LOGINMatahari masih bersembunyi saat Ji An membuka pintu.
Di luar, udara subuh hari terasa lebih dingin. Ji An menyatukan kedua tangannya dan menggosok-gosoknya. Keranjang di punggungnya telah dikencang dan dibuat senyaman mungkin untuk melakukan perjalanan jauh. Ayahnya muncul dari pintu lainnya. Rambutnya sedikit berantakan dengan matanya yang setengah menyipit, nampak sedang menyesuaikan dengan cahaya lentera yang masih menyala di halaman. Ia jelas baru saja terbangun. Meski begitu ia memaksa dirinya untuk bangun dari tempat tidur karena ingin mengirim putrinya pergi. "An An, ingatlah untuk berhati-hati, jangan terlalu memaksakan diri. Kumpulkan saja secukupnya lalu segera kembali. Tidak perlu masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk mengumpulkan lebih banyak." Nasihat ayahnya. Melihat putrinya tidak menjawab, dia mendesaknya lagi, "Kau mendengarkan Ayah atau tidak?" "Mmh, aku mendengarkan. Ayah tenang saja, aku akan berhati-hati!" Daripada membuat ayahnya menasihatinya lebih lama, sebaiknya menyetujuinya dulu untuk saat ini. Ia sedang berpikir untuk melihat keadaan di pinggir hutan dulu. Jika tidak mendapatkan banyak barang bagus, maka ia bisa melihat-lihat lagi ke dalam hutan. Ji Deyan membuka gerbang untuk Ji An, dan mengikutinya sampai ke depan rumah. Sekali lagi ia mengingatkannya beberapa hal. Kemudian menepuk-nepuk pelan pundak putrinya. Meskipun ini bukan pertama kalinya ia mengirim putrinya pergi ke hutan untuk mengumpulkan herba, ia tetap saja masih merasa tidak tenang di dalam hatinya. Andaikan saja Ji Shuang tidak lemah dan begitu penakut, ia pasti sudah lama mengirimnya pergi alih-alih membiarkan saudara perempuannya yang pergi. Ji An menggenggam tangan ayahnya, tersenyum dengan penuh keyakinan seolah meyakinkan ayahnya semua akan baik-baik saja. Kali berikutnya, ia melangkah ke jalan dan berjalan ke dalam kegelapan malam yang sebentar lagi akan pudar. Desa Wuxi mereka terletak tepat di bawah kaki gunung. Tepatnya diapit oleh dua barisan gunung yang berhadapan. Membutuhkan sekitar satu jam untuk mencapai area pinggir hutan terdekat dan di waktu itu matahari sudah akan terbit sepenuhnya. Sekarang sudah akhir musim panas. Di hutan, di waktu seperti ini akan ada beberapa jenis tanaman obat yang sudah siap dipanen. Sebenarnya ia bisa saja pergi lebih awal, untuk mendahului para pengumpul herba lainnya. Namun, beberapa waktu yang lalu ia masih harus bekerja di sebuah kedai di desa, yang membuatnya akhirnya tertunda. Ketika mencapai danau, Ji An berhenti untuk beristirahat. Danau itu terletak dipinggir hutan sebelah timur, jaraknya beberapa jam dari desa. Itu merupakan sebuah danau yang sangat luas dan tempat itu memiliki pemandangan yang sangat indah. Air danau sebening kristal. Langit biru terlihat jelas dipermukaannya. Ji An memilih untuk duduk di bawah naungan sebuah pohon rendah yang sangat rimbun di tepi danau. Lalu menghabiskan makanannya dalam diam. ------ Seperti dugaannya, di hutan bagian luar, tanaman-tanaman itu sudah hampir habis diambil oleh para pengumpul lainnya. Yang tersisa hanyalah tunas-tunas muda yang tidak akan bertahan hidup ketika musim dingin datang. Ji An sudah masuk sedikit lebih dalam ke hutan ketika suara-suara samar percakapan yang dibawa oleh angin terdengar olehnya. Suara-suara orang sedang berbincang. Tidak hanya dua orang. Kedengarannya seperti sekelompok orang. Ji An segera berpikir itu mungkin saja kelompok pengumpul herba. Lalu ia pun tidak terlalu memikirkannya lagi. Yang menjadi perhatiannya sekarang adalah segera mengumpulkan herba-herba itu sebelum malam turun. Semakin jauh masuk, semakin jelas suara-suara itu. Kini ia bisa mendengar lebih jelas suara-suara seperti umpatan, teriakan, serta suara-suara keras dan berisik lainnya. Sekelebat pikiran terlintas dibenaknya. Dan seketika itu tubuhnya membeku. Tangannya berhenti memetik tanaman berharga apapun yang sedang dikumpulkannya. Bandit gunung!! Ia segera mengutuk kepalanya. Mengapa otaknya melupakan bahaya peringkat atas itu! Bagi Ji An, bahaya paling utama saat berada di hutan adalah hewan buas dan...bandit gunung! Melihat sebuah pohon besar tidak jauh dari tempatnya berada, ia cepat-cepat berlari untuk bersembunyi di sana. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tak berani bernapas keras-keras. Tak berapa lama kemudian kelompok bandit itu semakin dekat ke arahnya. Suara-suara itu kini begitu jelas. Semuanya penuh dengan bahasa kasar. Saat kelompok itu sudah melewatinya namun belum terlalu jauh, ia mengintip dari balik pohon. Itu merupakan kelompok yang terdiri dari sekitar dua puluh lima orang. Yang hampir semua anggotanya adalah para pria kasar. Ia mendesah lega. Untunglah ia masih sempat menyembunyikan dirinya. Namun, Ji An tak pernah menduga bahwa itu belum berakhir. Tiba-tiba suara mendesis terdengar dari arah atas kepalanya. Membuatnya terkesiap. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak menjerit saat melihat seekor ular berwarna hijau sedang bergantung di sebuah cabang pohon di atas kepalanya. Segera suara itu menarik perhatian anggota yang berjalan paling belakang dari kelompok itu. Saat ia sadar akan kesalahannya, dua orang pria bertubuh besar dengan jenggot kasar yang membingkai wajah sudah berdiri di belakangnya. "Heh! Darimana datangnya anak laki-laki ini?" Orang yang satu bersuara. "Bukankah sudah jelas. Dia menyembunyikan dirinya dengan baik dari kita!" Orang yang lainnya berkata. Salah satunya melihat Ji An lebih jelas, berseru, "Anak laki-laki yang tampan! Dia bisa dijual sebagai budak saat kita kembali ke kota!" Matanya berkilat jahat. Ia melanjutkan, "Bawa dia! Jaga baik-baik, jangan sampai dia kabur!" Pria yang lebih pendek segera menarik Ji An yang tersungkur di tanah. Untuk mencegahnya melakukan hal yang tidak diinginkan, ia mengikat kedua tangannya. Lalu menariknya untuk mengikuti kelompok mereka. Ini benar-benar bencana! Selama dua puluh tahun kehidupannya, Ji An tidak pernah membayangkan akan berjalan bersama segerombolan bandit dengan kedua tangan terikat tali. Dalam hati ia diam-diam menangis. Ia sangat cemas. Bagaimana nasibnya nanti? Apa yang akan mereka lakukan padanya? Ia sangat menyesal. Harusnya ia mendengarkan kata-kata ayahnya sejak awal! "Hei, hei! Cepatlah! Mengapa berjalan begitu lambat?!" Seseorang di belakang menendang kakinya. Ia meringis, merasakan nyeri di betisnya. Orang-orang ini sungguh kasar! Namun tidak satupun suara protes mampu keluar dari mulutnya. Ia hanya bisa menelan kekesalannya. Sebelum orang-orang di belakang menendang kakinya yang lain, ia segera mempercepat langkahnya.Xuanyi tidak langsung membantah ibunya dengan keras. Ia tahu, jika ia membela Ji An mati-matian, ibunya akan semakin tidak senang padanya, sehingga keinginannya untuk bersamanya akan lebih sulit. Jadi dia hanya menahan diri ketika wanita yang disayanginya dibicarakan seperti itu.Maka ia berkata tanpa amarah, "Aku mengerti kekhawatiran Ibu. Namun, aku bisa menjamin bahwa Ji An adalah gadis yang baik dan jujur. Keadaan hidupnya yang telah berubah telah membuatnya terbiasa melakukan berbagai pekerjaan di luar. Mengenai utang keluarganya, ini juga lambat laun akan diselesaikan.""Bukan itu intinya! Telah diselesaikan atau belum, ini tetap akan mempengaruhi pandangan orang lain. Memangnya keluarga kita begitu terpuruk hingga tidak mampu mengambil seorang gadis dari keluarga bergengsi untuk menjadi menantu keluarga? Kita bukannya begitu tidak mampu!" Ia mengatakan itu semua dalam sekali tarikan napas.Saat berikutnya, ia mengambil tangan putranya, menatapnya dengan memohon, "Yi'er, Ibu moh
Beberapa waktu setelah pertengkaran itu, keadaan kembali menjadi tenang.Namun, ada beberapa hal yang berubah dari ibunya.Ia menjadi lebih pemurung. Terkadang menjadi sangat sensitif. Suatu ketika, saat kediaman mereka sedang mengadakan perjamuan, ia menemukan ibunya sedang menatap penuh kebencian pada seseorang di seberang meja.Orang yang ditatap itu adalah bibi tetangga, ibu Ji An.Ia tidak mengerti apa yang membuat ibunya marah kepada ibu Ji An.Kemudian, saat para tamu satu per satu pamit kepada tuan rumah, ia sedang berdiri di sisi ayahnya ketika ia menyadari tatapan ayahnya menjadi linglung.Du Yunzhao kecil penasaran. Ia mengikuti arah pandang sang ayah, yang berujung pada seseorang yang sedang berjalan keluar dari ambang paviliun tamu.Itu lagi-lagi bibi tetangganya.Apa yang membuat kedua orang tuanya begitu memperhatikan bibi tetangga ini?Sekitar setahun setelah kejadian itu, ibunya meninggal dunia.Tabib bilang, ibunya terlalu banyak pikiran hingga setahun belakangan in
Sebelum pergi di pagi hari, Feng Jin telah memberitahu Ji An bahwa mereka akan pergi ke kabin hutan dua hari lagi, saat hari bulan penuh.Ji An segera menyetujuinya. ----Nyonya Besar Wu sedang berada di halamannya ketika putra keduanya, Wu Xuanyi masuk dari luar.Ia sedikit menunduk, menyapanya, "Ibu." Nyonya Wu tersenyum, "Yi'er, sangat jarang melihatmu datang menemui Ibu sepagi ini."Ia lalu menunjuk kursi di dekatnya, "Duduklah. Jangan terus berdiri seperti itu."Masih dengan kepala tertunduk, Xuanyi duduk dengan patuh."Katakan, ada apa kau mencari Ibumu?"Xuanyi mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapan ibunya."Ibu, aku ingin menikah."Mata Nyonya Wu yang melebar, dipenuhi dengan kegembiraan, "Yi'er, ini sangat baik, kau akhirnya mau mendengarkan Ibu. Bagus, bagus, kalau begitu Ibu akan segera mencarikan seseorang...""Ibu."Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, Xuanyi segera memotongnya. Nyonya Wu mengangkat alisnya, menatapnya dengan penuh tanya."Aku ingin menikahi Ji
Malam semakin larut, suara percakapan yang berisik terdengar di mana-mana di dalam menara.Saat pertunjukan tarian di panggung mulai terasa membosankan, Ji An mengajak Feng Jin untuk kembali.Lagipula, ia harus bangun pagi untuk bekerja besok.Sang iblis tentu saja belum keluar karena ia belum tidur. Atau mungkin saja malam ini ia memilih untuk tidak keluar."Maaf, lain kali aku akan mentraktirmu dengan suguhan yang lebih layak." Ji An berkata."Aku hanya mengajakmu melihat-lihat sebelumnya, bukan memintamu untuk mentraktir."Ji An mengangguk.Ketika mereka hendak keluar, sebuah rombongan besar tengah masuk ke dalam menara, memenuhi pintu.Ji An yang telah berjalan duluan di depan, terpisah dengan Feng Jin oleh kerumunan.Saat ia memutuskan untuk menunggunya di luar, Ji An mendengar seseorang memanggil namanya."Adik An." Sapa Wu Xuanyi gembira. Ia tidak menyangka akan begitu cepat bertemu lagi dengan gadis yang telah mengganggu tidurnya semalam."Xuanyi?" Ji An tertawa, "Aku tidak me
Feng Jin menatap gadis di depan yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Seperti kemarin, saat ini mereka berdua sedang makan malam di dalam kamar Ji An. Pandangannya sesekali akan terangkat, mengamati gerak geriknya tanpa kentara. Gadis itu tiba-tiba menghela napas berat, kali berikutnya pandangannya tampak linglung. Ia jelas sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Ji An menatap Feng Jin kemudian menundukkan kembali pandangannya, sorot matanya agak sendu. Tangannya yang sedang memegang sumpit, hanya mengaduk-aduk nasi di mangkuk, jelas ia tidak sedang berselera. "Sesuatu terjadi?" Feng Jin menurunkan matanya. Ji An menggeleng, masih mengaduk-aduk nasi di mangkuk, "Ng..sebenarnya, tidak ada hal penting yang terjadi." Ketika Ji An mengangkat wajahnya lagi, ia bertemu dengan tatapan Feng Jin yang seakan sedang bertanya "Lalu ada apa denganmu?" Ji An menunduk, meringis, "Aku.. sepertinya aku telah membuat hinaan seseorang berhasil mempengaruhiku." Ia kemudian ters
Feng Jin hendak berbaring ketika hidungnya menangkap sebuah aroma familiar.Ia menunduk, mengendus jubah hitamnya.Aroma lembut itu berasal dari sana. Sepertinya itu tertinggal saat ia membungkus Ji An dengan jubahnya semalam.Feng Jin tampak sedikit kikuk saat kemudian ia akhirnya berhasil berbaring di atas dipan.Matanya dengan linglung menatap langit-langit kamar sejenak sebelum perlahan menutup.-----Ji An masih sibuk di belakang dapur restoran.Waktu makan siang selalu ramai dengan pelanggan. Sehingga mereka harus bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan setiap pesanan.Sedangkan Ji An yang tidak terlibat langsung dengan para tamu, sedang mengatur penempatan berbagai bahan-bahan segar yang diantarkan tadi pagi.Seseorang keluar dari pintu belakang dapur, menghampirinya."Nona Ji, bisakah kau menggantikanku sebentar untuk mengantarkan salah satu pesanan tamu di depan?" Seorang pelayan wanita bertanya, sementara wajahnya berkerut seperti sedang menahan sesuatu.Ji An segera menger







