikinya, tapi tak semua tahu cara membaca. Namun kini, di halaman ke-312 sampai ke-349, tak ada satu pun kata tertulis. Hanya halaman kosong, putih, dingin… seperti liang digali tanpa batu nisan. "Hilang... semuanya hilang dan kosong," lirihnya. "Kau tak akan menemukannya," suara penasihat sihir bergema minggu lalu. "Karena wanita itu… tidak pernah ada.” "Omong kosong!" Kaelion mendesis, matanya tajam. "Aku mengingatnya. Aku sangat mengingatnya." Ia ingat tawa itu. Sentuhan hangat jemarinya. Tatapan lembut penuh pemberontakan dari wanita yang tidak ingin disebut ‘lady’, meski darah bangsawan mengalir di nadinya. Ia ingat Elaria Thorne. Ia memejamkan mata. Kenangan itu masih terasa nyata, mereka berdansa di lorong rahasia perpustakaan kerajaan. Bersembunyi dari prajurit pencari takdir. "Bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua ini?" gumamnya, getir. Ia ingat suaranya, wangi tubuhnya, aroma rambutnya saat tertiup angin. Namun kini, semua orang melupakannya. "Bahkan buku takdir ini… ikut membohongiku," Kaelion berucap, suaranya dipenuhi frustrasi. “Mengapa hanya aku yang mengingatnya…?” Kaelion bertanya pada kehampaan. "Apa kau benar-benar ingin aku melupakanmu, Elaria?” Satu lembaran halaman kosong tiba-tiba beterbangan karena hembusan angin. Kaelion menangkapnya cepat, namun tidak menulis apa pun. Halaman ini milik seseorang yang seharusnya masih hidup, namun kini terbuang dari cerita. Ia duduk, menarik laci kecil di bawah meja batu. Di dalamnya tersimpan peta kuno, tak boleh disentuh siapa pun yang menginginkan keselamatan. Peta itu menunjuk satu tempat. Gerbang Veylun, ruang antara dunia fiksi dan nyata. Tempat legenda mengatakan karakter bisa melintasi batas narasi, jika kenangan mereka cukup kuat membelah dimensi. Kaelion berdiri. Sorot matanya, yang selama ini beku, kini berkobar. Bukan karena cinta. Tapi karena kehilangan yang terlalu dalam. "Ini bukan lagi tentang cinta," bisiknya. "Ini tentang kebenaran." “Kalau dunia ini telah membuangmu… maka biarlah aku yang keluar dan mencarimu.” Ia melangkah di lorong batu yang diterangi cahaya sihir biru. Prajurit bayangan menunduk diam. Semua makhluk tahu, malam ini sang Duke membawa misi lebih besar dari perang. Ia hendak menembus narasi itu sendiri. Saat ia tiba di hadapan Gerbang Veylun, simbol-simbol tua mulai menyala. Udara bergetar. Dunia mulai bereaksi. “Tunggu aku, Elaria.” Suara Kaelion terdengar tegas. "Aku datang untukmu." “Meski kau dihapus, aku tetap mencintaimu sebagai pria… bukan sebagai karakter.” "Dan jika dunia barumu tak mengizinkanku masuk," ancamnya, suaranya menggema, "maka akan kubakar setiap baris takdir ini, sampai kau kembali berdiri di sampingku.” Dengan langkah pasti, Kaelion memasuki pusaran cahaya. Angin meraung. Dimensi retak. Dunia pun mulai berubah. *** Langit kota itu menggantung berat, abu-abu gelap menekan dada. Sejak pagi, awan pekat membungkus kota tanpa beranjak, mengoyak harapan akan tetes hujan menyejukkan. Namun, langit hanya menangkap beban itu, menahannya enggan. Seperti jiwa-jiwa tersesat di antara riuhnya kehidupan yang tak pernah berhenti. Laurenta Wallace melangkah pelan, hampir tanpa tujuan. Ia menyusuri trotoar basah oleh gerimis sisa sore. Sepatunya yang lusuh tak lagi dipedulikan, menyentuh aspal dingin yang berkilau samar. Tubuhnya bungkuk, lelah bukan hanya karena perjalanan hari itu. Ia juga membawa beban tak terlihat dari perasaan yang sudah lama menumpuk. "Kapan ini semua berakhir?" keluhnya dalam hati. Seperti awan yang tak pernah membuka pintu hujan. Tas selempang kecil di dadanya terasa berat, bukan karena isi. Hanya dompet tipis, kartu identitas, dan beberapa koin receh. Tapi ia membawa seluruh kerinduan dan luka tak terucapkan. Setelah hari-hari di ruang penerbitan, di antara tumpukan manuskrip dan wajah-wajah tuntutan. Laurenta merasa dirinya hanya bayangan, hilang di antara halaman-halaman yang terus dibolak-balik. Ia dulu mencintai pekerjaannya, menghidupkan kata-kata, memahat cerita. "Tapi kini," ia menghela napas, "semuanya berubah." lirihnya. Rutinitas melelahkan yang menenggelamkan jiwa. Di sebuah halte bus yang remang, ia duduk tanpa semangat. Bangku logam dingin itu menusuk. "Dingin sekali," gumamnya, menarik jaket. Ia membiarkan punggungnya bersandar pada papan reklame berkilauan samar, menampilkan iklan minuman energi. "Kekuatan instan?" ia mencibir. Ironis sekali. Energi yang dulu diharapkan kini hanyalah fatamorgana. Laurenta merogoh tas kecilnya. Jari-jarinya sedikit gemetar meraba sesuatu yang akrab, selalu memberinya kedamaian. Sebuah buku. Heart’s Companion. Buku lusuh itu seperti sahabat lama yang setia menemani malam-malam gelapnya. Sampulnya pudar dan ujungnya sobek, membuktikan perjalanan panjangnya. "Sahabat setiaku," bisiknya lirih. Laurent membuka halaman tengah, bagian paling ia cintai. Kisah Kaelion dan Leona, si tokoh yang nyaris sama namanya, bercerita tentang cinta dan pengorbanan. Ia tidak perlu membaca lagi. Kata-kata itu sudah tercetak dalam ingatannya, terpatri dalam hati. Namun, dengan jari lembutnya, ia menyusuri baris demi baris, membiarkan setiap huruf menembus kalbu. Nafasnya berat, dan suara lirihnya pecah di antara desir angin. “Kenapa harus dia?” gumamnya, putus asa. “Kaelion, pria yang selalu benar, selalu dewasa, selalu mengerti... tapi kenapa dia selalu kalah? Kenapa cinta sejati harus pergi ke orang lain?” Ia menatap gambar pria berambut perak di sampul belakang, dengan mata kelam penuh luka. Kaelion, sang pahlawan yang selalu datang di saat tepat, tapi yang cintanya harus berakhir tanpa keadilan. “Kenapa second male lead selalu yang terluka?” ucap Laurent dengan nada getir. Amarah mulai membuncah. "Kenapa bukan dia yang bahagia?” Matanya mulai basah. Air mata yang tertahan mengalir pelan, membasahi halaman buku. “Aku tahu rasanya… ditinggalkan saat kau sudah memberikan segalanya,” ia berbisik dengan suara pecah, menggenggam buku itu seolah nyawanya. “Kalau aku bisa… kalau aku bisa hidup di dunia itu, aku akan pilih dia. Aku akan janjikan kebahagiaan yang dia pantas dapatkan.” Angin malam berhembus lebih kencang, seolah mengangkat doa dan harapan terpendam. Daun-daun bergesekan, membisikkan cerita tentang kehilangan dan cinta yang tertunda. Tiba-tiba, langit membelah oleh kilat yang menyambar tajam tepat di atas kepala Laurent. Cahaya putih menyilaukan menyelimuti halte itu, suara gemuruh menggelegar seperti dunia hendak runtuh. Seketika, angin berputar membentuk pusaran kecil. Dari tengah pusaran itu, asap hitam bergulung, menjulur ke atas seperti makhluk hidup yang lapar. Laurent menjerit, suaranya tertelan raungan alam dahsyat. Tubuhnya tersedot ke dalam pusaran, matanya membelalak ketakutan, seolah menatap akhir dunia, sebuah jurang menganga. Buku lusuh itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, melayang pelan sebelum jatuh di bangku logam basah. Dalam sekejap, Laurenta Wallace lenyap. Suasana menjadi sunyi, hanya tersisa rintik hujan yang mulai turun perlahan, membasahi dunia yang seakan meratapi kepergiannya. Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki memecah kesunyian mencekam. Tap… tap… tap. Seseorang muncul dari bayang-bayang, sosok tinggi dengan jas hitam rapi. Topi fedora sedikit menutupi wajahnya. Langkahnya mantap tapi tenang, membawa aura misteri. Dia berhenti di depan bangku, menatap benda-benda yang tertinggal. Sorot matanya tak terbaca. "Jadi, ini tempatnya," gumamnya pelan. Sebuah buku. Sebuah tas selempang. Dengan jari-jari panjang dan rapi, pria itu mengambil buku. Matanya menyapu sampul usang dengan pandangan penuh arti, seolah menunggu momen ini sepanjang waktu. “Akhirnya,” suaranya rendah dan serak, “dia dipilih juga.” Lalu, tanpa tergesa, ia mengambil tas Laurenta, tersenyum, bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh rahasia yang terpendam lama. Sosok itu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan halte yang kini basah oleh hujan. Di udara, rintik-rintik turun deras, mencuci debu dan luka, menandai awal dari kisah yang baru, sebuah takdir yang akan ditulis ulang."Nurani adalah cermin jiwa, memantulkan kebenaran yang tak kasat mata. Di tengah kekelaman tuduhan, sebuah hati yang berani bersinar, menerangi jalan bagi yang terpinggirkan." *** Keterasingan menjadi teman Elaria setelah insiden pesta dan kontes berburu. Undangan ke jamuan makan dan acara sosial berhenti total. Viscount Thorne masih murka, dan Clara terus mengawasinya seperti elang. Elaria menghabiskan hari-harinya di taman istana, membaca buku atau mencoba melukis. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, tak terlihat, tak penting. "Aku tak bisa terus begini," bisiknya pada bunga mawar. "Aku harus menemukan cara. Bukan untuk membuat mereka terkesan, tapi untuk diriku sendiri." Ia merindukan dunianya yang dulu, di mana tawa dan kejujuran adalah hal yang wajar, bukan sebuah keanehan. Di sini, ia harus berhati-hati dengan setiap kata dan gerak-gerik. Suatu pagi yang dingin, Viscount Th
"Cinta adalah pisau bermata dua. Ia mengukir nama di hati, namun juga merobeknya saat takdir memilih jalan yang berbeda. Di tengah gemuruh sorak-sorai, dua hati hancur dalam diam." *** Berita pertunangan Pangeran Aerion Vaelhardt dan Lady Leona menyebar bagai api. Pengumuman resmi itu menggema di seluruh penjuru Caelum, menjadi topik utama di setiap meja makan bangsawan, di setiap kedai kopi, bahkan di telinga rakyat jelata. Elaria mendengarnya dari bisikan para pelayan di Estate Thorne. "Lady Leona dan Pangeran Aerion akan bertunangan!" Mereka berkata dengan riang, tak menyadari beban di hati Elaria. Hatinya mencelos. Ia tahu hari ini akan tiba, namun mendengarnya secara langsung tetap terasa seperti hantaman. "Ini sudah dimulai," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia ingat jelas adegan ini di novel. Sebuah upacara megah di plaza utama, disaksikan ribuan pasang mata. Kaelion, sang Duke yang pendiam
"Ada dinding yang dibangun bukan dari batu, melainkan dari kesepian yang dalam. Dan Elaria, dengan segala kegilaannya, bertekad merobohkan dinding itu, batu demi batu." *** Malam-malam setelah jamuan makan yang memalukan itu, Elaria menghabiskan waktunya merenung. Kata-kata Kaelion di hutan, tatapannya yang kosong di balkon, dan cemoohan para Lady di pesta, semuanya berputar di benaknya. "Dia kesepian," bisiknya pada diri sendiri, menatap pantulan wajahnya di cermin. "Aku melihatnya. Di balik semua dinginnya." Tekadnya semakin menguat. Ia tidak akan menyerah hanya karena Kaelion menganggapnya aneh, atau karena para bangsawan menertawakannya. Ia pernah membaca, di dunia asalnya, ketekunan sering kali berbuah manis. "Jika dia tidak bisa melihatku, aku harus membuatnya melihatku," gumam Elaria, menyusun rencana baru. *** Pagi itu, Elaria meminta Lyssa untuk membantunya. "Lyssa, aku ingin mengirimkan bunga ini ke Istana Nightborne. Untuk Duke Kaelion." Ia memegang seikat bunga sil
"Bahkan tawa yang paling tulus pun bisa menjadi sumbang di telinga yang salah. Di dunia penuh topeng, kejujuran adalah pengkhianatan paling menyakitkan." *** Pergelangan kaki Elaria masih terasa nyeri, namun luka di hatinya jauh lebih sakit. Pertemuan di hutan dengan Kaelion meninggalkan bekas yang dalam. Kata-kata dingin pria itu, "Kau sebaiknya tidak mencoba berada di jalur kami," terus terngiang. "Jalur kami? Memangnya aku pengganggu?" gumam Elaria pahit, saat Clara membalut pergelangan kakinya. "Aku hanya ingin membantu!" Clara hanya menatapnya dengan tatapan "sudah kuduga". Elaria tahu, Clara pasti sudah melaporkan semuanya pada Viscount Thorne. Ia siap menerima omelan lagi. Namun, yang datang bukanlah omelan, melainkan undangan lain. Viscount Thorne, entah mengapa, memutuskan untuk membawa Elaria ke jamuan makan malam penting yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga bangsawan terkemuka. "Ini kesempatanmu untuk memperbaiki kesan buruk," kata Viscount Thorne, wajahnya d
"Di antara rerimbunan hutan, sebuah takdir mencoba mengukir jalannya sendiri. Ia tersesat, terjatuh, namun justru di sanalah ia menemukan pandangan mata yang telah lama ia dambakan." *** Musim gugur perlahan menyelimuti Caelum. Daun-daun berubah warna menjadi emas dan merah, jatuh satu per satu, seolah ikut menari dalam kesunyian. Udara pagi terasa renyah, membawa aroma tanah basah dan kebebasan. Elaria memandang daftar acara yang ditempel di papan pengumuman Istana Thorne. Sebuah kontes berburu tahunan untuk kaum bangsawan akan segera diadakan di hutan kekaisaran. Ini adalah acara yang biasanya diikuti oleh para pria, atau Lady yang memiliki keterampilan berkuda dan memanah yang mumpuni. "Kesempatan," gumamnya, matanya berbinar. "Pasti ada Kaelion di sana." Ia tahu, berdasarkan novel Heart's Companion, Kaelion Vaelhardt selalu ikut dalam kontes berburu. Ini adalah salah satu dari sedikit kesempatan di mana ia keluar dari bayang-bayang istana dan menunjukkan keterampilannya. "Ba
"Ketika takdir mengunci semua pintu, akal adalah kunci terakhir yang mampu membebaskan. Elaria tidak akan lagi menyerah pada naskah yang tak adil." *** Kereta kuda keluarga Thorne terasa dingin dan sunyi di perjalanan pulang. Elaria duduk bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Rintik hujan masih membasahi kaca, seperti air mata yang tak henti jatuh. Pesta emas itu meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar sepatu basah atau gaun ternoda. Harga dirinya hancur berkeping-keping. "Bodoh sekali aku," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia telah melihat Kaelion, sedekat itu. Namun, jarak takdir antara mereka terasa tak terlampaui. Kaelion bahkan tak meliriknya, tak ada secuil pun pengakuan di mata obsidian itu. "Hanya figuran, persis seperti yang kubaca," desis Elaria, mengepalkan tangan. Amarah mulai membakar rasa malunya. "Tapi aku bukan figuran biasa! Aku adalah Laurenta Wallace!" Frustrasi menggerogoti setiap sel tubuhnya. Ia sudah mencoba. Ia sudah mengerahkan keberania
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments