MasukSebuah bangunan beratap coklat gelap sudah terlihat dari jauh.
Kediaman itu dipagari keliling menggunakan log-log kayu yang dijejer rapat tanpa celah setinggi orang dewasa, menghindari orang bisa melihat langsung ke dalamnya. Sebuah gerbang kayu sederhana yang warnanya sudah banyak memudar oleh cuaca menjadi pintu masuk ke dalam. Kediaman itu memiliki tiga bangunan yang mengelilingi sebuah halaman kecil di tengah kediaman. Begitulah bentuk umum sebagian besar kediaman yang ada di wilayah itu. Ji An mengintip dari lubang kecil yang ada di gerbang, sementara telinganya mencoba menangkap suara-suara dari dalam. Lubang kecil itu sudah ada di sana selama beberapa tahun, tanpa ditambal. Saat itu, para preman pasar yang dipekerjakan oleh sebuah rumah hiburan untuk menagih hutang, mengejar ayahnya ke rumah dan lubang itu tercipta dari tombak yang tancapkan ke gerbang saat para preman pasar itu membuat keributan. Ia melihat adik laki-lakinya sedang berbaring dengan mata terpejam di kursi rendah, berteduh di bawah naungan pohon plum di halaman. Tangannya sibuk bergerak-gerak mengipasi dirinya. Ji An memeriksa halaman namun tidak melihat ayahnya ada di sana. Ia memperkirakan ayahnya mungkin sedang pergi mengunjungi pasien siang itu. Pagi hari tadi saat ia baru kembali dari perjalanannya, ayahnya sudah tidak ada di rumah. Setelah membersihkan diri dengan cepat, Ji An keluar lagi untuk segera menjual herbanya. Adiknya, Ji Shuang masih tertidur hingga tidak sadar kalau kakak perempuannya sudah kembali pagi itu. Memperkirakan ayahnya mungkin belum kembali, Ji An membuka gerbang dengan santai yang menimbulkan suara berderit dari gerbang kayu tua yang jarang diminyaki. Mendengar suara itu Ji Shuang membuka matanya. Menyadari orang yang masuk adalah saudara perempuannya, ia bangun dari kursinya dan bergegas menghampiri, mencoba memarahinya, "Kakak, mengapa kau baru kembali sekarang? Kami benar-benar mencemaskanmu. Berapa lama waktu berlalu sejak kau terlihat terakhir kali, bagaimana mungkin seorang gadis bisa bepergian sendirian selama itu?" Tatapannya beralih ke tas kain yang dibawa kakaknya. Tas itu tertarik ke bawah, terlihat berat. Ji An merasa dia sangat cerewet. Ia tidak menjawab tetapi hanya menatapnya dengan muram, membuat Ji Shuang segera mengalihkan perhatiannya dari tas itu dan memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak lagi. Bagaimana mungkin ia masih mempertanyakan keberadaannya? Memangnya dia tidak tahu untuk apa lagi dia pergi selama itu? Selama ini Ji An ke sana kemari melakukan berbagai macam pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga mereka, sementara dia, sang adik laki-laki akan menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Tidak apa-apa kalau dia hanya diam di rumah, terkadang dia akan pergi bergaul bersama teman-temannya yang pemboros yang hanya tahu bersenang-senang. Tidak apa-apa kalau dia hanya ikut keramaian, yang menjadi masalah saat dia berutang di beberapa tempat untuk mengimbangi teman-teman pemborosnya, atau bahkan bertengkar dengan orang lain karena mabuk, yang akhirnya membuat ayahnya maupun Ji An harus mengeluarkan uang ekstra untuk menyelesaikannya. Ji Shuang menunduk dengan canggung. "A..aku akan segera menyiapkan makan siang untukmu. Kau pasti lelah, tunggu saja sebentar." Ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. Ji An hanya menjawab "Mm" sebelum masuk ke kamarnya. Di sore hari, ayah mereka, Ji Deyan atau dikenal sebagai Tabib Ji telah kembali dari luar. Mendengar suara putrinya dari pintu gerbang, ia bergegas masuk ke dalam rumah. Di halaman, Ji An terlihat sibuk mengerjakan sesuatu. Di atas meja berserakan banyak potongan-potongan kecil bambu yang sudah dihaluskan dan dipotong dengan seragam. Melihat ayahnya masuk dari luar, ia hanya mengangkat wajahnya sesaat untuk menyapanya lalu kembali berkonsentrasi dengan potongan-potongan bambu itu. Begitu Ji Deyan melihatnya, ia langsung mengomelinya, "Kau pergi selama lebih dari setengah bulan, membuatku cemas setengah mati! Mengapa tidak memberitahuku sebelumnya? Aku hampir saja menyuruh Ah Shuang masuk ke dalam hutan mencarimu!" Ji An menghentikan kegiatannya, berkata, "Bukankah aku sudah memberitahu ayah sebelum pergi?" Ia memasang wajah polosnya. Ji Deyan memelototinya, "Maksudmu memberitahuku dengan sepotong kecil kertas yang bertuliskan 'ayah, aku pergi ke hutan' yang kau tinggalkan di kamarmu tepat di pagi hari sebelum kau menghilang?! Bagaimana mungkin itu yang kau sebut sudah memberitahuku?!" Ji An terdiam, ia merasa agak bersalah. Ji Deyan melanjutkan omelannya, "Kau seorang gadis berkeliaran di luar begitu lama, bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu? Oh bagus kalau kau baik-baik saja saat kembali, tapi apa yang akan orang-orang katakan? Kau akan kesulitan mendapatkan keluarga yang akan menikah denganmu di masa depan!" Mendengar perkataannya sendiri membuat Ji Deyan mendesah dalam hati. Istrinya, Nyonya Song sudah meninggal lebih dari dua tahun yang lalu sehingga putri mereka yang pernikahannya seharusnya sudah mulai direncanakan saat ia berusia 18 tahun, terpaksa ditunda karena tidak ada yang bisa mengurusi hal-hal seperti itu. Pada akhirnya, mereka semua hanya terus sibuk bekerja untuk bertahan hidup. Ji An berkata, "Ayah, aku bersalah padamu.. Mengenai orang-orang yang bergosip, abaikan saja mereka. Memangnya mereka akan memberi kita uang kalau aku tidak keluar mencarinya sendiri?!" Ia melanjutkan, "Lagipula aku sama sekali tidak keberatan jika tidak ada yang mau menikahiku. Aku hanya akan mencari uang lebih giat untuk menghidupi diriku sampai tua nanti." Ia sungguh tidak merasa keberatan. Baginya menikah atau tidak sama saja. Dengan kondisi keluarganya yang sangat sederhana, keluarga kaya mana yang akan meliriknya? Paling-paling ia hanya akan menikah dengan keluarga petani atau keluarga dengan keadaan serupa. Menikah dengan keluarga sederhana seperti itu juga akan membuatnya bekerja keras, belum lagi harus mengurus seorang suami, mertua dan lain sebagainya. Lalu mengapa tidak melajang saja? Paling-paling ia hanya akan berakhir dengan mengurusi ayah dan adiknya. Lagipula sekarang ayahnya masih muda dan sehat, masih sanggup berlarian ke sana kemari mengunjungi pasiennya. Dan Ji Shuang, sebagai anak laki-laki suatu hari nanti ia juga akan bekerja dan menghasilkan uang. Bukankah pada akhirnya bebannya hanya akan berkurang? Mendengar kata-kata putrinya membuat Ji Deyan menutup matanya dengan frustasi, kekesalannya hampir mencapai puncaknya. Ia kembali menyembur: "Bagaimana mungkin kau tidak akan menikah?! Apa kau akan terus hidup bersama ayah dan saudaramu di sini?! dan memberi bahan orang lain untuk bergosip?! Kalau ibumu masih hidup dan mendengarmu berkata seperti ini, ia mungkin sudah akan menarikmu ke biara dan mencukur rambutmu! Tidakkah itu lebih baik!" Ji An mengernyit, ia tak tahan lagi mendengar omelannya. Ia berkata dengan asal begitu saja, "Oke, oke, oke. Aku tidak akan menyebutkan tentang ini lagi. Lihat saja nanti, kalau ada orang yang membawa setidaknya satu peti penuh uang perak untuk melamar, kita akan langsung menerimanya, bagaimana menurut Ayah?" Ji Deyan merasa putrinya sangat tidak masuk akal, untuk sementara ia kehilangan kata-kata. Apa dia pikir dia seorang putri dari keluarga bangsawan? Mengharapkan seseorang datang melamar dengan begitu banyak perak?! Melihat dia tidak melanjutkan omelannya, Ji An cepat-cepat memasang senyum di wajahnya dan mengalihkan pembicaraan, "Ayah, tidakkah Ayah ingin tahu berapa yang kudapatkan dari mengumpulkan herba kali ini?" Ji Deyan tidak terlalu tertarik, lagipula biasanya juga paling banyak dua kantung perak. Namun ia hanya diam dan menunggunya melanjutkan berbicara. Ji An lalu memberitahunya bahwa ia mendapatkan tiga kantong perak dari perjalanannya kali ini, juga secara singkat menceritakan perjalanannya memasuki hutan lebih dalam, namun ia tidak menyebutkan kejadian-kejadian buruk yang ia alami, takut lain kali ayahnya tidak membiarkannya masuk ke hutan lagi. Ayahnya hanya bergumam menanggapinya. Kemudian ia menginstruksikan Ji An untuk beristirahat lebih awal. Ia tahu perjalanan putrinya pasti cukup berat kali ini. Biasanya ia hanya akan membiarkannya pergi ke hutan untuk mengumpulkan herba tidak lebih dari tiga hari, namun kali ini gadis keras kepala itu mencoba untuk mendapatkan lebih banyak dengan menjelajahi hutan bagian dalam.Xuanyi tidak langsung membantah ibunya dengan keras. Ia tahu, jika ia membela Ji An mati-matian, ibunya akan semakin tidak senang padanya, sehingga keinginannya untuk bersamanya akan lebih sulit. Jadi dia hanya menahan diri ketika wanita yang disayanginya dibicarakan seperti itu.Maka ia berkata tanpa amarah, "Aku mengerti kekhawatiran Ibu. Namun, aku bisa menjamin bahwa Ji An adalah gadis yang baik dan jujur. Keadaan hidupnya yang telah berubah telah membuatnya terbiasa melakukan berbagai pekerjaan di luar. Mengenai utang keluarganya, ini juga lambat laun akan diselesaikan.""Bukan itu intinya! Telah diselesaikan atau belum, ini tetap akan mempengaruhi pandangan orang lain. Memangnya keluarga kita begitu terpuruk hingga tidak mampu mengambil seorang gadis dari keluarga bergengsi untuk menjadi menantu keluarga? Kita bukannya begitu tidak mampu!" Ia mengatakan itu semua dalam sekali tarikan napas.Saat berikutnya, ia mengambil tangan putranya, menatapnya dengan memohon, "Yi'er, Ibu moh
Beberapa waktu setelah pertengkaran itu, keadaan kembali menjadi tenang.Namun, ada beberapa hal yang berubah dari ibunya.Ia menjadi lebih pemurung. Terkadang menjadi sangat sensitif. Suatu ketika, saat kediaman mereka sedang mengadakan perjamuan, ia menemukan ibunya sedang menatap penuh kebencian pada seseorang di seberang meja.Orang yang ditatap itu adalah bibi tetangga, ibu Ji An.Ia tidak mengerti apa yang membuat ibunya marah kepada ibu Ji An.Kemudian, saat para tamu satu per satu pamit kepada tuan rumah, ia sedang berdiri di sisi ayahnya ketika ia menyadari tatapan ayahnya menjadi linglung.Du Yunzhao kecil penasaran. Ia mengikuti arah pandang sang ayah, yang berujung pada seseorang yang sedang berjalan keluar dari ambang paviliun tamu.Itu lagi-lagi bibi tetangganya.Apa yang membuat kedua orang tuanya begitu memperhatikan bibi tetangga ini?Sekitar setahun setelah kejadian itu, ibunya meninggal dunia.Tabib bilang, ibunya terlalu banyak pikiran hingga setahun belakangan in
Sebelum pergi di pagi hari, Feng Jin telah memberitahu Ji An bahwa mereka akan pergi ke kabin hutan dua hari lagi, saat hari bulan penuh.Ji An segera menyetujuinya. ----Nyonya Besar Wu sedang berada di halamannya ketika putra keduanya, Wu Xuanyi masuk dari luar.Ia sedikit menunduk, menyapanya, "Ibu." Nyonya Wu tersenyum, "Yi'er, sangat jarang melihatmu datang menemui Ibu sepagi ini."Ia lalu menunjuk kursi di dekatnya, "Duduklah. Jangan terus berdiri seperti itu."Masih dengan kepala tertunduk, Xuanyi duduk dengan patuh."Katakan, ada apa kau mencari Ibumu?"Xuanyi mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapan ibunya."Ibu, aku ingin menikah."Mata Nyonya Wu yang melebar, dipenuhi dengan kegembiraan, "Yi'er, ini sangat baik, kau akhirnya mau mendengarkan Ibu. Bagus, bagus, kalau begitu Ibu akan segera mencarikan seseorang...""Ibu."Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, Xuanyi segera memotongnya. Nyonya Wu mengangkat alisnya, menatapnya dengan penuh tanya."Aku ingin menikahi Ji
Malam semakin larut, suara percakapan yang berisik terdengar di mana-mana di dalam menara.Saat pertunjukan tarian di panggung mulai terasa membosankan, Ji An mengajak Feng Jin untuk kembali.Lagipula, ia harus bangun pagi untuk bekerja besok.Sang iblis tentu saja belum keluar karena ia belum tidur. Atau mungkin saja malam ini ia memilih untuk tidak keluar."Maaf, lain kali aku akan mentraktirmu dengan suguhan yang lebih layak." Ji An berkata."Aku hanya mengajakmu melihat-lihat sebelumnya, bukan memintamu untuk mentraktir."Ji An mengangguk.Ketika mereka hendak keluar, sebuah rombongan besar tengah masuk ke dalam menara, memenuhi pintu.Ji An yang telah berjalan duluan di depan, terpisah dengan Feng Jin oleh kerumunan.Saat ia memutuskan untuk menunggunya di luar, Ji An mendengar seseorang memanggil namanya."Adik An." Sapa Wu Xuanyi gembira. Ia tidak menyangka akan begitu cepat bertemu lagi dengan gadis yang telah mengganggu tidurnya semalam."Xuanyi?" Ji An tertawa, "Aku tidak me
Feng Jin menatap gadis di depan yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Seperti kemarin, saat ini mereka berdua sedang makan malam di dalam kamar Ji An. Pandangannya sesekali akan terangkat, mengamati gerak geriknya tanpa kentara. Gadis itu tiba-tiba menghela napas berat, kali berikutnya pandangannya tampak linglung. Ia jelas sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Ji An menatap Feng Jin kemudian menundukkan kembali pandangannya, sorot matanya agak sendu. Tangannya yang sedang memegang sumpit, hanya mengaduk-aduk nasi di mangkuk, jelas ia tidak sedang berselera. "Sesuatu terjadi?" Feng Jin menurunkan matanya. Ji An menggeleng, masih mengaduk-aduk nasi di mangkuk, "Ng..sebenarnya, tidak ada hal penting yang terjadi." Ketika Ji An mengangkat wajahnya lagi, ia bertemu dengan tatapan Feng Jin yang seakan sedang bertanya "Lalu ada apa denganmu?" Ji An menunduk, meringis, "Aku.. sepertinya aku telah membuat hinaan seseorang berhasil mempengaruhiku." Ia kemudian ters
Feng Jin hendak berbaring ketika hidungnya menangkap sebuah aroma familiar.Ia menunduk, mengendus jubah hitamnya.Aroma lembut itu berasal dari sana. Sepertinya itu tertinggal saat ia membungkus Ji An dengan jubahnya semalam.Feng Jin tampak sedikit kikuk saat kemudian ia akhirnya berhasil berbaring di atas dipan.Matanya dengan linglung menatap langit-langit kamar sejenak sebelum perlahan menutup.-----Ji An masih sibuk di belakang dapur restoran.Waktu makan siang selalu ramai dengan pelanggan. Sehingga mereka harus bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan setiap pesanan.Sedangkan Ji An yang tidak terlibat langsung dengan para tamu, sedang mengatur penempatan berbagai bahan-bahan segar yang diantarkan tadi pagi.Seseorang keluar dari pintu belakang dapur, menghampirinya."Nona Ji, bisakah kau menggantikanku sebentar untuk mengantarkan salah satu pesanan tamu di depan?" Seorang pelayan wanita bertanya, sementara wajahnya berkerut seperti sedang menahan sesuatu.Ji An segera menger







