 INICIAR SESIÓN
INICIAR SESIÓNSejak pagi suara-suara di jalanan mulai ramai terdengar dan itu bukanlah hal yang terjadi setiap hari.
Ji An dibangunkan oleh suara ketukan pintu pelan di kamarnya. Kemarin ia meminta ayahnya untuk membangunkannya lebih awal. "Apa kau akan pergi ke kota untuk berjualan hari ini?" Ji Deyan bertanya pada putrinya yang baru saja duduk di kursinya. Ji An bergumam "Mm" dan mengangkat mangkuk nasinya mulai makan. "Apa tidak lelah? Kau baru saja kembali kemarin dari perjalanan panjang. Mengapa tidak beristirahat dua atau tiga hari lagi?" Ji Deyan mengambil sayuran tumis untuk ditambahkan ke mangkuk putrinya. "Tidak apa-apa. Semalam aku sudah cukup tidur. Hari ini adalah hari pasar di Kota Xi, tidak bisa dilewatkan begitu saja." Ji Deyan sangat mengenal putrinya. Karena sudah memutuskan begitu, maka ia akan melakukannya. Lagipula pergi berjualan dimana saja saat ada peluang adalah hal yang selalu rutin ia lakukan. Hari itu adalah hari pasar di Kota Xi yang letaknya berada dibalik gunung. Berjalan kaki ke sana membutuhkan waktu sekitar satu jam dan naik gerobak yang ditarik lembu membutuhkan waktu setengah jam. Para warga di desa mereka kebanyakan adalah petani, pengumpul herba dan peternak. Tiap hari pasar, bahkan sebelum matahari muncul, banyak diantaranya sudah mulai berangkat dengan membawa barang-barang yang mereka produksi maupun kumpulkan untuk dijual. Mereka tentu tidak akan pergi terlalu jauh dari desa untuk berjualan. Biasanya, orang-orang di desa akan pergi ke Kota Xi atau Kota Gu yang letaknya paling dekat dengan desa, sekaligus paling ramai. Kedua kota itu yang satu berada di utara dan yang satu di selatan. "Aku akan pergi bersama Kakak." Usul Ji Shuang yang sedari tadi hanya mendengarkan dalam diam. Tanpa mengangkat kepalanya, Ji An hanya ragu sesaat sebelum mengangguk setuju. Ia mempercepat makannya. "Itu akan lebih baik. Hari ini kau tidak perlu menemani Ayah mengunjungi pasien, bantu saja kakakmu di pasar." Sahut Ji Deyan. Hubungan antara kedua bersaudara itu selalu naik turun. Terkadang akur, terkadang akan dingin. Bukankah hampir semua hubungan antar saudara kandung seperti itu? Sebenarnya, saat mereka masih kecil dulu Ji An selalu memperlakukan Ji Shuang dengan penuh kasih sayang. Namun sejak beranjak dewasa kemudian bergaul dengan teman-temannya dan beberapa kali membuat masalah untuk keluarga, sikap Ji An padanya mulai berubah. Ji Shuang bukannya tanpa penyesalan. Dia tidak berdaya menolak ajakan teman-teman yang sudah dikenalnya sedari kecil. Sebelum ia mencoba menolak, ia sudah menyerah duluan oleh bujukan mereka. Di usia seperti itu para pemuda memang penuh dengan semangat untuk mencoba segala hal. ----------- Pasar itu bertempat di tengah Kota Xi. Masih sangat pagi namun di tepi jalan disepanjang pasar sudah hampir penuh dengan para pedagang. Tempat yang kosong sudah cukup sulit ditemukan. Namun Ji An tidak khawatir tidak mendapatkan tempat untuk berjualan. Ia mempercepat langkahnya menuju sebuah kedai sarapan, diikuti oleh Ji Shuang yang membawa bungkusan besar di punggungnya. Setelah masuk ke dalam kedai untuk menyapa sang pemilik, dia segera keluar lagi. Ji Shuang yang sedari tadi mengamatinya dari luar kedai menghampirinya dan menatapnya, menunggu instruksi. "Kita bisa berjualan di sini." Ujarnya. Mereka berdua, kakak dan adik mulai sibuk mengatur barang-barang. Di atas meja kecil yang dipinjam dari kedai, kini berjejer mainan-mainan seperti kincir angin bambu, boneka bambu dan pernak pernik kecil lainnya. Mainan-mainan itu dibuat sendiri oleh Ji An di waktu senggangnya. Biasanya, saat tidak memiliki pekerjaan lain di luar rumah, ia akan berdiam di rumah membuat berbagai macam pernak pernik. Ji Shuang dan ayahnya kadang akan ikut membantu saat mereka sedang tidak ada kunjungan rumah. Menjelang siang hari, pengunjung pasar mulai berkurang. Udara berangsur menjadi panas. Berdiri lama di bawah terik matahari seperti itu sungguh tak tertahankan. Untungnya di depan kedai ada sebuah pohon jujube yang dimanfaatkan kakak beradik itu untuk berteduh. "Bukankah itu Kakak Xuanyi?" Ji Shuang melihat seorang di kejauhan. Ji An melihat ke arahnya memandang. Memang, seorang pemuda dengan sikap seorang terpelajar sedang berjalan ke arah mereka. Wajahnya yang tampan tersenyum saat tatapan mereka bertemu. "Xuanyi, lihat dirimu.. Aku hampir tidak mengenalimu." Ji An berjalan memutarinya seolah sedang menilai penampilannya. Wu Xuanyi sejenak bingung dan menatapnya dengan pandangan bertanya. Detik berikutnya ia akhirnya mengerti apa yang dimaksudkan Ji An, ia pun tersenyum, berkata, "Orangtuaku baru saja kembali dari ibu kota. Mereka membawakanku beberapa set pakaian yang katanya sangat populer di ibu kota." Ia tersenyum lagi, memutar sedikit tubuhnya dan bertanya," Apakah tidak terlihat bagus?" Saat tersenyum, sepasang lesung pipinya nampak, membuatnya terlihat lebih mudah didekati. Ji An menggeleng, "Tidak. Ini terlihat sangat bagus padamu." Ji Shuang mengangguk setuju. "Benarkah? Mmh, baguslah kalau terlihat bagus." Matanya yang cerah menatap Ji An lekat. Ia lalu melihat-lihat pernak-pernik milik mereka dan memilih beberapa diantaranya. "Yang ini terlihat lucu, bungkuskan untukku. Aku akan membelikannya untuk Xiao Mei. Lalu yang ini, dan yang ini juga bungkuskan." "Ah..aku sungguh iri, Xiao Mei punya kakak sebaik dirimu. Selalu ingat untuk membelikannya barang-barang bagus saat berada di luar." Desah Ji An. Wu Xuanyi berdehem. "Bukankah aku sedang membantumu menjual barang." Ji An melirik wajahnya yang sedikit memerah lalu terkekeh ringan, ia berkata, "Xuanyi selalu baik hati." Seperti itulah Wu Xuanyi teman semasa kecilnya. Dulu saat keluarga mereka baik-baik saja maupun sekarang saat keluarga mereka sudah merosot, perlakuannya terhadap Ji An dan saudaranya tidak berubah, ia selalu baik. Awalnya, keluarga Ji An juga tinggal di Kota Xi dan kediaman keluarganya tidak jauh dari kediaman keluarga Wu. Kakek Ji An dulunya adalah seorang tabib yang cukup memiliki nama. Saat kakeknya masih hidup, kehidupan mereka jauh lebih baik. Namun setelah sang kakek meninggal, keluarga mereka makin merosot. Ia tak lupa menambahkan sebuah mainan lagi untuk dikemasnya sebagai bonus dan mengirimnya pergi.
Sejak pagi suara-suara di jalanan mulai ramai terdengar dan itu bukanlah hal yang terjadi setiap hari. Ji An dibangunkan oleh suara ketukan pintu pelan di kamarnya. Kemarin ia meminta ayahnya untuk membangunkannya lebih awal. "Apa kau akan pergi ke kota untuk berjualan hari ini?" Ji Deyan bertanya pada putrinya yang baru saja duduk di kursinya. Ji An bergumam "Mm" dan mengangkat mangkuk nasinya mulai makan. "Apa tidak lelah? Kau baru saja kembali kemarin dari perjalanan panjang. Mengapa tidak beristirahat dua atau tiga hari lagi?" Ji Deyan mengambil sayuran tumis untuk ditambahkan ke mangkuk putrinya. "Tidak apa-apa. Semalam aku sudah cukup tidur. Hari ini adalah hari pasar di Kota Xi, tidak bisa dilewatkan begitu saja." Ji Deyan sangat mengenal putrinya. Karena sudah memutuskan begitu, maka ia akan melakukannya. Lagipula pergi berjualan dimana saja saat ada peluang adalah hal yang selalu rutin ia lakukan. Hari itu adalah hari pasar di Kota Xi yang letaknya berada dibalik gu
Pagi hari tadi saat ia baru kembali dari perjalanannya, ayahnya sudah tidak ada di rumah. Setelah membersihkan diri dengan cepat, Ji An keluar lagi untuk segera menjual herbanya. Adiknya, Ji Shuang masih tertidur hingga tidak sadar kalau kakak perempuannya sudah kembali pagi itu. Memperkirakan ayahnya mungkin belum kembali, Ji An membuka gerbang dengan santai yang menimbulkan suara berderit dari gerbang kayu tua yang jarang di minyaki. Mendengar suara itu Ji Shuang membuka matanya. Menyadari orang yang masuk adalah saudara perempuannya, ia bangun dari kursinya dan bergegas menghampiri, mencoba memarahinya, "Kakak, mengapa kau baru kembali sekarang? Kami benar-benar mencemaskanmu. Berapa lama waktu berlalu sejak kau terlihat terakhir kali, bagaimana mungkin seorang gadis bisa bepergian sendirian selama itu?" Tatapannya beralih ke tas kain yang dibawa kakaknya. Tas itu tertarik ke bawah, terlihat berat. Ji An merasa dia sangat cerewet. Ia tidak menjawab tetapi hanya men
Angin semilir berhembus membawa pergi dedaunan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh dari kolam air terjun, diatas pohon yang tinggi seseorang sedang berbaring dengan santai diatas sebuah dahan besar. Rambut hitamnya yang panjang menjuntai kesana kemari tertiup angin yang berhembus pelan. Jubah putih panjangnya ikut melambai. Beberapa hari itu ia telah mengamati gerak-gerik pemuda yang keluar masuk dari kabin hutan miliknya. Kini orang itu sepertinya hendak membersihkan dirinya di kolam kecil. Dengan punggungnya yang menghadapnya, ia melihatnya melepaskan ikatan dirambutnya, seketika rambutnya yang panjang terurai bebas, ia tampak menyisirnya dengan hati-hati. Setelah itu sang pemuda pergi ke balik pohon. Beberapa saat kemudian ia muncul lagi dengan hanya mengenakan kain panjang yang dililitkan didadanya, memperlihatkan kulitnya yang putih tanpa cela. Dengan rambutnya yang disampirkan dibahu kirinya, kini ia bisa melihat sosok 'pemuda' itu dengan sangat jelas. Orang y
Ji An terbangun oleh suara binatang malam yang mulai terdengar. Matahari yang sudah terbenam beberapa saat lalu membuat keadaan disekelilingnya sedikit gelap. Hanya cahaya bulan yang masuk dari jendela yang kini terbuka sepenuhnya. Seingatnya jendela itu tadinya hanya sedikit terbuka sebelum ia kembali tertidur. Ia melirik meja kecil yang kini sudah kosong. Sepertinya seseorang telah datang ke kamar saat ia tertidur. Ji An menopang tubuhnya dengan tangannya untuk membantunya bangun. Ia merasa tenaganya sudah lebih kuat. Ia turun dari dipan dan setengah menyeret kakinya yang masih sedikit lemah menuju pintu. Diluar kamar sebuah kandil diletakkan diatas meja yang merupakan satu-satunya penerangan yang ada disana. Cahayanya tidak cukup terang bagi Ji An untuk bisa melihat seluruh keadaan ruangan itu. Ia mengambil kandil dan membawanya. Memeriksa ruangan dengan cepat. Ruangan itu hanya memiliki sebuah meja serta sebuah kursi, sebuah lemari kayu yang cukup besar diletakk
Ji An membuka mata dengan perasaan lelah. Semalam cukup lama ia duduk setengah meringkuk sampai akhirnya kembali tertidur setelah memastikan suara-suara itu tidak terdengar lagi dalam waktu yang lama. Ia merangkak keluar dari tenda. Diluar masih belum sepenuhnya terang, cahaya matahari yang masih lemah samar-samar menembus melewati celah-celah tirai daun. Rupanya fajar baru saja menyingsing dan udara masih terasa dingin.Ia mengumpulkan kembali ranting-ranting tersisa yang berserakan dan membuat api. Menghangatkan tubuhnya sejenak sambil termenung didepan api. Sebenarnya apa yang telah terjadi semalam? Sekelebat pikiran melintas di benaknya. Mungkinkah, suara itu berasal dari sang peri yang diceritakan para orangtua di desa? Tapi, mungkinkah mitos itu benar-benar nyata? Selama ini ia tidak pernah benar-benar menganggap serius mitos-mitos yang beredar. Kini setelah dipikirkan kembali, hal itu bukannya tidak mungkin. Bukankah setiap mitos yang beredar memiliki asal muasalnya sen
"Konon, saat bulan tak terlihat dilangit, para peri di hutan akan keluar dari persembunyiannya. Sosok tinggi dengan rambut hitam legam yang panjang, mengenakan jubah putih hingga menutupi kaki. Para peri akan menculik manusia yang berkeliaran dihutan saat itu, lalu membawa mereka jauh ke dalam hutan, dan mengambil jantung mereka untuk dibuat ramuan umur panjang." Suara petir menggelegar diudara. Ji An menunduk sambil menutup telinganya sambil menggerakkan kedua kakinya setengah berlari, menjauhi deretan pepohonan. Sepertinya hujan akan turun. Ia berjalan lebih cepat mencari tempat didalam hutan untuk menginap malam ini. Berjalan cukup lama ia akhirnya menemukan sebuah sungai kecil. Ji An segera mendirikan tenda kecilnya didekat sungai ditanah yang lebih tinggi agar saat hujan tempatnya tidak akan tergenang air. Cepat-cepat ia mengumpulkan ranting-ranting kecil yang ada disekitarnya. Setelah merasa cukup, ia menyusun ranting-ranting itu dan menyalakan api. Beruntung huja








