“Starla sakit? Dia di rumah sakit mana?” buru Radev cepat.“Saya juga nggak tahu di rumah sakit mana, Pak, tapi tadi katanya izin mau ke rumah sakit.”Radev merogoh saku lalu mengambil ponsel dari sana. Sambil berjalan masuk ke ruangannya ia bermaksud menelepon Starla. Tapi sebelum panggilan tersambung Radev mengurungkan niatnya. Starla bisa besar kepala kalau Radev terkesan memerhatikannya.Alhasil lelaki itu mondar-mandir sendiri di ruangannya dengan perasaan khawatir sambil mengira apa yang terjadi pada asistennya itu.‘Ngapain juga gue mikirin dia. Apa urusannya gue sampe secemas ini. Memang siapa Starla? Nggak lebih dari seorang asisten biasa.’ Pria itu berkata di dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.Starla memang jarang sakit, tapi bukan berarti tidak pernah. Namun, Radev merasa biasa saja. Ia bahkan tidak memerhatikannya. Radev hanya peduli pada pekerjaan yang ditangani Starla harus selesai dengan baik.***Sudah berjam-jam Starla berada di rumah sakit. Tadi saat sedan
“Saya tahu, Pak, nanti gaji saya dipotong.”“Bukan hanya itu. Seperti yang saya bilang tadi bulan ini udah nggak ada slot peminjaman uang. Tapi karena saya berbaik hati maka sebagai imbalannya kamu harus mau menemani saya ke acara nanti malam.”Starla seketika terdiam. Ia tidak mungkin pergi dengan Radev di saat orangtuanya sedang terbaring di rumah sakit. Sementara di hadapannya Radev sedang memandang padanya. Starla tahu Radev tidak perlu menunggu jawabannya. Radev tidak butuh persetujuan Starla. Jadi percuma juga ia menolak. Masalahnya kali ini Starla benar-benar tidak bisa. Ia harus menjaga ayahnya di rumah sakit. Mayang pasti akan menyuruhnya. Starla berani bertaruh untuk itu.“Pak, bukannya saya nggak mau, tapi saya harus menjaga Papa saya di rumah sakit.” Starla menyampaikan alasannya dan berharap atasannya itu bisa mengerti. Namun, bukan Radev namanya jika tidak memaksa.“Kalau kamu nggak bersedia saya bisa batalkan approval tadi,” ancam lelaki itu.Starla meremas ujung bajuny
"Njir, gila si Radev. Itu ngapain nyosor-nyosor anak orang?”Celetukan Gavy membuat dua temannya serentak menoleh ke arah yang sama.Tampak tidak jauh dari mereka Radev dan Starla sedang berdansa dengan begitu intim.“Si Starla sebenarnya asisten atau pacarnya Radev sih?” Keheranan itu berasal dari Aksa. Apa yang dilakukan Radev dengan Starla saat ini terlalu berlebihan jika disebut sebagai hubungan biasa antara atasan dan bawahan.“Parah nih Radev. Untung nggak ada Ajeng,” kata Gavy menanggapi.“Tapi kalo dilihat-lihat Radev lebih cocok sama Starla sih ketimbang Ajeng. Ya nggak?”Gavy mengangkat alisnya sebagai tanda setuju.“Gimana menurut lo, Ka?” Aksa memandang pada Bjorka ingin tahu apa pendapatnya. Sejak tadi Bjorka hanya diam tanpa memberi komentar apa-apa.“Radev kan udah punya Ajeng. Jadi mau dikata Starla lebih cantik atau lebih cocok sama Radev pun tetap nggak akan mengubah apa-apa,” jawab Bjorka bijaksana. Di antara mereka berempat Bjorka lebih dekat dengan Radev, sehingga
Ajeng masih ngamuk di mobil saat Radev membawanya pergi. Perempuan itu terus mencecar dengan kata-katanya yang kasar. Sementara itu Radev yang berada di sebelahnya tidak menggubris perempuan itu. Alih-alih akan meladeni, Radev malah sibuk mengutak-atik ponselnya yang membuat Ajeng jengkel setengah mati.“Aku tuh lagi ngomong sama kamu, Dev! Kamu malah sibuk main hp! Kamu pikir aku apa, hah?” Ajeng akan merebut ponsel dari Radev, tapi dengan gerakan cepat lelaki itu menjauhkannya lalu menyimpan ke saku celana.Radev mengembalikan konsentrasi pada jalanan di hadapannya. Lelaki itu fokus menyetir.“Kamu nggak menghargai aku sedikit pun. Kamu anggap apa aku ini, Dev? Apa kamu lupa kalau aku tunangan kamu? Bahkan aku nggak hanya sekadar tunangan. Aku ini calon istri kamu!"“Gimana aku bisa menghargai kamu kalau kamu nggak bisa menghargai orang lain,” jawab Radev akhirnya tanpa memandang pada Ajeng.“Orang lain mana yang harus aku hargai?”Radev mendengkus pelan. Ajeng pasti paham siapa yan
“Ke mana aja lo kemarin? Nyokap gue susah-susah jagain bokap lo, tapi lo-nya malah kelayapan!”Pertanyaan bernada tidak menyenangkan itu membuat Starla memalingkan wajah ke arah pintu. Tampak di sana adik tirinya sedang berdiri dengan tangan bersedekap.“Ada acara kantor,” jawab Starla yang tidak ingin ribut. Ini masih terlalu pagi untuk perang mulut. Ia tidak ingin merusak mood-nya dengan hal-hal tidak berguna.“Tiap ditanya lo selalu ngejawab dengan alasan yang sama. Nggak ada alasan lain apa?”“Jadi kamu maunya aku ngejawab apa?” lirik Starla melalui kaca meja rias tempatnya bercermin saat ini.Tantri mengeluarkan dengkusan. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai Starla. Starla mempunyai segala yang tidak dimilikinya. Starla berwajah menawan dengan bentuk tubuh yang ideal. Starla juga cerdas dan disenangi banyak orang. Sedangkan dirinya hanyalah seorang perempuan berwajah biasa yang kelewat kurus dan hatinya busuk.Tantri menarik langkah mendekat kala matanya bertemu dengan tube dress
Tampak seorang perempuan sedang bicara pada Starla. Starla tidak menyangka akan bertemu dengan perempuan tersebut di tempat ini walau sebenarnya tidak mustahil hal itu terjadi.Dikembangkannya senyum ramah bersama sapaan yang terlontar dari bibirnya. “Selamat pagi, Bu Megan.”“Kamu sedang apa di sini?”“Saya disuruh Pak Radev ke sini, Bu. Saya bantu-bantu Bapak menyiapkan perlengkapannya. Ini saya mau beli roti buat sarapan Bapak, Bu,” terang Starla menjelaskan sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.Megan menyipit memandang Starla. “Perlengkapan apa yang kamu maksud?” tanyanya belum puas.“Pakaian dan sarapan Pak Radev.”“Memangnya kamu nggak bisa menyiapkan sehari sebelumnya? Atau seminggu sebelumnya?”“Bisa, Bu, tapi Pak Radev mau saya datang setiap pagi.”“Ada-ada saja.” Megan geleng-geleng kepala. Perempuan itu kemudian memindai Starla segenap-genapnya tanpa ada yang terlewat dari tangkapan matanya. “Setahu saya kamu sudah dipecat, kenapa balik lagi?”“Karena Pak Radev masih but
“Pak Radev, kok di sini?”Pertanyaan itu Radev dengar dari Starla sesampainya lelaki itu di lantai dasar.“Kita langsung ke kantor,” sahut Radev singkat lalu berjalan mendahului Starla.“Rotinya, Pak? Bapak nggak jadi sarapan?” tanya Starla kebingungan namun tetap mengikuti langkah Radev.“Sarapan di kantor.” Jawaban pria itu masih seringkas tadi.Bertahun-tahun bekerja dengan Radev tidak lantas membuat Starla memahami lelaki itu. Saat ini misalnya. Setelah tadi memutuskan untuk sarapan di apartemen, tiba-tiba saja Radev mengajaknya pergi.Duduk diam di sebelah Radev setelah mereka tiba di mobil, Starla hanyut dalam pikirannya sendiri. Kira-kira apa yang dikatakan Megan pada Radev? Lantas bagaimana reaksi Radev?“Pak, tadi saya ketemu Ibu Megan di depan lift. Bapak udah ketemu sama Ibu?” tanya Starla sambil memandang ke arah Radev.“Hm.” Radev menjawab dengan gumaman.Hening sejenak. Starla memutar otak mencari padanan kata yang tepat untuk bertanya pada Radev apa tadi Megan membicara
Ajeng terduduk dengan muka merah padam. Perkataan Radev tadi membuatnya malu setengah mati. Apalagi lelaki itu mengucapkannya terang-terangan di depan orang lain—Bjorka.“Ka, jangan percaya apa yang dibilang Radev tadi. Itu nggak benar. Aku nggak pernah filler. Semua bagian wajahku masih ori,” dustanya membela diri.Bjorka menerbitkan senyum tipis di bibirnya. Ia tahu persis siapa yang salah dan siapa yang benar di antara keduanya. “Take it easy. Nggak mungkinlah kamu udah cantik begini masih pake filler-filleran.”“Thank’s, Ka.” Ajeng tersipu. Lega karena berhasil meyakinkan Bjorka.“Mau ikut makan sekalian?”“Boleh deh.”Bjorka memanggil waitress, memesankan makanan untuk tunangan sahabatnya, sehingga jadilah mereka makan berdua.“Aku udah nggak ngerti lagi sama Radev. Aku salah apa coba?” curhat Ajeng di sela-sela kunyahannya.“Coba deh kamu introspeksi diri, kira-kira udah bikin apa sampai Radev jadi kesal,” jawab Bjorka menanggapi.“Aku nggak salah apa-apa. Aku baik-baik aja kok.