Patricia terlihat sangat sibuk pagi ini. Jemarinya tidak berhenti mengetikkan sesuatu, tatapan matanya sangat fokus menatap layer laptop. Sesekali keningnya berkerut untuk menambah konsentrasi karena orang-orang di sekelilingnya mulai mengganggu konsentrasi kerjanya.
“Patricia, bisakah kamu memeriksa ini lebih dulu? Kuharap sudah selesai sebelum makan siang…”
“Tricia, bagaimana menurutmu? Apakah ini sudah cukup bagus untuk aku serahkan pada atasan atau masih ada yang kurang?”
“Tricia, tolong bantu aku menyiapkan materi untuk meeting nanti siang,”
“Patricia, apa laporanmu sudah selesai? Cepat berikan pada Thomas, dia sudah menanyakannya sejak satu jam yang lalu…”
Orang-orang ini, kenapa mereka selalu membebankan pekerjaan mereka pada orang lain. Apa mereka tidak tahu kalau masing-masing orang juga punya pekerjaan sendiri di sini? Kenapa mereka selalu bergantung pada orang lain, apa mereka tidak bisa melakukannya sendiri? Patricia menahan rasa marahnya dengan menggenggam pulpen dengan erat.
“Patricia…”
“DIAM!” teriakku. Kesabaran Patricia sudah habis. Dia sedang melakukan pekerjaannya tapi rekan kerjanya yang lain selalu saja meminta bantuannya. Untuk apa mereka bekerja di sini jika tidak bisa melakukan satu pun pekerjaan mereka.
“Bisakah kalian tidak terus bergantung padaku? Itu pekerjaan kalian, jadi kalian sendiri yang harus menyelesaikannya. Aku juga punya pekerjaan yang belum aku selesaikan, jika aku membantu kalian apa kalian juga mau membantuku menyelesaikannya? Tidak kan, jadi kita selesaikan saja pekerjaan kita masing-masing dan percaya diri saja dengan hasil yang kalian buat.”
Patricia mengeluarkan semua amarahnya yang dia pendam pada mereka yang selalu mengandalkan dirinya dalam pekerjaan mereka. Ekspresi wajah mereka benar-benar tidak diduga, mereka terlihat marah dan kesal karena Patricia menolak membantu mereka dengan kasar.
“Kamu bisa bicara baik-baik, tidak perlu berteriak dan marah-marah pada kami seperti itu,” hardik salah seorang dari mereka.
“Aku hanya meminta pendapatmu saja, itu bukan pekerjaan yang sulit.”
“Jangan sombong Patricia, mentang-mentang kamu menjadi karyawan favorit karena pekerjaanmu yang selalu dibilang sempurna oleh atasanmu. Kamu ingin menjatuhkan nama kami dan membuat kami terlihat buruk? Apa itu tujuanmu? Kamu ingin mengambil semua pujian dan memberikan hinaan pada kita semua?”
Lihatlah bagaimana mereka membela diri mereka sendiri, lalu mengatakan sesuatu seolah Patricia adalah orang sombong, tidak mau membantu mereka dan membuatnya menjadi orang yang terlihat jahat di sini. Orang-orang ini pintar sekali berakting, bertingkah seperti mereka adalah korban padahal mereka adalah pelaku sebenarnya. Mereka seenaknya meminta ini dan itu, mengerjakan sebagian dari pekerjaan mereka yang bukan menjadi tanggung jawab orang lain. Bahkan, mereka tidak mengucapkan terima kasih ketika sudah dibantu. Seharusnya dari awal tidak memberikan bantuan pada mereka sama sekali.
“Kalian berlebihan, baru hari ini aku menolak untuk membantu kalian. Jangan membuatku terlihat seperti orang jahat, itu adalah pekerjaan kalian, tanggung jawab kalian. Kenapa kalian menyerahkannya padaku? Bagaimana bisa kalian bekerja di tempat seperti ini jika kalian tidak percaya dengan kemampuan kerja kalian yang seperti ini?” omelku.
“Jadi kamu menyuruh kami untuk keluar dari tempat ini?” ujar salah satu dari mereka. Orang-orang itu melihatku dengan tatapan marah.
“Patricia, kamu seharusnya tidak berkata seperti itu. Tega sekali kamu menyuruh mereka keluar dari pekerjaan mereka sekarang hanya karena meminta sedikit bantuan darimu. Benar-benar keterlaluan.” Melanie datang dan membuat situasi semakin kacau dan panas.
“Kalau begitu, kenapa kamu saja yang membantu mereka?” balasku dengan pelototan tajam pada perempuan kompor ini. Aku benar-benar benci orang yang seperti ini.
“Itu karena mereka meminta bantuan padamu, karyawan yang menjadi favorit atasan dan menjadi kandidat pegawai terbaik tahun ini. Semua orang pasti akan meminta bantuan dari orang yang terbaik bukan? Jadi nikmati saja semua itu, pegawai terbaik,” sindir Melanie dengan ekspresi wajah yang membuatku ingin menonjoknya.
“Kamu sudah benar-benar sudah berubah Patricia, dulu kamu selalu membantu kami kapan pun kami membutuhkan bantuan. Sejak pengumuman kandidat karyawan terbaik, kau menolak membantu kami dengan kasar.”
“Benar, dia sedang mencoba menjatuhkan dan mempermalukan rekan kerjanya sendiri,” Orang-orang ini terus memojokkan dan menjelekkanku sampai membuat kepalaku pusing dan telinga berdengung karena ocehan mereka. Jika Patricia marah, mereka akan bertingkah seperti itu, menjelekan hal buruk tepat di depan wajah. Sebaliknya, jika diam saja, mereka akan semakin seenaknya menyerahkan pekerjaan mereka pada orang lain selain aku.
“Kenapa kalian terus ribut seperti itu? Cepat selesaikan pekerjaan kalian sendiri, apa kalian tidak lihat tumpukan pekerjaan di meja Patricia? Dan kalian dengan tidak tahu diri meminta bantuannya saat dia sendiri sibuk mengerjakan segunung pekerjaan sendirian? Kalian tidak malu menyerahkan pekerjaan yang tidak seberapa itu padanya? Kalian ingin menggantikan posisinya mengerjakan setumpuk pekerjaan itu?”
Kepala manajer divisi datang yang menghentikan keributan yang terjadi di tempat ini.
“Kenapa ekspresi kalian seperti itu? Kalian pikir aku tidak mendengar apa yang kalian ributkan dari awal? Selesaikan pekerjaan kalian sendiri atau aku akan melaporkan pada pimpinan kepala cabang atas tindakan tidak bertanggung jawab kalian.” Begitu manajer divisi itu sudah mengeluarkan kata-katanya, tidak ada yang berani membantah dan mereka yang membuat keributan langsung pergi ke tempat mereka.
“Kerjakan pekerjaanmu dengan benar Patricia, jangan biarkan mereka mengganggumu. Aku tidak akan memberikan toleransi lagi jika ada keributan seperti ini. Semua pegawai di sini memiliki pekerjaan dan tanggung jawabnya sendiri. Hal seperti ini terulang lagi, kalian semua akan tahu akibatnya,” ujar sang divisi manajer memberikan penegasan pada semua karyawan yang bekerja di bawah divisi yang dipimpinnya.
“Terima kasih Bu Manajer,” ucapku pelan.
“Jika kamu mau berterima kasih padaku, kerjakan pekerjaanmu sampai selesai.” dia langsung pergi menuju ruangannya setelah mengatakan itu tepat di wajah Patricia dengan wajah yang masam. Suasana menjadi sedikit canggung, tidak ada yang beranu membuka mulutnya dan mereka lebih memilih untuk meneruskan pekerjaan daripada kembali diomeli oleh manajer.
***
“Jadi rekan-rekanmu yang lain juga mulai menjaga jarak denganmu karena insiden itu? Haaah…mereka orang-orang yang mencoba memanfaatkan kebaikanmu dan mencoba menusukmu saat kamu memunggungi mereka. Aku yakin mereka akan terus menggosipkanmu, apalagi ada Melanie disana.”
Saat ini, Patricia dan Julia sedang makan siang di kantin kantor. Kabar tentang Patricia yang mengamuk di kantor dan manajer yang datang memarahi terdengar sampai ke telinga Julia yang berada di divisi lain, bahkan ruangan kantornya berbeda lantai denganku. Patrcicia yakin gosip itu sudah disebarkan luas oleh orang itu. Rasanya aku ingin sekali memaki orang yang menyebarkan gosip tidak benar dan aneh ini.
“Mulut wanita itu memang cepat sekali jika menyebar gossip dan fitnah seperti ini. Andai kemampuannya bekerjanya itu sama dengan cepatnya dia menyebar gossip, dia pasti sangat berguna,” gumamku. Setiap hari pasti ada saja yang wanita itu ributkan. Dan hanya pada Patricia dia seperti itu.
“Siapa lagi kalau bukan Melanie, dia begitu terang-terangan membencimu. Selain itu, dia juga bekerja di ruangan yang sama denganmu. Dia melihat semua yang terjadi dan membuat gosip itu,” ujar Julia dengan sangat yakin.
“Gosip apa?” seseorang datang dan duduk disampingku sambil membawa sepiring grilled chicken lengkap dengan salad dan juga segelas cola dingin. Mulut Julia menganga lebar melihat orang itu duduk dengan santai.
“Apa ada yang menggosipkanmu, Tricia?” tanyanya lagi.
“Kenapa kamu duduk disini?” Patricia bukannya tidak suka Allan ada di sini, tapi dia merasakan tatapan-tatapan tajam yang mengarah padanya.
“Kamu tidak suka aku duduk di sini denganmu? Kupikir kita akan menjadi lebih dekat lagi dengan makan siang dan mengobrol Bersama.” Dia terlihat bingung dengan reaksi Patricia.
“Bukan seperti itu, kamu tidak merasa tatapan-tatapan yang mengarah ke sini? Kita akan menjadi pusat perhatian jika kamu disini. Lebih baik kamu pindah saja.” Patricia tidak nyaman dengan tatapan orang-orang padanya.
“Bicara apa kamu! Tentu saja kamu boleh duduk di sini Allan, ini tempat umum tidak ada yang melarangmu duduk di tempat yang kamu suka. Abaikan saja orang-orang itu Tricia, anggap saja mereka tidak ada.” Julia melotot padaku, mulutnya bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu padaku tanpa suara.
“Kamu hanya makan salad? Memangnya kenyang hanya memakan itu?” Allan bertanya padaku setelah dia menelan makanannya.
“Memangnya kenapa? Ini juga makanan, selain itu ini jauh lebih menyehatkan. Aku bisa menjaga porsi tubuhku lebih baik lagi,” Julia tersenyum dengan aneh padaku, sedangkan Allan mengernyitkan keningnya.
“Tubuhmu sudah sangat kurus, aku sangat khawatir angin bisa menerbangkan tubuhmu. Seharusnya kamu makan lebih banyak,” imbuhnya. Julia tampak menahan tawanya karena dia tahu yang sebenarnya terjadi. Aku bukan ingin makan salad, tapi ini yang paling murah dari yang lain, hanya dua belas dolar untuk semangkuk penuh cesar salad.
“Jangan heran Allan, terkadang dia memang bertingkah aneh seperti itu. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini. Omong-omong, kalian tidak pernah saling mengobrol sebelumnya. Orang ini bahkan tidak tahu kalau kamu ada.” Julia menunjuk wajahku. “Bagaimana hubungan kalian bisa berubah seperti ini?” Julia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Allan.
“Aku bertemu dengannya semalam, sekarang aku mencoba untuk lebih dekat dengannya,” jawabnya. Dia tersenyum lebar sambil melirik padaku.
“Oh my god! Apa ada sesuatu diantara kalian berdua!” pekik Julia. matanya Julia terlihat berbinar-binar seolah ini adalah hal yang membuatnya bahagia.
“Tidak ada apa-apa, dan jangan membuat gosip yang tidak-tidak tentang aku dan Allan. Gosip hari ini saja cukup membuat kepalaku pusing, jika ada gosip lain tentangku dan Allan, kamu orang pertama yang akan aku pukul,” ancam Patricia pada sahabatnya itu.
“Jahat sekali, padahal aku berniat untuk membantumu dengan Allan,” protesnya. Julia mengerucutkan bibirnya.
“Jangan membantuku apa pun, aku tidak butuh bantuanmu.” Patricia tahu Julia akan mencoba untuk menjodohkan dirinya dengan Allan, niatnya sudah terbaca dengan jelas dan tidak akan kubiarkan dia berbuat semaunya.
“Kalian membicarakan tentang gosip, apa seseorang menggosipkanmu Tricia? Tentang apa itu?” Allan tampak penasaran dengan gosip yang dia dengar dariku dan Julia.
“Tricia memiliki banyak musuh karena dia sangat berbakat dan disukai oleh pimpinan dan juga atasan lain. Orang-orang yang iri padanya mencoba untuk menjatuhkannya dengan berbagai cara,” beber Julia.
“Aku juga mendengar dari pimpinanku bahwa kerjamu sangat bagus, dia bahkan menyayangkan kamu berada di bawah divisi yang buruk dan paling kacau. Reputasi baikmu begitu terkenal dikalangan pimpinan.” Telinga Patricia memerah mendengar pujian yang keluar dari mulut Allan. Akhirnya ada juga yang mengakui kerja kerasnya di perusahaan ini, meskipun bukan dari divisi tempatku bekerja.
“Apa hari ini kamu jalan-jalan malam lagi?” Allan memiringkan tubuhnya untuk menghadapku.
“Jalan-jalan malam? Apa itu?” Julia tampak sangat penasaran mendengarnya.
“Tricia sangat menyukai jalan-jalan di malam hari, semalam aku bertemu dengannya dan mengobrol beberapa hal,” jawab Allan dengan lugas.
“Woow, ternyata diam-diam hubungan kalian sudah sejauh itu. Berjalan-jalan di malam hari berdua saja,pasti terasa romantis bukan,” goda Julia.
“Romantis apanya, kita hanya tidak sengaja bertemu di jalan, iya kan Allan? Ah, waktu makan siang kita akan segera habis, lebih baik kita kembali sebelum ada gosip aneh tentangku lagi. Aku duluan.” Patricia berdiri dan meninggalkan mereka berdua yang masih duduk dengan santai.
“Hei, tenang saja Allan. Aku akan membantumu lebih dekat dengan Tricia, kau menyukainya kan?” Allan tersedak ludahnya sendiri mendengar pertanyaan Julia.
“Ah, aku hanya ingin berteman dekat dengannya. Dia orang yang cukup menarik dan misterius karena selalu menarik diri dari orang lain. Aku penasaran apa aku bisa masuk dan menjadi temannya atau tidak.”
“Hmm, dari rasa penasaran akan berubah menjadi rasa suka kemudian menjadi cinta. Aku akan membantu kalian berdua semakin dekat.” Julia sangat antusias untuk menjodohkan Allan dengan Patricia.
“Hahaha…bukankah kamu mengambil kesimpulan sendiri? Yang tahu perasaanku hanya aku sendiri,” balas Allan dengan wajah yang sedikit memerah sambil menatap Julia dengan salah tingkah.
“Heeiii, tatapanmu itu tidak bisa berbohong,” godanya.
“Allan.” seorang wanita mendatangi mereka dengan ekspresi yang menahan sesuatu.
“Cih kau lagi. Mau apa kau kemari? Jangan kira aku tidak takut padamu,” timpal Julia dengan ketus.
“Aku tidak ada urusan denganmu, jelek. Aku dating kemari untuk Allan,” balas wanita itu dengan sengit.
“Apa! Beraninya kau!” Julia terlihat marah dan langsung berdiri.
“Aah … kalian berdua … kumohon, jangan seperti ini!” Allan terlihat sangat panik.
"Astaga ... Bagaimana ini ...."
Seperti yang sudah diduga, mereka semua menghindari Patricia saat dia masuk kedalam ruang kerjanya. Tidak ada satu orang pun yang berani menatap matanya, bahkan saat Patricia datang mereka buru-buru menghindar ke tempat yang agak jauh dari posisi Patricia berada. Di sisi yang lain, Patricia melihat melihat mereka sedang berbisik-bisik dengan pandangan yang menghakimi. Baiklah, biarkan saja mereka seperti itu, setidaknya mereka tidak akan mengganggu saat sedang bekerja. Patricia benar-benar harus menyelesaikan semuanya sebelum jam pulang tiba atau dia akan dipaksa lembur lagi.“Patricia, Crazy…maksudku Thomas memanggilmu untuk datang ke ruangannya. Dia bilang ada pekerjaan mendesak,” ujar salah satu rekan kerjaku. Baru saja aku bisa bernapas lega karena tidak ada yang menggangguku, Crazy Baldie ini merusak ketenanganku.“Hati-hati Tricia…mungkin kamu akan mendapat surat peringatan karena membuat keributan di kantor, atau ini adalah hari terakhirmu bekerja disini” Melanie lagi-lagi beru
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu sampai menyerang temanmu? Kenapa kamu bisa semarah itu padanya?” Patricia sedang berbicara dengan Karin setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, berada jauh dari lingkungan sekolahnya agar dia tidak merasa malu saat aku menasehatinya.“Karina, kamu tidak mau menjawabku?” tanyaku lagi sambil menghadapnya. Karin menatap marah kearah lain dan menolak kontak mata dengan Patricia.“Aku tidak akan memarahimu, jadi katakan saja padaku kenapa kamu memukul dan menjambak teman sekelasmu Karin, apa aku sama sekali tidak boleh tahu bagaimana kehidupan sekolahmu?” Karin tetap tidak bergeming sama sekali.“Ya sudah, aku tidak akan memaksamu untuk bicara sekarang. Tapi aku tetap harus tahu apa yang terjadi padamu tadi, ayo aku antar naik bus. Kamu harus pulang dan aku harus bekerja.” Aku merangkul pundak Karin dan mengajaknya untuk berjalan bersama. Dia mungkin merasa terkejut sudah melukai teman sekelasnya, Karin, anak manis ini tidak mungkin berbuat kasar pad
“Apa lantai ruanganku kotor? Kenapa kamu terus menunduk seperti itu?” tanya sang manajer yang dengan santai menyesap kopinya.Patricia yang tadi hendak masuk ke ruangan manajer, kemudian mengurungkan niatnya dan menunggu sedikit lebih lama di luar. Dia pasti heran melihat Patricia membuka pintu, kemudian menutupnya lagi dengan keras. Patricia bersikap seperti itu karena begitu dia membuka pintu, manajer sedang bertelanjang dada mengganti kemeja yang dipakainya dengan kaus berwarna hitam. Tanpa sengaja Patricia melihat tubuh telanjang lelaki lain selain adiknya William. Tubuhnya memang sangat bagus, bahu yang lebar, dada yang bidang dan perut yang berotot kencang.“Aku menunggu kamu berbicara karena kamu bilang ada yang ada ingin kamu bicarakan, tapi kamu datang dan masuk ke dalam ruanganku untuk diam saja sambil menunduk?” manajer mengamati Patricia sambil bersandar pada meja. Kakinya dia disilangkan, kedua tangan terlipat di dada.“Ah maaf, aku sedikit melamun.” Patricia menyelipkan
“Nomor siapa lagi yang meneleponku?” Patricia mengernyit begitu melihat layer ponselnya menunjukan nomor tidak dikenal terus meneleponnya. Sudah ada belasan nomor asing yang terus menghubunginya. Tak ingin diganggu lagi, Patricia mematikan teleponnya sebentar. “Kenapa, Kak?” Karin bertanya padaku karena Patricia terdiam cukup lama sambil menatap ponselnya. “Hari ini banyak sekali nomor yang tidak dikenal meneleponku. Mungkin aku harus mengganti nomor agar orang-orang ini tidak menggangguku lagi. Bagaimana dengan Will? Dengan menghubungimu lagi?” Karin mengambil bantal sofa lalu memeluknya. “Ya, hari ini dia cukup menggangguku dengan mengirimkan banyak pesan. Kamu bisa membacanya sendiri kalau mau tahu.” Karin menyodorkan ponselnya pada Patricia dan memperlihatkan pesan yang dikirimkan oleh adik lelakinya itu. Pesan yang dikirimkan William kurang lebih sama seperti yang sebelumnya, meminta uang milik Karin berapa pun yang dia punya. Cara memintanya pun sepertinya sangat mendesak, se
“Mengubah hidupku? Memangnya kamu siapa? Kamu Tuhan? Cukup, jangan bermain-main denganku Sean Fernandez. Aku bisa melaporkanmu pada polisi dengan tuduhan mengganggu orang lain.” Suara di telepon tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ancaman yang keluar dari Patricia.“Kamu pikir itu lucu? Aku serius akan melaporkanmu jika kamu terus menggangguku seperti ini,” imbuh Patricia.“Lucu sekali caramu mengancamku. Lebih baik kau tahu dulu dengan siapa orang yang kau ancam, atau kau akan kehilangan semuanya yang kamu punya saat ini.” Kata-katanya membuat Patricia marah.“Kehilangan semuanya? Memangnya apa lagi yang mau kamu ambil dari hidupku? Aku sudah tidak memiliki apa pun lagi yang berharga selain adik dan ibuku. Kamu ingin mengambil mereka? Langkahin dulu mayatku, brengsek!” umpat Patricia dengan kesal.“Aku sama sekali tidak butuh adik dan ibumu, tidak ada gunanya aku mendapatkan mereka. Aku akan membantumu, kau sedang kesulitan keuangan bukan? Aku akan memberikanmu apa pun asalkan …”
Suara-suara pukulan yang membabi buta dan juga erangan kesakitan terdengar di belakang Patricia. Patricia terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi di belakangnya, tubuhnya gemetar dengan sangat hebat karena ketakutan. Ingin berteriak minta tolong, tapi dia hanya membuka mulut tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Untuk berlari menjauh pun dia tampak tidak sanggup untuk berdiri, hanya bisa menangis dan berharap ada orang baik yang akan menolongnya.“Dasar berengsek, beraninya menyerang wanita yang berjalan sendirian di malam hari!” hardik seseorang. Tiba-tiba dia tidak berkata apa pun sehingga membuat suasana menjadi sangat hening. Patricia memohon pada siapa pun, jangan menganggu dan pergi saja, tinggalkan dirinya sendiri.“Kamu tidak apa-apa?” suara seorang pria dewasa bertanya dan menghampiri Patricia yang terduduk sambil memeluk kakinya. Patricia hanya diam saja tidak mau menjawab orang itu, siapa tahu dia adalah orang jahat lain yang mempunyai niat yang tidak baik padanya. Saa
Begitu masuk kedalam rumah, Patricia memergok Karin yang sedang bertelepon di ruang tamu. Gerakan mulut Karin memberitahuku bahwa William sedang menelponnya. Patricia bergegas mendekati Karin dan memintanya untuk menggunakan speaker tanpa dicurigai, tentu saja Patricia melakukan itu dengan gerakan mulutnya. Jika dia tidak mau berbicara pada kakaknya, Patricia akan meminta Karin untuk berbicara mewakilinya bicara.“Ayolah Karin, dia pasti memberimu uang kan? Pinjamkan aku beberapa, aku benar-benar sedang membutuhkan uang saat ini,” ujar William di telepon.“Will, kakak sudah memberimu uang yang cukup besar. Kenapa kamu bisa seboros itu menggunakan uangmu? Memangnya kamu pakai untuk apa saja?” Patricia mengetikkan hal-hal yang harus Karin tanyakan di ponselku.“Aku perlu uang untuk pindah apartemen, uang yang dia kirim sama sekali tidak cukup. Ditambah lagi aku juga perlu uang untuk membeli makanan juga uang untuk ikut kelas tambahan. Aku harus bayar untuk bisa ikut, itu akan sangat mem
Patricia dan Karin memutuskan untuk mengajak Mama berjalan-jalan di Central Park yang jaraknya sekitar satu jam setengah dengan naik bus. Selama perjalanan, Mama hanya diam saja sambil mendengarkan cerita-cerita panjang Karin sambil menggenggam erat kedua tangannya. Matanya sama sekali tidak pernah lepas menatap Karin, sepertinya dokter itu benar, Mama merindukan semua anak-anaknya dan kehadiran kami semua bisa membuat Mama lebih kuat dan semangat lagi.“Apa kalian sama sekali tidak menganggapku ada? Aku benar-benar sakit hati karena kalian hanya mengobrol berdua saja sejak tadi, aku benar-benar tidak dianggap.” Patricia pura-pura merajuk pada mama yang duduk bersama Karin di kursi seberang sebelah kiri.“Kamu sejak tadi hanya diam saja dan menatap keluar jendela, kupikir kamu tidak mau bergabung dengan Mama dan mengobrol, jadi kita biarkan saja dia sendirian. Benar kan Ma?” Karin mulai memperlihatkan sifat manjanya di hadapan Mama.“Dari tadi kalian hanya mengobrol berdua saja tanpa