Anna terdiam, saat mendengar usulan Dirga yang membuat dirinya sedikit memiliki jalan keluar agar Daren tidak lagi menekan dirinya agar terus menjadi kekasih gelapnya. "Apakah aku harus menerima tawaran dari Dirga untuk menjadi pacarnya?" batin Anna bertanya-tanya. Melihat Anna yang malah bengong, Dirga menyeringai, berharap jika wanita yang diam-diam dia suka mau memikirkan semua perkataannya. "Bagaimana Anna, aku tahu ka Daren selalu mencoba mendekatimu kan? tapi kamu harus ingat jika dia sudah memiliki istri dan akan menjadi masalah untukmu jika terus dekat dengan Kaka sepupuku," Dirga kembali mengingatkan. Ketika Daren yang sedang bersama beberapa klien dan rival bisnisnya, dia tak sengaja melihat Anna yang malah dekat bersama dengan Dirga. Membuat hatinya semakin emosi dan kesal. Bahkan rasa cemburunya semakin menggebu-gebu. Sebagai seorang istri, Renata sengaja menghampiri Daren lalu memegang lengannya dengan sangat mesra, saat membuat semua para rekannya mulai menya
Anna yang sudah sangat kesal kini ia berjalan ke toilet, mengingat Hera yang selalu mencoba untuk menggangunya. Membuat ia berusaha untuk menghindar. "Benar-benar keterlaluan Hera selalu saja berusaha untuk menganggu aku, andaikan saja jika bukan demi ibu, aku tidak ingin bertahan di perusahaan," keluh Anna yang terkadang merasa sangat lelah. Baru saja Anna menghidupkan air kran, tiba-tiba saja dia merasa sangat mual sampai pada akhirnya ia merasa sangat mual dan dengan spontan muntah-muntah sampai beberapa kali. "Ya ampun kenapa aku sangat pusing dan lemas sekali," Anna segera mencuci wajah dan menatap gambaran dirinya di depan cermin wastafel membuat ia sejenak merenung dan mematung. Mengingat dirinya yang belum datang bulan. Membuat Anna sedikit cemas dan panik. Mengingat dirinya yang sudah beberapa kali menemani bos-nya untuk tidur, bahkan Anna terlihat sangat cemas dan syok dengan pemikiran yang melintas di kepala. Tapi dia berusaha untuk menepis semua itu. "Tidak mun
Ketika Anna tengah mempromosikan beberapa hal tentang produksi perusahaan, tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat pusing. Bahkan wajahnya tiba-tiba memucat. Hingga Anna hampir saja terjatuh. Namun beruntung, Dirga segera meraih dan menahan pingangnya. Sampai membuat Daren yang berada di sana sangat terkejut. "Anna! kamu kenapa?" tanya Dirga cemas dan panik. Semua para klien dan beberapa rival Daren ikut panik, saat melihat Anna yang terlihat sangat lemas. Sampai mereka menyarankan agar Anna di bawa ke klinik. Dirga yang sangat cemas dan terlebih lagi saat ibu Anna menitipkan, membuat dia merasa lebih bertanggung jawab akan Anna. Tanpa membuang waktu lagi Dirga segera meminta ijin pada Daren. "Tuan Daren, saya ingin meminta ijin untuk membawa Anna ke klinik terdekat," ucap Dirga pamit. Daren yang masih berdiri mematung hanya menatap tajam dan tidak suka pada Dirga, yang sudah lancang menyentuh Anna di depan matanya. "Sial, berani sekali dia menyentuh Anna," geram Dar
Wajah Anna memucat setelah keluar dari ruangan Dokter, Dirga yang kebetulan mengantar dia segera menghampiri dan mencecar beberapa pertanyaan. "Anna! bagaimana kondisi kesehatanmu?" tanya Dirga yang begitu antusias. Anna terdiam, rasanya dia tidak mungkin mengatakan hal pribadi pada rekan kerja yang baru-baru ini dia kenal. Apa lagi tentang kehamilan yang membuat dirinya juga terkejut. "Tuan Dirga terima kasih karena sudah mengantar saya ke sini, tapi aku tidak papa hanya masuk angin dan kelelahan saja," jawab Anna berbohong. Melihat rona wajah Anna yang pucat, membuat Dirga yakin jika Anna sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi dia tidak ingin memaksa Anna untuk jujur. "Sebaiknya aku menyelidikinya sendiri nanti, kalau aku terlalu mendesak, yang ada dia nanti merasa tidak nyaman," Racau Dirga dalam hati. Melihat jam yang sudah larut, Anna memutuskan untuk pulang sesuai permintaan sang ibu, yang rusak ingin membuat khawatir. "Tuan, sepertinya saya tidak bisa lagi
Daren menatap tajam pada Dirga, saat Dirga mengingatkan tentang status dirinya. Yang membuat Dirga terheran karena bos atau kakak sepupunya terus memaksa Anna untuk pulang bersama. Tentu saja dengan tegas Anna menolak, karena sudah tak ingin lagi mempunyai komunikasi atau hal-hal yang mengarah padanya Dare. "Ayo Anna, aku sudah bilang padamu jangan dekat dengan pria lain, karena aku tidak suka," Bentak Daren Sembari menarik tangan Anna dan memutuskan ini agar tidak menganggu dirinya lagi. Anna berusaha memberi penjelasan ini pada sang bos, tapi Daren tidak mau terima dan memaksa bahkan sampai sedikit memaksa agar mau pergi dengannya. "Tuan, tolong jangan seperti ini, aku sudah lelah dan aku ingin menjalani hari-hari dengan tenang," Anna berusaha menjauh dari sang bos. Tentu saja Daren merasa kesal dengan sedikit kasar, dia menyuruh Anna duduk dengan patuh. Lalu bersiap untuk pergi dari sana, Dirga yang masih mematung saat melihat Anna dan Daren sudah pergi membuat kesal da
Sesampainya di depan rumah Anna, Daren memarkirkan mobil. Lalu menatap tajam pada wanita yang selalu menjadi candunya akhir-akhir ini. "Sudah malam, sekarang masuklah. Aku akan menunggu untuk memastikan kamu masuk ke rumah," perintah Daren dengan nada arogan. Anna menghela nafas panjang, saat mendengar perkataan sang bos. Yang sudah sangat berat untuk dia patuhi. "Baiklah tuan, tapi sebenarnya ada yang ingin aku katakan pada anda, dan aku harap anda tidak akan marah atau tersinggung," kata Anna sedikit meragu. Daren mengerutkan kedua alis tebalnya, lalu menyuruh Anna untuk mengatakan hal apa itu, karena dia juga sedikit penasaran. "Memangnya, apa yang ingin kamu katakan Anna, sudah cukup kamu membuat aku marah dengan pergi ke pesta dengan Dirga," ketus Daren. Anna menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkanya pelan. Dengan tubuh gemetar Anna pun mulai to the point mengutarakan permintaan. "Tuan, aku tahu anda sudah membantu biaya pengobatan ibu beberapa bulan yang lalu
Sesampainya di rumah, Daren sudah di tunggu oleh Renata yang terlihat kesal mengingat sang Suami pergi begitu saja tanpa mengatakan mau ke mana membuat Renata mencecar beberapa pertanyaan. "Mas Daren! sebenarnya kamu habis dari mana mas? susah payah aku tadi berdandan cantik hanya untuk menemani kamu ke pesta tapi kamu malah pergi gitu aja ninggalin aku," Renata meluapkan kekesalan dalam hatinya. Karena bagaimana bisa Daren lebih peduli pada Anna yang notabene sekertaris baru sedangkan dirinya sebagai seorang istri sah. Daren menghela nafas panjang, ingin rasanya dia berterus terang pada Renata jika selama mereka menikah, dia tidak pernah memiliki perasaan cinta. Tapi mengingat jasa ayah Renata yang di sampaikan oleh ayahnya membuat lelaki tampan itu terlihat sangat dilema. "Sudah aku bilang tadi aku ada urusan penting sebentar. Jadi lebih baik jangan besarkan masalah ini dan mengajak aku untuk berdebat," peringat Daren sembari melingkarkan dasi dan melemparkannya ke sembarang
Sesampainya di meja makan, Daren dan Renata mendapatkan beberapa pertanyaan dari tuan Wijaya, yang tetap keuekeuh dengan permintaannya. "Kapan kalian akan memberikan keluarga ini seorang cucu?" tanya pria paruh baya itu dengan nada penuh penekanan. Daren dan Renata saling menatap, terutama Renata yang begitu kesal dan sedih. Ingin rasanya dia berkata pada ayah mertuanya jika Daren lah yang sama sekali tidak pernah menyentuh dirinya sebagai seorang istri. "Ayah bersabar saja mungkin nanti juga akan mendapatkan seorang cucu." Jelas Daren dengan nada sedikit acuh. Melihat sikap acuh tak acuh Daren, membuat tuan Wijaya kesal dan sedikit menggertak putra kesayangannya itu. "Ck, kau selalu saja menjawab seperti itu, kalian menikah sudah mau hampir tiga tahun. Sampai kapan terus memberikan harapan palsu pada keluarga," ketus tuan Wijaya. Daren yang sudah sangat bosan di tekan terus, membuat dirinya ingin sekali berterus terang jika dirinya sebenarnya tidak mencintai Renata mel