Share

ACT 5. Alasan yang disembunyikan

Apa yang Patricia lakukan di dalam mobil dengan seorang lelaki yang baru saja dia kenal beberapa menit yang lalu? Bus yang ditunggu juga tidak kunjung datang dan tidak mungkin juga berjalan kaki sampai rumah. Malam hari di New York sedikit berbahaya, meskipun terkenal sebagai kota yang tidak pernah tidur, pelaku kejahatan, pelecehan seksual, pencuri juga tidak pernah tidur. Lebih tidak mungkin lagi naik taksi yang harganya jauh lebih mahal dibanding naik bus. Anggap saja hari ini adalah hari keberuntungan setelah semua kesialan yang dialami dengan mendapat dua tumpangan gratis.

“Kamu sering jalan-jalan sampai larut malam seperti ini Tricia?” tanya Allan memecah keheningan. Sejak masuk ke dalam mobilnya, kami berdua hanya diam saja dengan sedikit canggung. Bukannya tidak mau mengobrol dengannya, hanya saja tidak terbiasa untuk membuka obrolan lebih dahulu.

“Ya, aku selalu berjalan-jalan malam seperti ini sepulang kerja. Ini sangat menenangkan pikiranku setelah penat dan lelah yang aku rasakan,” jawabku dengan penuh percaya diri tanpa sadar akibat dari ucapanku.

“Benarkah? Memangnya apa saja yang kamu lakukan setelah pulang kerja sampai larut malam, tidak mungkin hanya berjalan-jalan saja tanpa tujuan.” Allan melirikku sekilas sebelum kembali fokus menyetir. Shoot! Jawaban tadi pasti terdengar tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang wanita berjalan-jalan selama beberapa jam di luar sendirian tanpa tujuan. Alasan masuk akal apa yang akan keluar dari mulut ini yang akan membuatnya percaya?

“Ya, tentu saja aku sangat suka melihat aktivitas orang yang sedang lalu lalang, cahaya dari lampu-lampu kota. Aku sangat menyukai pemandangan kota di malam hari, itu seperti semua beban yang ada di pikiranmu menghilang walaupun tidak semuanya. Itu yang aku rasakan.”

Memang benar, saat sedang berjalan sendirian di malam hari aku melupakan semua masalah dengan melihat hiruk pikuk dan menatap lampu-lampu kota yang sangat indah. Tetapi begitu terbangun di pagi hari, kembali menghadapi realita yang menghantam keras kebebasanku. Sejak pergi dari tempat itu, kebebasan Patricia juga terampas, dipaksa untuk tumbuh dewasa sendirian dengan keadaan yang menyedihkan.

“Tricia?” panggil Allan, dia benar-benar menatapku dengan penuh karena lampu lalu lintas sedang menyala merah.

“Hah?” responku terdengar sangat datar, masih terjebak dengan perdebatan pikiran dan batin.

“Aku bertanya di mana rumahmu, tapi sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu? Aku sudah memanggilmu berulang kali tadi,” matanya menatapku dengan rasa keingintahuannya dengan apa yang aku pikirkan. Kulihat jalanan apa yang sudah dia lewati, karena takut terlewat dan harus memutar jauh.

“Tempat tinggalku di Kilps Bay, mungkin sekitar lima belas menit lagi. Maaf, aku tidak konsentrasi dan mengabaikanmu, aku sepertinya mulai mengantuk,” aku menepuk-nepuk pahaku agar aku bisa kembali segar.

“Kamu bisa tidur dulu, masih ada waktu sebelum sampai. Aku akan membangunkanku ketika hampir sampai di Kilps Bay.” Dia mencoba untuk menurunkan sandaran kursi Patricia menjadi lebih rendah.

“Tidak perlu…” terlambat. Sandaran kursinya diturunkan menjadi lebih rendah, posisiku sekarang setengah tiduran.

“Tidak apa-apa, aku ingin kamu lebih nyaman saat denganku. Istirahatlah walau hanya sebentar.” Allan memastikan posisiku sudah nyaman.

“Terima kasih Allan, maaf aku sedikit merepotkanmu.” Allan kembali menjalankan mobilnya.

“Aku hanya ingin kita lebih dekat, aku ingin menjadi temanmu.” Balasnya. Patricia tidak menanggapinya dan melihat pemandangan di luar jendela. Matanya semakin lama semakin berat berat, sampai akhirnya dia tertidur pulas.

***

“Sekali terima kasih sudah mengantarku pulang, Allan. Maaf aku sudah membuatmu repot dengan mengantarku, aku tahu pasti arah rumahmu sangat berlawanan denganku, bukan?” aku berbicara lebih dulu dengan Allan sebelum masuk ke dalam apartemenku. Allan yang ikut turun dari mobil berdiri di sampingku dengan canggung.

“Jangan berterima kasih, aku sangat senang bisa mengantarmu. Aku harap kita berdua bisa lebih dekat lagi sebagai teman.” Entah kenapa aku melihat Allan terlihat lebih gugup.

“Tentu saja. Sepertinya kamu harus segera pulang dan beristirahat untuk besok, kita harus punya tenaga untuk sesuatu yang akan menanti kita di tempat kerja.” Patricia menyunggingkan senyum manisnya, Allan membalas senyumanku dengan gugup. Kenapa dengan orang ini? Batinku.

“Ya, sampai jumpa besok Patricia. Masuklah lebih dulu, udaranya terasa lebih dingin.” Allan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Seperti ada yang ingin dia katakan tetapi dia memutuskan untuk diam dan menyimpannya saja dalam hati.

“Sampai jumpa besok.” Aku tersenyum dan melambaikan tanganku dengan canggung padanya.

Begitu masuk ke dalam apartemen, yang pertama kali dilakukan adalah memeriksa kamar Karin. Apakah dia sudah tidur, atau malah menungguku pulang sambil belajar. Dia sudah tidur dengan lampu yang menyala dan buku yang berantakan di atas meja. Kurapikan meja belajarnya dan menyusun buku-buku itu pada rak. Dia belajar begitu rajin untuk mempertahankan beasiswanya dan mengurangi beban finansial yang kutanggung. Sebentar lagi dia akan berulang tahun yang ketujuh belas, ingin sekali merayakannya kecil-kecilan dengan Will dan juga Mama jika memungkinkan. Dia tidak pernah merayakan ulang tahunnya lagi sejak enam tahun yang lalu.

“Maafkan kakakmu Karin, aku memaksamu ikut denganku meninggalkan rumah itu. Jika kamu tinggal dengan Papa, mungkin hidupmu tidak akan susah seperti ini. Maafkan kakakmu yang egois ini, Karin. Aku akan menebus semuanya nanti, semua yang aku ambil darimu.” Patricia mengelus lembut kepala adik perempuannya dengan penuh rasa sayang, lalu mematikan lampu kamarnya agar dia bisa tidur dengan nyenyak.

***

Patricia terbangun karena mendengar suara orang yang sedang memasak di dapur, ditambah dengan bau masakan yang bisa membuat perutku semakin berbunyi kelaparan. Kesadaran yang belum pulih dan mata yang masih terasa berat untuk dibuka lebar, memaksakan diri untuk bangun dengan meraba-raba dinding untuk memastikan berjalan kearah yang benar. Begitu pintu dibuka, semerbak harum makanan menyerang indera penciuman.

“Karin, kamu memasak?” tanyaku dengan suara yang masih serak, mata yang setengah terbuka.

“Ya, biasanya kau sudah bangun pagi-pagi dan sibuk menyiapkan sarapan untuk kita berdua. Tapi tumben sekali kamu belum bangun.” Karin menuntunku ke meja makan, lalu memberiku segelas air dingin.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku begitu kesadaranku pulih.

“Jam setengah delapan pagi,” sahut adikku yang sibuk memindahkan sup pada mangkuk kecil dan menata makanan yang dia buat di meja.

“Apa! kenapa kamu tidak membangunkanku Karin!” bentakku padanya.

“Karena aku tidak mau, kamu terlihat kelelahan jadi kubiarkan saja kamu tidur sedikit lebih lama,” jawabnya sambil menyodorkan sepiring telur orak arik dengan tiga potong sosis dan juga semangkuk sup jamur.

“Sial! Aku harus pergi ke rumah sakit dulu sebelum ke kantor!” aku berlari ke kamar mandi untuk menuntaskan aktivitas pagi.

“Apa terjadi sesuatu lagi pada Mama! Aku juga ingin ikut!” teriak Karin dari ruang makan. Aku tidak menghiraukannya karena aku harus segera mandi dan sedikit berdandan.

Semalam dokter Alvin mengirimi sebuah pesan yang baru aku baca ketika aku sampai di rumah, seharian ini aku sama sekali tidak melihat ponselku karena sibuk. Isinya, dia mengatakan kalau ibuku menangis meraung-raung semalaman sambil memanggil-manggil nama ketiga anaknya. Tingkat kecemasan Patricia kembali meningkat jika itu menyangkut Kesehatan ibunya, belakangan ini kondisi mentalnya menjadi tidak begitu stabil dan penyebabnya juga masih belum diketahui.

Patricia mandi dengan cepat, kemudian mengambil pakaian juga memasukkan satu pakaian ganti ke dalam tas karena hari ini juga seperti biasa akan pulang malam. Merias wajah seadanya dan tidak lupa mengulas lipstick warna nude agar tidak terlihat pucat seperti orang sakit.

“Makanlah dulu, kamu pasti bakal sibuk hari ini.” Kulihat Karin sudah selesai sarapan begitu aku keluar dari kamar. Dia sedang mencuci piring kotor bekas dia makan.

“Kamu sudah memasak untukku, jadi aku harus menghabiskan semuanya.” Aku memakan semua makanan yang dibuat Karin dengan cepat karena tidak ingin terlambat untuk bertemu dengan dokter Alvin.

“Apa Mama baik-baik saja? Aku juga ingin ikut melihat Mama, sudah lama aku tidak bertemu dengannya.” Karin duduk di depanku dengan wajah yang khawatir. Aku menggeleng padanya dengan cepat.

“Kenapa? Aku juga ingin bertemu dengan Mama,” protesnya karena menganggap aku tidak mengizinkannya bertemu dengan Mama.

“Bukan begitu, maksudku aku juga tidak tahu apa-apa karena kondisi mentalnya sangat tidak stabil belakangan ini,” jawabku setelah menelan makanan terakhirku. Lalu aku dengan cepat membawa piring-piring kotor itu untuk dicuci.

“Apa aku bisa bertemu dengannya sekarang?” tanyanya lagi sambil mengikutiku ke tempat cuci piring.

“Tidak sekarang, kamu harus sekolah. Kita akan pergi bersama nanti akhir pekan, Mama pasti senang melihatmu datang,” ujarku sambil tersenyum padanya.

“Kamu tidak kerja diakhir pekan?” Karin memastikan jadwalku.

“Tidak ada pekerjaan dari pagi sampai sore, tapi aku akan bekerja di malam hari. Akhir pekan, kita pergi dan menemani Mama seharian.” Wajah Karin terlihat senang.

“Janji? Aku tidak mau tiba-tiba rencana itu batal karena pekerjaanmu.”

“Aku janji, aku pergi duluan Karin. Jangan lupa kunci rumah dan tutup semua jendela sebelum pergi, aku pulang malam lagi,” ucapku sebelum pergi meninggalkan adikku sendiri.

“Jangan perlakukan aku seperti anak manja yang tidak bisa apa-apa, aku sudah terbiasa ditinggal sendiri. Khawatirkan saja dirimu sendiri.” Entah kenapa perkataan Karin membuat aku merasa sedikit sedih.

“Pokoknya kau harus berhati-hati saat aku dan Will tidak ada, kamu juga harus langsung menghubungiku ketika ada masalah.” Karin menjawabku dengan anggukan malasnya, seolah dia bosan terus mendengar hal yang sama dariku.

***

“Kupikir dia sedikit stres berada di sini dalam waktu yang cukup lama, ibumu sepertinya merindukan keluarganya.” Aku berkonsultasi dengan dokter Malvin perihal kesehatan mental ibuku. Dia cukup tenang berjalan-jalan di taman rumah sakit ditemani dengan satu orang perawat. Bahkan, aku melihatnya bisa tersenyum sambil mengobrol dengan pasien lain.

“Jadi, aku harus membawanya pulang? Tapi aku bekerja sampai malam, adikku juga bersekolah, tidak mungkin aku meninggalkan dia sendirian di rumah. Aku takut sesuatu terjadi padanya ketika dia sedang sendirian.” Mama sudah lebih dari enam tahun dirawat di rumah sakit jiwa mungkin dia juga merasa jenuh dengan lingkungan rumah sakit.

“Memang berisiko membawanya pulang disaat kondisinya sedang tidak stabil,” ujar dokter itu.

“Lalu maksudmu? Apa yang harus aku lakukan sebenarnya?” aku benar-benar bingung dengan maksud dari dokter itu.

“Luangkanlah waktu bersama dengan ibumu, menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menemaninya atau kamu bisa mengajaknya berjalan-jalan ke suatu tempat. Melakukan hal seperti itu bisa saja lebih menenangkan ibumu daripada selalu terkurung di tempat seperti ini,” jawabnya sambil melihat ibuku.

“Aku memang berencana menghabiskan waktu dengan Mama dan adikku seharian di sini. Jika kamu mengizinkan, aku ingin membawanya berjalan-jalan ke taman kota, mungkin juga membawa bekal piknik.” Aku menyuarakan ideku pada dokter muda disampingku ini.

“Ide bagus, aku pasti menyetujuinya. Semoga saja itu bisa melepas beban pikiran ibumu, aku yakin dia sedang berjuang melawan semua depresi itu. Kita hanya membantunya untuk melewati semuanya, Oh! Selain namamu yang dia sebut semalam ada satu orang lagi yang dia sebut dalam tangisnya. Dia memanggil seseorang bernama Darren? Apa dia ayahmu?”

Sekujur tubuh Patricia membeku mendengar nama itu kembali disebut, nama yang selama ini sudah dia kubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan. Nama seorang pria berengsek yang sudah merusak keluarganya sendiri.

“Ayahku sudah lama mati,” jawabku dengan penuh kebencian.

“Benarkah? Aku minta maaf karena sudah menyinggung soal ayahmu. Tetapi bukankah itu sedikit kasar? Kamu terlihat membenci ayahmu yang sudah tiada, seharusnya kamu mendoakan aya…”

“Aku yang menganggapnya sudah mati. Dia sudah merusak keluarganya sendiri dengan berselingkuh dan membawa wanita yang usianya tidak beda jauh dariku ke rumah. Itu membuat Mama depresi berat sampai seperti ini,” beberku pada dokter itu.

“Maaf?” dokter itu terlihat bingung. Dokter tidak tahu sama sekali permasalahan sebenarnya karena aku selalu menutupi penyebab Mama depresi dengan mengatakan bahwa ayahku sudah mati.

“Aku tidak mau menceritakannya sekarang, hatiku masih terasa sakit membicarakan orang itu.” Aku berdiri untuk meninggalkan dokter itu.

“Mau ke mana? Kamu tidak mau berpamitan dulu dengannya?” dokter itu menarik tanganku. Aku melihat Mama yang tersenyum padaku di kejauhan. Dia memang tersenyum padaku, tetapi sorot matanya terlihat sedih.

“Haruskah, dia tidak pernah merespon apa pun,” jawabku pelan.

“Coba saja, jangan menyerah untuk hal yang sederhana yang bisa kamu lakukan,” bujuknya.

“Entahlah, saat kamu menyebut nama itu membuatku ingin membenci semua lelaki termasuk dirmu dokter.” Aku menatap tajam dokter itu.

“Tidak semua lelaki itu…” Patricia menatap mata dokter itu dengan ekspresi yang penuh luka dan kesedihan.

“Bisakah tidak membicarakan ini? Aku tidak mau mengingat hal itu lagi,” pintaku pada dokter Alvin.

“Aku tahu ini berat untukmu dan ibumu, tapi sebagai dokter, aku harus tahu sampai ke akarnya untuk bisa menyembuhkan luka kalian berdua, terutama ibumu. Jangan ragu untuk ceritakan apa pun padaku, aku tidak akan menghakimi apa yang sudah kamu lakukan Patricia. Kumohon, demi kalian berdua,” bujuk dokter Alvin.

“Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Itu … cukup rumit. Jadi aku…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status